Anda di halaman 1dari 54

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa karena dengan rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial ketiga sebagai suatu laporan atas hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok 13 semester 5 ini. Pada tutorial ini kami membahas masalah yang berkaitan dengan gagal ginjal, baik yang akut maupun yang kronis. Hal-hal yang kami bahas mencakup epidemiologi, etiologi, patofisiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, cara mendiagnosa, terapi, komplikasi, dan prognosis dari penyakit yang bersangkutan. Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang b erhubungan dengan scenario ketiga serta Learning Objective yang kami cari, karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para pembaca.

Mataram,

September 2009

Kelompok 4

Daftar Isi
Kata Pengantar 1 Daftar Isi Skenario Learning Objective 5 Concept Map Pendekatan diagnosa 7 Gagal ginjal akut Etiologi Klasifikasi Patofisiologi 15 Diagnosa Anamnesis 20 Pemeriksaan Fisik 21 Pemeriksaan Penunjang 22 Manifestasi Klinis 24 13 13 6 2 4

Tatalaksana 25 Prognosis Komplikasi 30 Gagal Ginjal Kronik Etiologi Klasifikasi Patofisiologi 34 Diagnosa Anamnesis & Pemeriksaan Fisik 36 Pemeriksaan Penunjang 36 Manifestasi Klinis 38 Tatalaksana 40 Komplikasi 45 Daftar Pustaka 47 31 32 30

Scenario 3

Nenek Ijah, 65 tahun datang diantar keluarganya ke ruang emergency RSU Mataram dengan keluhan kesadaran yang semakin menurun sejak 4 hari yang lalu. Riwayat sebelumnya pasien sering mengeluh mual dan badan terasa lemah, nafsu makan pasien jauh berkurang, selain itu pasien juga mengeluh jarang BAB dan BAK. Riwayat medis sebelumnya tidak diketahui dan pasien belum mendapat terapi apapun. Dari pemeriksaan fisik diperoleh kesadaran somnolen, tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 90x/menit dan RR 24x/menit cepat dan dalam. Konjungtiva anemis (+/ +), Mukosa bibir tampak kering dan hasil pemeriksaan neurologis tidak didapatkan lateralisasi. kedua kaki tampak membengkak, pitting edema (+). Hasil laboratorium menunjukkan BUN 140 mg/dL, kreatinin 4 mg/dL, serum potassium 7,2mmol/L. Hasil dipstick urine menunjukkan mikroalbuminuria.

Learning Objective
1. Patofisiologi gejala-gejala di scenario 2. Diagnosa Banding : ARF dan CRF etiologi patofisiologi gejala klinis diagnosa : pemeriksaan fisik dan penunjang tatalaksana komplikasi prognosis

Concept Map
Retensi Cairan
peningkatan TD pitting edema

lab check :

penurunan fungsi glomerulus

AR F CR F penurunan sekresi eritropoietin

- peningkatan BUN & kreatinin mikroalbumin uria

Asidos is

anemia

peningkatan RR

Pendekatan Diagnosa Skenario 3


Konjungtiva anemis Konjungtiva anemis dapat merupakan tanda adanya kemungkinan anemia pada pasien. Untuk membuktikan apakah pasien anemia atau tidak perlu dilakukan hitung Hb dan eritrosit. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan menurunnya kadar Hb seseorang, adapun penyebab anemia dapat diklasifikasikan menjadi: Anemia akibat kehilangan darah akut sehingga tidak dapat

dikompensasi oleh mekanisme pembentukan eritrosit normal, misalnya pada pasien perdarahan Anemia hemolitik dimana terjadi destruksi eritrosit berlebihan/lebih dari normal sehingga melampaui kecepatan sintesis eritrosit baru, misalnya pada penurunan usia sel eritrosit (sel sabit, thalasemia dll) atau akibat infeksi (malaria) Anemia akibat gangguan pada sintesis Hb dan eritrosit, gangguan dapat berupa penurunan produksi atau produksi eritrosit ebnormal; penurunan produksi terjadi pada keadaan defisiensi bahan untuk sintesis (defisiensi besi, asam folat dan vit. B12, atau penurunan produksi eritropietin pada gagal ginjal), keganasan sumsum tulang, kondisi hiper- atau hipo-tiroid, penyakit hepar; terganggunya sintesis sehingga menghasilkan eritrosit abnormal (kelainan eritrosit) dapat ditemukan pada talasemia, penyakit hati, anemia megalobalstik dll. Untuk mengetahui mekanisme mana yang menyebabkan anemia pada

pasien perlu diperhatikan gejala penyerta/lain selain anemia, riwayat


8

penyakit pada pasien dan juga hasil labolatorium (darah lengkap) dan morfologi eritrosit Hasil Pemeriksaan labolatorium (BUN 140mg/dl; kreatinin mg/dl; serum potassium 7,2 mmol/L) BUN (Blood Urea Nitrogen) adalah nilai yang menunjukan 4

kandungan nitrogen molekul yang merupakan hasil kalibrasi yang dapat menggambarkan kadar urea dalam darah (nilai normal BUN 5-20mg/dl). Urea merupakan molekul kecil yang digunakan untuk membantu sekresi sisa metabolisme protein tubuh. Keadaan uremia (urea dalam darah tinggi, BUN>20mg/dl) seperti pada kasus (BUN 140mg/dl) umunya menggambarkan kegagalan fungsi ginjal untuk mensekresikan urea. Kegagalan fungsi ginjal ini dapat disebabkan gangguan pre-renal, renal atau pasca-renal. Adapun kelainan-kelainan yang menyebabkan uremia antara lain: Kelainan prerenal: penurunan aliran darah keginjal (syok, dehidrasi, kehilangan darah); peningkatan katabolisme protein (cedera fisik berat, luka bakar, demam, hemolisis, perdarahan ke dalam jaringan lunak dan rongga tubuh) Gangguan dll) Gangguan postrenal: obstruksi saluran kemih (obstruksi pada uretra, leher VU atau uretra akibat batu, tumor, striktur dll) Kreatinin serum menggambarkan kadar kreatinin dalam darah renal: gagal ginjal akut; penyakit ginjal kronis

(glomerulonefritis, pielonefritis DM, amiloidosis, penyakit tubulus ginjal

seseorang. Kreatinin adalah hasil akhir metabolisme kreatin. Kreatin adalah salah satu zat yang berperan dalam penyimpanan energy sebagai kreatini fosfat (CP) pada otot rangka. Saat sintesisi ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin, reaksi ini akan berlanjut
9

kembali hingga kreatin diubah lagi menjadi CP. Tapi dalam prosesnya, sebagian kreatin diubah secara irreversible menjadi kreatinin yang nantinya akan dieksresikan lewat ginjal. Nilai kreatinin serum setara dengan massa otot seseorang, adapun nilai untuk laki-laki 0,6-1,3mg/dl dan untuk anak perempuan 0,5-1 mg/dl. Pada kasus, nilai kreatinin serum 4 mg/dl menunjukan peningkatan cukup tinggi yang menunjukan adanya gangguan pada eksresi kreatinin oleh ginjal yang dapat terjadi pada gagal fungsi ginjal. Peningkatan kadar kreatinin sangat baik untuk menggambarkan fungsi ginjal, karena zat ini dieksresikan lewat ginjal hampir selalu dalam kadar yang konstan setiap hari. Untuk mendeteksi adanya gagal ginjal dapat dilakukan pemeriksaan bersihan kreatini, yaitu dengan membandingkan kadar kreatinin serum dengan kreatinin urine. Uremia yang disertai dengan kadar kreatinin serum normal dapat menunjukkan gangguan non-renal sebagai penyebab uremia. Tapi, pada kasus karena uremia disertai peningkatan kadar kreatinin serum, kemungkinan besar penyebab uremia adalah gangguan renal. Potassium serum (K+) adalah elektrolit yang penting dalam tubuh. Elektrolit ini terutama lebih banyak terdapat intraselular. Dalam plasma, kadar kalium/potassium yang dapat ditolerir bagi kehidupan adalah dalam rentang 3,5-5,5 mEq/L, kadar dibawah dan diatas nilai ini sangat mengganggu proses kehidupan. Ada beberapa hal yang kemungkinan dapat menyebabkan peningkatan kalium pada scenario (7,2 mmol/L), yang pertama adalah ketidak seimbangan antara asupan kalium dan pengeluarannya lewat ginjal. Sekitar 90% asupan normal kalium akan sieksresikan lewat ginjal, yaitu sebesar 50-150 mEq/L. menurunnya fungsi ginjal dapat menyebabkan gangguan eksresi kalium yang nantinya akan menyebabkan hiperkalemia. Selain itu, kondisi asidosis metabolic juga dapat memicu hiperkalemia dengan jalan pergeseran kalium intrasel kedalam cairan ekstrasel. Pada kasus, karena belum ada bukti yang menunjukan adanya asidosis, kemungkinan penyebab adalah
10

gangguan gunjal (tapi, gangguan ginjal juga dapat menyebabkan asidosis sistemik akibat kegagalan sekresi H+, hal ini dapat memperparah hiperkalemia) Uji dipstick urine mikroalbuminuria Uji dipstick (strip reagen) urine merupakan prosedur standart urinalisa yang dilakukan di labolatorium. Pemeriksaan ini meliputi sepuluh item yang diukur dengan melihat perubahan warna reagen. Salah satu pemeriksaan adalah uji protein, yang pada kasus menunjukan hasil adanya kelainan. Untuk memastikan adanya proteimuria atau tidak, perlu dilakukan uji kuantitatif komfirmatorik. Adapun makna protein (terutama albumin) dalam urine dapat dijabarkan sbb: Proteinuria minimal (protein <0,5 g/24jam): dapat ditemukan pada keadaan setelah olehraga, pada urine yang sangat pekat, atau stress termal atau emosional yang berat (pada orang sehat); polikistik; ISK bagian bawah; hemoglobinuria. Proteinuria sedang (protein 0,5-3 g/24jam): pada glomerulonefritis kronis, sedang; GGK; nefropati diabetikum, ringan; pielonefritis; myeloma multiple; pre-eklamsia. Proteinuria berat (protein >3g/24jam): pada glomerulonefritis akut; glomerulonefritis kronis, berat; nefrosis lipoid; nefropati diabetikum, berat; penyakit amiloid; nefropati lupus. Pitting Edema di ekstremitas inferior Edema adalah suatu keadaan klinis dimana ruang intertisial dipenuhi cairan yang lebih besar daripada kapasitas normalnya yang dapat dipicu banyak hal. Adapun edema berdasarkan mekanisme penyebabnya dapat dibagi atas:
11

hipertensi;

disfungsi tubulus ginjal (termasuk akibat obat atau genetic); ginjal

Peningkatan

tekanan

Hidrostatik

kapiler :

adapun

beberapa

gangguan yang dapat menyebabkan kondisi ini seperti gangguan aliran balik vena pada gagal jantung kongestif, perikarditis konstriktif, sirosis hati (menyebabkan asites), obatruksi vena (thrombosis, imobilisasi ekstremitas inferior, tekanan eksterna karena massa); dilatasi arteriol pada kondisi panas, disregulasi neurohormonal. Retensi natrium: terjadi pada keadaan asupan garam berlebihan dengan insufisiensi renal; peningkatan reabsorbsi natrium di tubulus (hipoperfusi ginjal, peningkatan sekresi rennin-angiotensin-aldosteron). Retensi Na primer atau bersamaan dengan retensi air dapat menyebabkan edema dengan mekanisme peningkatan tekanan

hidrostatik dan/atau menurunkan tekanan onkotik plasma. Hipoproteinuria: dapat ditemukan pada kondisi menurunnya

produksi (sirosis hepar, malnutrisi dll) atau pada kehilangan berlebih (glomerulopati yang kehilangan protein seperti pada sindroma nefrotik, gastroenteropati yang kehilangan protein) Peningkatan permeabilitas kapiler: terjadi pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis. Obstruksi limfatik: dapat ditemukan pada inflamasi limfatik,

neoplastik, pasca pembedahan atau pasca operasi. Sulit membedakan mekanisme mana yang menyebabkan edema. Karena morfologi edema tidak berbeda meskipun mekanisme penyebab berbeda. Bahkan, edema dapat disebabkan beberapa mekanisme secara bersamaan. Edema akibat meningkatnya permeabilitas kapiler akibat inflamasi umumnya bersifat terlokalisasi dan jarang berpindah tempat seperti yang dapat terjadi pada edema dengan mekanisme lain. Perpindahan lokasi edema ini dimungkinkan karena pengaruh gravitasi, karena cairan cenderung berkumpul pada lokasi yang paling bawah. Pada
12

obastruksi limfatik, edema dapat hanya pada satu sisi/lokasi tergangtung letak obstruksi. Jadi pada pasien, dimana edema bersifat diawali pada daerah preorbita, edema berpindah-pindah seduai aktifitas dan semakin meluas beberapa hari terakhir. Dari sini, kemungkinan penyebab adalah peningkatan tekanan kapiler, hipoproteinemia dan/atau retensi natrium. Kesadaran menurun: somnolen, riwayat mual muntah, badan lemah, nafsu makan menurun dan jarang BAB dan BAK Gejala-gejala diatas dapat merupakan manifestasi dari penyakit yang dialami pasien. Adapun bagaimana gejala ini dapat muncul pada pasien, akan dijabarkan dibawah.

Dari assessment beberapa gejala pada scenario, kami dapat menyimpulkan bahwa kemungkinan pasien ini mengalami gangguan pada fungsi ginjal. Gagal Ginjal Adapun diagnosis kerja kami adalah Gagal Ginjal Kronis. Hal ini didasarkan Kronis bahwa sudah adanya bukti keadaan sindrom uremia (peningkatan kadar BUN, kreatinin, dan kalium; gejala anemia yang disebabkan penurunan filtrasi manifestasi dari penyakit Ganguan eritropoietin dll) Gangguan yang merupakan ginjal tahap glomerulus pebentukan akhir. Adapun DD yang sesuai dengan kasus pada scenario antara lain gagal eritropoietin ginjal akut, perdarahan kedalam jaringan lunak atau rongga tubuh, dan eksresi zat sintesis obstruksi saluran kemih. pembentukan sisa eritrosit urine Patofisiologi gejala pada scenario berdasarkan diagnosis kerja kami akan Jarang Anemia dijabarkan pada bagan dibawah ini: uremia BAK normositik normokromik Retensi air dan Na+ Mudah BUN, lelah kreatinin dan + plasma K+ Pengenceran Pe- volume darah Gangguan Neuromuskular: 13 kesadaran menurun, mudah lelah. Gangguan GI: mual dan Pe- tekanan onkotik plasma Pe- tekanan hidrostatik Edema

