Anda di halaman 1dari 5

IKAN NILA Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri, ikan

tersebut berasal dari Afrika bagian timur di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya, lalu dibawa oleh orang ke Eropa, Amerika, negara-negara Timur Tengah dan Asia. Di Indonesia benih ikan nila secara resmi didatangkan dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar tahun 1969 (Suyanto 1998). Bagi petani ikan di Indonesia, produksi ikan nila saat ini selain untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri, ikan tersebut juga dipasarkan ke luar negeri, khususnya Singapura dan Jepang (Rochdianto 1993 dalam Ahmad 1995).Pada pemeliharaan yang dilakukan secara campuran (jantan dan betina), dan kelamin tunggal (monoseks), ternyata ikan nila jantan dapat tumbuh lebih cepat 1,53 2,69 gram per hari untuk mencapai ukuran konsumsi dibanding dengan ikan nila betina yang pertumbuhannya hanya 0,83 1,05 gram per hari (Jangkaru 1988). Selain pertumbuhannya yang cepat, ikan tersebut memiliki sifat-sifat unggul yang lain, yaitu tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora, mampu mencerna makanan secara efisien dan tahan terhadap serangan penyakit (Suyanto 1998). Keistimewaan ini setidaknya dapat dimanfaatkan bagi suatu usaha budidaya kelamin tunggal (monoseks jantan) yang lebih produktif (Anonimous 1991). Hal tersebut didukung oleh suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuo dalam Sugiarto (1988) bahwa produksi ikan nila semakin meningkat setelah diterapkan sistem budidaya tunggal kelamin (monoseks). Ada beberaa tahapan yang harus ditempuh dalam membudidayakan ikan nila. 1. Seleksi Dalam metode seleksi individu, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah: a. Persiapan indukan ikan nila dari strain Nila Hitam G3, Nila Hitam G6, Nila Hitam Punten, Nila Merah Citralada, Nila Merah Kedung Ombo, dan Nila Putih Sleman. b. Pemijahan silang. Dari 6 strain ikan nila tersebut dipijahkan silang sebanyak 5 kali ulangan dan menghasilkan 180 pasang. Dari setiap pasangnya,

diperoleh 250 benih anakan. Sehingga diperoleh benih sebanyak 45.000 dari 180 persilangan tersebut. c. Penebaran. Kemudian 45.000 benih ikan tersebut ditebar pada kolam yang sama dan dipelihara hingga ukuran ikan mencapai 30-50 gram/ekor d. Grading. Grading dimaksudkan untuk memisahkan ikan jantan dan ikan betina. Grading dilakukan dengan mengambil sampel ikan sebanyak 5-10% ikan jantan dan ikan betina dari jumlah total ikan yang ditebar sebagai target F1. Kemudian diambil 5-10% ikan jantan dan ikan betina dari jumlah total ikan yang ditebar sebagai ikan kontrol e. Pembesaran. Setelah dilakukan grading ikan jantan-betina dan ikan target F1kontrol dibesarkan hingga mencapai ukuran kira-kira 300 gram untuk ikan jantan dan 250 gram untuk ikan betina f. Pengambilan sampel untuk uji performa. Kemudian diambil sampel ikan jantan dan betina untuk target F1 masing-masing sebanyak 250 ekor. Begitu pula pada ikan kontrol diambil ikan jantan dan betina masing-masing sebanyak 250 ekor. Setelah itu benih ikan diuji performa meliputi uji pertumbuhan, uji multi lokasi, uji toleransi salinitas, uji performa, uji genetika/ genetic gain g. Dibandingkan melalui genetic gain dan dilakukan perbanyakan induk Pada proses perbanyakan induk, digunakan induk ikan target F1 hasil dari seleksi individu. Setelah diperoleh induk ikan jantan dan induk ikan betina matang gonad dilakukan proses perbanyakn induk yang meliputi:

Pemijahan masal. Pada proses pemijahan massal, disiapkan kolam berisi

indukan ikan dengan perbandingan populasi jumlah indukan jantan dan betina minimum adalah 1:3

Pemanenan larva. Pada hari ke-12 hingga 14 akan muncul larva-larva hasil

dari pemijahan yang siap untuk dipanen dan dipindahkan ke kolam pendederan

Pembesaran I. Populasi larva-larva tersebut dibesarkan hingga ukuran 100-

150 gram/ekor. Selanjutnya dilakukan grading untuk memisahkan antara ikan jantan dan ikan betina. Pada tahap ini jumlah ikan yang masih hidup tidak melebihi 50%

dari jumlah larva yang ditebar di kolam. Hal ini terjadi karena setiap organisme memiliki bentuk adaptasinya masing-masing terhadap lingkungannya. Jadi setiap oganisme yang tidak dapat beradaptasi dengan baik akan afkir. Dari 50% itulah nantinya akan terbentuk calon indukan jantan dan betina yang unggul

Pembesaran II. Calon indukan jantan dan betina yang unggul itu dibesarkan

sampai mencapai ukuran 250 gram/ekornya. Dari proses pembesaran II inilah sudah terbentuk indukan-indukan baik jantan maupun betina yang memiliki kualitas unggul

2.

Hibridisasi Hibridisasi merupakan pembastaran ikan-ikan yang berlainan jenis atau

varietas. Ikan bastaran (hasil perkawinan silang) yang bersifat unggul merupakan hasil perkawinan langsung induk-induknya (F1). F1 hibrid hanya ditujukan untuk memproduksi benih ikan bagi keperluan konsumsi, bukan untuk induk (Sugiarto 1988). Hibridisasi dengan mudah dapat dilakukan di beberapa lahan budidaya. Metode ini yaitu untuk mencari F1 hibrid yang dihasilkan dengan penyilangan betina Oreochromis niloticus dan jantan Oreochromis aureus. Telah diketahui bahwa kebanyakan F1 ini adalah jantan (Shkita,dkk 1991). Selanjutnya hibridisasi juga dapat dilakukan dengan cara mengawinkan induk lini murni antara Oreochromis mossambicus dengan Oreochromis honorum, Oreochromis nigradengan Oreochromis honorum (Landau 1992). Menurut (Suyanto 1998). a. Merangsang Perubahan Seks Dengan Hormon Perubahan seks dengan hormon telah dipraktekkan dengan metode perlakuan dengan hormon yaitu memperlakukan larva dengan hormon steroid jantan seperti metil testosteron dalam upaya untuk merubah jenis kelamin. Menurut Purdom (1984), ada tiga cara atau metode dasar dalam pemberian hormon steroid untuk kepentingan pergantian jenis kelamin : 1. Melalui injeksi 2. Immersi (Perendaman dalam hormon) hasil penelitian, hibridisasi antar spesies dalam genus Oreochromis dapat menghasilkan keturunan F1 yang hampir 100% jantan

3. Melalui pemberian makanan Dari ketiga cara tersebut, cara yang terakhir (melalui pemberian makanan) adalah cara yang terbaik, terutama apabila menggunakan hormon etiltestosteron dan metiltestosteron, hormon tersebut dimaksudkan untuk merangsang pergantian jenis kelamin (Helpher dan Pruginin dalam Budisetijono, 1989). Djarijah (1994) meneliti bahwa teknik alih kelamin ini hanya akan efektif apabila pemijahannya dilakukan dengan teknik pemijahan buatan. Hal tersebut dimaksudkan agar kontinuitas penyediaan benih lebih terjamin dalam jumlah yang banyak. Suyanto (1998) menegaskan agar ekonomis dalam pemberian hormon, jumlah larva dalam satu kali perlakuan minimum 50.000 ekor dengan kepadatan 750-1000 ekor/m3. Yamazaki (1983) menyatakan bahwa periode yang baik untuk diberi perlakuan (pemberian hormon metil testosteron) adalah pada sradia larva atau pada saat ikan mulai makan. Selanjutnya dijelaskan bahwa periode tersebut adalah umur benih ikan antara 7-10 hari setelah menetas. Namun demikian keberhasilan perubahan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti macam dan dosis hormon yang digunakan, metode pemberian hormon, lama perlakuan dan jenis ikan serta suhu air selama perlakuan (Yamamoto dalam Nuraini 1990). Dosis hormon yang diberikan dalam makanan antara 5 1000 mg/kg pakan tergantung species ikan itu sendiri (Suyanto 1998). Selanjutnya dosis yang diberikan harus dapat menimbulkan pergantian jenis kelamin sebanyak 50%. Sedangkan untuk breeding yang praktis, pada dosis yang rendah sudah dapat menghasilkan pergantian jenis kelamin secara menyeluruh b. Manipulasi Kromosom Menurut ilmu genetika, gen yang membawa sifat kelamin jantan ialah gen XY, sedangkan yang membawa gen betina adalah XX. Didalam sel telur terdapat gen yang hanya membawa setengah dari sifat itu yaitu X, sedangkan didalam sperma terkandung pecahan dari XY sehingga ada sperma yang membawa kromosom X dan ada yang membawa kromosom Y. jika terjadi

pembuahan sel telur oleh sperma maka akan terbentuk gen rangkap (lengkap), yaitu XX dan XY (Suyanto 1998). Sedangkan jantan biasa hanya mempunyai sebuah Y yang berpasangan dengan X sehingga menjadi XY. Jika jantan super dikawinkan dengan betina XX akan diperoleh ikan monoseks jantan 100% (Mair dkk. 1998). Selanjutnya menurut Rustidja (1999), salah satu cara untuk menghasilkan ikan jantan homozigot YY yaitu dengan teknik androgenesis. androgenesis adalah proses terbentuknya embrio dari gamet jantan tanpa kontribusi genetis dari gamet betina. Proses reproduksi ini tidak umum terjadi, sehingga pada androgenesis dilakukan proses buatan yaitu menonaktifkan bahan-bahan genetik yang terdapat pada telur dengan cara meradiasi telur tersebut (Thogaard, dkk 1990).Akibat perlakuan tersebut, maka semua embrio keturunan androgenesis berkembang tanpa peranan gamet betina dan bersifat haploid. Individu haploid memiliki ciri-ciri yang abnormal misalnya bentuk punggung dan ekor yang bengkok, mata atau mulut yang tidak sempurna, ukuran tubuh yang kecil, sistem peredaran darah yang tidak normal dan ketidakmampuan melakukan aktivitas renang dan makan (Cherfas 1981). Menurut Rustidja (1999), berdasarkan proses diatas maka androgenesis akan menghasilkan ikan jantan homozigot XX atau YY, sehingga kalau ikan androgenetik ini dikawinkan dengan ikan betina akan terjadi beberapa kemungkinan, yaitu : Apabila betina (XX) dikawinkan dengan jantan (XX) maka akan terjadi ikan monoseks betina (100%). Apabila betina (XX) dikawinkan dengan jantan (YY) maka akan diperoleh ikan monoseks jantan (100%)

Anda mungkin juga menyukai