Anda di halaman 1dari 32

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 2.1.

1 Geografis Kota Denpasar merupakan Ibu kota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Letak yang sangat strategis ini sangatlah menguntungkan, baik dari segi ekonomi maupun dari kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung dengan kabupaten lainnya. Kota Denpasar terletak diantara 08 35" 31'-08 44" 49' lintang selatan dan 115 10" 23'-115 16" 27' Bujur timur. Luas wilayah Kota Denpasar 127,98 km2 atau 127,98 Ha, yang merupakan tambahan dari reklamasi pantai serangan seluas 380 Ha, atau 2,27% dari seluruh luas daratan Propinsi Bali. Sedangkan luas daratan Propinsi Bali seluruhnya 5.632,86 Km2. Batas Wilayah Kota Denpasar di sebelah Utara dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Badung (Kecamatan Mengwi, Abiansemal dan Kuta Utara), sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gianyar (Kecamatan Sukawati dan Selat Badung) dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Badung (Kecamatan Kuta).

Tabel 2 Jumlah Kelurahan/Dinas dan Banjar di Kota Denpasar

Sumber : Denpasar Dalam Angka 2011 Secara administratif kota Denpasar dibagi menjadi 4 wilayah kecamatan yang meliputi kecamatan Denpasar Barat (24.13 km2), Denpasar Timur (22.54 km2), Denpasar Selatan (49.99 km2) dan Denpasar Utara (31.12 km2). Wilayah Kecamatan dibagi menjadi beberapa Desa/Kelurahan yang teridiri atas beberapa

Dusun/Lingkungan. Disamping Desa Dinas juga terdapat Desa Adat yang masing-masing terdiri dari beberapa Banjar Adat. 2.1.2 Penduduk Menurut registrasi penduduk Kota Denpasar sesuai dengan hasil Sensus pada tahun 2010 berjumlah 788.445 Jiwa. Tahun 2010 angkatan kerja di Kota Denpasar sebanyak 310.832, dengan rincian 9.506 orang terserap di sektor pertanian, 35.245 terserap di sektor industri, 127.581 terserap di sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, 20.816 di sektor Transportasi, 17.026 terserap di sektor Konstruksi dan 100.658 di sektor jasa-jasa lainnya. Ditinjau dari pendidikan

kualitas pencari kerja di Kota Denpasar semakin meningkat karena dari jumlah pencari kerja yang terdaftar di dominasi oleh lulusan Sarjana 42,90%, Diploma 21,75%, SLTA 34,17%, SLTP 1,02% dan SD 0,25%. Sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki lapangan usaha utama pada sektor jasa sebesar 48,98%, sektor perdagangan 32,25% sektor pertanian 4.22% serta sektor lainnya 0,57%. Sampai akhir tahun 2008 tercatat secara komulatif pencari kerja sebanyak 4.588 orang dan lowongan kerja yang ada 2650 (baik dalam maupun luar negeri). 2.2 Tinjauan Lalu Lintas Di Kota Denpasar 2.2.1 Peraturan Lalu Lintas Setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme

pengendalian sosial yaitu segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan untuk mendidik, mengajak bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Pengendalian sosial (social control) merupakan proses yang bertujuan agar masyarakat mematuhi norma dan nilai sosial yang ada dalam masyarakatnya. Dengan pengendalian sosial, terciptalah masyarakat yang teratur. Di dalam masyarakat yang teratur, setiap warganya menjalankan peran sesuai dengan harapan masyarakat.

Salah satu bentuk pengendalian sosial yang efektif bagi masyarakat dalam menggunakan lalu lintas dan angkutan jalan adalah peraturan lalu lintas. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lalu lintas antara lain : 1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) yang selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3840). 2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3530) yang selanjutnya diganti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5317).

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655). 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4020). 6. Peraturan Bersama Menteri Perindustrian Republik Indonesia dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 12/MIND/PER/3/2006 dan Nomor : 07/M-DAG/PER/3/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 595/MPP/Kep/9/2004 tentang Pemberlakuan Standar Nasional (SNI) Ban Secara Wajib. 7. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 40/M-IND/PER/4/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/6/2008 Tentang

Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua Secara Wajib. 8. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 120/M-IND/PER/11/2010 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pelek Kendaraan Bermotor Kategori M, N, O dan L Secara Wajib.