menurun, jarang BAB

14

Gagal Ginjal Akut


Etiologi dan Klasifikasi Gagal Ginjal Akut
Azotemia Prarenal (Penurunan Perfusi Ginjal) 1. Deplesi volume cairan ekstrasel (ECF) absolut a. Perdarahan: operasi besar; trauma; pascapartum b. Diuresis berlebihan c. Kehilangan cairan dari gastrointestinalyang berat: muntah, diare d. Kehinlangan cairan dari ruang ketiga : luka bakar; peritonitis; pankreatitis 2. Penurunan volume sirkulasi arteri yang terkait a. Penurunan curah jantung: infark miokardium; disritmia; gagal jantung kongestif; tamponade jantung; emboli paru b. Vasodilatasi perifer: sepsis; anafilaksis; obat anestesi, antihipertensi, nitrat c. Hipoalbuminemia: sindrom nefrotik, gagal hati (sirosis) 3. Perubahan hemodinamik ginjal primer a. Penghambat sintesis prostaglandin: aspirin dan obat NSAID lain b. Vasodilatasi arteriol aferen: penghambat enzim pengonversi angiotensin, misalnya kaptopril c. Obat vasokonstriktor: obat alfa-adrenergik (missal, norepinefrin); angiotensin II d. Sindrom hepatorenal 4. Obstruksi vaskular ginjal bilateral a. Stenosis arteri ginjal, emboli, trombosis b. Trombosis vena renalis bilateral Azotemia Pascarenal (Obstruksi Saluran Kemih)

15

1. obstruksi uretra: katup uretra, striktur uretra 2. obstruksi aliran keluar kandung kemih: hipertrofi prostat, karsinoma 3. obstruksi ureter bilateral (unilateral jika satu ginjal berfungsi) a. intraureter : batu, bekuan darah b. ekstraureter (kompresi): fibrosis retroperitoneal; neoplasma kandung kemih, prostat, atau serviks, ligasi bedah yang tidka disengaja atau cedera 4. kandung kemih neurogenik Gagal Ginjal Akut Intrinsik 1. Nekrosis Tubular Akut (paling sering) a. Paskaiskemik. Syok, sepsis, bedah jantung terbuka, bedah aorta (semua penyebab azotemia prerenal berat) b. Nefrotoksik i. Nefrotoksik eksogen 1. antibiotik:L aminoglikosida, amfoterisin B 2. media kontras teriodonasi (terutama pada penderita diabetes) 3. logam berat: sisplatin, biklorida merkuri, arsen 4. siklosporin; takrolimus 5. pelarut: karbon tetraklorida, etilene glikol, metanol ii. Nefrotoksik endogen 1. pigmen intratubular: hemoglobin; mioglobin 2. protein intratubular: mieloma multiple 3. kristal intratubular: asam urat 2. Penyakit Vaskular atau glomerulus ginjal primer a. Glomerulonefritis progresif cepat atau pasca streptococcus akut b. Hipertensi maligna c. Serangan akut pada gagal ginjal kronis yang terkait pembatasan garam atau air 3. Nefritis tubulointerstisial akut
16

a. Alergi: beta-laktam (penisilin, sefalosporin), sulfonamid b. Infeksi (misal, pielonefritis akut)

Patofisiologi
Prerenal ARF Hypovolemia atau penurunan volume darah yang terjadi secara cepat akan menurunkan Mean arterial pressure (MAP) pada arteri sistemik, hal ini akan didteksi oleh baroreceptor sebagai penurunan regangan arteri, reseptor ini terletak pada sinus caroticus dan jantung. Sebagai responnya, terjadi reaksi neurohormonal untuk menormalkan tekanan darah. Hal ini mengaktifkan sisitem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron, untuk pada organ vital seperti jantung dan otak sementara mencukupi darah

organ lain seperti sistem musculoskletal dan ginjal akan dikorbankan. Di ginjal sendiri terjadi retensi Na dan air untuk mengembalikan volume darah. Pada tahap hypoperfusion ringan, perfusi glomerular dan fraksi filtrasi dapat dijaga melalui mekanisme kompensasi. Untuk merespon kurangnya perfusi, reseptor regangan akan menstimulasi vasodilatasi arteri aferen melalui reflex myogenic untuk meningkatkan darah yang masuk (autoregulasi). Angiotensin II meningkatkan biosintesis vasodilator prostaglandin (e.g., prostaglandin E2 and prostacyclin), yang juga akan menyebabkan arteri aferen berdilatasi, selain itu angiotensin II juga menyebabkan arteri eferen berkontraksi. Hal tersebut menyebabkan penigkatan fraksi filtrasi, menjaga menjaga tekanan intraglomelural, dan GFR tetap. Jika hypoperfusi tersebut menjadi lebih parah makan akan mengarah pda ARF prerenal. Mekanisme autoregulasi ini berguna menjaga GFR, namu jika hipotensi dan hipoperfusi berlangsung lebih lama maka mekanisme tersebut akan gagal secara perlahan sehingga menghasilkan penurunan GFR. Hypotension dengan derajat ringan dapat memicu timbulnya ARF pada penderita yang
17

memiliki

penyakit

yang

mempengaruhhi

kerja

arteri

aferen

seperti

hypertensive nephrosclerosis, diabetic vasculopathy penyakit oklusi vaskular seperti atherosclerotic (renovascular disease). Beberapa obat juga dapat mempengaruhi respon adaptif ginjal terhadap hypoperfusi, seperti obat yang menghambat biosynthesis renal prostaglandin (nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs)) atau angiotensin-converting enzyme (ACE Inhibitors) dan angiotensin II receptor blockers (ARBs). NSAIDs tidak dapat merubah GFR pada orang normal namun dapat berperan sebagai faktor presipitasi prerenal ARF pada pasien dengan CKD dimana filtrasi sangat bergantung pada Glomelurus yang tersisa.

Prerenal ARF dapat menyebabkan iskemia (Acute tubular necrosis) ATN, yang nantinya akan mengarah pada bilateral renal cortical necrosis dan irreversible renal failure. ATN terjadi akibat ARF yang berkepanjangan dan
18

menyebabkan renal tubular epithelial rusak. Penyembuhan dapat terjadi sekitar 1-2 minggu setelah perfusi renal kembali normal. Iskemik ATN berlangsung dalam 4 fase. Fase 1 (inisiasi) terjadi dalam hitungan jam hingga hari, GFR menurun dikarenakan : Ultrafiltrasi glomerular berkurang akibat tekanan darh yang turun. Aliran filtarsi didalam glomerular menurun akibat terbentuknya

endapan dari debris dan sel epitel yang rusak. Akibat kerusakan sel epitel tubular terjadi kebocoran filtrat.

