Anda di halaman 1dari 2

Tujuh tahun lebih korban lumpur lapindo merasakan kehilangan semua harapan sejak desa tempat mereka tinggal

terendam lumpur yang sampai sekarang masih belum jelas apa yang menjadi penyebabnya. Berbagai penelitian dan investigasi sudah pernah dilakukan, baik dari dalam negeri maupun tim peneliti dari luar negeri telah mengadakan penelitian berskala kecil maupun berskala besar namun belum saja menemukan akar penyebabnya. Seminar terbesar pernah dilakukan secara khusus untuk membahas mengenai lumpur lapindo yang dihadiri ahli geo-sciences dari 11 negara. Terhitung sejak 26 Mei 2006 sejak pertama kali adanya semburan lumpur lapindo, sudah berbagai upaya dilakukan untuk menanggulanginya. Salah satu yang pernah dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan membangun tanggul. Namun jika musim hujan datang selalu jebol sehingga meluber ke jalan dan menggenangi rel kereta yang tentu saja bisa membahayakan perjalanan kereta. Di tengah carut marutnya pencarian menemukan penyebab serta solusi untuk menyelesaikan permasalahan lumpur lapindo, menyeruak satu masalah yaitu mengenai eksistensi desa-desa serta kelurahan yang terendam oleh genangan lumpur sehingga menjadi wilayah yang tak produktif lagi karena sudah ditinggal oleh penghuninya. Karena sudah tidak produktif lagi, perlu dicarikan solusi agar desa ini tidak lagi menjadi wilayah administratif yang terdaftar dan dihapuskan dari desa yang masih mendapat anggaran dari pemerintah. Desa sendiri adalah suatu wilayah yang istimewa jika ditilik dari sejarah perkembangan pemerintahan daerah dari zaman kolonial hingga sekarang, desa selalu memiliki hak istimewa dalam pengaturan. Desa yang pada zaman kolonial masih diberi otonomi desa berdasar pada Pasal 71 REGERINGS REGLEMENT (RR) yang dikeluarkan tahun 1854, kemudian pada jaman penjajahan Jepang desa kemudian mengalami otonomi yang dipersempit akibat kebutuhan Jepang pada saat itu yang masih melawan sekutu sehingga butuh menggerakkan penduduk desa untuk berbagai keperluan perang. Pada zaman orde baru kemudian muncul UU No. 5 tahun 1979 yang menyeragamkan desa dalam satuan standar yang diatur oleh pemerintah pusat secara penuh. Hal ini yang kemudian menyebabkan pengaturan desa di orde baru benar-benar memisahkan desa dari adat yang menaungi desa tersebut. Hal ini kemudian berubah dengan diundangkannya UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa kemudian mempunyai tempat yang diberi otonomi khusus sehingga bisa berkembang dengan kemampuan asli desa. Walau dianggap sudah merupakan pengaturan yang matang untuk saat ini, pengaturan dalam undang-undang ini dianggap masih mempunyai beberapa kelemahan sehingga desa perlu dibuat pengaturan baru yang diatur

dalam UU tersendiri. Hal ini kemudian diaminkan dengan RUU Desa yang sudah masuk ke dalam prolegnas tahun ini dan sementara digodok di DPR sana. Sekelumit tentang desa diatas menjadi dasar desa adalah daerah terkecil tumpuan pembangunan sebuah negara. Dari desa lah semua pengembangan infrastruktur maupun noinfrastruktur dimulai. Ketika desa tidak tertangani dengan baik, bisa dipastikan cita-cita pembangunan yang sudah diatur sedemikian rupa bisa menjadi tak berarti karena bagian terkecil dari pembangunan dibiarkan tumbuh tak terarah. Sejalan dengan rencana

penghapusan desa di daerah bencana lumpur Sidoarjo, dengan terendamnya desa mereka membuat segala sesuatu menjadi tidak jelas. Mulai dari masalah administrasi, kependudukan, pemerintahan desa sampai anggaran desa yang hingga kini tak jelas nasibnya karena desanya sudah tak berpenghuni akibat rendaman lumpur. Hal inilah yang perlu dicarikan solusinya dalam bentuk Peraturan daerah tentang penghapusan desa sehingga penduduk desa serta pejabat pemerintahan desa bisa jelas dalam pengaturan selanjutnya pasca bencana, apakah setelah dihapus digabung dengan desa lain atau malah dibuat desa baru di daerah yang tak terkena bencana.

Anda mungkin juga menyukai