Peraturan lalu lintas dan angkutan jalan tersebut memiliki kekuatan untuk diterapkan karena memiliki sifat yang mengikat dan memaksa (mempunyai sanksi bagi yang melanggarnya). Hukum positif tersebut mengikat dan mempunyai wewenang sah yaitu negara dan hukum tersebut dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan-badan pelaksana peraturan lalu lintas dan angkutan jalan yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh para pemakai jalan. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur asas dan tujuan pengangkutan. Adapun Asas penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i. asas transparan; asas akuntabel; asas berkelanjutan; asas partisipatif; asas bermanfaat; asas efisien dan efektif; asas seimbang; asas terpadu; dan asas mandiri. Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan bahwa : Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan : a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sedangkan menurut M. Karyadi, tujuan Peraturan lalu lintas dan angkutan jalan ini dibuat oleh pemerintah, antara lain dengan maksud : 1. Untuk mempertinggi mutu kelancaran dan keamanan yang sempurna dari semua lalu lintas di jalan. 2. Untuk mengatur dan menyalurkan secara tertib dan segala pengangkutan barangbarang terutama dengan otobis dan dengan mobil gerobak. 3. Memperlindungi semua jalan-jalan dan jembatan agar jangan dihancurkan atau dirusak dan pula jangan sampai surut melewati batas, dikarenakan kendaraankendaraan yang sangat berat.1 Dari maksud-maksud tersebut nyatalah bahwa sopan santun lalu lintas adalah sangat penting. Hal ini terutama menyangkut perilaku para pemakai jalan di dalam mematuhi kaidah-kaidah lalu lintas dan angkutan jalan. Sopan santun lalu lintas harus dilaksanakan sebaik-baiknya demi kelancaran dan keamanan para pemakai jalan dan untuk mencegah terjadinya kecelakaan-kecelakaan yang mungkin disebabkan oleh kelalaian dari para pemakai jalan tersebut. Sebagai dasar pemberlakuan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat dilihat dari berbagai aspek yang berkaitan dengan undang-undang tersebut yang antara lain dari aspek transportasi, kebutuhan dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu :

M. Karyadi dalam Soerjono Soekanto III, Op.Cit., hal. 92.

1. Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah; 3. Bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan

internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara; 4. Bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; 5. Sesuai Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa dasar dari pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini tidak hanya menyangkut salah satu aspek saja dari kehidupan bermasyarakat akan tetapi berkait dengan berbagai macam aspek kehidupan yang tidak terlepas dari dan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ditetapkan pada tanggal 15 Mei 2012. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, maka Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 187 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan yang menyatakan bahwa : Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3530) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sesuai dengan uraian tersebut mengenai beberapa pokok peraturan lalu lintas dan angkutan jalan, maka perlu dikemukakan secara terperinci mengenai beberapa pokok peraturan lalu lintas dan angkutan jalan yang harus diketahui dan dipatuhi oleh warga masyarakat pada umumnya.

Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan beberapa pokok peraturan lalu lintas dan angkutan jalan yang harus diketahui dan dipatuhi masyarakat umum yaitu : 1. Ketentuan untuk pemakai jalan, yaitu dilarang mempergunakan jalan yang : a. Merintangi kebebasan atau keamanan lalu lintas b. Membahayakan kebebasan atau keamanan lalu lintas c. Menimbulkan kerusakan pada jalan 2. Ketentuan-ketentuan bagi orang-orang yang berjalan kaki : a. Bagian dari jalan yang boleh dipergunakan oleh mereka yang berjalan kaki b. Bagaimana berjalan kaki apabila tidak ada trotoar c. Ketentuan tentang berjalan kaki beramai-ramai d. Ketentuan-ketentuan menyeberang jalan : 1) Penggunaan zebra cross dan jembatan penyeberangan 2) Tanda-tanda/isyarat-isyarat penyeberangan 3. Ketentuan-ketentuan terhadap orang-orang yang mempergunakan kendaraan umum : a. Memberhentikan kendaraan umum b. Kewajiban-kewajiban selama berada dalam kendaraan umum 4. Ketentuan-ketentuan untuk pengemudi (khususnya kendaraan bermotor) : a. Kewajiban mempunyai SIM b. Kelengkapan kendaraan c. Kecepatan maksimum d. Cara-cara mengemudikan kendaraan dengan baik e. Pengetahuan tentang rambu-rambu lalu lintas f. Hal-hal yang harus dilakukan apabila terjadi kecelakaan.2 Dengan demikian jelaslah bahwa semua masyarakat pemakai jalan di Indonesia harus mengetahui dan mematuhi ketentuanketentuan umum tentang lalu lintas yang sering mereka gunakan dalam berlalu lintas di jalan sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan tersebut di atas.

Ibid., hal. 119-121.

Disamping untuk mengatur, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui : 1. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan; 2. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan 3. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 2.2.2 Penegak Hukum Ruang lingkup dari istilah "penegak hukum" adalah luas sekali, karena mencakup baik secara langsung maupun secara tidak langsung dibidang penegakan hukum. Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum, tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga "peace maintenance. Kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan 3 pemasyarakatan. Selanjutnya Soerjono Soekanto, menjelaskan bahwa : penegakan hukum (law enforcement) menghendaki empat syarat, yaitu : adanya aturan, adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu, adanya fasilitas untuk mendukung pelaksanaan
3

Soerjono Soekanto IV, Op.Cit., hal. 13.

peraturan itu, adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu.4 Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo bahwa : Pengamatan terhadap berlakunya hukum melibatkan berbagai unsur sebagai berikut : 1. Peraturan sendiri 2. Warga negara sebagai sasaran pengaturan 3. Aktivitas birokrasi pelaksana 4. Kerangka sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang ada turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang menjadi bagiannya.5 Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk

memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum) menjadi kenyataan.6 Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikanya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat

keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilalan pribadi. Sedangkan menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa :
4

Soerjono Soekanto V, Op.Cit., hal. 9. Satjipto Rahardjo, 1978, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo II, hal. 27.
6 5

Satjipto Rahardo, 1993, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis , Sinar Baru, Bandung, selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo III, hal. 15.

mengenai penegakan hukum dapat dijelaskan melalui politik hukum pidana (kebijakan hukum pidana) yang mana sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi kajahatan, mengejewantah dalam penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang rasional tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. 7 Tahap Formulasi adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislatif. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundangundangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undangundang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat juga disebut tahap kebijakan yudikatif.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1983, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 173.

Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat pelaksana dalam menjalankian tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undangan (legislatif) dan nilai-nilai keadilan serta daya guna. Polisi adalah hukum yang hidup. Melalui polisi janji-janji dan tujuan-tujuan hukum untuk mengamankan serta melindungi

masyarakat menjadi kenyataan. Perincian tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, misalnya, membuktikan hal tersebut, diantaranya yaitu : 1. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. 2. Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk memberi perlindungan dan pertolongan. 3. Memelihara keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam. 4. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat. 5. Mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-peraturan negara.8 Menurut Rahardjo yang dikutip oleh Soeroso mengungkapkan bahwa : dalam diri polisi, hukum langsung dihadapkan kepada rakyat yang diatur oleh hukum tersebut. Dalam kedudukan yang demikian itulah ia bisa menjadi hakim dan sebagainya. Pekerjaan polisi adalah melayani masyarakat tetapi dengan cara mendidiplinkan masyarakat.9
8

Satjipto Rahardjo I, Op.Cit., hal. 113


9

Pelayanan

kepada

masyarakat

di

bidang

lalu

lintas

dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktivitasnya. Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, Pengawalan dan Patroli, Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa lalu lintas, Registrasi dan identifikasi pengemudi/kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktivitasnya. Salah satu yang dilakukan yaitu dengan cara sosialisasi. Sosialisasi ini meliputi informasi tentang lalu lintas jalan, peraturan, dan kecelakaan. Hal-hal yang berkaitan dengan peranan polisi lalu lintas ini diungkapkan oleh Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa : Polisi lalu lintas berperan sebagai pencegah dan sebagai penindak dalam fungsinya. Disamping itu polisi lalu lintas, khususnya di bidang lalu lintas jalan raya, juga melakukan fungsi regeling (misalnya, pengaturan tentang kewajiban bagi kendaraan bermotor untuk melengkapinya dengan segitiga pengaman) dan fungsi bestuur khusunya dalam hal perijinan (misalnya, mengeluarkan Surat Ijin Mengemudi). Di samping itu, maka di dalam rangka membimbing
Satjipto Rahardjo dalam Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 314.

masyarakat, Polisi lalu lintas melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan pendidikan pengemudi kendaraan jenis IV 2. Ceramah-ceramah pada instansi-instansi pemerintah dan swasta 3. penerangan keliling 4. Penerbitan buku-buku lalu lintas 5. Perlombaan mengemudi bis umum (teladan) 6. Pemilihan tulisan terbaik dalam mass media 7. Mengadakan tour atau rally sepeda motor 8. Pekan Pendidikan Lalu lintas.10 Sebagaimana kita ketahui peranan polisi lalu lintas sangatlah penting karena merupakan sebuah lembaga formal, mempunyai misi untuk mensosialisasikan Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada para pengemudi angkutan kota agar mengetahui peraturan dan tata tertib berlalu lintas di jalan raya. Agar tercipta warga negara yang baik yang sadar dan patuh terhadap hukum yang berlaku. Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjelaskan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, Pengawalan dan Patroli, Pendidikan Masyarakat dan Rekayasa lalu lintas, Registrasi dan identifikasi pengemudi/kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang
10

Soerjono Soekanto III, Op.Cit., hal. 252.

lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dinyatakan bahwa : polri dalam hal penyelenggaraan lalu lintas, memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai suatu urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas. Selanjutnya Pasal 12 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tugas dan fungsi polisi lalu lintas tersebut meliputi 9 hal yakni : 1. Pengujian dan penerbitan sim kendaraan bermotor. 2. Pelaksanaan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. 3. Pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data lalu lintas dan angkutan jalan. 4. Pengelolaan pusat pengendalian sistem informasi dan komunikasi lalu lintas dan angkutan jalan. 5. Pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli lalu lintas. 6. Penegakan hukum meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan kecelakaan lalu lintas. 7. Pendidikan berlalu lintas. 8. Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas. 9. Pelaksanaan manajemen operasional lalu lintas. Tugas dan fungsi polri dalam bidang lalu lintas, berikut kewenangan-kewenangan yang melekat, berkorelasi erat dengan fungsi kepolisian lainnya baik menyangkut aspek penegakan hukum maupun pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat dan

pencegahan kejahatan secara terpadu. Sehingga polisi lalu lintas dapat menyelenggarakan penegakan dan kepastian hukum yang bercirikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat di bidang lalu lintas. Pada dasarnya program kegiatan Penegakan Hukum bukan berorientasi mencari kesalahan dari pengguna jalan tetapi lebih berorientasi pada perlindungan, pengayoman dan pelayanan pengguana jalan yang melanggar itu sendiri (Penindakan pelanggaran Helm, Sabuk pengaman dan kelengkapan kendaraan bermotor), Pengguna jalan lainnya (Penindakan pelanggaran SIM, Kecepatan, rambu, marka dan lainnya) serta kepentingan pengungkapan kasus pidana (Penindakan pelanggaran STNK, Nomor rangka, nomor mesin dan lainnya).11 Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan proses dan visualisasi perwujudan akuntabilitas Polri kepada publik sebagai upaya untuk mengimplementasikan Perpolisian Masyarakat dalam Fungsi lalu lintas dimana kegiatan-kegiatan tersebut haruslah ditumbuh

kembangkan dan dilaksanakan secara berkesinambungan dalam kebersamaan yang saling mendukung tanpa harus mencampuri fungsi, tugas, tanggung jawab dan kewenangan masing-masing instansi yang terkait didalamnya. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan wargawarga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa

kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of roles). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang

11

Farouk Muhammad, 1999, Praktik Penegak Hukum (Bidang Lalu Lintas), Balai Pustaka, Jakarta, hal. 33.

seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance). Pentingnya peranan penyuluhan hukum tersebut dalam meningkatkan kesadaran hukum bagi para pengendara sepeda motor sebagai bagian dari masyarakat ini didasarkan pada terdapatnya sikap/mental budaya masyarakat dalam hubungannya dengan masalah lalu lintas karena kurangnya penghayatan dan penataan terhadap undang-undang lalu lintas.

2.2.3 Sarana Prasarana Menurut Soerjono Soekanto, bahwa : Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.12 Jalan merupakan sarana yang sangat penting peranannya dalam memperlancar kegiatan transportasi. Panjang jalan di kota Denpasar pada tahun 2010 mencapai 648.492 Km yang terdiri dari jalan kota 555.076 Km, jalan Propinsi 42.840 Km, dan jalan Negara 50.576 Km. Panjang jalan pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 0.31% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.13

12

Soerjono Soekanto IV, Op.Cit., hal. 27.


13

BPS kota Denpasar, 2011, Denpasar Dalam Angka, BPS, Denpasar, hal. 299.

Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan bahwa : Prasarana lalu lintas dan angkutan jalan adalah ruang lalu lintas, terminal, dan perlengkapan jalan yang meliputi marka, rambu, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, serta fasilitas pendukung. Selanjutnya Pasal 25 angka 1 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa : Setiap jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa : a. Rambu lalu lintas; b. Marka jalan; c. Alat pemberi isyarat lalu lintas; d. Alat penerangan jalan; e. Alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; f. Alat pengawasan dan pengamanan jalan; g. Fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat; dan h. Fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan. Selanjutnya Pasal 45 ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan bahwa : Fasiltas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan meliputi : a. Trotoar b. Lajur sepeda c. Tempat penyeberangan pejalan kaki d. Halte, dan/atau e. Fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pemakai jalan, jalan wajib dilengkapi dengan : 1. Rambu-rambu

2. Marka jalan 3. Alat pemberi isyarat lalu lintas 4. Alat pengendali dan alat pengamanan pemakai jalan 5. Alat pengawasan dan pengamanan jalan 6. ada fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar jalan. 2.3 Kesadaran Hukum Masyarakat Manusia dalam kehidupannya dapat bertindak sesuai dengan normanorma yang berlaku di masyarakat ataupun sebaliknya. Jika manusia dapat bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, maka dikatakan memiliki kesadaran moral, yaitu adanya keinsyafan dalam diri manusia bahwa sebagai anggota masyarakat dapat melakukan kewajibannya. Menurut Von Magnis, bahwa kesadaran moral adalah kesadaran apa yang harus atau tidak boleh dilakukan, mengikat bathin seseorang, serta tidak peduli untung dan rugi.14 Kesadaran merupakan sikap/perilaku mengetahui atau mengerti dan taat pada aturan serta ketentuan perundang-undangan yang ada serta merupakan sikap/perilaku yang hidup dalam masyarakat. Maka sadar dan kesadaran artinya mengerti dan mengetahui sesuatu tidak hanya sekedar berdasar peraturan dan ketentuan, tetapi juga mengerti dan mengetahui atas

14

Franz Von Magnis, 1979, Etika Umum : Masalah-masalah Filsafat Moral, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal. 22.

dasar adat, kebiasaan, dan norma dalam masyarakat. Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran nilai ini diungkapkan oleh Flyn, mengatakan bahwa : Sadar akan nilai/value meliputi lima hal ialah kesadaran akan adanya sistem nilai, keinginan untuk memiliki atau mengakui sistem nilai tersebut, keharusan membina dan meningkatkan, dan terakhir sadar untuk mencobanya dan membakukannya sebagai sistem nilai baru yang baku.15 Untuk mencapai kelima sadar tersebut, maka diperlukan tahapan penghayatan terhadap nilai moral. Menurut Piaget, Tahap-tahap penghayatan tersebut antara lain : 1. Tahap akomodasi, dimana anak memiliki kesempatan untuk mempelajari dan mengintegrasikan nilai-moral. 2. Tahap asimilasi atau mengintegrasikan nilai tersebut dengan sistem nilai lain yang telah ada dalam dirinya. 3. Tahap equalibrasi atau membina keseimbangan atau membakukannya sebagai sistem nilai yang baru baku.16 Berdasarkan uraian tersebut bahwa proses penghayatan memiliki tingkatan tersendiri yang akan membawa pada tingkat kesadaran untuk bertindak, selanjutnya kesadaran memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat kesadaran seseorang. Tingkatan kesadaran tersebut menurut Bull antara lain : 1. Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya. Tentunya ini yang paling rendah dan sangat stabil. 2. Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti, ini pun kurang mantap sebab mudah berubah oleh keadaan dan situasi.

15

Flyn dalam Achmad Kosasih Djahiri, 1985, Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral VCT dan Game Terhadap VCT, IKIP, Bandung, hal. 23.
16

Piaget dalam Achmad Kosasih Djahiri, Ibid., hal. 24.

3. Kepatuhan atau kesadaran yang bersifat sosionomous, kesadaran yang berorientasi kepada kiprah umum atau karena khalayak ramai. 4. Kesadaran yang bersifat atonomous, kesadaran yang terbaik karena didasari oleh konsep atau kesadaran yang ada dalam diri seseorang.17 Jika dilihat dari keempat tingkatan kesadaran tersebut, kesadaran yang bersifat anomous adalah kesadaran yang paling rendah tingkatannya karena tidak jelas dasar dan alasan atau orientasinya. Sedangkan kesadaran yang bersifat atonomous adalah kesadaran yang paling diharapkan keberadaannya karena didasari oleh konsep atau kesadaran yang ada pada diri individu yaitu konsep pengetahuan dan pengalaman dalam proses kehidupannya. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesadaran merupakan suatu kesiapan diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, menganggapi hal tertentu dengan didasari atas pengertian, pemahaman, penghayatan dan pertimbangan-pertimbangan nalar dan moral dengan disertai kebebasan sehingga dapat mempertanggung jawabkannya secara sadar. Kesadaran seseorang dapat diperluas melalui proses belajar, kesadaran juga memiliki hubungan yang erat antara sikap dan perilaku seseorang, artinya kesadaran seseorang akan terlihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Bicara tentang kesadaran hukum pada hakekatnya adalah bicara tentang kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan. Manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dari dulu sampai sekarang, selalu
17

Bull dalam Achmad Kosasih Djahiri, Ibid., hal. 24.

mempunyai kepentingan. Kepentingan adalah

suatu

tuntutan yang

diharapkan untuk dipenuhi. Akan tetapi, kepentingan manusia itu selalu diancam atau diganggu oleh bahaya yang ada disekelilingnya. Oleh karena itu, manusia menginginkan adanya perlindungan kepentingan-

kepentingannya terhadap

ancaman-ancaman bahaya

sepanjang masa.

Perlindungan kepentingan terhadap bahaya-bahaya disekelilingnya itu terpenuhi dengan terciptanya antara lain kaedah (peraturan) hukum. Dengan terciptanya kaedah hukum itu manusia merasa lebih terlindungi terhadap ancaman bahaya di sekelilingnya. Jadi fungsi kaedah hukum itu adalah melindungi kepentingan manusia dan sesamanya (masyarakat). Manusia sadar dan yakin bahwa kaedah hukum itu untuk melindungi kepentingan manusia dan sesamanya terhadap ancaman bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu, setiap manusia mengharapkan agar hukum dilaksanakan dan dihayati oleh semua manusia agar kepentingannya dan kepentingan sekelilingnya. Dengan demikian, kesadaran hukum adalah kesadaran bahwa hukum itu melindungi kepentingan manusia dan sehingga harus dilaksanakan serta pelanggarnya akan terkena sanksi. Pada hakekatnya kesadaran hukum adalah kesadaran akan tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu. Kesadaran hukum adalah sumber segala hukum. Dengan perkataan lain bahwa kesadaran hukum itu ada pada setiap manusia, karena setiap manusia masyarakat terlindungi terhadap bahaya yang ada di

berkepentingan kalau hukum itu dilaksanakan, dan dihayati karena dengan demikian kepentingannya akan terlindungi. Lebih jelas Scholten menjelaskan tentang kesadaran hukum yaitu Kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu, apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mata kita membedakan antara hukum dengan tidak hukum, antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan.18 Berdasarkan pendapat tersebut, maka kesadaran hukum merupakan suatu kesadaran yang terdapat dalam diri manusia terhadap hukum yang ada, yaitu yang akan dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan dan ketidak patuhan terhadap hukum. Melalui proses kejiwaan manusia dapat membedakan perilaku mana yang harus dilakukan, yaitu yang sesuai dengan hukum dan mana yang tidak boleh dilakukan. Pendapat Scholten dipertegas oleh pendapat Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa :Kesadaran hukum sebenarnya merupakan

kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada dan tentang hukum yang diharapkan ada.19 Dengan demikian dapat kita sebut kesadaran hukum yang diharapkan disini adalah tentang nilai masyarakat yang menyangkut fungsi hukum dan bukan suatu penjelasan hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
18

Scholten dalam Sudikno Mertokusumo, 1984, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Liberty, Jakarta, hal. 2.
19

Soerjono Soekanto III, Op.Cit., hal. 152.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kesadaran itu merupakan suatu keyakinan atau kesadaran yang ada di dalam setiap diri seorang individu berupa nilai-nilai yang terintegrasi dalam dirinya terhadap hukum yang ada, yang kemudian diwujudkan melalui tindakan dalam bentuk kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum itu, yang berkaitan dengan tingkat kesadarannya. a. Indikator Kesadaran Hukum Setiap anggota masyarakat telah memiliki kesadaran hukum, yang menjadi masalah disini bahwa kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat tidak sama kadarnya karena dalam kesadaraan hukum itu mengandung nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan demikian maka kesadaran hukum seseorang itu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain mencakup sudut pengetahuan dan pengertiannya terhadap hukum, dari sudut sikapnya terhadap hukum, dan sudut sikapnya terhadap hukum. Menurut Soerjono Soekanto bahwa : untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolok ukur, yaitu : 1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) 2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance) 3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude) 4. Pola-pola perikelakuan hukum (legal behaviour).20 Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Tahap
20

Ibid., hal. 140.

pertama misalnya diartikan sebagai tahap yang paling rendah, dimana pengetahuan tentang hukum diartikan sebagai kesan di dalam pikiran seseorang mengenai hukum-hukum tertentu kemudian tahap yang lebih tinggi dari kesadaran hukum yaitu apabila seseorang telah memahami hukum, kemudian memiliki sikap hukum dan perilaku hukum karena pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena dari perilaku hukum dapat terlihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa apabila indicator dari kesadaran hukum terpenuhi, maka akan ditemukan tingkat kesadaran hukum yang cukup tinggi begitupun sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum setiap warga masyarakat akan mengakibatkan warga masyarakat mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Sebaliknya apabila kesadaran hukum sangat rendah, maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga tidak tinggi. Dengan demikian kesadaran hukum juga menyangkut masalah, apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak di dalam masyarakat. b. Kesadaran hukum dan Penegakan Hukum Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa kesadaran hukum adalah kesadaran akan tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu. Dengan perkataan lain kesadaran hukum itu ada pada setiap manusia, karena setiap manusia berkepentingan kalau hukum itu dilaksanakan dan dihayati. Hal tersebut berpengaruh terhadap

penegakan hukum karena penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas. Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik-buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.21 Dapatlah diperkirakan bahwa nilai-nilai dan sikap-sikap yang ada dalam masyarakat berpengaruh dalam penegakan hukum, karena pada pokoknya penegakan hukum itu merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dari perilaku yang tujuannya adalah untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. c. Kaitan Kesadaran Hukum dengan Kepatuhan Hukum Kesadaran seseorang tentang hukum berkaitan erat dengan kepatuhan hukum yang dikonkritkan dalam sikap dan tindakan atau perikelakuan manusia namun banyak indikator-indikator sosial lain yang mempengaruhinya. Demikian halnya di dalam sosiologi, kepatuhan terhadap kaidahkaidah hukum ini pada umumnya menjadi pusat perhatian terutama
21

Soerjono Soekanto V, Op.Cit., hal. 33.

mengenai basis-basis atau dasar-dasar kepatuhan seseorang yang dalam hal ini Bierstedt membaginya ke dalam empat dasar yaitu : 1. Indoctrination Sebab pertama manusia mematuhi kaidah-kaidah adalah karena ia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dengan unsur lain dari kebudayaan, maka kaidah-kaidah telah ada waktu seseorang dilahirkan dan semula manusia menerimanya secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk mengenal, mengetahui serta mematuhi kaidah-kaidah tersebut. 2. Habitati Oleh karena sejak kecil manusia mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan-kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah sejak kecil yang berlaku. Memang pada mulanya sukar sekali untuk mematuhi kaidah-kaidah tadi seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi apabila hal itu setiap hari dialami, lama kelamaan menjadi kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama. 3. Utility Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaedah hukum adalah karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. 4. Group Identification Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaidah, adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok.22 Apabila tingkatan kesadaran hukum dikaitkan dengan tingkat kesadaran seseorang, menurut pendapat Bull yang dikutip oleh Djahiri maka kesadaran hukum dapatlah dibagi dalam empat tingkatan di antaranya : 1. Kesadaran hukum bersifat heteronomous, yakni kesadaran terhadap hukum yang berlaku dengan dilandasi oleh alasan atau orientasi atau motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti.

22

Bierstedt dalam Soerjono Soekanto III, Op.Cit., hal. 225.

2.

Kesadaran hukum bersifat anomous, yakni kesadaran terhadap hukum yang berlaku dengan tidak dilandasi oleh alasan atau orientasi yang jelas, kesadaran hukum ini merupakan tingkat yang terendah. 3. Kesadaran hukum yang berlaku berlandaskan pada kiprah umum atau karena khalayak ramai. 4. Kesadaran hukum yang bersifat autonomous, yakni kesadaran hukum yang berlaku yang dilandasi oleh konsep atau kesadaran yang ada dalam diri seseorang.23 Tingkat dan tahap tersebut dipandang sebagai ukuran kualitatif, semakin tinggi kesadaran hukum seseorang semakin baik kesadaran dan kepatuhan hukumnya. d. Usaha-Usaha untuk Meningkatkan Kesadaran Hukum Kesadaran hukum masyarakat, dewasa ini masih rendah, hal ini dapat ditinjau dari pemahaman dan penataannya terhadap hukum. Sebagaimana yang dikemukakan Sanusi bahwa : Sebagai indikator tentang tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat itu dapat diperhatikan disatu pihak dari sudut ketaatannya pada peraturan hukum dan lain pihak dari sudut banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.24 Dengan demikian kesadaran hukum menyangkut masalah, apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak di dalam masyarakat mengenai efektifitas hukum atau berfungsi tidaknya hukum tergantung pada efektifitas menanamkan hukum tersebut seperti yang diungkapkan oleh Selo Soemarjan bahwa efektifitas hukum berkaitan dengan faktor-faktor sebagai berikut :

23

Bull dalam Achmad Kosasih Djahiri, Op.Cit., hal. 24. Achmad Sanusi, 1984, Masalah Kesadaran Hukum Dalam Masyarakat Indonesia Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, hal. 184.
24

a. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum. b. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum karena compliance, identification, internalization atau kepentingan-kepentingan mereka terjamin pemenuhannya. c. Jangka waktu penanaman hukum yaitu panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.25 Hal ini sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto bahwa : Masalah kesadaran hukum masyarakat sebenarnya menyangkut faktorfaktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya masih rendah daripada apabila mereka memahaminya dan seterusnya.26 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa rendahnya kesadaran hukum masyarakat karena tidak mengetahui, tidak memahami peraturan hukum yang berlaku. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi, komunikasi hukum sehingga menyebabkan pemahaman yang kurang merata terhadap hukum yang berlaku. Untuk mengantisipasi masalah ini perlu diadakan penerangan dan penyuluhan hukum karena masalah kesadaran hukum ini merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul dan mungkin juga tidak, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkannya. Kendatipun pada dasarnya manusia telah memiliki kesadaran hukum,

25

Selo Soemarjan, 1965, Perkembangan Politik Sebagai Penggerak Dinamika Pembangunan Ekonomi, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 26.
26

Soerjono Soekanto IV, Op.Cit., hal. 122.

akan tetapi peningkatan kesadaran hukum ini sangat perlu dilakukan karena kebanyakan masyarakat awam terhadap hukum positif. Dalam usaha-usaha menanamkan dan meningkatkan kesadaran hukum pada masyarakat dapat dilakukan dengan penerangan dan penyuluhan hukum, bimbingan, pendidikan dan bantuan hukum. Penerapan hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui adanya hukum-hukum tertentu, sedangkan penyuluhan hukum merupakan proses selanjutnya setelah proses penerangan hukum. Hal ini terkait dengan berbagai lembaga yang bertanggung jawab dalam mensosialisasikan berbagai peraturan atau undang-undang yang berlaku di masyarakat dengan memberikan pemahaman atau pengertian tentang pentingnya mempunyai kesadaran hukum untuk kemudian melaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, lembaga-lembaga tersebut baik bersifat formal maupun informal.

Anda mungkin juga menyukai