Anda di halaman 1dari 7

LEGENDA ASAL USUL DESA PECALUKAN

Desa Pecalukan terletak di Kecamatan Prigen di hunjuran lereng Gunung Welirang, hawanya yang sejuk, tanahnyapun subur walaupun daerah tertentu banyak terdapat batu gilang, padas ataupun pasir. Mata pencaharian masyarakat sangat variatif mulai petani, penambang belerang, pedagang, pegawai perusahaan maupun PNS.

Desa Pecalukan dikenal banyak orang karena masyarakatnya yang agamis, pada saat tertentu banyak para santri dari berbagai daerah dating ke Pecalukan mengadakan ritual keagamaan yang secara rutin dilaksanakan.

Setiap orang yang berkunjung ke sebuah daerah tertentu terbesit keinginan untuk mencari tahu mengapa daerah ini dinamakan desa Pecalukan. Tidak salah memang ternyata daerah ini menyimpan asal usul desa ini sangat menarik sebagai bagian dari kekayaan khasanah budaya bangsa.

Mengenai sala usul nama desa Pecalukan yang diceritakan salah seorang sesepuh desa yang akrab dipanggil Bapak H. Muhammad Yasin beliau bertutur sebagai berikut : Pada Jaman dahulu kala terbetik ceritera Raden Mas Ardiman putera dari Raden Mas Subronto dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengadakan perjalanan laut menyusuri pantai selatan pulau jawa menggunakan perahu, hal tersebut dilakukan Raden Mas Subronto karena merasa perlu memberikan pengalaman kepada putranya

yng saat itu menginjak dewasa. Disamping itu mereka meninggalkan Kerajaan Mataram karena pada saat itu Kerajaan Mataram mengalami penurunan karena diserang Kerajaan Demak pada saat pemerintahan Prabu Brawijaya ke V.

Dalam perjalanan tersebut beliau mendapat wangsit berupa petunjuk bahwa perahu mereka harus berhenti di lereng Gunung Penanggungan asetelah tiba di tempat tersebut mereka menambatkan perahu dan berjalan memasuki hutan kemudian menemukan sebuah gua disalah satu gunung kecil tepatnya disebelah utara gunung penanggungan yang saat ini gunung tersebut saat impian dinamakan masyarakat sekitar sebagai Gua Penanggungan.

Di dalam gua inilah Raden Mas Subronto bersemedi memohon petunjuk pada Yang Maha Kuasa dimanakah tempat yang cocok untuk puteranya bertempat tinggal memulai kehidupan yang baru.

Syahdan ditenagh khusuknya beliau bersemedi datanglah jin pengganggu berwujud putri yang menginginkan supaya dikawinkan dengan Raden Mas Ardiman dengan menghiba dan setengah memaksakan kehendaknya minta dikawinkan, tentu saja permintaan tersebut ditolak dengan halus oleh Raden Mas Subronto dengan mengatakan hal tersebut tidak mungkin terjadi karena kita berbeda, kami manusia berwujud kasar dan jin putrid berwujud halus ( gaib ). Merasa di tolak jin putri menjawab Baiklah kalau begitu, aku mengalah tetapi sebagai gantinya semua keturunan Raden

Mas Ardiman yang datang ke Gunung Penanggungan sampai dengan tujuh turunan menjadi bagianku.

Artinya semua keturunan Raden Mas Ardiman tidak boleh datang ke Gunung Penanggungan sampai turunan ke tujuh, apabila hal ini dilanggar maka tentu mendapat halangan dan tidak bisa kembali ke rumah.

Syarat itupun disetujui oleh Raden Mas Subronto dan meneruskan semedinya tanpa diganggu apapun sampai mendapat wangsit/ petunjuk dari Yang Maha Kuasa, bahwa puteranya RM Ardiman harus berjalan ke arah timur Gunung Penanggungan dan

dalam perjalanannya tersebut diharuskan menggali tanah seluas 1 m2 dan setelah digali maka tanah hasil galian harus dikembalikan lagi ke dalam lobang, apabila ternyata setelah dimasukkan tanahnya kurang maka teruslah berjalan lagi dan menggali kembali seperti semula sampai menemukan sebidang tanah yang digali dimana hasil galian yang dikembalikan ternyata lebih, maka disitulah tempat tinggal yang sesuai untuk Raden Mas Ardiman. Begitulah seterusnya merka berjalan ke arah timur dan terus menggali dan mengembalikan tanah berkali-kali tanpa berputus asa, akhirnya tibalah disebuah tempat yang hutannya begitu lebat sampai Canopy masing-masing pohon saling bersinggungan, pertanda tanahnya subur loh jinawi.benar saja setelah atanah digali dan dikembalikan lagi seperti yang mereka lakukan sebelumnya ternyata tanah tersisa lebih banyak. Maka Raden Mas Ardiman memutuskan ditemapat itulah mereka menetap dan dan menjalani hidup yang baru. Ketika mulai membabat alas Raden Mas Ardiman memohon petunjuk Yang Maha Kuasa dengan bersemedi di hutan

tersebut hingga terdengar wangsit atau petunjuk yang mengatakan bahwa jika membabat alas tersebut harus menggunakan alat yang bernama Caluk yaitu sejenis parang (lading dalam bahasa Jawa / tetapi ujungnya yang runcing agak melengkung ke dalam.