Iskemik ATN umumnya terjadi pada segmen S 3 pada tubulus proksimal dan porsi medular lengkung henle ascending dinding tipis. Daerah ini rawan terjadi ATN karena terdapat transport aktif (ATP-dependen) zat-zat terlarut dan lokasi medula bagian luar, dimana tekanan oksigen sangat rendah bahkan pada kondisi basal . Iskemi ATN dikarenakan kekurangan (deplesi) ATP, inhibisi transpot sodium (Na), cytoskeletal disruption, kehilangan polaritas selular, penempelan antara sel-sel dengan sel-matrix dan pembentukan oxygen free-radical. Jika berlanjut maka akan terjadi renal

injury yang akan segera diikuti oleh apoptosis dan nekrosis sel-sel renal. Extension phase mengikut fase inisiasi dan memiliki karakteristik iskemik yang berlanjut dan inflamasi. Kerusakan endotel (pada vascular congestion) memiliki kontribusi pada seluruh proses ini. Pada fase maintenance khas pada 12 minggu, GFR terstabilkan pada

batasannya sekitar 510 mL/min, urine output pada keadaan terendah dan komplikasi uremia akan meningkat. Tidak diketahui dengan jelas mengapa GFR terus rendah pada fase ini. Mekanisme seperti persistent intrarenal vasoconstriction dan medullary ischemia memicu disregulasi pelepasan
19

vasoactive mediators dari sel endothelial yang rusak, kongesti pembuluh darah medullary dan reperfusi jaringan yang rusak diinduksi oleh pembentukan reactive oxygen species dan pelepasan mediator inflamasi dilakukan oleh leukosit atau sel-sel parenkim ginjal. Sel epitel yang mengalami inflmasi akan menyebabkan persistent intrarenal vasoconstriction melalui mekanisme tubuloglomerular feedback. Epitel

dengan fungsi khusus pada regio makula densa pada tubulus distal mendeteksi peningkatan hantaran garam pada daerah distal yang terjadi akibat reabsorbsi yang dilakukan segmen nephron proximal. Sel makula densa, menstimulasi konstriksi arteriol aferen dengan mekanisme yang belum diketahui dengan jelas, yang nantinya akan mengkompensasi perfusi glomerulus dan laju filtrasi dan berkontribusi pada sirkulus visius. Fase recovery memilki karakteristik terjadinya perbaikan dan regenerasi sel-sel epitel tubulus sehingga GFR meningkat hingga level premorbid. Fase ini dapat dipersulit dengan adanya tahap diuretik akibat terhambatnya penyembuhan pada fungsi sel epitel untuk reabsorbsi.

Renal ARF Agent Radiocontrast, cyclosporine, and tacrolimus (FK506) menyebabkan kerusakan ginjal melalui intrarenal vasoconstriction. Konsekuensinya, ATN yang diakibatkan oleh medikasi memilki karakteristik penurunan akut aliran darah ginjal dan penurunan GFR, sedimen urin yang relatif benigna dan rendahnya fraksi ekskresi dari Na. Pada kasus yang berat dapat timbul bukti klinis atau patologis adanya nekrosis sel-sel tubular. Contrast nephropathy terjadi akibat pembentukan reactive oxygen species (ROS) yang sangat toksik pada sel tubulus ginjal. Contrast nephropathy timbul sebagai gejala akut dalam 24-48 jam namun terjadi peningkatan reversibel dari BUN dan kreatinin serum dalam 3-5 hari dan resolusi dalam 1 minggu. Contrast
20

nephropathy terjadi biasanya pada individu dengan CKD, diabetes mellitus, congestive heart failure, hypovolemia, atau multiple myeloma. Obat terjadi Antibiotik pada dan anticancer menyebabkan ATN melalui toksisitas antibiotics.

langsung pada sel tubulus dan atau obstruksi intra tubular. Komplikasi ARF 1030% penggunaan aminoglycoside Aminoglycosida terakumulasi dalam sel epitel tubulus dan menyebabkan stres oksidatif dan kerusakan sel. ARF umumnya terjadi dalam beberapa hari saat terapi aminoglikosida. Kerusakkan dapat terjadi pada tubulus distal maupun proksimal, sehingga defek yang terjadi pada tubulus distal menyebabkan Amphotericin penurunan B kemampuan mengatur ARF konsentrasi melalui filtrat. menyebabkan dose-related mekanisme

intrarenal vasoconstriction dan toksisitas langsung pada sel epitel tubulus proksimal. Formulasi liposomal amphotericin B dapat dikaitkan dengan nephrotoksisitas yang lebih rendah. Acyclovir dapat menjadi faktor presipitasi dan penyebab ARF. Foscarnet dan pentamidine jarang diresepkan sebagai antimicroba juga memilki kaitan dengan ARF. Cisplatin dan carboplatin, seperti aminoglycosides, terakumulasi pada tubulus proksimal dan menyebabkan ARF setelah 7-10 hari, dan terkait dengan sampah K dan Mg. Pemberian Ifosphamide dapat menyebabkan hemorrhagic cystitis, dan bermanifestasi menjadi hematuria,dan ARF atau CRF renal tubular acidosis tipe II (Fanconi syndrome) sering mengikuti efek dari ifosphamide. Nephrotoxin endogen seperti calcium, myoglobin, hemoglobin, urate,

oxalate, dan rantai ringan myeloma. Hypercalcemia dapat mempengaruhi GFR, dan secara predominan menginduksi intrarenal vasoconstriction. Rhabdomyolysis dan hemolysis dapat menginduksi ARF. Penyebab umum rhabdomyolysis seperti traumatic crush injury, acute muscle ischemia, seizure yang berkepanjangan, olah raga berlebihan, heat stroke, atau malignant hyperthermia, infeksi, dan kelainan metabolik seperti hypophosphatemia dan severe hypothyroidism. ARF akibat hemolisis sangat
21

jarang terjadi dan dapat diobservasi saat reaksi transfusi. Myoglobin dan hemoglobin menyebabkan intrarenal oxidative stress, sehingga terjadi kerusakan sel-sel epitel tubular dan menginduksi pembentukan gumpalan intratubular. Selain itu hemoglobin dan myoglobin sebagi inhibitor poten terhadap nitric oxide bioactivity dan dapat menyebabkan intrarenal vasoconstriction dan ischemia. Post renal ARF Terjadi akibat adanya obstruksi pada struktur-struktur dibawah ginjal, mulai dari calix minor hingga urethra yang menyebabkan terjadinya retensi urin. Retensi urin tersebut disebabkan oleh filtrat yang terus menerus pada glomerulus dan cairan akan terus menumpuk pada daerah obstruksi hingga pada struktur diatasnya (upstream) menyebabkan hidronefrosis ginjal dan mengarah pada injuri sel-sel parenkim ginjal, sehingga dapat menyebabkan nekrosis. Hasil akhirnya adalah distensi ureter proksimal, pelvis renalis, calix hingga penurunan GFR.

22

Diagnosis Anamnesis
Diagnosis melalui anamnesis dapat ditegakkan dengan cara menanyakan gejala-gejala yang biasa ditemukan pada penyakit gagal ginjal akut. Biasanya pasien mengeluhkan gangguan pada saat berkemih, pada GGA produksi urin saat berkemih berkurang (oliguria =jumlah urin <400 ml atau anuria=sama sekali tidak terbentuk kemih). Beberapa gejala yang biasa timbul pada GGA : Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan) Kejang Tremor tangan Mual, muntah Ruam kulit merupakan gejala khas untuk beberapa penyebab gagal ginjal akut, yaitu poliarteritis, SLE, dan beberapa obat yang bersifat racun. Sekitar 10% penderita, kemihnya mengandung darah. Selain itu juga diagnosis dapat ditegakkan dengan cara melihat dari stadium gagal ginjal, yaitu: Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut yaitu : 1. Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria. 2. Stadium Oliguria. 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar diet. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.

23

Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini terjadi pula gejala nokturia (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan). Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress dan perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala ini. Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kali pada waktu malam hari. Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 : 1 atau 4 : 1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon teehadap kegelisahan atau minum yang berlebihan. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal ginjal jelas sangat menurun dan tekanan darah akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu. 3. Stadium III. Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem

24

dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan penilaian terhadap ginjal; apakah terdapat pembengkakan atau nyeri tumpul. Penyempitan pada arteri utama ginjal bisa menimbulkan bising (bruit) yang akan terdengar pada pemeriksaan dengan stetoskop. Jika diduga terjadi penyumbatan, dilakukan pemeriksaan colok dubur atau colok vagina untuk mengetahui adanya massa di kedua tempat tersebut.

Pemeriksaan Penunjang
1. Analisis Urin Berat jenis urin yang lebih tinggi dari 1.020 menunjukkan gagal ginja akut prarenal, GN akut awal, sindrom hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi ginjal. Berat jenis isosmolal (1.010) terdapat pada NTA, GGA pascarenal dan penyakit intertisial (tubulointertisial). Pada keadaan ini BJ urin dapat meningkat karena dalam urin terdapat banyak protein, glukosa, manitol, atau kontras radiologik. Gambaran yang khas pada NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder mengandung sel tubulus, dan silinder yang besar (coarsely granulat broad casts). Adanya kristal urat pada GGA menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering di dapat pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukemia dan limfoma. 2. Penentuan Indikator Urin

25

Pada GGA prarenal, aliran urin lambat sehingga lebih banyak ureum yang di absorbsikan. Ini menyebabkan perbandingan ureum/kretinin dalam darah meningkat. 3. Pemeriksaan Pencitraan Pada GGA pemeriksaan, USG menjadi pilihan utama untuk

memperlihatkan anatomi ginjal. Darisini dapat diperoleh informasi mengenai besar ginjal, ada atau tidaknya batu ginjal dan ada atau tidaknya hidronefrosis. Pemeriksaan USG juga dapat menentukan apakah gangguan fungi ginjal ini sudah terjadi lama (GGK), yaitu apabila di temukan gambaran ginjal yang sudah kecil. 4. Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan Serologi Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab GGA tak jelas atau berlangsung lama, atau terdapat tanda glomerulonefrosis atau nefritis interstisial

Manifestasi Klinis
1. Gagal ginjal akut prerenal Kehausan Pusing (apabila berdiri) Dehidrasi JVP meningkat Mukosa mongering Hipotensi ortostatik

2. Gagal ginjal akut renal


26

Yang paling menonjol adalah nyeri tenggorokan atau infeksi saluran napas atas

Punggung terasa sakit di daerah bilateral Gross hematuri mungkin bisa terjadi

3. Gagal ginjal akut post renal Dehidrasi dan shock mungkin bisa terjadi secara bersamaan Uremia Retensi cairan

27

Tatalaksana
Preventif Karena tidak ada terapi spesifik untuk iskhemik atau neprotoxic gagal ginjal akut, pencegahan merupakan bagian yang sangat penting. Banyak kasus iskhemik dapat dihindari dengan melakukan control yang baik terhadap pada yang fungsi kardiovaskular resiko terhadap volume dan volume intravascular (pemulihan) pasien agresif dengan tinggi. Restorasi intravskular

menunjukkan penurunan dramatis terhadap insiden iskhemik GGA setelah operasi besar atau trauma, luka bakar, atau cholera. Insidensi dari nephrotoxic nephrotoxic GFR GGA dapat diturunkan dengan baik

memberikan diperlukan

obat

dengan dengan

pengaturan menggunakan

yang

terkait dengan berat badan dan GFR. Dalam pemberian dosis, pengkuran (dimana persamaan berat Cockcroft-Gault Renal Disease factor usia, jenis factor kelamin, dan

badan) atau dengan persamaan simple Modification of Diet in (MDRD) dimana ras pada usia, jenis kelamin, berat dosis obat badan, dan cidera ginjal diperhitungkan. pasien dengan Penyesuaian pengobatan vasodilator penyakit

berdasarkan tingkat sirkulasi obat juga perlu untuk membatasi aminoglycoside Diuretics, diberikan dimana harus antibiotics, cyclosporine, atau NSAIDs, ACE atau efektif tacrolimus. Pemberian

inhibitor, ARBs, dan hypovolemia atau

dengan pengaturan yang tepat juga pada pasien dengan suspek renovaskular nantinya dapat menimbulkan Prerenal GGA. Allopurinol dan forced alkaline dieresis biasanya efektif sebagai profilaksis
28

pada

pasien

dengan

resiko

acute

urate

neuropathy

dengan

cara

membatasi urate

generasi pada

asam

urea

dan

mencegah untuk

presipitasi

Kristal

tubulus

ginjal. Kemudian

Forced Alkaline Diuresis juga pada pasien yang menderita

berperan sebagai agen preventif rhabdomyolysis. N-acetylcysteine meninduksi cedera ginjal jika

pada pasein yang mendapatkan methotrexate dosis tinggi atau membatasi acetaminophen untuk

dieberikan selama 24 jam ingesti. Hidrasi yang cukup Pemberian loop diuretics dan mannitol, dopamine, fenoldopam, Nacetylcystein, theophyline, dan dosis yang digunakan. Terapi Spesifik Penatalaksaanaan pada GGA, kita harus focus terhadap beberapa hal yaitu eliminasi penyebab kelainan hemodinamik atau toxin, mencegah bertambah komplikasi. Prerenal GGA Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan prerenal GGA parahnya kondisi, serta pencegahan dan penanganan sodium bicarbonate. Walaupun masing-masing obat ini mebutuhkan pengaturan yang ketat dalam

karena hypovolemia harus disesuaikan dengan komposisi cairan yang hilang. Pada digunakan sedang untuk hypovolemia penggantian berat karena perdarahan harus pada perdarahan ringan sampai dikoreksi dengan packed red cells, dimana isotonic saline biasanya atau kehilangan plasma (terbakar, pancreatitis). Cairan hipotonik. Jadi biasanya dengan pemberian diindikasikan prerenal GGA,

pada system urinary dan gastrointestinal dapat bervariasi dalam komposisi hypotonic sebagai
29

namun solution

biasanya pertama

bersifat pada

(e.g. 0,45%

saline) pasien

penggati

walaupun isotonic saline biasanya lebih cocok pada kasus berat. Gagal jantung membutuhkan penanganan penurun preload bantuan mekanis yang dan agresif dengan ballon inotropic pumps. Intrinsic ARF / Renal GGA Banyak pendekatan yaitu berbeda pada untuk mengurangi dan cedera atau AKI. agent, agen afterload, obat

antiarrhytmia, dan

seperti

intraaortic

mempercepat Diantaranya endothelin

perbaikan atrial

iskhemik

nephrotoxic

natriuretic

peptide, low-dose diuretics, calcium

dopamine, channel analogues,

antagonis, loop-blocking

blockers, alpha-adrenoreceptor

blockers, prostaglandin

antioxidants, antibodies against leukocyte adhesion molecule, dan insulin-like growth factor type I. Banyak dari obat-obat tersebut menunjukkan hasil positif pada uji eksperimental model, akan tetapi belum terbukti efektif pada manusia. GGA intrinsic seperti glomeluronephritis akut atau vasculitis dapat menunjukkan respon terhadap agen atau immunosuppresan plasmapheresis, (glucocorticoids, alkylating agents, dan

tergantung factor patologi primernya). Glucocorticoid juga dapat mempercepat remisi pada allaergic interstitial nephritis, walaupun datanya masih hanya terbatas pada case-series sederhana saja. Kontrol yang agresif penting pada dalam dapat tekanan arterial sistemik ginjal merupakan pada hal membatasi juga ceera kondisi terhadap

malignant hypertensive nephrosclerosis. Hipertensi dan GGA karna scleroderma menunjukkan sensitivitas pengobatan oleh ACE inhibitor. Postrenal GGA

30

Penanganan pada postrenal GGA membutuhkan kolaborasi yang tak terpisahkan antara nephrologist, urologist, dan radiologist. Obstruksi pada uretra atau leher buli biasanya diatasi awalanya dengan transurethral atau pemasangan kateter buli suprapubic, yang memberikan penanganan sementara selama obstruksi masih diidentifikasikan obstruksi ditangani pemasangan dan dalam penanganan. Hampir dapat itu sama, pada dengan dapat ureter, pada kateter atau awalnya secara ditanganani obstruksi

precutaneous, selain

dikeluarkan

precutaneous

(e.g. calculus, dengan

sloughed papilla) atau bypass dengan insersi dari ereteric stent (e.g carcinoma). Banyak pasien menunjukkan kecocokan dieresis untuk beberapa hari setelah penanganan obstruksi. Ratarata 5 % dari pasien menunjukkan kondisi transient salt-wasting syndrome darah. Tindakan Suportif Setelah koreksi kondisi hipovolemik, intake garam dan air harus (syndrome kehilangan garam) yang membutuhkan penanganan berupa saline intravena untuk memperbaiki tekanan

disesuaikan dengan jumlah yang hilang. Hipervolemia biasanya dapat diatasi dengan restriksi garam dan air serta pemberian diuretic. Untuk itu, sampai sekarang diuretic walaupun pada GGA pada tidak terdapat bukti rasional untuk pemberian kecuali garam untuk dan menangani air dengan komplikasi. Kemudian dopamine dapat aliran meningkatkan juga pada untuk supresor seperti

kenyataannya

meningkatkan

ekskresi

darah ke ginjal dan GFR dan dengan menginhibisi reabsorpsi sodium tubular, subpresor tidak dianjurkan atau (dosis sebagai dialysis rendah) dopamine agent menunjukkan kondisi ini. inefektifitas pada clinical trial, dimana dapat memicu arrhythmia, dan renoprotective dapat Ultrafiltration digunakan menangani

hypovolemia berat ketika penanganan konservatif gagal.


31

Berikut ini ringkasan penatalaksanaan pada berbagai kondisi GGA:

32

33

Asidosis

metabolic

biasanya turun oral harus

tidak

tertangani

kecuali

jika

seru arterial dalam

bicarbonate pemberian tabel komplikasi

konsentrasi bikarbonat dari

di bawah 15 mmol/L intravena seperti

atau pH disebutkan akan

turun dibawah 7,2. Asidosis yang lebih berat dapat dikoreksi dengan atau di atas. Pasien mendapatkan sodium perhatian timbulnya

pemberian

bikarbonat

seperti

hypervolemia,

metabolic alkalosis, hypocalcemia, dan hypokalemia. Pada kondisi anemia yang berat, harus diberikan transfuse darah.

Recombinat eritropoietin manusia jarang diberikan pada pasien GGA


34

karena

biasanya

terjadi

resistensi yang

terhadap

eritropoietin

pada uremic

bone juga jika

marrow, dan Seringkali perdarahan prophylaxis proton

penanganan

lebih untuk receptor

cepat. Perdarahan mengontrol (H2) untuk

memberikan respon terhadap pemberian desmopressin atau estrogen. dialysis dengan dilakukan histamine perdarahan tersebut harus berkaitan dengan uremia. Gastrointestinal antagonis atau prompa paa diberikan, apalagi

inhibitor

diperhitungkan

kondisi yang parah. Dialisis Selama GGA, dialysis sering digunakan untuk mempertahankan fungsi finjal sampai ginjal sembuh/ mengalami recovery. Indikasi absolute untuk dialysis yaitu gejala dan tanda syndrome uremic dan penanganan hipovolemik nephrologist yang juga sulit, hyperkalemia, atau dialysis pada asidosis. Banyak dimana blood menggunakan kondisi

urea >100 mg/dL, akan tetapi pendekatan ini sekarang masih dalam penelitian. Untuk tipe dialisisnya sendiri, umumnya hemodialisis sering menunjukkan efektifitas yang lebih dibandingkan dengan peritoneal dialysis. Peritoneal dialysis ini dapat berguna apabila hemodialisis tidak tersedia atau jika tidak mungkin untuk mendapatkan akses vascular. Akan tetapi, peritoneal jumlah dialysis ini biasanya berhubungan dengan pada peningkatan kehilangan protein dan dikontraindikasikan

pasien yang akan melakukan operasi abdomen atau dengan infeksi berat. Akses dari Peritoneal dialysis ini, menggunakan insersi dari cuff cateter ke bagian peritoneal cavity.

35

Prognosis
Kematian biasanya disebabkan karena penyakit penyebab, bukan gagal ginjal itu sendiri. Prognosis buruk pada pasien lanjut usia dan bila terdapat gagal organ lain. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30%-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal napas 10%, dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan sebagainya.

Komplikasi
Jantung : edema paru, aritmia, efusi perikardium : hiperkalemia, hiponatremia, asidosis

Gangguan elektrolit Neurologi kesadaran, GI Hematologi

: iritablilitas neuromuskular, flap, tremor, koma, gangguan kejang : nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, pendarahan GI : pneumonia, septikemia, infeksi nosokomial

36

Gagal Ginjal Kronik


Etiologi
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Gangguan imunologis Glomerulonefritis Poliarteritis nodosa Lupus eritematosus Gangguan metabolik Diabetes melitus Amiloidosis Gangguan pembuluh darah ginjal Arteroskleosis Nefrosklerosis Infeksi Pielonefritis Tuberkulosis Gangguan tubulus primer Nefrotoksin (analgesik, logam berat) Obstruksi traktus urinarius Batu ginjal Hipertrofi prostat Konstriksi uretra Kelainan kongenital Penyaki olikistik Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongnital (hioplasia renalis).

Etiologi di Amerika Serikat


37

Diabetes mellitus: tipe 1 sekitar 7% dan tipe 2 kejadiannya 37% Hipertensi dan penyakit pmbuluh darah besar Glomerulonefritis Nefritis interstitialis Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sistemik ( misal, lupus dan vaskulitis) Neoplasma Klasifikasi Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patalogis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60ml/menit/1,73m2 , seperti yang terlihat pada tabel di bawah. Batasan penyakit ginjal kronik 1. kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: - kelainan patalogik - petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan 2. laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m2 selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah, seperti terlihat pada tabel di bawah.
38

klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal. Stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan. Stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal Stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal Stadium 5 adalah gagal ginjal.

Laju filtrasi glomerulus dan stadium penyakit ginjal kronik Stadium Fungsi ginjal Laju glomerulus (ml/menit/1,73m2 ) Risiko meningkat Normal > 90 (ada faktor risiko) Stadium 1 Normal/meningkat > 90 (ada filtrasi

kerusakan ginjal, proteinuria) Stadium Stadium Stadium Stadium 2 3 4 5 2 Penurunan ringan Penurunan sedang Penurunan berat Gagal ginjal 60-89 30-59 15-29 < 15

Klasifikasi gagal ginjal konik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat ( stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

39

LFG ( ml/mnt/1,73m2) = ((140- umur) X berat badan) : (72 X kreatinin plasma (mg/dl)). Khusus pada perempuan dikalikan 0,85. Klasfikasi penyakit ginjal kronik atas dasar Dignosis Etiologi Penyakit ginjal diabetes Penyakit ginjal non diabetes Penyakit pada transplantasi.

40

Patofisiologi

Penyakit Sistemik

Penyakit Primer Renal,

Penurunan sekresi

Kerusakan dan Kegagalan Fungsi Renal

Gagalnya eksresi bahan toksin tubuh

Penuruna n eksresi Na dan air

Penurunan Albumin Plasma

Sindrom Uremik Sindrom neurologik Gejala Intestinal Kulit Kering dan gatal Anemi a

Peningkata n Volume Darah

Impermeab ilitas vaskular

EDEMA

41

Gejala Neurologik lelah sakit kepala kejang kejang neuropati perifer

Gastro intestinal mual, muntah, diare singultus, stomatitis

Kulit kering Pruritus

42

Diagnosa
Anamnesis & Pemeriksaan Fisik CKD sedang sampai berat memiliki gejala seperti pruritus, malaise, lassitude, pelupa, penurunan libido, mual, dan cepat lelah adalah sering pada. Kegagalan tumbuh kembang adalah keluhan utama pada pasien yang mulai remaja. Gejala penyakit multisistem seperti SLE mungkin hanya kebetulan. Kebanyakan pasien dengan CKD memiliki peningkatan tekanan darah sekunder. Pulsasi dan respiratory rate cepat akibat manifestasi dari anemia dan asidosis metabolic. Temuan klinis dari uremic factor, pericarditis, temuan neurologic dari asterixis, perubahan mental, dan neuropathy peripheral, ada pada CKD stage V. Palpasi ginjal menunjukkan mungkin penyakit polycystic. hipertensi Pemeriksaan atau diabetic

Ophthalmoscopic

menunjukkan

retinopathy. Perubahan yang meliputi kornea juga berhubungan dengan penyakit metabolic (seperti Fabry disease, cystinosis, dan Alport hereditary nephritis).

Pemeriksaan Penunjang 1. Komposisi Urine Volume urine berbeda tergantung tipe penyakitnya. Biasanya volume urine rendah ketika GFR turun 5% di bawah normal. Pemeriksaan urinalisis biasanya non spesifik dan tidak aktif. 2. Pemeriksaan Darah
43

Biasanya terdapat anemia dengan jumlah platelet yang normal. Disfungsi platelet atau thrombasthenia adalah karakter dari waktu pendarahan (bleeding time) yang abnormal. Beberapa abnormalitas pada serum elektrolit dan metabolisme mineral adalah manifestasi ketika GFR jatuh di bawah 30 mL/min. Terdapat pengurangan serum bikarbonat dan Asidosis metabolic dari uremia. Hyperkalemia biasanya tidak terlihat, kecuali jika GFR turun di bawah 5 mL/min. Pada CKD yang moderate sampai berat, banyak factor yang mengarah ke peningkatan serum fosfat dan penurunan pada serum kalsium. 3. X-Ray Pasien yang berkurang fungsi ginjalnya seharusnya tidak rutin untuk pemeriksaan contrast. Sonogram ginjal banyak membantu dalam menentukan ukuran ginjal (biasanya kecil) dan ketebalan kortex (biasanya tipis) dan lokasi jaringan untuk biopsy ginjal percutaneous. X-ray tulang meungkin menunjukkan retardasi petumbuhan, osteomalacia (renal rickets), atau osteitis fibrosa. Pasien dengan polycystic kidney disease akan memiliki perbedaan pada besar ginjalnya dengan kista yang jelas (pada sonograms atau plain abdominal CT scans). 4. Renal biopsy Biopsi ginjal mungkin tidak banyak berguna kecuali pada fibrosis interstisial non spesifik dan glomerulosclerosis.

44

Manifestasi Klinis Gangguan pada sistem gastrointestinal

Anoreksia,

nausea,

dan

vomitus

yang

berhubungan

dengan

gangguan metaboslime protein dalam usus.

Mulut bau amonia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur.

Cegukan (hiccup) Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik

Kulit

Kulit berwarna pucat akibat anemia. Gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik. Ekimosis akibat gangguan hematologis Urea frost akibat kristalisasi urea Bekas-bekas garukan karena gatal

Sistem Hematologi

Anemia Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia Gangguan fungsi leukosit

Sistem Saraf dan Otot Restles leg syndrome; Pasien merasa pegal pada kakinya, sehingga selalu digerakkan.

45

Burning feet syndrome; Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama ditelapak kaki.

Ensefalopati metabolic; Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang.

Miopati;

Kelemahan

dan

hipotrofi

otot-otot

terutama

otot-otot

ekstremitas proksimal. Sistem kardiovaskuler


Hipertensi Akibat penimbunan cairan dan garam. Nyeri dada dan sesak nafas Gangguan irama jantung Edema akibat penimbunan cairan

Sistem endokrin

Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada lakilaki. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dan gangguan sekresi insulin.

Gangguan metabolisme lemak. Gangguan metabolisme vitamin D.

46

Tatalaksana
Tatalaksana gagal ginjal kronik Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. dan tahap kedua pengobatan dimulai ketika tindakan konservatif dalam mempertahankan kehidupan. 1. Penatalaksanaan Konservatif Prinsio dasar penatalaksanaan konservatif sangat sederhana dan tidak lagi efektif

didasarkan pada pemahaman mengenai batas-batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Bila hal ini sudah diketahui maka diet zat terlarut dan cairan orang bersangkutan dapat diatur dan disesuaikan dengan batasan-batasan tersebut. Selain itu, terapi ditujukan pada pencegahan dan pengoatan komplikasi yang terjadi. a. Pengaturan Diet Protein Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN dan mungkin juga hasil metabolism protein toksik yang belum diketahui, tetapi juga mengurangi asupan kalium, fosfat dan produksi ion hydrogen yang berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. kemungkinan mekanisme yang berkaitan dengan fakta bahwa asupan rendah protein mengurangi beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus dan cedera sekunder pada nefron intak. Pemburukan fungsi ginjal yang progresif terjadi karena efek merugikan dari hipertensi glomerulus alam nefron yang intak. Bila gagal ginjal
47

berlangsung progresif, GFR cenderung menurun secara linier sehingga pengukuran serial GFR memungkinkan perkiraan waktu terjadinya ESRD saat diperlukannya pengobatan dialysis. Berdasarkan suatu penelitian, dengan menggunakan diet mengandung protein dalam kebutuhan harian minimum (0,6 g/kg) versus diet yang tidak terbatas (sekitar 1,2-1,6 g/kg) memperlihatkan bahwa laju peningkatan kreatinin adalah 11 kali lebih rendah pada kelompok pembatasan protein pada pasien glumerulonefritis kronik dan 19 kali lebih rendah pada kelompok pembatasan protein pada pasien pielonefritis kronis dibandingkan yang terjadi pada kelompok control. Mempertahankan keseimbangan protein pada diet protein 20 gr mungkin dilakukan, menyediakan protein dalam nilai biologic yang tertinggi (yaitu yaitu mengandung sama asam amino esensial seperti pada susu dan telur) dan kalori yang memadai dibutuhkan dalam bentuk lemak dan karbohidrat untuk mencegah pemecahan protein tubuh untuk memenuhi kebutuhan kalori. b. Pengaturan Diet Kalium Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 80 mEq/hari. Tindaka yang harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan obatobatan atau makanan yang mengandung tinggi kalium atau makanan yang tinggi kandungan kalimnya. c. Pengaturan Diet Natrium dan Cairan Pengaturan Natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal. Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 90 mEq/hari, tetapi asupan yang optimal harus disesuaikan secara individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi yang baik. Asupan yang terlalu bebasdapat menyebabkan terjadinya retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung
48

kongestif. Retensi natrium umumnya merupakan masalah pada penyakit glomerulus dan gagal ginjal lanjutan. Di sisi lain, bila natrium terbebas terbebas pada titik keseimbangan natrium negative, akan terjadi hipovolemia, penurunan GFR, dan perburukan fungsi ginjal. deplesi natrium lebih lazim terjadi pada penyakit tubulointerstisial dan dapat dicetuskan oleh muntah dan diare. Oleh karena itu, penting untuk menentukan asupan natrium optimal untuk setiap pasien. Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal lanjut, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat di yakini mengenai keadaan dehidrasi pasien. Berat badan harian merupakan para meter penting yang dipantau, selain catatan yang akurat mengenai asupan dan keluaran. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang dari optimal dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi dan perburukan fungsi ginjal. aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urine dalam 24 jam + 500 ml mencerminkan kehilangan cairan yang tidak disadari. d. Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi Kategori kedua dari tindakan konservatif yang digunakan pada pengobatan gagal ginjal adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah dan mengatasi komplikasi. Hipertensi biasanya hipertensi dapat dikontrol secara efektif dengan pembatasan natrium dan cairan, serta melalui ultrafiltrasi bila penderita sedang menjalani hemodialisa, karena lebih dari 90% hipertensi bergantung pada volume. Pada beberapa kasus dapat diberikan antihipertensi (dengan atau tanpa diuretic) agar tekanan darah dapat terkontrol. Obat-obatan penghambat ACE dapat menurunkan tekanan intraglomerulus dan memperlambat perkemnbangan gagal ginjal kronis sehingga
49

pengobatan dengan obat-obatan ini telah diberikan bahkan pasien DM tipe 1 yang normotensif. Hiperkalemia pemberian glukonat hiperkalemia dan akut dapat diobati yang dengan akan EKG

glukosa 10%

insulin dengan

intravena hati-hati

memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian kalsium intravena sementara penderita terus diawasi akan kemungkinan timbulnya hipotensi disertai pelebaran kompleks QRS. Efek dari tindakan ini hanya bersifat sementara dan hiperkalemia harus dikoreksi dengan dialysis. Anemia merupakan temuan yang hampir selalu ditemukan pada pasien penyakit pemendekan gagal ginjal lanjut. SDM, Penyebabnya peningkatan multifaktorial, termasuk defisiensi yang tampaknya menghamabt eritropoetin, waktu paruh kehilangan darah saluran cerna akibat kelainan trombosit, defisiensi asam folat dan besi, dan kehilangan darah dari hemodialisis atau sampel uji Lab. Walaupun semua factor yang terdaftar dapat berperan dalam anemia akibat GGK, tampaknya defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia, karena pasien berespon baik pada penggantian hormone dalam jumlah terbatas. Pada tahun 1985, gen eritropetin manusia di isolasi dan diklon, sehingga terbentuk hormone dalam jumlah tak terbatas. Berlimpahnya ketersediaan eritropoietin manusia rekombinan (recombinant human erythropoietin, EPO) telah membarui penatalaksanaan anemia pada GGK. Peningkatan kadar hematokrit sebesar 6% - 10% dan penurunan gejala kelemahan dan kelelahan akibat anemia dapat diperkirakan. EPO biasanya diberikan injeksi subkutan (25 125 U/kgBB) tiga kali seminggu.

50

Asidosis penurunan asupan protein dapat memperbaiki keadaan asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat serum kurang dari 15 mEq/L, beberapa ahli nefrologi memberikan terapi alkali, baik natrium bikarbonat maupun sitrat pada dosis 1 mEq/kg/hari secara oral, untuk menghilangkan efek sakit pada asidosis metabolic, termasuk penurunan massa tulang yang berlebihan. Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali bila bikarbonat plasma turun dibawah angka 15 mEq/L, ketika gejala-gejala asidosis dapat mulai timbul. Osteodistrofi Ginjal tindakan pengobatan yang penting untuk mencegah timbulnya hipertiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dengan pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Diet rendah protein biasanya juga rendah posfat. Pengobatan sebaiknya dimulai darai awal perjalanan gagal ginjal progresif ketika GFR-nya turun sampai sepertiga normal. Obat yang dahulu sering diresepkan adalah yang bekerja sebagai pengikat posfat yaitu gel antasida aluminium, tetapi sekarang obat ini tidak digunakan lagi dikarenakan terjadinya intoksikasi aluminium. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan fosfat serum sekitar 4,5 mg/dl dan Ca++ sekitar 10 mg/dl. Hiperurisemia obat pilihan untuk mengobati urisemia pada GGK biasanya adalah alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh. Neuropati perifer tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut kecuali dengan dialysis yang dapat menghentikan perkembangannya. Karena itu

51

perkembangan

neuritis

sensorik

merupakan

tanda

bahwa

dialysis tidak boleh ditunda-tunda. 2. Tahap kedua pengobatan yang dimulai ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif dalam mempertahankan kehidupan. Dialysis proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membrane berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialisis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama difusi zatterlarut dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. pada suatu membrane semipermeabel yang diletakkan

diantaradarah penderita pada satu sisi dan larutan yang sudah diketahui susunanya (dialisis atau bak dialisis) pada sisi satunya, maka substansi yang dapat menembus membrane akan bergerak dari konsentrasi tinggi menuju ke konsentrasi rendah. Bila kadar Kalium dalam darah tinggi dan kadar kalim dalam bak dialisis rendah, maka kalium bergerak keluar dari darah menuju ke bak dialisis. Ultrafiltrasi (pembuangan air) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: Menciptakan perbedaan tekanan hidrostatik. Menciptakan perbedaan tekanan osmotic dengan

peningkatan konsentrasi glukosa dalam bak dialisis. Perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotic yang timbul

menyebabkan perpindahan air dari darah menuju bak dialisis. Tekanan positif dalam kompartemen darah juga mempercepat difusi solute maupun air. Dengan menggunakan larutan dialisis yang mengandung elektroli-elektrolit penting dalam konsentrasi
52

normal, maka konsentrasi elektrolit tersebut dalam darah penderita gagal ginjal dapat dikoreksi. Transplantasi Ginjal teknik bedah yang berperan dalam transplantasi ginjal relative mudah dan umunya dilakukan oleh ahli bedah dengan latar belakang urologi, vascular atau bedah umum. Tindakan standar adalah dengan merotasikan ginjal donor dana meletakkannya pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak disebelah anterior pembuluh darah ginjal dan lebih mudah beranastomosis atau berinplantasi ke dalam kemih resipien. Arteria renalis beranastomosis end-toend pada arteri iliaka interna, dan vena renalis beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksterna.

Komplikasi
- Stadium 1 (Kerusakan ginjal dengan LFG normal) : tidak ada komplikasi - Stadium 2 (Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan) : komplikasi yaitu tekanan darah mulai meningkat - Stadium 3 (Penurunan LFG sedang) komplikasi yaitu: Hiperfosfatemia, hipokalemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, hiperhomosisinemia. - Stadium 4 (Penurunan LFG berat) komplikasi yaitu: Malnutrisi, asidosis metabolik, cenderung hiperkalemia, dislipidemia. - Stadium 5 (Gagal ginjal) komplikasi yaitu: Gagal jantung, uremia.

53

Daftar Pustaka
Harrison, Principle Of Internal Medicine, 16 th edition, McGraw Hill. United States of America. 2005.

Potts, Jeannette M.,. Essential Urology A Guide To Clinical Practice. New Jersey : Humana Press : 2004.

Suyono, Slamet. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke tiga. Jakarta : Balai penerbit FKUI : 2001.

Tanagho E A, McAninch J W. Lange: Smiths General Urology. Sixteenth Edition. McGraw Hill. Boston: 2004.

Price S, Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:EGC; 2005

54

Anda mungkin juga menyukai