Demikianlah sesuai wangsit mereka membuat Caluk beramai-ramai yang ayang digunakan untuk membabat alas (hutan).

Dari nama alat tersebut, maka Raden Mas Ardiman memberi nama desa tempat mereka tinggal tersebut adalah Pecalukan. Untuk mengingat bshws mereka membabat alas pertama kali dengan menggunakan alat tersebut.

Begitulah dengan menggunakan alat yang bernama Caluk tersebut mereka membabat hutan, banyak sekali pohon-pohon ditebang dan dari kayu-kayunya mereka membangun rumah rumah untuk tempat tinggal. Semakin luas daerah yang terbuka ternyata di sana banyak terdapat batu yang besar-besar dengan bentuk yang beraneka macam antara satu dengan yang lain. Sepertu yang berada di sebelah timur ditemukan batu berbentuk tumpeng, maka diberi nama Watu Tumpeng yang sekarang digunakan warga untuk meletakkan tumpeng saat ada acara sedekah desa dilaksanakan setiap tahun.

Di sebelah barat terdapat jenis batu yang mudah hancur maka mereka menyebutnya Watu Gumyur di sebelah selatan terdapat jenis batu yang kalau dipukul mengeluarkan

bunyi mirip lonceng maka mereka menyebutnya Watu Ceneng , sebab jika dipukul mengelauarkan bunyi teng..teng.Masih di daerah bagian selatan juga terdapat jenis batu yang berbentuk seperti pantat manusia, maka mereka menyebutnya Watu Bokong. Sedangkan batu yang di drkat sumber air sehingga kalau duduk di atasnya dingun sekali mereka menyebutnya Watu adem. Sedangkan di sebelah utara terdapat jenis batu yang sangat baik bila digunakan untuk menagasah / mempertajam senjata mereka, oleh karenanya diberi nama Watu Ungkal.

Demikian sejak saat itu Raden Mas Ardiman menetap di desa Pecalukan sampai menikah dan mempunya keturunan 9 orang yang tersebar di berbagai daerah. Masyarakat sampai sekarang memanggil anak-anak RM Ardiman tersebut dg sebutan mbah yaitu 1. Mbah Badjuri 2. Mbah Kapinah 3. Mbah Marinten 4. Mbah Kidjan yang diberi julukan Anggres 5. Mbah Sagimah 6. Mbah Pondok (satu-satunay keturunan RM Ardiman yang tidak punya keturunan) 7. Mbah Sar 8. Mbah Mo Anak no 1 dan 2 tinggal di daerah Gempol sampai akhir hayat beliau, sedangkan anak no 3 sampai dengan 9 tetap di Pecalukan tersebar di beberapa dusun yang sampai sekarang pesarean beliau semua terawatt dengan baik.

Sepanjang hidupnya beliau menjadi sesepuh yang dihormati dan dibanggakan sampai akhir hayat beliau. Karena memang selama hidupnya bekiau membaktikan diri dengan segenap hati untuk membantu masyarakat desa Pecalikan baik dalam hal mengatasi permasalahan keamanan, perkawinan, sampai pada wabah penyakit yang saat itu dinamakan Bug Geblug dalam istilah Jawa. Khususnya untuk masalah yang satu ini masayakat berkumpul bersama-sama dengan membawa obor kemudian denagan dipimpin satu orang ketua, mereka berkeliling kampong sambil membaca Nadumud Burda dan jika sampai sampai di perempatan jalan desa, ketua kelompok akan berteriak dengan mengatakan Burda akemudian pengikut yang lain akan menjawab serentak dengan dengan menyebutkan kata Pring. Maksudnya agar setan-setan pembawa wabah penyakit pergi semua.

Sampai sekarang kebiasaan ini masih dipakai, khususnya pada saat salah satu warga mengadakan tasyakuran akan menempati rumah baru selalu dibacakan sholawat Nadumud Burda dengan maksud agar sebelum dihuni hal-kal yang tidak baik dalam rumah tersebut supaya hilang semua. Sehingga waktu menempati rumah tercipta ketentraman dan kedamaian bagi semua penghuni rumah.

Untuk menghormati sesepuh yang merupakan leluhur, desa Pecalukan setuap tahun senantiasa diadakan haul besar-besaran yang dinamakan Selamatan Desa dengan tujuan yang mulia yaitu memberi doa restu pada leluhur desa Pecalukan RM Ardiman atau mbah Ardiman. Juaga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa

atas berkah yang dilimpahkan kepada seluruh masayarakat desa Pecaluk selama ini, serta agar terhindar dari bencana, malapetaka, maupun hama penyakit.

Selamatan desa tersebut dilaksanakan secara gotong royong sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang penting bisa melaksanakan setiap tahun, biasanya setiap bulan besar (setelah Hari Raya Idul Adha), sebab masyarakat Pecalukan masih percaya apabila tidak diadakan acara selamatan desa atau bersih desa bisa diartikan kurangnya rasa mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa, serta ada sebagian masyarakat percaya bahwa Roh Leluhur mereka senantiasa datang berkeliling desa dalam wujud Macan Putih dan Serigala setiap malam tertentu.

Demikianlah sampai sekarang semua tradisi dan ritual budaya tetap dipertahankan dan dipelihara masyarakat sebagai bagian dari kearifan lokal daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai