Anda di halaman 1dari 54

AEDES 1 Perbandingan Daya Tetas dan Laju Harian Peletakan Telur antara Toxorhynchites splenedes dan Aedes aegypti/RC

Hidayat Soesilohadi.-Yogyakarta: Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Penelitian mengenai perbandingan daya tetas dan laju harian peletakan telur antara Toxorhynchites spelndents dan Aedes aegypti telah dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi UGM. Percobaan dengan Tx.spendens dilakukan dengan memasukkan lima (5) pasang imago Tx.splendens, larutan madu 10% dan bejana peneluran ke dalam sangkar pemeliharaan. Telur yang diletakkan oleh Tx.spendens betina dihitung setiap hari dan dipindahkan ke dalam bejana lain serta dihitung jumlah telur yang menetas. Pengamatan dilakukan selama 40 hari. Percobaan dengan Ae. aegypti dilakukan dengan memasukkan 15 pasang pupa Ae. aegypti, 10% larutan madu ke dalam sangkar pemeliharaan. Telur yang dihasilkan diambil setiap hari, dihitung dan disimpan di tempat yang kering. Pengamatan dilakukan selama 10 hari. Daya tetas telur dihitung dengan menghitung jumlah telur yang menetas setelah direndam di dalam akuades. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa laju harian peletakan telur Tx.splendents adalah 5,9 telur/hari, dan daya tetasnya, 60,1% sedangkan untuk Ae. aegypti laju harian peletakan telur adalah 32,7 telur/hari dan daya tetasnya 78,09%. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa Laju peletakan telur Ae. aegypti lima kali lebih besar dari pada laju peletakan telur Tx.splendens, demikian pula daya tetas telur Ae. aegypti 1,3 kali lebih besar daripada daya tetas telur Tx.spendens. ABFK ANIMAL 2 Pemilikan Hewan Peliharaan sebagai Tantangan Terjadinya Zoonosa di Sumatera Barat/Salma Maroef.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-irrp. ANOTASI : Untuk meningkatkan SDM tahun 2010 yaitu dengan mengetahui indikator yang berpengaruh pada generasi penerus salah satu di antaranya penyakit rabies.

Rabies merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh perantara atau induk semang. Induk semang itu adalah hewan berdarah panas diantaranya anjing dan kucing. Tujuannya untuk menggambarkan kemungkinan besar persentase penyebaran penyakit lebih besar meskipun penyakit itu mudah diberantas. Desain penelitian cross-section merupakan data primer kepala keluarga (KK). Sampel untuk penelitian ini diambil secara acak. Dari 800 KK hampir 100% KK memiliki anjing dan 42,0% keluarga yang memiliki hewan peliharaan kucing. Pemilik anjing 1-3 ekor (92,4% KK), pemilikan kucing 1-3 ekor (38,5% KK.) Pemilikan anjing per sepuluh KK (18 ekor) dan kucing (7 ekor). Di pedesaan pemilikan anjing dan kucing lebih besar dibandingkan di perkotaan. Pemilikan anjing: kesenangan (62,0%), berburu (22,5%) gabungan (10,6%), dan jaga rumah (4,0%). Kegunaan kucing untuk menjaga rumah (26,9%), merasa senang (13,0%) dan gabungan/kombinasi (2,6%). Informasi ini untuk dapat meningkatkan kewaspadaan akan terjadinya penyebaran zoonosa di antaranya rabies, toksoplasmosis dan lain-lain, juga dapat digunakan program pemberantasan rabies untuk perkiraan cakupan vaksinasi. BPPK ANOPHELES 3 Bionomik Anopheles dan Pembuktian Vektor pada Daerah Endemik Malaria di Jawa Tengah Indonesia/Rusmiarto S. (et al).-- Jakarta: NAMRU-2; Dinas Kesehatan Purworejo Jawa Tengah; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Penyakit malaria yang dikenal sejak lama sebagai penyakit endemis di perbukitan Menoreh di Jawa Tengah mengalami kenaikan yang luar biasa antara tahun 1997 dan 2001. Untuk menyikapi hal tersebut, dilakukan penelitian bionomik/epidemiologi selama 3 tahun yang dimulai pada awal 2001 untuk menentukan spesies Anopheles yang berperan sebagai vektor. Data dari 5 tempat penelitian dengan daerah ekologi yang tidak saling berkaitan menunjukkan perbedaan yang jelas pada pola musiman untuk aktivitas nyamuk dan kepadatan menurut spesies vektor, penyebarannya, frekuensi menggigit di dalam dan sekitar rumah serta peranannya dalam penularan penyakit. Metode yang digunakan meliputi koleksi umpan badan di dalam dan di luar rumah pada malam hari serta survei jentik di tempat perindukan. Sepuluh spesies Anopheles berhasil diidentifikasi secara morfologi dan dilakukan pengujian ELISA untuk mendeteksi protein sirkum sporozoit yang khas.

Berdasarkan HLC dan deteksi sporozoit, 2 vektor utama malaria yang bisa dibuktikan adalah An. balabacensis pada musim penghujan (Oktober-Maret) dan An. maculatus pada musim kemarau (April-September). An. vagus yang umumnya dikenal sebagai vektor non-potensial di daerah Jawa, ternyata memberikan tingkat umpan badan yang tinggi dan positif sporozoit pada uji ELISA. Secara ekologi, An. maculatus dan An. balabacensis tergantung pada sungai kecil sebagai habitat jentiknya yang membatasi distribusinya. Selama musim kering, kolam alami dan buatan, sungai kecil dan sepanjang tepi sungai yang mengalir lambat diketahui sebagai tempat perindukan yang ideal bagi An. balabacensis dan An. maculatus. Kombinasi dari kelima tempat survei menunjukkan bahwa An. maculatus spesies yang paling banyak ditangkap baik di dalam maupun di luar rumah diikuti oleh An. vagus, An. aconitus dan An. balabacensis. Tetapi dalam banyak hal masingmasing spesies memiliki variasi penyebaran yang berbeda di setiap lokasi penelitian. Positif sporozoit ditemukan pada kelima spesies. Perilaku menggigit nyamuk dan tingkat infeksi sporozoit malaria jelas menunjukkan bahwa An. balabecensis mempunyai peranan jauh lebih penting dalam transmisi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya. Di samping itu An. maculatus, An. balabacensis dan An. vagus pada khususnya, juga memiliki peranan dalam transmisi sepanjang tahun di daerah perbukitan Menoreh. Tindak lanjut dari penemuan ini akan didiskusikan pada waktu yang paling tepat dalam upaya pengendalian malaria di kawasan tersebut. BPPK 4 Daur Hidup dan Habitat Pradewasa Anopheles/Shinta; Supratman Sukowati; Herri A.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Di dalam kehidupannya, nyamuk Anopheles memiliki 4 stadium yaitu telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Setiap stadium dapat segera dikenal bentuknya. 1). Stadium telur: seekor nyamuk betina dapat menghasilkan 100-200 butir setiap kali bertelur, telur berukuran 0,5 mm, diletakan dipermukaan air secara berkelompok seperti rakit dan akan menetas menjadi larva dalam 48 jam. 2). Stadium larva: larva berganti kulit sebanyak 4 kali, setiap masa pertumbuhan pergantian kulit disebut instar. Instar 1 1 hari, Instar II 1-2 hari, Instar III 2 hari, Instar IV 2-3 hari. Larva memiliki sifon untuk bernafas. Larva memakan micro-organisme dan bahan organik yang ada di dalam air. Pada pergantian kulit ke empat larva berubah menjadi pupa, umur larva hingga menjadi pupa berkisar antara 8-14 hari. 3). Stadium Pupa: stadium pupa merupakan stadium istirahat, tidak memerlukan makanan. Pupa dapat bergerak

memberikan respon terhadap perubahan cahaya dan bergerak menuju dasar perairan atau daerah yang aman. Pupa akan berubah menjadi nyamuk dalam 12 hari, pemunculan nyamuk jantan lebih dahulu dibandingkan nyamuk betina. Proses ini sama seperti metamorfosa pada kupu-kupu yaitu metamorfosa sempurna dari seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu. 4). Stadium dewasa: nyamuk dewasa yang baru saja keluar dari pupa akan istirahat di permukaan air untuk sementara waktu menunggu sayapnya kering dan tubuhnya menjadi lebih kuat. Nyamuk akan segera melakukan perkawinan dan yang betina akan menghisap darah untuk perkembangan telur yang akan dihasilkannya sedangkan nyamuk jantan akan mencari nektar. Umur nyamuk sekitar 7-20 hari. Didalam memilih habitat untuk berkembang biak, nyamuk Anopheles sp akan meletakkan telur pada tempat-tempat tertentu di sekitar tumbuhan yang ada di dalam air. Ditempat tersebut larva terlindung dari pengaruh gerakan permukaan air, predator dan tercukupi kesediaan makanannya. Kekhususan tempat perkembangbiakan Anopheles sp. dapat menjadi indikator keberadaan larva Anopheles tertentu, seperti di perairan yang luas, terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung (Lagun, tambak, muara sungai) indikasi keberadaan An. sundaicus dan An. subpictus, tempat terlindung dari sinar matahari (kolam), tepi sungai bebatuan di pegunungan yang airnya mengalir perlahan (An. maculatus), persawahan, saluran irigasi (An. aconitus), rawa, kobakan, mata air, bahkan genangan sementara seperti genangan air hujan, lubang pada batu, bekas roda kendaraan dan bekas jejak kaki. BPPK 5 Efikasi Larvasida Bacillus sphaericus dan Bacillus thuringiensis Israeliensis (BTI) Serotype H-14 terhadap Larva Nyamuk Anopheles sundaicus dan Pengaruhnya terhadap Benur Udang/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Kajian penilaian efikasi pada variasi umur residu larvasida yang berisi Bacillus sphaericus dalam bentuk powder, Bacillus thruringiensis israeliensis (BTI) serotype H-14 dalam bentuk powder dan Bacillus thuringiensis israeliensis (BTI) serotype H-14 dalam bentuk cairan terhadap larva nyamuk Anopheles sundaicus stadium larva instar III dan pengaruhnya terhadap kematian larva udang PL 12 telah dilaksanakan di areal pertambakan udang Desa Sukaresik, Kecamatan Cikembulan, Kabupaten Ciamis pada tahun 2002.

Setiap jenis larvasida menggunakan 2 macam dosis yaitu anjuran dan LC 90 dari uji laboratorium . Karena kedua jenis dosis itu tidak berbeda hasilnya, maka analisa lebih lanjut hanya dilakukan pada dosis anjuran yang lebih efisien. Berdasarkan analisa statistik, semua larvasida efektif terhadap larva Anopheles sundaicus dan hasilnya berbeda satu sama lainnya. Begitu juga variasi anjuran dan Lethal Concentrasion (LC) 90 memberikan hasil yang sama. Bacillus sphaericus dalam bentuk powder paling lama dibandingkan dengan lainnya. Kematian larva 90% (LC90) diperoleh pada umur residu 10,81 hari dan LC50 pada 24, 96 hari. Sedangkan LC 90 Bacillus thuringiensis israeliensis (BTI) dalam bentuk bubuk diperoleh pada hari ke 6,20 dan LC 50 pada hari ke 16,005 serta LC 90 Bacillus thuringiensis israeliensis dalam bentuk cairan diperoleh pada hari ke 5,773 dan LC 50 pada hari ke 13,149. Kesimpulannya, larvasida yang paling efektif dan efisien terhadap larva Anopheles sundaicus instar III dan tidak berpengaruh terhadap kehibupan larva udang PL-12 adalah Bacillus sphaericus dalam bentuk powder dalam dosis anjuran yaitu 500 gr/HA. BPPK-LOKA CIAMIS 6 Fauna Nyamuk Anopheles dan Tempat Perindukannya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Enam Bulan Setelah Tsunami/Sahat M. Ompusunngu.-Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Setelah tsunami yang melanda Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, terjadi perubahan lingkungan fisik yang besar di wilayah itu yang berkaitan pada terbentuknya tempat-tempat perindukan nyamuk. Berbagai survei, terutama survei tempat perindukan nyamuk telah dilakukan oleh berbagai tim. Hasil-hasil survei tersebut telah dirangkum dengan mengumpulkan data-data sekunder dari berbagai sumber selama enam bulan setelah tsunami. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat kurang lebih 10 spesies Anopheles, yaitu: Anopheles aconitus, An. barbirostris, An. hyrconus group, An. kochi, An. maculatus, An. sinensis, An. subpictus, An. sundaicus. An. vagus dan Anopheles sp. Di samping itu juga ditemukan Aedes sp dan Culex sp. Tempat-tempat perindukan Anopheles meliputi: genangan tsunami, gangguan pasang surut, genangan lain (sembarang), kubangan, bekas galian, parit sawah, parit/selokan jalan, sawah, kolam kangkung, tambak ikan, lagun, hutan bakau dan rawa-rawa. BPPK 7

Habitat Perkembangbiakan Pradewasa Nyamuk Anopheles sp. di Daerah Pantai Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah/Shinta; Sukowati S.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI: Penyakit yang ditularkan vektor terutama malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Keragaman fauna nyamuk malaria telah menimbulkan permasalahan yang rumit, yaitu jumlah spesies yang banyak, daerah penyebaran yang berbeda serta habitat beragam. Dengan adanya masalah tersebut, maka strategi pengendalian untuk setiap spesies dan daerah penyebaran akan berlainan. Salah satu cara pemberantasan malaria yaitu memutus rantai penularan dan sebagai dasarnya adalah pemahaman spesies dan habitatnya. Penelitian dilakukan di Desa Jati Malang dan Desa Gedangan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada bulan Maret hingga Desember tahun 2004. Pengumpulan data diperoleh melalui survei larva dan pengamatan habitat. Di Desa Jati Malang terdapat 77 perairan yang terdiri dari 6 tipe perairan sebagai habitat perkembangbiakan Anopheles sp. yaitu tambak (20), langun (13), persawahan (30), kolam (3), saluran irigasi (6), kobakan (4), dan 1 habitat kontainer alami yaitu tempurung kelapa menjadi habitat Armigeres. Di desa Gedangan terdapat 36 perairan yang terdiri dari 3 tipe habitat perkembangbiakan Anopheles sp. yaitu tambak (12), lagun (9), persawahan (15). Di Desa Jati Malang yang ditemukan 6 jenis Anopheles yaitu An. sundaicus, An. subpictus, An. burbirotris, An. vagus, An. Aconitus dan An. annularis. An sundaicus dan An subpictus telah dikonfirmasi, sebagai vektor malaria, ditemukan dominan di tipe perairan tambak dan tipe perairan lagun. Kondisi fisik dan lingkungan perairan tersebut memiliki kisaran salinitas 0-3,50/00, kisaran pH 7,0-7,5, kisaran suhu air 23,6-27,8C, kedalaman air 20,3-45,6 cm, dasar perairan berlumpur hingga berlumpur berpasir, keadaan air tergenang. Sebagai tanaman air yaitu gulma air berupa Hetromorpha sp, Enteromorrpha sp, Pistia stratiotes, Eichornia crassipes, Monochoria vaginalis, Hydrilla sp. Lemna sp, Nelumbium nelumbo, Azola pinata, serasah dan padi. Tanaman di sekitar perairan umumnya rumput Digitaria cliaris, yaitu tumbuh diperairan dengan kerapatan rendah hingga rapat. Kondisi fisik dan lingkungan tersebut menjadikan perairan berpotensi sebagai habitat perkembangbiakan Anopheles sp. Keberadaan ikan pemakan jentik (Aplocheilus panchax dan Trichogaster trichopterus) serta larva capung (Agriocnemis pygmaea) merupakan predator bagi larva Anopheles sp. BPPK

8 Pengaruh Metopren (Bahan Aktif: Altosid 1.8B) terhadap Pertumbuhan Anopheles Farauti/Mardiana.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-irrp. ANOTASI : Dalam kehidupan nyamuk, terdapat fase pertumbuhan yang sudah pasti yaitu telur larva-pupa-dewasa. Pada fase pertumbuhan ini keberadaan hormone juvenile sangat berperan sehingga kelebihan dan kekurangan hormone akan mengganggu pertumbuhan nyamuk. Berdasarkan kenyataan tersebut maka hormone juvenile tiruan dapat digunakan sebagai salah satu alternative pengendalian serangga. Mekanisme kerja tersebut tidak mematikan larva nyamuk secara langsung, tetapi menghambat perkembangan pupa menjadi nyamuk dewasa, atau menghasilkan nyamuk dewasa yang tidak normal dan lemah. Metopren merupakan lervasida yang tergolong hormone juvenile sentetik. Larvisida tersebut bekerja dengan menghambat maturasi dan difrensiasi selular sehingga terbentuk nyamuk dewasa yang cacat dan lemah. Pada penelitian yang dilakukan di laboratorium terhadap nyamuk Anopheles farauti, deformitas yang terjadi setelah kontak dengan metopren dengan dosis tertentu adalah pupa yang tidak terbuka, nyamuk dewasa mati sebelum keluar dari pupa, terus melengkung, kaki dan abdomen nyamuk dewasa melekat pada kulit pupa, sayap tidak bisa digerakkan sehingga nyamuk tidak bisa terbang dan hanya bertahan hidup selama 2 hari. Deformitas ini berhubungan dengan dosis metopren yaitu tinggi dosis makin berat deformitas yang terjadi pada nyamuk tersebut. BPPK 9 Studi Bionomik Vektor Setempat untuk Menunjang Penanggulangan Kejadian Luar Biasa di Desa Langkapjaya Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi Tahun 2004/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Sukabumi: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Kabupaten Sukabumi mempunyai dua daerah endemis malaria yang peningkatan kasusnya selalu tinggi, yaitu di Kecamatan Simpenan dan Kecamatan Lengkong. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bionomik vektor. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan (bulan Agustus Desember 2004) desa Langkap Jaya.

Lengkong, Kabupaten Sukabumi, melalui penangkapan human bitting, spesies nyamuk Anopheles yang tertangkap adalah An. aconitus, An. barbirostris, An.vagus dan An. maculatus. Yang dominan adalah An. aconitus dan An.barbirostris. Resting di alam siang hari, ditemukan An. aconitus disekitar pemukiman seperti di semak, daun dan bagian rumah. Rata-rata kepadatan menggigit perjam (MHD), terendah pada jam 01.00-02.00 yaitu 0,1 gigitan perjam dan tertinggi pada jam 18.00-19.00 dan 20.00-21.00 yaitu 1,1 gigitan perjam. Sedangkan kepadatan gigitan permalam ((MBR) setiap bulannya, tertinggi pada bulan Agustus 2004 yaitu 10,8 gigitan per malam. Terdapat dua tempat perindukan potensial (TPP) berupa aliran sungai, sawah yang pada musim kemarau kurang berair. Hasil pembedahan ovarium, nyamuk An. aconitus berpeluang menjadi vektor sebanyak 16,8% yaitu mencapai dilatasi 4 dan berumur > 14 hari. Pemeriksaan ELISA Test ditemukan sporozoit pada spesimen An. aconitus. Dengan diketahuinya bionomik dan kepadatan vektor, diharapkan kegiatan pemberantasan yang dilaksanakan dapat mencapai sasaran. BPPK-LOKA CIAMIS 10 Studi Dinamika Penularan Malaria di Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Jawa Barat Tahun 2004/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Salah satu daerah endemis malaria di Kabupaten Ciamis yang angka kesakitan malaria selalu tinggi dan cenderung meningkat adalah desa Pamotan wilayah Puskesmas Kalipucang yang mempunyai ekologi pantai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika penularan serta faktor-faktor resiko terjadinya kesakitan malaria. Pelaksanaan penelitian selama 9 bulan yaitu Mei Desember 2004. Dari hasil studi yang dilakukan di desa Pamotan, diketahui bahwa parasit malaria yang dominan adalah Plasmodium falcifarum dengan proporsi > 90 % dengan terjadinya penularan di wilayah desa setempat. Karakteristrik penderita meliputi semua umur dan jenis kelamin, tapi yang dominan adalah usia dewasa laki-laki. Penularan malaria terjadi di wilayah setempat di dalam dan luar rumah tapi banyak terjadi diluar rumah. Nyamuk Anopheles sundaicus yang tertangkap melalui umpan orang di luar rumah sebanyak 1.185 ekor, sedangkan di dalam rumah 727 ekor selama bulan Mei Desember 2004. Pengetahuan masyarakat tentang malaria cukup baik meskipun ada perilaku masyarakat yang masih mendukung terjadinya penularan malaria,

misalnya berada diluar rumah malam hari tanpa menggunakan pelindung dari gigitan nyamuk. Faktor lingkungan yang menjadi faktor resiko penularan malaria adalah masih banyaknya rumah yang lubang ventilasinya tidak ditutup kawat kasa sehinga nyamuk bisa masuk kedalam rumah, bahkan petani penderes gula ada yang tinggal di gubug yang terletak di kebun kelapa dan dekat dengan tempat perindukan. Nyamuk vektor yang ditemukan adalah Anopheles sundaicus dengan gigitan lebih banyak di luar rumah, puncak gigitan pada jam 02.00 03.00 di luar rumah, sedangkan di dalam rumah puncaknya jam 03.00 04.00. Tempat perindukan berupa muara, kolam, kobakan kecil tepi pantai, hutan bakau dan sawah air payau yang potensial pada awal musim hujan dan jaraknya sangat dekat pemukiman penduduk, rata-rata kurang dari 200 meter. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan kesehatan dan pengamatan lingkungan secara berkala, sedangkan pemberantasan vektor jangka panjang direkomendasikan di kampung Ciawitali dan Majingklak adalah pemasangan kelambu celup. BPPK-LOKA CIAMIS 11 Survai Longitudinal Entomologi di Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Nyamuk Anopheles yang paling dominan dan kepadatannya sesuai pola penyakit malaria adalah spesies Anopheles sundaicus. Kegiatan pengamatan ini telah dilakukan selama tiga tahun yaitu tahun 2000-2002 di Kampung Palataragung Desa Pamotan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bionomik vektor yang terdiri dari spesies, perilaku, fluktuasi kepadatan, serta penyebaran habitatnya. Pelaksanaan kegiatan meliputi penangkapan nyamuk landing di dalam dan diluar rumah, resting dinding mulai jam 18.00 06.00 serta pengamatan tempat istirahat di alam dari jam 06.00-08.00. Selama pengamatan nyamuk Anopheles sundaicus paling dominan tertangkap dan pola kepadatannya berkorelasi dengan penyakit malaria. Puncak kepadatan terjadi pada bulan Oktober pada saat mulai turun hujan. Sebaliknya pada musim kemarau serta pada saat curah hujan sedang tinggi kepadatannya rendah. Nyamuk ini aktif menggigit setelah lewat tengah malam, puncaknya pada jam 02.00-03.00. Kebiasaan menggigit 58,97% terjadi di dalam rumah dan 41.03% di

luar rumah. Istirahat di dinding rumah sebelum jam 22.00 yang dominan nyamuk unfeed sedangkan lewat jam tersebut yang dominan adalah half blood feed dan puncaknya pada jam 24.00 serta jam 03.00. Tidak ditemukan yang istirahat dinding dalam keadaan bloodfeed. Nyamuk istirahat di alam tidak ditemukan sekitar pemukiman, pernah ditemukan istirahat pada daun pisang kering yang telah jatuh ke tanah serta semak di sekitar muara sungai. Dan yang istirahat di kandang ternak sedikit sekali. Secara keseluruhan kebiasaan nyamuk An. sundaicus di Pekataragung adalah datang ke rumah sebelum tengah malam lalu istirahat di dinding, kemudian menggigit dan istirahat lagi. Begitu berulang-ulang sampai darahnya penuh, kemudian kembali ketempat perindukan untuk istirahat mematangkan telur. Dari data tersebut perlu rekomendasi pemberantasan vektor untuk jangka panjang yaitu pengelolaan lingkungan secara rutin seperti pembersihan semak sebaiknya saat mulai turun hujan (bulan September), pemasangan kelambu celup, pemasangan cattle barrier serta penyemprotan rumah Indoor Spraying Residual (IRS) dilakukan pada saat kasus malaria meningkat bahkan mengarah pada Kejadian Luar Biasa (KLB) BPPK-LOKA CIAMIS 12 Survai Longitudinal Entomologi di Desa Pasirmukti Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2003/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Tasikmalaya: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Perkembangan jumlah kasus penyakit malaria Kabupaten Tasikmalaya, dari tahun 1995-2002 terjadi peningkatan. Yang tertinggi kasus terjadi pada tahun 1997 dengan jumlah penderita 1453 orang. Peningkatan ini diduga karena berubahnya ekosistem yang mengakibatkan makin banyaknya tempat perindukan vektor, mobilitas penduduk yang semakin tinggi, peningkatan intensifikasi penemuan dan pengobatan penderita. Tujuan umum dilakukan penelitian ini untuk mengetahui bionomik vektor yang terdiri dari spesies, perilaku, fluktuasi kepadatan, serta penyebaran habitatnya. Selama tiga bulan survai, melalui penangkapan human bitting, spesies nyamuk Anopheles yang tertangkap adalah Anopheles aconitus, Anopheles barbirostris, Anopheles vagus, dan Anopheles annularis. Diantara keenamnya yang dominan adalah Anopheles aconitus dan Anopheles barbirostris yang tertangkap pada setiap bulan penangkapan. Resting di alam siang hari, tidak pernah ditemukan di sekitar pemukiman. Selama periode bulan Juli 2003 Juni 2004, kepadatan nyamuk Anopheles aconitus tertinggi ada pada bulan Oktober 2004 pada saat

10

hujan masih turun, sedangkan pada bulan September 2003, tidak ditemukan nyamuk. Perilaku menggigit nyamuk Anopheles aconitus lebih banyak terjadi di luar rumah yaitu sebesar 97,8%, di dalam rumah sebesar 2,2%. Sebelum menggigit istirahat dulu di dinding, kemudian menggigit, istirahat lagi. Begitu berulang-ulang sampai penuh darah kemudian terbang kembali untuk istirahat di alam disekitar tempat perindukan untuk mematangkan telur. Di kampung Pasirmukti, tempat perindukan vektor potensial (TPP) berupa aliran sungai, serta sawah. Keseluruhan TPP ini pada musim kemarau kurang berair, sedangkan pada musim hujan terisi aliran air hujan. Dengan diketahuinya bionomik dan kepadatan nyamuk vektor serta alternatif rencana pemberantasannya, diharapkan kegiatan pemberantasan akan dilaksanakan, bisa mencapai sasaran seperti yang direncanakan. BPPK-LOKA CIAMIS 13 Survei Penentuan Jangkauan Nyamuk dari Tempat Perindukan melalui Penangkapan Metoda Human Bitting Collection Desa Kertajaya Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Salah satu daerah endemis malaria di Jawa Barat adalah Desa Kertajaya yang pada tahun 2001 terjadi KLB. Peningkatan kasus selain karena reemerging-nya malaria juga disebabkan perubahan lingkungan. Data entomologi dan segala aspeknya sangat dibutuhkan untuk mendukung pemberantasan vektor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jangkauan nyamuk yang menggigit manusia dan penyebarannya pada pemukiman yang beresiko malaria. Survai dilakukan di kampung Cipeudeuy Desa Kertajaya selama 3 kali pengulangan pada tahun 2002. Jarak terbang nyamuk Anopheles sundaicus di Desa Kertajaya Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi, bisa mencapai radius 2000 meter dengan kepadatan yang berbeda untuk tiap jaraknya dari tempat perindukan. Kepadatan pada jarak 0-400 meter, merupakan yang tertinggi dibandingkan jarak yang lebih jauh lagi dengan MBR 96,5. Pada jarak 400-800 meter kepadatannya 57,6, jarak 800-1200 sebesar 2,9 jarak 1200-1600 meter sebesar 2,8 dan pada jarak 1600-200 meter sebesar 2,6 gigitan perorangan permalam. Kepadatan nyamuk pada variasi jarak ini satu sama lainnya berbeda nyata dengan memberikan nilai F sebesar 5,059 dan probabilitas 0,002 pada 95% setelah diuji dengan One Way Anova Test.

11

Korelasi antara jarak dengan kepadatan nyamuk merupakan korelasi kuat yang arahnya terbalik artinya makin jauh jaraknya akan makin kecil kepadatannya, karena menghasilkan nilai korelasi 0,518 dengan probabilitas 0,000 pada 95%. Bentuk hubungannya adalah = -0,0607 x + 105,264 dimana adalah kepadatan nyamuk dan x adalah jarak dari tempat perindukan, artinya nyamuk Anopheles sundaicus di wilayah ini diperkirakan jangkauan terbangnya mencapai 1.734,17 meter dari tempat perindukan. Desa Kertajaya mempunyai dua buah muara sungai yang menutup total dan banyak ditumbuhi tanaman air terutama lumut, dan ditemukan positif larva Anopheles sundaicus. Karena kepadatan berbeda pada masing-masing jarak, maka disarankan upaya pemberantasan malaria difokuskan pada jarak antara 0 sampai dengan 800 meter yang kepadatan tinggi. BPPK-LOKA CIAMIS 14 Survei Penentuan Jangkauan Nyamuk dari Tempat Perindukan Melalui Penangkapan Metoda Human Bitting Collection Desa Sukaresik Puskesmas Cikembulan Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irp. ANOTASI : Data entomologi dan segala aspeknya sangat dibutuhkan untuk mendukung pemberantasan vektor malaria. Tujuan ini adalah untuk mengetahui jangkauan nyamuk yang menggigit manusia dan penyebarannya pada pemukiman yang beresiko malaria. Survei ini dilakukan 3 kali pengulangan. Jarak terbang nyamuk Anopheles sundaicus di Desa Sukaresik Puskesmas Cikembulan Kabupaten Ciamis, bisa mencapai radius 375 meter dengan kepadatan yang berbeda pada tiap jaraknya dari tempat perindukan atau arah tegak lurus dari tepian muara/lagun. Kepadatan pada jarak 150-225 meter, merupakan yang tertinggi dibandingkan jarak yang lebih jauh lagi dengan rata-rata Man Bitting Rate (MBR) 16,0. Pada jarak 0-75 meter rata-rata kepadatan MBR-nya 14,9, pada jarak 75150 meter rata-rata MBR-nya 8,0, jarak 225-300 meter rata-rata MBR-nya sebesar 10,1 dan jarak 300-375 meter rata-rata MBR-nya sebesar 7,1 gigitan per orang permalam. Kepadatan nyamuk pada variasi jarak ini satu sama lainnya berbeda nyata dengan memberikan nilai F sebesar 2,624 dan probabilitas 0,049 pada 95% setelah diuji dengan One Way Anova Test. Korelasi antara jarak dengan kepadatan nyamuk merupakan korelasi kuat yang arahnya terbalik. Persamaan hubungan adalah Y = -0,0178 x + 16,026 dimana kepadatan nyamuk dan X adalah jarak dari tempat perindukan, artinya diperkirakan jangkauan terbang nyamuk Anopheles sundaicus di wilayah ini adalah 910,499 meter dari tempat perindukan, atau arah tegak lurus dari tepian muara atau lagun. Tempat

12

perindukan di Desa Sukaresik berupa tambak terbengkalai dan muara serta sawah pasang surut yang berair payau. Karena kepadatan berbeda pada masing-masing jarak tempat perindukan, maka disarankan upaya pemberantasan malaria diprioritaskan daerah pada jarak antara 150 sampai dengan 225 meter dari tempat perindukan karena kepadatan nyamuknya paling tinggi. BPPK-LOKA CIAMIS 15 Uji Efikasi Catinsektisida (Insektisida dalam Media Cat) yang Diaplikasikan pada Dinding Tembok, Bilik dan Kayu Lapis terhadap Anopheles sundaicus/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-irrp. ANOTASI : Penggunaan insektisida sangat diperlukan untuk pemberantasan vektor malaria pada saat populasi vektor tinggi atau Kejadian Luar Biasa (KLB). Selama ini dilaksanakan Indoor Residual Spraying (IRS) melalui umur residu. Hasil penelitian Institute for Medical Research (IMR) catinsektida mampu membunuh serangga dengan angka kematian 100% dan umur residu 139 minggu. Penelitian ini bertujuan mengetahui: (1) efektivitas insektisida yaitu berbahan aktif Bendiocarb 80%, Bifentrin 10% dan Permentrin 10%, (2) menghitung konsentrasi efektif (LC) Lethal Concentration 90. Pelaksanaannya adalah pada bulan September Desember 2003. Perilakuan berapa aplikasi pada dinding tembok, kayu lapis dan bilik. Dinding tembok per m2 aplikasi pada dinding tembok, kayu lapis dan bilik. Dinding tembok per m2 membutuhkan cat sebanyak 160 gr, bilik 220 gr, serta kayu lapis 120 gr. Konsentrasi insektisida yang digunakan adalah 5 macam yaitu 0,5 mg, 075 mg, 1,0 mg dan 1,25 mg bahan aktif (permethrin) per m2 luas permukaan dinding. Jumlah dinding yang digunakan sebanyak 6 buah per jenis dinding, 5 buah untuk perlakuan dan satu lagi untuk kontrol. Uji efikasi terhadap nyamuk Anopheles sundaicus dengan menggunakan bioassay cone, per dinding satu cone yang diisi 15 ekor nyamuk dan dikontakkan selama satu jam. Nyamuk dipelihara dan diamati di insektarium selama 24 jam dalam paper cup. Uji dilakukan dengan pengulangan 4 kali, masing-masing pengulangan 20 hari. Pada permukaan tembok yang paling efektif terhadap Anopheles sundaicus adalah permentri 10%. Secara statistik tidak terdapat beda bermakna antara kematian pada tembok dan bilik (p=0,805), antara kematian pada tembok dan kayu lapis (p=0,585) dan antara dinding bilik dan kayu lapis menghasilkan (p=0,942). Pada 0,05, LC 90 pada dinding tembok adalah 0,65 mg, pada

13

dinding bilik 1,6 mg dan pada kayu lapis 1,9 mg serta LC 90 gabungan adalah 1,1 mg bahan aktif per m2 BPPK-LOKA CIAMIS 16 Understanding Anopheles Larval Ecology in Sukabumi District West Java Using Field Work, Remote Sensing and Gis/Stoops CA (et al).-- Jakarta: United States Naval Medical Research Unit 2, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : The Indonesian island of Java, with a surface area of 126,566 km2 and a population of 115 million people, is one of the most densely populated regions on earth. To predict out breaks of malaria, and other infectious diseases remote sensing is being used from the local to the continental scale. In the Sukabumi District of West Java, the rate of Plasmodium falciparum and P. vivax malaria has increased since 1998. The Indonesia Ministry of Health and NAMRU-2 recently completed a 12-month large-scale ecological study of the spatial distribution of Anopheles species in this region. The study has identified and ecologically characterized over 1600 sites and identified 15 species of Anopheles. Anopheles barbirostris, a highly zoophilic species, was the most often collected. In addition, An. aconitus, An. maculatus and An. sundiacus have also been found. These species have historically played a major role in malaria transmission in West Java. Anopheles larval ecology will be discussed along with its effect on disease transmission and impact on mosquito control operations. BPPK ANTIBODIES, ANTICARDIOLIPIN 17 Antibodi Antikardiolipin pada Penyalahgunaan Heroin Suntikan/Siti Rohmi.-Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.-- 38p. ANOTASI : Dengan terjadinya peningkatan kasus penyalahguna narkotika, perhatian terhadap komplikasi yang terjadi menjadi meningkat. Akhir-akhir ini oleh Sukmana (unpublished) ditemukan kasus penyalahguna narkotika suntikan dengan komplikasi trombosis (Deep Vein Trombosis, emboli paru dan strok) dengan kadar antibodi antikardiolipin (ACA) yang bermakna. Komplikasi ini sudah ada, dengan ditemukannya beberapa kasus pasien meninggal mendadak yang tidak diketahui penyebabnya tetapi belum ada laporan atau penelitiannya.

14

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas upaya pencegahan komplikasi pada pengguna heroin suntikan. Sedangkan secara khusus adalah untuk mengetahui nilai antibodi antikardiolipin pada pengguna heroin suntikan lebih dari satu tahun, mendapatkan hubungan antara antibodi antikardiolipin dengan komplikasi lain pada penyalahguna heroin suntikan, mengetahui gambaran hemostasis (PT,aPTT, Fibrinogen, D Dimer INR) pada penyalahguna heroin suntikan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan antibodi antikardiolipin (IgG dan IgM) ditemukan pada 89,5% responden penyalahguna heroin lebih dari satu tahun dengan sebaran terbanyak pada positif sedang. Pada penyalahguna heroin yang disertai infeksi virus terjadi peningkatan antibodi antikardiopin yang bermakna, pada peningkatan antibodi antikardiolipin didapatkan gambaran hemostasis masih dalam kasus batas normal. Saran yang dapat diajukan adalah perlu dilakukan penelitian dalam skala besar dengan disain studi prospektif yang lebih baik untuk mendapatkan kadar antibodi antikardiolipin yang akurat. Perlu dilakukan penelitian pada populasi di Indonesia untuk membuat standarisasi pembacaan hasil antibodi antikardiolipin. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk melihat dampak dari peningkatan antibodi antikarolipin terhadap kejadian trombosis BIFK ASTHMA 18 Prevalensi dan Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Asma pada Usia 13 14 Tahun di Perkotaan/Djabir Abudan.-- Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.-- 57p. ANOTASI : Penelitian tentang prevalensi asma di Indonesia dengan memakai satu standar baku yang dilakukan secara serempak di seluruh Indonesia belum pernah dilaporkan. Data-data yang ada masih dalam ruang lingkup yang terbatas atau dalam satu wilayah tertentu. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan asma pada siswa SLTP usia 13-14 tahun di Jakarta Pusat tahun 2003. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui prevalensi asma dihubungkan dengan gejala mengi, derajat penyakit, batuk pada malam hari, serta aktifitas fisik pada periode 12 bulan terakhir dengan menggunakan kuesioner ISAAC yang dimodifikasi. Mengetahui alergen spesifik utama sebagai faktor risiko asma pada siswa SLTP usia 13 14 tahun. Mengetahui hubungan antara faktor atopi dengan angka kejadian asma pada anak berdasarkan kuesioner ISAAC yang dimodifikasi. Mengetahui perbandingan prevalensi asma usia 13-14 tahun antara pria dan wanita. Mengetahui hubungan kejadian asma

15

dengan jumlah anggota keluarga (family size). Mengetahui hubungan antara merokok pasif atau aktif dengan timbulnya asma. Mengetahui besarnya jumlah kejadian asma pada anak yang ibunya menderita asma, dibandingkan dengan yang ayahnya menderita asma melalui kuesioner ISAAC yang dimodifikasi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi asma 12 bulan terakhir pada siswa SLTP usia 13-14 tahun di Jakarta Pusat adalah 8,2%, sedangkan prevalensi kumulatif 8,9% dan prevalensi asma pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki; Alergen yang paling sering menimbulkan sensitisasi atopik adalah Dermatophagoides pteronyssinus dan Dematophagoides farinae; Dalam penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, riwayat orang tua asma dengan kejadian asma pada anak. Sebaliknya paparan asap rokok, family size tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan asma. Saran yang dapat diajukan adalah waktu pelaksanaan penelitian hendaknya disesuaikan dengan jadual kegiatan sekolah agar tidak mengganggu proses belajar-mengajar sehingga mendapat partisipasi responden yang lebih banyak; Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai pengaruh indeks masa tubuh, tingkat pendidikan atau pekerjaan orang tua, status sosial ekonomi keluarga terhadap asma sebagai upaya untuk pencegahan, menurunkan angka kesakitan maupun untuk mengetahui faktor resiko lingkungan penyebab asma. BIFK ATTITUDE 19 Hubungan Pembelajaran Organisasi dan Perilaku sebagai Anggota Organisasi di Puskesmas Laguboti/Dorlyn Sirait.-- Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : The monthly mini workshops of the Laguboti Health Center were monotonous and there was no interaction among participants. The workshops were just considered as routine for reporting and its function was neglected. The purpose of the study was to analyze the relationship of Organizational Leaming (OL) and Organizational Citizenship Behavior (OCB). The units of analysis were 34 staff members, age 25 to 55 years, 1 years tenure and senior high school education. The study design was cross sectional. The research instruments were questionnaires that measured: 1) OL, adopted from Jones (2005), by means of 24 items; and, 2) OCB, adopted from Williams and Anderson (1991), by means of 14 items. Open comments were solicited to support quantitative data. Results of the study showed that there was a strong positive relationship between OL and OCB (r = 0.676). OL contribute 45.7% to OCB. Age, tenure and

16

education together constribute 2.1% to OCB. Open comments supported the quantitative data. There was a significant relationship between OL and OCB; and, age, tenure and education slightly strengthened the correlation OL and OCB. ABFK 20 Kondisi Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Keracunan pada Tenaga Kerja Toko Penjual Pestisida di Kota Jambi/Supriatna.-- Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : The effect of pesticide utilization not only felt by farmer but also by pesticide shop employee. This was caused by bad condition of working place environment such as ventilation system, housekeeping, maintenance as well as behavior of employee that consist of knowledge level regarding to occupational health and safety of pesticide management, attitude and action management of occupational health and safety of pesticide in the group of organophosphat and carbamat could decrease the neuro system. Poisoned also could be find out through subjective complaint which was felt by the employees. The aim of this research was to find out the relationship between environment condition and behavior toward poisoned incident. This was a research that used a cross sectional design. The subject of this research was 36 employees of pesticide shops in Jambi based on inclusion criterias. Independent variables in this research was environment condition and behavior, dependent variables was poisoned incident. The result of this research showed that there was an significant relationship between ventilation system with poisoned ( = 0,394), maintenance toward subjective complaint ( = 0,267) and attitude toward poisoned ( = 0,566), attitude with subjective complaint ( = 0,553). There was a significant relationship between housekeeping with poisoned ( = 0,029), housekeeping with subjective compliant ( = 0,036), level of knowledge regarding occupational health and safety of pesticide management with poisoned was very significant ( = 0,000), level of knowledge regarding occupational health and safety of pesticide management with subjective complaint was very significant ( = 0,000), and accupational health and safety of pesticide management with poisoned was very significant ( = 0,000), the action of occupational health and safety of pesticide management with subjective compliant was significant ( = 0.009) with poisoned and subjective complaint. ABFK BACILLUS THURINGIENSIS 21 17

Efikasi Larvasida Bacillus sphaericus dan Bacillus thuringiensis Israeliensis (BTI) Serotype H-14 terhadap Larva Nyamuk Anopheles sundaicus dan Pengaruhnya terhadap Benur Udang/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 5 BACTERIA 22 Biakan dan Uji Sensitifitas Bakteri pada Peritonitis di Rumah Sakit Sardjito Tahun 2004/Bernard A. Baskoro Sudiyanto.-- Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Peritonitis is an acute abdominal condition due to parieteal and visceral peritoneal inflammation in the abdominal cavity. Based on the pathological mechanism, there are primary, secondary and tertiary peritonitis. Secondary perionitis is a result of infection from pelvic inflammatory disorder (PID), hollow viscous perforation, intestinal ischemia, and biliary system disorder. The mortality rate of peritonitis ranges from 20% to 80%. The management with infection source treatment, causative correctional surgery, peritoneal cavity washing and the use of antibiotics. To understand the bacterial pattern and their sensitivities to various antibiotics, and comparing ceftriaxone to ampicillin and gentamycin. Data collections were from adult peritonitis cases in Sardjito General Hospital in year 2004, which had undergone explorative laparotomy surgery. The specimens were taken from peritoneal fluids and sensitivity tests were done in the Microbiology Laboratory, Gadjah Mada University Faculty of Medicine. The data taken included age, sex, etiology of peritonitis, culture results and microbiological sensitivity tests. Statistical analyzes were then done to assess bacterial sensitivity to ceftriaxone compared to ampicillin and gentamycin with 95% confidence interval. There were 34 cases of peritonitis in adults in year 2004, which had undergone explorative laparotomy surgeries. Twenty of then are males and 14 are females. The oldest patient is 80 years old and the youngest is 17 years old, with mean age 47.6 19.4 years old. The most frequent etiology is appendeceal (38.2%), followed by ileal (20.6%). And gastric perforation (17.6%). The causative anaerobic bacteria were Bacteroides fragilis (77.8%) and Peptostreptococcus sp. (22.2%), which were still sensitive to metronidazole. The majority causative aerobic bacteria were Eschericiae coli (41.9%). Streptococcus sp. (25.8%), enterococcus (12.9%). Klebsiella sp. (9.1%), Bacillus sp. (3.2%). Enterobacter sp. (32%), and Staphyllpcoccus sp. (3.29%). The study revealed that the

18

mortality rate was 12%. The aerobic bacteria sensitivity test to ampicillin was showed to be 19.4%, gentamycin 58.1%, and ceftriaxone 87.1%. Fisher exact test indicated that the bacteria are more sensitive to ceftriaxone as compared to ampicillin and gentamycin. The anaerobic bacteria causatives of peritonitis are still sensitive to metronidazole Furthermore, their sensitivities to ceftriaxone are higher as compared to their sensitivities to ampicillin and gentamycin, which were statistically shown as siginicant. ABFK BENCHMARKING 23 Functional Benchmarking Model Pembinaan Akreditasi Rumah Sakit di Propinsi Bali dengan Model Konsultan ISO 9000/I Wayan Djuliarsa.-- Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-irrp. ANOTASI : Pembinaan akreditasi rumah sakit adalah merupakan salah satu bimbingan dan fasilitas terhadap rumah sakit, agar rumah sakit dapat melaksanakan kegiatan sesuai prosedur. Pembinaan akreditasi rumah sakit di Propinsi Bali baik pra maupun pasca dilaksanakan oleh tim akreditasi Dinas Kesehatan Propinsi Bali. Hasil pembinaan selama ini ternyata belum efektif untuk menimbulkan motivasi pelaksanaan akreditasi, sehingga untuk perbaikan model pembinaan akreditasi dilakukan benchmarking dengan consultant ISO 9000 di Surabaya dengan tim pembina akreditasi rumah sakit Dinas Kesehatan Propinsi Bali. Penelitian dilakukan dengan Functional benchmarking yaitu membandingkan antara pembinaan akreditasi rumah sakit di Propinsi Bali dan model pembinaan premysis consultant di Surabaya, RSUD Wangaya Denpasar, RSU Puri Raharja Denpasar dan PT. Tirta Investama Bali. Analisis dilakukan dengan membandingkan persamaan dan perbedaannya dengan mempertimbangan faktor-faktor yang tidak dapat diperbandingkan. Premysis consultant adalah organisasi independen dan proses pembinaan menggunakan standar ISO requitment guideline, terdapat kontrak waktu dalam melakukan pembinaan, pembinaan pra sertifikasi melalui beberapa tahapan yaitu: 1) diagnose mutu,2) pelatihan, 3) perencanaan mutu, 4) dokumentasi mutu, 5) implementasi mutu, 6) quality assurance dan sertifikasi, tim pembina akreditasi rumah sakit merupakan tim fungsional dari Dinas Kesehatan Propinsi Bali dengan menggunakan self assessment akreditasi tahun 2002, yang berasal dari KARS RSUD Wangaya dan RSU Puri Raharja mempunyai persepsi yang sama terhadap program akreditasi yaitu akreditasi sebagai pegangan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sedangkan PT Tirta Investama

19

sertifikasi tidak memberikan dampak langsung terhadap mutu, tetapi dengan sertifikasi menimbulkan disiplin dalam melaksanakan SOP. Perbedaan yang tidak bisa dimodifikasi adalah sistem pembiayaan melalui rumah sakit yang dibina. Perlu adanya perubahan model pembinaan yang dilaksanakan oleh tim pembina Dinas Kesehatan, Dinas Kesehatan perlu membentuk tim pembina yang independen dengan rekruitmen yang lebih terstruktur dengan demikian diharapkan akan mendapatkan model pembinaan yang effektif. ABFK BIRDS 24 Antropo-Zoonosis Membayangi Kesehatan Masyarakat dan Terputusnya Keberlanjutan Walet sebagai Penghasil Devisa/Mas Noerdjito.-- Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2005, irrp. ANOTASI : Burung Walet liur Aerodramus faciphagus, secara alami beristirahat dan berbiak di berbagai goa yang memiliki lembab nisbi tinggi serta tingkat pencahayaan rendah. Walet liur terdapat di Asia bagian tenggara dengan pusat keterdapatannya di Indonesia bagian barat. Sarang Walet yang dikenal sebagai sarang burung, diperlukan dalam jumlah banyak oleh ras Cina (terutama di Hongkong, Kanada, dan Amerika Serikat) sebagai bahan pembugar tubuh serta campuran obat tradisional. Tingginya tingkat kesulitan pengambilannya serta keterbatasan ketersediaannya menyebabkan setiap kilogram sarang Walet liur dapat mencapai harga belasan juta rupiah. Nilai ekspor tahunan sarang Walet diperkirakan mendekati satu trilyun rupiah sehingga sarang Walet menjadi salah satu komoditi eksport penting bagi Indonesia. Tingginya harga menyebabkan anggota masyarakat yang mampu mengunduh sarang dari goa melakukan panen secara besar-besaran tanpa memberi kesempatan Walet liur untuk bergenerasi. Di berbagai kabupaten, populasi Walet liur di goa tinggal kurang dari 1 % saja. Akal budi serta keberuntungan beberapa anggota masyarakat, memberi kemampuan kepada mereka untuk dapat merubah iklim mikro rumahnya sehingga sesuai untuk ditempati Walet liur. Keberhasilan ini, untuk sementara, dapat dipakai untuk mempertahankan produksi sarang Walet Indonesia. Untuk meningkatkan lembab nisbi, di dalam rumah Walet dibangun kolam yang seringkali menjadi sarang bagi berbagai jenis nyamuk. Bagi rumah yang berhasil, setiap meter persegi langit-langitnya dapat ditempati oleh sekitar 60 pasang burung sehingga jumlah kotoran yang membusuk di lantai semakin hari juga semakin banyak. Selain itu, sifat Walet yang selalu terbang berputar-putar

20

sebelum masuk ke dalam rumah, membuka peluang tercecernya kotoran ke dalam sumber air di sekitarnya. Dengan pertimbangan keamanan, hampir seluruh rumah Walet liur dibangun di daerah pemukiman, berimpit dengan rumah penduduk. Keadaan demikian membuka peluang merebaknya berbagai macam penyakit antropo-zoonosis yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat maupun optimalisasi populasi Walet sebagai penghasil devisa. Berbagai hal yang terkait dengan masalah perlu segera diteliti dan ditangani. FLIP CEREBROVASCULAR DISORDERS 25 Merokok Pasif sebagai Faktor Risiko Stoke Akut/Tri Wahyuliati.-- Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Active smoking has been established increasing the risk of acute stroke. However studies of passive smoking as increasing the risk of acute stroke were still inconsistently result. The purpose of this study is to determine whether passive smoking in stroke patients is more than controls subjects. A hospital based case-control was conducted between March 1, 2004 and 30 April, 2005 in Neurology Department of Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia. Two hundred aged and sex-matched control subjects who no prior of stroke were identified. Two hundred cases and 200 controls aged 35-74 years were analyzed using multivariate stepwise logistic regression. There are only five significantly variables of nine variables. The significantly variables are hypertension OR 3,692 (95% CI.2,172-6.274), history of hypertension OR 3,074 (95% CI.1,782-5,303), heart disease OR 2,358 (95% CI. 1,384-4,018), active smoking OR 9,824 (95% CI.4,854-19,883) and passive smoking, OR 12,346 (95% CI.6,045-25,216). This study found passive smoking increases the stroke in Yogyakarta, Indonesia. ABFK CHLOROQUINE 26 Kadar Klorokuin pada Kegagalan Pengobatan Malaria falsiparum dan Malaria Vivaks di Lampung Selatan/Dedeh Endawati.-- Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005.-- 62p. ANOTASI :

21

Kegagalan pengobatan dengan klorokuin dapat disebabkan oleh faktor hospes dan faktor parasit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui absorpsi obat pada hari ke-3 dan kadarnya pada hari rekurens dari penderita malaria falsiparum dan vivaks yang diobati klorokuin. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai September 2002 di Puskesmas Hanura, Propinsi Lampung, Indonesia. Enam puluh enam penderita terdiri dari 33 malaria vivaks diberikan klorokuin dengan dosis standar (25 mg/kgbb, selama 3 hari). Pasien diamati secara klinis dan parasitologi selama 28 hari dan diambil darah pada hari ke-0, 2, 3, 7, 14, 21, 28. Empat puluh sembilan dari 66 penderita malaria mengalami kegagalan pengobatan yaitu 25 penderita malaria falsiparum dan 24 penderita malaria vivaks. Kadar klorokuin diukur dengan HPLC sesuai metode Patchen pada hari ke-0, 3, 28 dan saat terjadi rekurens. Absorpsi klorokuin (H3) ditemukan tidak adekuat pada 54,5% (18/33) penderita malaria falsiparum dan 94,4% (17/18) penderita tersebut mengalami kegagalan pengobatan. Sedangkan dari 51,5% (17,33) penderita malaria vivaks yang absorpsinya in adekuat terdapat 82% (14/18) mengalami kegagalan pengobatan. Hampir seluruh (96%=24/25) penderita malaria falsiparum yang gagal mempunyai kadar klorokuin 200 ng/ml pada hari rekurens. Sedangkan pada penderita malaria vivaks 79% (19/24) kadar klorokuin darah lebih besar dari 100 mg/ml pada waktu terjadi rekurens. Penelitian di Lampung Selatan ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa kegagalan pengobatan klorokuin terutama disebabkan oleh absorpsi klorokuin yang inadekuat. BIFK CISPLATIN 27 Kadar Cystatin C Darah dan Bersihan Kreatinin (CCT) pada Penderita Kanker Nasofaring yang Mendapat Kemoterapi Cisplatin/Marina Salim.-- Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005,-- 90p. ANOTASI : Angka kejadian penderita kanker baik nasional maupun dunia cukup tinggi. Di Indonesia karsinoma nasofaring merupakan jenis tumor ganas terbanyak yang menempati urutan keempat dari seluruh tumor ganas setelah karsinoma serviks, payudara dan kulit. Keganasan tersebut sering terlambat didiagnosis dan mempunyai prognosis yang jelek, meskipun keganasan ini sensitif terhadap penyinaran dan kemoterapi. Namun terapi untuk kanker khususnya kemoterapi mempunyai efek samping yang tidak sedikit terutama obat cisplatin sering menyebabkan nefrotoksis. Pada pasien kanker biasanya sebelum kemoterapi secara rutin dilakukan pemeriksaan penilaian fungsi ginjal. Penilaian fungsi ginjal dengan bersihan kreatinin (Creatinine Clearance Test = CCT) sering menjadi kendala dalam hal ini penampungan urin 24 jam. Untuk mengatasinya sering

22

dipakai CCT cara hitung menurut rumus Cockroft dan Gault tetapi dipengaruhi pula banyak faktor yaitu usia, berat badan dan jenis kelamin. Walaupun dikenal uji baku emas GFR berupa uji bersihan inulin, uji kontras radiologik iohexol atau Cr-EDTA, namun cara-cara tersebut kurang praktis untuk diterapkan secara rutin. Saat ini telah dikenalkan parameter uji baru laboratorium untuk LFG yaitu penetapan kadar Cystatin C dalam darah. Cara baru ini mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan CCT karena Cystatin C diproduksi oleh sel badan secara tetap, difiltrasi, bebas melalui glomeruli dan tidak disekresi oleh tubulus ginjal. Cystatin C direabsorbsi oleh tubulus proksimal tetapi langsung dimetabolisis dalam sel tubulus proksimal tersebut sehingga tidak masuk ke dalam darah. Pengukuran Cystatin C cukup dengan kadar dalam darah, tanpa penampungan urin 24 jam. Pemeriksaan fungsi ginjal dengan kadar Cystatin C saja tanpa dikonversikan menjadi LFG sulit untuk menentukan penurunan derajat ringan, sedang dan berat. Oleh karena itu pemeriksaan Cystatin C dikonversikan dengan menggunakan rumus Amal dan Hoek, tetapi dengan kedua rumus tersebut belum dapat terlihat penurunan fungsi ginjal yang dini karena jumlah sampel kurang memenuhi syarat. BIFK CONSUMER PARTICIPATION 28 Pengendalian Vektor dan Sumber Penyakit melalui Kerjasama Lintas Sektor Berdasarkan Kemitraan dan Peran Serta Masyarakat/Sri Oemijati.-- Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Departemen Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI: Salah satu cara mengendalian penyakit ialah dengan mengendalikan vektornya. Sebelum dapat melakukan pemberantasan, harus dapat dijawab pertanyaan: mengapa suatu penyakit dapat bertahan di suatu daerah. Harus diketahui epidemiologi penyakit itu, yang menyangkut pengetahuan tentang penyebab penyakit; hospes reservoir yang rentan, penyebarnya (vektor), dan yang paling penting adalah lingkungan yang dapat menunjang mata rantai penularan itu. Salah satu pengendalian penyakit dengan pengendalian vektor penyakit. Faktor penting adalah mengetahui bionomi vektor, yaitu tempat perindukan, tempat istirahat dan tempat kontak vektor dan manusia. Untuk menangani lingkungan (fisik dan sosekbud), perlu kerjasama lintas sektor berdasarkan kemitraan dan peran serta masyarakat. Masyarakat hanya mau berperanserta bila dilihat keuntungan, maka bila masyarakat tidak melihatnya, perlu diadakan

23

penyuluhan/pendidikan yang tepat dan lokal spesifik. Untuk dapat mencapai ini perlu diketahui masyarakat yang menunjang adanya vektor itu. Pendidikan merupakan faktor penting. Materi dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai muatan lokal, atau melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang sudah merupakan kerjasama 4 departemen. Program ini merupakan program jangka panjang, tapi jika sudah berjalan akan sustainable. Pengendalian hospes reservoir lebih sulit. Jika HRnya adalah hewan liar, harus diusahakan supaya masyarakat menjauhinya, atau hewan liar itu dijauhkan (diusir). Jika HRnya hewan peliharaan, dapat diusahakan cara pemeliharaan, pengobatan, vaksinasi atau dimusnahkan BIFK CULICIDAE 29 Uji Penerimaan Kelambu Celup oleh Masyarakat dan Efektivitasnya dalam Menolak Kedatangan Nyamuk Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Salah satu upaya pemberantasan malaria adalah mengurangi kontak manusia dengan vektor sehingga tidak berperan dalam penularan malaria. Metode pemberantasan yang dibutuhkan penerimaan masyarakat yang tinggi adalah pemakaian kelambu celup insektisida (IBN). Penelitian ini dilakukan di kampung Palataragung Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang , Kabupaten Ciamis pada bulan Juni Oktober 2002. Tujuannya untuk mengetahui : (1) tingkat penerimaan masyarakat terhadap penggunaan kelambu celup. (2) efektivitas IBN dalam menolak kedatangan nyamuk Dari 40 responden yang berhasil diwawancarai, pengetahuan mengenai malaria dan aspek praktisnya masih kurang yaitu 49,36%. Begitu juga dengan sikap dan perilaku/kebiasaan yang menunjang pencegahan dan pemberantasan malaria masih kurang yaitu sebesar 13,6%. Meskipun KAP-nya masih kurang, tapi masyarakat menerima dengan baik pemasangan IBN untuk mencegah kontak dengan nyamuk karena 96,67% kelambu celup didistribusikan dan digunakan dengan benar. Hasilnya evaluasi efektivitas bahwa kelambu yang terbuat dari bahan polyster yang dicelup insectisida deltamethrin ternyata efektif menolak kehadiran nyamuk di dalam rumah, hasil uji untuk An. sundaicus dan Culex sp. Untuk penggunaan di dalam rumah berbeda nyata dengan kontrol dan di luar rumah kelambu celup

24

ini tidak efektif menolak kedatangan nyamuk baik nyamuk Anopheles sundaicus maupun pada Culex sp. BPPK-LOKA CIAMIS CYSTATINS 30 Kadar Cystatin C Darah dan Bersihan Kreatinin (CCT) pada Penderita Kanker Nasofaring yang Mendapat Kemoterapi Cisplatin/Marina Salim.-- Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005,-- 90p. ANOTASI : Lihat nomor 26 DENTISTRY 31 Sistem Information Usaha Kesehatan Gigi Sekolah di Kabupaten Sumedang Tahun 2005/Juanita Paticia Fatima.-- Depok: Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Informatika Kesehatan, 2005.-- 100p. ANOTASI : Hasil penelitian survey cepat status kesehatan gigi dan mulut tahun 2004 di Kabupaten Sumedang pada murid kelas VI, didapat prevalensi karies yaitu sebesar 64%. Rata-rata DMF-T sebesar 1,78. Nilai PTI sebesar 5,26%. Target yang ingin dicapai Departemen Kesehatan tahun 2010 adalah prevalensi karies <50%, Indek DMF-T rata-rata < 1.00 dan PTI > 50%. Hasil evaluasi kegiatan UKGS tahun 2003, didapat bahwa puskesmas yang tidak melaporkan kegiatan UKGS sebesar 50%. Penyebab dari masalah tersebut adalah kegiatan UKGS belum berjalan dengan baik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan basis data di puskesmas dan dinas kesehatan yang bermanfaat sebagai alat bantu dalam menghasilkan informasi yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan kebijakan, perencanaan, monitoring dan evaluasi program dalam rangka menurunkan prevalensi karies dan meningkatkan cakupan UKGS. Metoda yang digunakan adalah metoda pendekatan System Development Life Cicle (SDLC) dengan cara observasi dan wawancara mendalam dengan informan. Pengembangan sistem dimulai dari penetapan kebutuhan sistem, pemodelan sistem serta penetapan perangkat lunak dan keras yang digunakan dengan harapan dapat menghasilkan informasi dalam menyusun perencanaan monitoring dan evaluasi program UKGS.

25

Sistem informasi UKGS dikembangkan dengan rancangan formulir input dan tampilan output yang berisi cakupan UKGS, indikator, grafik dan peta sebaran tenaga kesehatan gigi di Kabupaten Sumedang. Pelaksanaan sistem informasi ini agar berjalan dengan baik dan berkelanjutan membutuhkan komitmen dan kebijakan yang kuat dari penentu kebijakan, aturan yang jelas tentang organisasi pelaksana, motivasi yang kuat dari pelaksana dan dukungan dana yang berkesinambungan. BIKM DEXAMETHASONE 32 Perbandingan Dayaguna Premedikasi Tropisetron 2 mg dengan Deksametason 5 mg dalam Mencegah Mual dan Muntah Pascaoperasi Ginekologi Mayor/Suko Basuki.-- Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-irrp. ANOTASI : We want to compare the efficacy between tropisetrone 2 mg and dexamethasone 5 mg for preventing postoperative nausea and vomiting in major gynecological surgery. The study was randomized double blind controlled trail. We studied 94 female, age between 18-50 years old with physical status according to classification ASA class I and II underwent elective surgery in Sardjito Hospital Yogyakarta and RSUD Banyumas. The subjects devided into two groups, the number of each group were 47 patients, groups, group 1 received tropisetron 2 mg and group II received dexamethasone 5 mg. We conclude that tropisetrone 2 mg better than dexamethasone 5 mg to prevent nausea and vomiting in major gynecological surgery, tropisetrone decreased the incidence of PONV from 58-88% to 29,79% and dexamethasone was 44,68% (p<0,019). BIFK DIACETYLMORPHINE 33 Antibodi Antikardiolipin pada Penyalahgunaan Heroin Suntikan/Siti Rohmi.-Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.-- 38p. ANOTASI : Lihat nomor 17 DISEASE OUTBREAKS 34 Study Bionomik Vektor Setempat untuk Menunjang Penanggulangan Kejadian Luar Biasa di Desa Langkapjaya Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi

26

Tahun 2004/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Sukabumi: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 9 DISEASE RESERVOIRS 35 Bio-Ekologi Vektor dan Reservoir: Arti-pentingnya dalam Epidemiologi dan Pengendalian Penyakit/Singgih H. Sigit.-- Bogor: Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI: Kemampuan suatu mahluk bertindak sebagai vektor ataupun reservoir penyakit ditemukan oleh kondisi fisik dan faali tubuh serta perilaku kehidupan mahkluk itu. Tubuh vektor atau reservoir harus dapat mengakomodasi keberadaan patogen tanpa mencederai patogen itu, sebaliknya ia juga tidak mengalami cedera apapun. Karena itu penguasaan informasi mengenai bioekologi vektor dan reservoir, yang mencakup tata kehidupan, daur hidup, habitat, jangka hidup, daya reproduksi, mobilitas, penyebaran, dinamika populasi serta perilaku, amat penting artinya bagi pemahaman epidemiologi dan penentuan strategi penanggulangan penyakit tular-vektor. Pengetahuan itu akan sangat membantu untuk memperoleh gambaran tentang keberadaan penyakit disuatu wilayah, baik yang menyangkut sebaran, kelompok masyarakat terancam, maupun faktor-faktor resiko, yang merupakan bekal utama menghadapi kemungkinan terjadinya ledakan. Selanjutnya informasi bio-ekologi akan menentukan dimana, kapan dan bagaimana upaya pengendalian akan dilaksanakan. Pengendalian dapat dipilih apakah berupa intervensi terhadap habitat pradewasa, terhadap aktivitas mencari makan, atau sewaktu sedang beristirahat. Mengingat keberadaan vektor dan resevoir tidak terlepas dari praktek pengelolaan lingkungan wilayah maupun setempat, maka kerjasama lintas sektor serta partisipasi masyarakat mutlak diperlukan. Apapun strategi yang akan ditetapkan, yang perlu diingat adalah azas dasar dalam dunia pengendalian vektor yaitu efektif, aman, praktis, mudah dan dapat diterima masyarakat. FIPB 36 Pengendalian Vektor dan Reservoir Penyakit dengan Manipulasi Lingkungan Secara Fisik/Sukar.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp.

27

ANOTASI : Demi kemaslahatan masyarakat banyak, Pemerintah melalui Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pada pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan yang sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satu di antaranya disebabkan oleh penyakit, baik yang secara langsung maupun yang tidak. Penularan penyakit bisa secara langsung ataupun ditularkan melalui vektor yang mengandung agen penyakit. Untuk mengendalikan penyakit yang berasal dari agen dalam vektor adalah dengan membasmi atau menurunkan jumlah vektor dalam lingkungan. Pengendalian vektor perlu (PVT) sebetulnya adalah dasar pengendalian agen penyakit (PAP). Pada dasarnya PVT adalah upaya pengendalian PAP melalui pendekatan ekologi dengan memprioritaskan manipulasi lingkungan, terutama lingkungan fisik yang aman terhadap masyarakat, namun mampu menurunkan vektor, memberikan keuntungan ekonomi serta dapat diterima oleh masyarakat. Tujuan akhir PVT adalah untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Manipulasi lingkungan fisik dalam mengendalikan vector meliputi parameter temperatur, keasaman (pH), warna, kekeruhan (turbiditas), daya hantar listrik (DHL), residu (total, terlarut, suspensi, volatil dan terikat dan mengendap), bau dan rasa. Diharapkan dengan manipulasi lingkungan fisik pengendalian vektor dapat dilakukan dengan aman. BPPK 37 Pengendalian Vektor dan Reservoir Penyakit secara Kimia dengan Pestisida/Sukar.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Peneltian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Usaha menurunkan vektor yang merupakan pembawa agen penyakit dengan metoda kimia (pestisida) tidak cukup. Sebab pestisida selain mampu menurunkan populasi vektor kuantitas dan kualitas, pestisida, juga mempunyai dampak samping terhadap lingkungan yaitu dengan menurunnya kualitas lingkungan. Tujuan dari paper ini adalah untuk mengetahui kemampuan pemakaian pestisida untuk menurunkan vektor di lingkungan. Sehubungan dengan sifatnya sebagai biosida yang dapat mematikan jasad hidup, khususnya vektor penyakit yang membawa agen maka penggunaan pestisida dapat membantu menurunkan derajat kesehatan yang diakibatkan oleh agen yang dibawanya.

28

Adapun pengaruh yang tidak diinginkan terhadap lingkungan, adalah rusaknya lingkungan pertanian, pekerjaan (occupational health), peternakan, satwa liar dan lingkungan tanaman. Pemerintah melalui peraturan No. 7 tahun 1973, tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, menetapkan bahwa pestisida yang boleh diedarkan, disimpan dan digunakan adalah yang penggunaannya telah terdaftar dan atau diizinkan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan. Dalam rangka pengendalian perlu membatasi formulasi pestisida yang didaftarkan untuk dapat diedarkan di Indonesia, Menteri Pertanian telah mengeluarkan surat keputusan No. 944/Kpts.TP.270/11/1984 tentang Pembatasan Pendaftaran Pestisida. BPPK 38 Pengendalian Vektor dan Sumber Penyakit melalui Kerjasama Lintas Sektor Berdasarkan Kemitraan dan Peran Serta Masyarakat/Sri Oemijati.-- Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Departemen Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 28 ECOLOGY 39 Study Bionomik Vektor Setempat untuk Menunjang Penanggulangan Kejadian Luar Biasa di Desa Langkapjaya Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi Tahun 2004/ Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Sukabumi: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 9 40 Survai Longitudinal Entomologi di Desa Pasirmukti Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2003/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Tasikmalaya: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 12 EMPLOYEE PERFORMANCE APPRAISAL 41 Konflik Peran, Ketidakjelasan Peran, Kelebihan Beban Kerja dan Kinerja Pegawai Akademi Kebidanan Pemerintah Kabupaten Kudus/Heni Febriana.-Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp.

29

ANOTASI : Multiple appointments assumed by employees the Midwifery Academy of Kudus result in role conflict and role uncertainty. Approximinately 22% of the employees who are civil servants status are employees the Kudus District Health Office, General Hospital and Administration. Indonesia times of increased work load (e.g., during student admission, graduation, field work, semester orang final examination) employees are required to function in adhoc committers based on their stuctural positions. The teaching load of more than hours per week is also a cause of excessive workload for lecturers, while working hours of 6-9 hours a day, six days a week influence employee performance. Role conflict, role ambiguity and excessive workload data were collected cross sectionally from all 46 employeers by means of questionaire adapted from Peterson et al. (1995), while performance data were collected from their respective employees by means of a questionaire adapted from Fried et al (1998). Pearson correlation coeffisients were computed to determine the practical significance of the correlations. The results indicate that there is a week between role conflict (r = - 0.404, role ambiguity (r = - 0.335), and excessive workload (r = - 0.554) and employee performance. BIFK ENTOMOLOGY 42 Survai KAP dan SPOT Parasitemia Malaria Desa Bagolo Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI: Selain keberadaan vektor, KAP masyarakat dan tingkat paratitemia di daerah endemis malaria merupakan faktor penting dalam terjadinya transmisi malaria. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat parasitemia dan entomologi yang dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2002. Pada survai KAP di desa Bagolo Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis, diketahui bahwa hanya 71 orang atau 39,01% dari 182 responden yang mengetahui malaia termasuk gejala klinisnya, penyebabnya, penularnya serta bagaimana mengobatinya. Sedangkan responden yang kebiasaan atau perilaku menunjang program pencegahan dan pemberantasan malaria sebanyak 112 orang atau 61,62%. Tapi meskipun pengetahuannya hanya 39,01% dan perilaku atau kebiasaannya yang menunjang P2 malaria hanya 61,62%, tapi sikap mereka dalam mendukung

30

program pemberantasan malaria sangat tinggi, yaitu 181 orang atau 99,18% mendukung dan seorang lagi menyatakan tidak tahu. Tingkat perasitemia pada sampel tanpa gejala klinis sebesar 20% yaitu 4 orang positif malaria dengan spesies Plasmodium falciparum dari 200 sampel sediaan darah. Umur sampel yang positif semuanya di atas 15 tahun, 3 orang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan 1 orang, semuanya bekerja sebagai pengrajin gula. Dari data ini bisa diketahui bahwa di Desa Bagolo kelompok masyarakat yang paling beresiko untuk tertular dan menularkan malaria adalah orang dewasa yang bekerja sebagai pengrajin gula karena jenis pekerjaan mereka yang sering berada di kebun pada awal malam untuk mengambil nira serta malam harinya mengolah gula di gubug yang terbuka/tidak rapat. Upaya penanggulangan kasus malaria dan pemberantasan vektor yang dilakukan adalah dengan pengambilan sediaan darah secara rutin terhadap penderita, gejala klinis, penyuluhan serta pengelolaan lingkungan. BPPK-LOKA CIAMIS 43 Survai Longitudinal Entomologi di Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 11 44 Survai Longitudinal Entomologi di Desa Pasirmukti Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2003/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Tasikmalaya: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 12 45 Survei Penentuan Jangkauan Nyamuk dari Tempat Perindukan Melalui Penangkapan Metoda Human Bitting Collection Desa Sukaresik Puskesmas Cikembulan Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irp. ANOTASI : Lihat nomor 14 46

31

Survei Penentuan Jangkauan Nyamuk dari Tempat Perindukan melalui Penangkapan Metoda Human Bitting Collection Desa Kertajaya Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 13 ENVIRONMENT 47 Kondisi Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Keracunan pada Tenaga Kerja Toko Penjual Pestisida di Kota Jambi/Supriatna.-- Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 20 FILARIASIS 48 Gambaran Situasi Filariasis (Kaki Gajah) di Kabupaten Bekasi/Sunanti Zalbawi; Erwan.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI Penyakit filariasis (kaki gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditular oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis), bila tidak mendapat pengobatan yang baik dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin laki-laki maupun perempuan. Akibatnya dapat menimbulkan stigma dan kerugian ekonomi karena penderita tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Untuk pemberantasan penyakit sampai tuntas pada tahun 2000, WHO sudah menetapkan kesepakatan global untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020. Berdasarkan survei cepat filariasis tahun 2000, filariasis tersebar di seluruh propinsi, meliputi 231 kabupaten, 674 puskesmas, 1553 desa dengan jumlah kasus klinis kronis dilaporkan sebanyak 6500 orang. Telah dilakukan penelitian mengenai pengembangan peranserta masyarakat. Dalam eliminasi filariasis di daerah endemis di Kabupaten Bekasi dan dari hasil data primer bisa memberikan gambaran mengenai situasi filariasis di Kabupaten Bekasi. Kasus kaki gajah pertama kali di Indonesia di Tarumajaya, Bekasi (Depkes) tahun 1995. Penanganan filariasis di Kabupaten Bekasi mulai intensif

32

dilakukan pada tahun 2003, dengan diketemukannya kasus di daerah Jati Mulya dan dilakukan survei darah jari pada penduduk yang berada di sekitar penderita dan ditemukannya Mf Rate 1,6%. Pada tahun 2003 di Desa Jati Mulya dilakukan pengobatan massal filariasis untuk putaran pertama, jumlah sasaran yang harus minum obat sebanyak 53.994 dengan angka yang minum obat 53.188 (98.51%), pelaksanaannya dibantu TPE. Pada tahun 2004 sebanyak 14 desa endemis filariasis secara serempak dilakukan pengobatan massal. Penularan filariasis jenis Wucherenia bancrofti di Desa Lambangsari dan Mekar Sari, Kabupaten Bekasi ditularkan nyamuk Culex quinquefasciatus. Tempat perkembangbiakan adalah air limbah rumah tangga organik yang tergenang. BPPK FOOD in infancy and childhood 49 Development of Food Based Dietary Guidelines For 6-11 Month Old Infants Using Linear Programming, in East Lombok, West Nusa Tenggara/Suci Firiyanti.- Jakarta: Faculty of Medicine University of Indonesia Postgraduate Program Study Program in Nutrion, 2005.--14p. ANOTASI : Two immediate causes of malnutrition are inadequate dietary intakes and diseases, and the underlying causes that lead to those two are inadequate access to food in the household, insufficient health services and an unhealthy environment, and inadequate care of children and women. Inadequate dietary intake in influenced by inappropriate feeding practice. From six months onward, a child has complementary food at six-month point, since breast milk alone no longer meets all nutritional needs. Optimization of nutrient intake from locally available food is one of three strategies for obtaining needed amounts of problem nutrients in complementary foods. The 54th World Health Assembly in 2001 recommended the widest possible use of indigenous nutrient-rich foodstuffs to improve complementary foods and feeding practice. In response to that recommendation, this study was aimed to develop a feasible food based guideline (FBDG) for complementary feeding of infants aged 6-11 months that will used local food available. This study was planned to develop a dietary guideline in one of the area in Indonesia where many of its children in the age group of 6-11 month were under nourished. There were four specific objectives of this study, but only, the first three objectives that were analyzed and discussed in this thesis. In developing the FBDG, this study was using linear programming analysis, method that was previously used in the study of developing FBDG for 3-6 year old rural Malawian children during food-plenty season. This study adopted the

33

consultative research approach. This approach was chosen because it can help researchers to explore more, not only the infant feeding practice itself, but also other determinants that influence the infant feeding practice. There are three major parts in this research paper. Part 1 consists of background, literature review, problem statement and rationale of the study, objectives, hypothesis, conceptual framework and variable indicator matrix of the study. Part 2 is the manuscriptfor publication, which covers abstract, introduction, subject and methods, result, discussion, conclusion and recommendation. Part 3 provides other methods and other results that have not been put in the manuscript, questionnaires, ethical approvai, informed consent, official permit letter, references, and curriculum vitae of the author. This research report is a partial fulfillment of the requirement for Master of Science degree in Community Nutrition from SEAMEO-TROPMED, University of Indonesia. The study was funded by University of Otago and collaboration between University of Indonesia and University of Otago, New Zealand. The further wish that this report contributes to the improvement process of complementary feeding practices, especially in East Lombok district, West Nusa Tenggara Province. BIFK GERIATRICS 50 Prevalensi dan Sebaran Faktor-faktor Resiko Intrinsik Sistemik yang Mempengaruhi Instabilitas Postural pada Pasien Geriatri di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSPUN-CM Jakarta/Astri Handayani.-Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.-- 54p. ANOTASI : Bank Dunia pada tahun 1990, melalui laporannya kepada Perserikatan Bangsabangsa memproyeksikan bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah warga usia lanjut yang tertinggi di dunia dalam kurun waktu 24 tahun, sejak 1996 sampai dengan 2020 mendatang. Peningkatan tersebut yaitu sebesar 414 %. Tentu saja akan dibarengi dengan peningkatan jumlah pasien usia lanjut serta pasien geriatri. Soejono, dan kawan-kawan menjelaskan bahwa pasien geriatri memiliki karakteristik yang berbeda dari pasien usia lanjut. Karakteristik tersebut adalah selain usia yang lebih dari 59 tahun juga terdapat antara lain ciri penyakit yang multi patologi serta tampilan klinis yang tidak khas. Sebagai contoh dapat disampaikan bahwa pasien yang menderita pneumonia tidak akan datang ke dokter karena demam dan sesak nafas ataupun batuk namun mereka akan dibawa oleh keluarga karena jatuh yang didahului oleh episode instabilitas. Data instabilitas di masyarakat Indonesia belum diketahui, tetapi data di Klinik Rawat

34

Jalan Geriatri RSUPN CM tahun 2000 menunjukkan bahwa dari 2332 kunjungan pasien terdapat 285 kasus instabilitas (12%). Kenny serta Coogler dan Wolf4 menyampaikan bahwa jatuh memiliki beberapa konsekuensi atau penyulit yang amat serius. Menyadari penyulit yang bisa terjadi akibat jatuh serta banyaknya faktor yang berhubungan dengan instabilitas (dan faktor-faktor tersebut sering terdapat lebih dari satu pada seorang pasien) maka amatlah penting untuk mengidentifikasi faktor atau faktor-faktor mana yang besar pengaruhnya terhadap jatuh. Tujuan umum penelitian ini untuk meningkatkan kualitas hidup pasien geriatri dengan mengindentifikasi faktor risiko instabilitas sejak dini dan untuk deteksi dini instabilitas. Tujuan khusus penelitian ini untuk mengetahui prevalensi instabilitas pada fasilitas pelayanan geriatri RSUPN-CM serta mengetahui sebaran faktor-faktor instrinsik sistemik (hipotensi ortostatik, pneumonia, infeksi saluran kemih, gagal jantung, hiponatremia, demensia, hiperkoagulasi, hiperagregasi trombosit) terhadap instabilitas pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Jalan Geriatri RSUPN-CM. Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi instabilitas pada usia lanjut pada penelitian ini adalah 23,3%. Dari sampel yang mengalami instabilitas proporsi sampel dengan hipotensi ortostatik, hiperkoagulasi, hiperagregasi trombosit, hiponatremi lebih tinggi dibandingkan yang mengalami instabilitas tanpa hipotensi ortostatik, hiperkoagulasi, hiperagregasi trombosit, hiponatremi, namun karena keterbatasan penelitian ini belum dapat dibuktikan secara statistik hubungan yang bermakna dengan kejadian instabilitas pada usia lanjut. Demensia merupakan faktor risiko yang secara statistik mempunyai hubungan bermakna dengan instabilitas. Dari penelitian ini disarankan perlu dilakukan penelitian menggunakan metode penelitian kasus kontrol dan kohort dengan faktor resiko yang belum diteliti pada penelitian ini atau faktor resiko dengan intervensi. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang besar untuk mengetahui hubungan faktor-faktor resiko dengan instabilitas. Perlu ditingkatkan kewaspadaan pada kelompok usia lanjut terutama usia lanjut dengan faktor resiko terhadap kemungkinan timbulnya gangguan instabilitas yang pada akhirnya dapat menimbulkan jatuh. Bila sarana tersedia posturografi dapat dilakukan pada pasien usia lanjut dengan keluhan gangguan keseimbangan. Pasien usia lanjut yang mengalami demensia perlu evaluasi fungsi keseimbangan sejak dini untuk mencegah terjadinya instabilitas, perlu dilakukan edukasi terhadap keluarga dan bila memungkinkan dapat menggunakan alat bantu dan pengasuh. BIFK HEALTH MANPOWER 51

35

Mutu Interaksi Supervisor dan Petugas Gizi Puskesmas di Kota Jayapura/Eddy H. Simangunsong.-- Yogyakarta : Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Underachievement of nutrition program coverage target in community health center is mainly caused by human resource factor. Management of nutrition program by nutrition officers in community health center is now under minimum supervision from district health office. Supervisors still also have to improve their technical capability both in programming and supervising. In this study, interaction quality between supervisor and nutrition officers is measured in community health center setting. It is descriptive study using qualitative methods with data triangulation to measured the length of supervising time and its correlation with quality of supervisor and nutrition officers interaction. Unit analysis are supervisors from district health office with study subjects composed of patients randomly selected from community health center, all nutrition program coordinators, head of district health office, head of district subdicision offices, and head of administration office in Jayapura District Health Office. There is positive correlation between the length of supervision time with the interaction quality of supervisor and nutrition officers. The study also shows significant result between interaction quality between supervisor and nutrition officers with the working performance of nutrition program. ABFK HEALTH PERSONNEL 52 Hubungan Antara Komitmen terhadap Organisasi dengan Kinerja Dosen Pembelajaran Klinik di AKPER Swatra di Pekanbaru/Lolly Bilmoneva.-Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Nurse is one of the health care providers who have important role in the health service. Nursing education institution was not yet creating a ready used health care provider. In Pekanbaru Province of Riau, there were three private nursing academies. Most of the clinical learning lecturer was part time lecturer. In order to find out the relationship between demography factor, commitment toward organization and perception toward facility and infrastructure with the work productivity of clinical learning lecturer. This was a cross sectional design that was implemented in private nursing institution in Pekanbaru. The subject of this research was lecturer of private nursing academy in Pekanbaru. The

36

independent variable consisted of chracteristic of lecturer, commitment, perception about facility and infrastructure as well as respondents characteristic. The dependent variable was lecturer work productivity in private nursing academy in Pekanbaru. The result of product moment correlation showed that the administration work product moment correlation showed that the administration work productivity had significant relationship with commitment (r = 0.432), perception toward organization (r = 0.348), age (r = - 0.435), education (r = - 0.474), load per semester (r = 0.401), worker in other place (r = - 0.267). The presence level in learning process had significant relationship (p < 0.05) with commitment toward organization (r = 0.302), education (r = - 0.298), length of work (r = 0.268) and work in other place (r = - 0.529). The result of double linear regression showed that the work productivity influenced by commitment and perception toward organization, age, education, teaching load in the last semester and working in other place. Commitment toward organization was the most determinant factor toward work productivity administration. The level of presence was influenced by commitment, education, length of work and work in other place. The most dominant factor that influenced the level of presence was lecturer who worked in other place. Commitment had relationship with adminstration work productivity and presence level of lecturer in the learning prosess. ABFK HIV 53 Kualitas Hidup Penderita HIV dan Faktor-faktor yang Berpengaruh/Nyoto Widyo Astoro.-- Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.-- 43p. ANOTASI : Penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas hidup penderita HIV di RSUPN-CM dan di RS Kanker Dharmais rata-rata rendah. Kualitas hidup penderita HIV didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan penelitian di negara maju. Kualitas hidup penderita HIV secara dominan dipengaruhi oleh berturut-turut infeksi oportunistik dan terapi ARV kurang dari 3 bulan. Stadium HIV dan anemia mempengaruhi kualitas hidup penderita HIV secara kurang dominan. Umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lama didiagnosis HIV, lama menggunakan obat terlarang secara suntikan, cara penularan, jumlah CD4 dan jumlah limfosit total tidak mempengaruhi kualitas hidup penderita HIV. Dari penelitian ini antara lain disarankan bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup penderita HIV di RSUPN-CM dan RS Kanker Dharmais khususnya di ruang rawat jalan perlu diperhatikan adanya infeksi oportunistik pada penderita HIV dengan segera mengobati infeksi oportunistik tersebut dan segera diberikan

37

terapi ARV bila terdapat indikasi terapi dan tidak didapatkan kontraindikasi terapi. Menghilangkan anemia dan memperbaiki stadium HIV menjadi asimtomatik. Perlu diusahakan tersedianya obat-obat untuk mengatasi infeksi oportunistik dengan harga yang murah dan memperbesar akses obat-obat ARV sehingga harganya murah dan mudah didapat. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada dapat disebabkan metode penelitian, perbedaan karakteristik sampel dan perbedaan tempat penelitian. Disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih luas di ruang rawat jalan, ruang inap pada beberapa rumah sakit sehingga hasilnya dapat digunakan secara luas . BIFK HOSPITALS 54 Analisis Strategi Pemasaran Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina Pasteur sebagai Bagian dari Rumah Sakit Jaringan Hermina Grup/Efran Saputra.-Depok: Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2005.-- 120p. ANOTASI : Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan pendekatan Cross Sectional yang bertujuan untuk mendapatkan strategi pemasaran yang tepat dan sesuai bagi Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina Pasteur. Dari analisis terhadap faktor eksternal dan internal rumah sakit dan hasil Consensus Decision Making (CDM) dengan Manajemen, dengan menggunakan EFE dan IFE Matrix maka didapati Critical Success factors bagi rumah sakit ini yaitu berupa Peluang, Ancaman, Kekuatan dan Kelemahan. Kemudian dengan alat bantu beberapa Matrix (TOWS, IE, dan Grand Strategy) dilakukanlah perumusan terhadap tujuan dan strategi pemasaran, selanjutnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan QSPM (Quantitatif Strategic Planning Matrix) untuk menentukan prioritas strategi dan alternatif strategi pemasaran. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Strategi Pemasaran yang tepat dan sesuai bagi RSIA HERMINA Pasteur sebagai bagian dari jaringan rumah sakit ibu dan anak Hermina Grup pada saat ini adalah; Strategi Penetrasi Pasar. Peneliti juga menyarankan pada pihak manajemen rumah sakit dengan sumber daya yang dimiliki untuk lebih meningkatkan lagi atau lebih agresif lagi dalam melakukan upaya pemasaran. BIKM 55 Functional Benchmarking Model Pembinaan Akreditasi Rumah Sakit di Propinsi Bali dengan Model Konsultan ISO 9000/I Wayan Djuliarsa.-- Yogyakarta:

38

Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-irrp. ANOTASI : Lihat nomor 23 56 Perencanaan Strategis RSUD Menggala Kabupaten Tulang Bawang Tahun 2006 2010 dengan Rerangka Balanced Scorecard/Freddy Oloan Purba.-- Depok: Program Pascasarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2005.-- 145p. ANOTASI : RSUD Menggala sebagai unit yang dalam pengembangan memerlukan perencanaan strategis yang komprehensif dan berkelanjutan. Maka sehubungan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan rumusan perencanaan stratejik RSUD Menggala dengan Rerangka Balanced Scorecard. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Menggala dengan menggunakan metoda penelitian operational research. Dimana data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang kemudian dilakukan proyeksi. Hasil proyeksi data tersebut digunakan sebagai informasi didalam kegiatan Focus Disscussion untuk mengidentifikasi variabel lingkungnan eksternal dan internal rumah sakit sebagai data primer. Dari hasil Consensus Decision Making Group diperoleh variabel eskternal yang faktor-faktor strategis yang berpeluang menjadi ancaman bagi rumah sakit meliputi: (1) letak rumah sakit yang tidak simetris dengan kecamatan lainnya, (2) mahalnya teknologi kedokteran, (3) cakupan pelayanan yang belum optimal. Sedangkan faktor-faktor strategis yang menjadi peluang meliputi: (1) peningkatan pertumbuhan pendapatan perkapita, (2) pertumbuhan jumlah penduduk, (3) adanya dukungan Pemda, (4) peningkatan perilaku masyarakat dalam mencari pengobatan ke rumah sakit , (5) tingkat pendidikan masyarakat yang cenderung meningkat, (6) adanya pemasok terhadap obat/alkes dan bahan yang berkualifikasi, (7) jauhnya jarak dengan pesaing, serta (8) adanya perubahan pola penyakit. Faktor-faktor strategis pada variabel lingkungan internal yang berpeluang menjadi kelemahan adalah: (1) belum adanya visi dan misi, (2) masih banyaknya jabatan struktural yang kosong, (3) belum adanya upaya optimal dalam pemasaran, (4) sistem informasi yang belum terintegrasi serta (5) pengelolaan keuangan yang belum sesuai dengan akuntasi rumah sakit. Sedangkan faktorfaktor strategis yang menjadi kekuatan meliputi: (1) adanya kesempatan bagi SDM untuk meningkatkan kualitas, (2) gedung dan peralatan yang masih baru, serta (3) adanya pelayanan 4 (empat) spesialisasi dasar.

39

Pada tahap the input stage dengan menggunakan EFAS matriks diperoleh nilai faktor peluang sebesar 2,33 sedangkan faktor ancaman sebesar 0,48. Berdasarkan IFAS matriks diperoleh nilai kekuatan sebesar 0,65 serta faktor kelemahan sebesar 2,18. Tahap the matching stage dengan menggunakan TOWS matriks yang memposisikan rumah sakit pada Internal FIX-It Quadrant dan IE matriks memposisikan pada sel V Hold and Maintain, dari kedua metoda tersebut menghasilkan alternatif strategi product development. Sesuai dengan alternatif strategi yang dihasilkan, dan yang sesuai dengan visi dan misi RSUD Menggala ditetapkan strategi terpilih yang meliputi diversifikasi produk layanan dan diferensiasi produk layanan. Kemudian rumusan strategi tersebut dikembangkan dengan rerangka Balanced Scorecard pada keempat perspektifnya. Pengembangan strategi meliputi sasaran strategik (strategic objective), ukuran hasil (lag indicators), ukuran pemasu (lead indicators), tolok ukur, inisiatif strategik (strategic initiatif), program serta penanggung jawab. Pada akhir penelitian ini, direkomendasikan bagi RSUD Menggala sebagai langkah awal dalam pengembangan rumah sakit adalah pembenahan aspek internal organisasi berdasarkan faktor kekuatan dan kelemahan. Kemudian dengan melakukan sosialisasi dan advokasi perencanaan strategis rumah sakit terhadap stakeholder, instansi terkait maupun staff rumah sakit. Hal ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dan dukungan terhadap pengembangan rumah sakit 5(lima) tahun kedepan, sehingga pengembangan rumah sakit sesuai dengan perencanaan pengembangan pembangunan kabupaten pada umumnya serta pembangunan sektor kesehatan pada khususnya. BIKM INFLUENZA A VIRUS, AVIAN 57 Unggas Karier Virus Avian Influenza/NLP I. Dharmayanti; R.M.A. Adjid.-- Bogor: Balai Penelitian Veteriner, 2005.-- irrp. ANOTASI: Beberapa spesies unggas domestik dan liar dapat terinfeksi virus avian influenza. Beberapa unggas yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis yang jelas sedangkan yang lain tidak menunjukkan gejala klinis. Walaupun avian influenza sangat patogen pada spesies unggas tertentu, tetapi untuk spesies lainnya. Faktanya, itik sangat resisten terhadap virus avian influenza yang telah banyak menimbulkan kematian pada ayam. Beberapa hasil penelitian Balivet menunjukkan hal tersebut, yaitu pada awal tahun 2005, saat terjadi wabah avian influenza pada peternakan ayam buras yang dipelihara bersama itik, menunjukkan bahwa wabah tersebut telah

40

membunuh semua populasi ayam yang ada tetapi itik dapat tetap hidup dan sehat. Walaupun demikian telah berhasil diketahui terjadi sheeding virus pada itik-itik tersebut. Balivet juga berhasil mengisolasi virus dari burung-burung langka seperti Bangau Tongtong, Joan Putri Mandi, Merak Hijau, Kakatua Raja dan lainlain. Burung-burung ini juga tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi berhasil diketahuinya sheeding virus dari burung-burung tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif terhadap spesiesspesies lainnya yang kemungkinan bisa menjadi hewan karier virus avian influenza, sehingga dapat diketahui penularan terhadap manusia atau hewan lainnya bukan hanya terjadi melalui ayam tapi juga melalui hewan-hewan karier ini. FBPV INFORMATION SYSTEMS 58 Sistem Information Usaha Kesehatan Gigi Sekolah di Kabupaten Sumedang Tahun 2005/Juanita Paticia Fatima.-- Depok: Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Informatika Kesehatan, 2005.-- 100p. ANOTASI : Lihat nomor 31 INSECTICIDES 59 Tumbuhan Liar yang Berpotensi sebagai Insektisida Hayati/Nunik Siti Aminah; Dasuki.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Senyawa bioaktif yang terkandung dalam tumbuhan diduga dapat berfungsi sebagai insektisida diantaranya adalah senyawa saponin, alkaloid, sterol, flavonoid, poliverfenol, tanin dan minyak atsiri. Insektisida alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ramah terhadap lingkungan karena dampak negatif yang berupa residu dapat ditekan sehingga aman bagi kesehatan. Beberapa senyawa yang berpotensi sebagai insektisida, repelen, antifedan IGR, larvisida dan oviposition. Familia yang dapat dimanfaatkan antara lain familia Verbenaceae terdiri dari 12 jenis Clerodendrum colomitosum, C. crytophyllum, C. fragrans, C. imane, C. indicum, C. inerme, C. inforturnatum, C. myricordes, Lantana camara, L. rugosa, Vitex trifolia, V. negunda. Familia Euphorbiaceae terdiri dari 8 jenis Euphobia adenocthlora, E. antiquorum, E. hirta, E. khasiana, E. Maculata, E. pulcherr ima, E. rayleana, E. tirucalli. Familia Convolvulaceae terdiri dari 7 jenis Ipomea cornea, I. Nil polmata, I. Pundurata, I. Purpurea, I. Quamoclit.

41

Familia Piperaceae terdiri dari 6 jenis Piper arcuatum, P. betle, P. excelsum. P. Guineese, P. longun, P. nigrum. Familia Meliaceae terdiri dari 3 jenis Melia toosendan, M. azedarach, M. volkensil. Familia Asteraceae terdiri dari 2 jenis Eclipta alba, E. Prostrata. Familia Salanaseae yaitu Datura metel. Familia Moraceae yaitu Terminalta catappa. Familia Clusiaceae yaitu Callophyllum inophylum. Familia Pandanaceae yaitu Pandanus tectorius yaitu Callophyllum. Familia Pandanaceae yaitu Pandanus tectorius. Familia Apocynaceae yaitu Catharanthus roseus. Eichhornia crassipes, Lymnocharis flava dan Salvinia natanus yang merupakan tumbuhan liar atau gulma air dapat berperan sebagai larvisida untuk membunuh larva Culex quinquefasiatus. 60 Pengendalian Vektor dan Reservoir Penyakit secara Kimia dengan Pestisida/Sukar.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Peneltian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 37 61 Uji Efikasi Catinsektisida (Insektisida dalam Media Cat) yang Diaplikasikan pada Dinding Tembok, Bilik dan Kayu Lapis terhadap Anopheles sundaicus/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-irrp. ANOTASI : Lihat nomor 15 62 Uji Penerimaan Kelambu Celup oleh Masyarakat dan Efektivitasnya dalam Menolak Kedatangan Nyamuk Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 29 INTRINSIC FACTOR 63 Prevalensi dan Sebaran Faktor-faktor Resiko Intrinsik Sistemik yang Mempengaruhi Instabilitas Postural pada Pasien Geriatri di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSPUN-CM Jakarta/Astri Handayani.-Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.-- 54p. ANOTASI : Lihat nomor 50

42

LEARNING 64 Hubungan Pembelajaran Organisasi dan Perilaku sebagai Anggota Organisasi di Puskesmas Laguboti/Dorlyn Sirait.-- Yogyakarta: Program Pascasarjan Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 19 MALARIA 65 Arti Penting Studi Kompleks Spesies Vektor Malaria di Indonesia/Supratman Sukowati.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di antara dua benua Asia dan Australia mempunyai jumlah dan keragaman spesies vektor malaria. Masalah vektor di Indonesia bersifat lokal spesifik, karena di setiap daerah geografi mempunyai spesies spesifik, bioekologi, habitat, penyebaran, kepadatan dan perannya beragam. Pengendalian vektor merupakan bagian penting dalam pemberantasan malaria. Kurangnya pemahaman tentang spesies dan bioekologi vektor akan menghambat keberhasilan program pengendalian penyakit yang ditularkannya. Studi tentang bionomi, prevalensi, preferensi, infeksi parasit, daur hidup dan evaluasi dampak pengendalian akan kurang bermanfaat kalau hanya didasarkan pada ciri-ciri morfolog spesies. Hal ini disebabkan oleh adanya kompleks spesies di antara vektor malaria, sampai saat ini telah ditemukan kurang lebih 23 spesies takson vektor malaria dikenal sebagai kompleks spesies. Anggota kompleks spesies dikenal sebagai spesies sibling atau spesies isomorphic, secara reproduksi terisolasi dengan gene pool berbeda, sehingga mempunyai perbedaan ciri-ciri biologi dan potensi sebagai vektor. Teknik dan metode penelitian spesies sibling sudah banyak tersedia, seperti siogenetika, elektroforesis, DNA atau RNA probes, PCR, RFLPs, RAPD-PCR, dan perkawinan silang. Mengingat masalah vektor malaria di Indonesia cukup kompleks dan memerlukan strategi pengendalian yang tepat dan spesifik, maka penelitian tentang spesies sibling, bionomi dan peran serta sebagai vektor sangat perlu dilakukan di Indonesia. BPPK 66 Bionomik Anopheles dan Pembuktian Vektor pada Daerah Endemik Malaria di Jawa Tengah Indonesia/Rusmiarto S. (et al).-- Jakarta: NAMRU-2; Dinas

43

Kesehatan Purworejo Jawa Tengah; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 3 67 Study Bionomik Vektor Setempat untuk Menunjang Penanggulangan Kejadian Luar Biasa di Desa Langkapjaya Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi Tahun 2004/ Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Sukabumi: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 9 68 Studi Dinamika Penularan Malaria di Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Jawa Barat Tahun 2004/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 10 69 Survai KAP dan SPOT Parasitemia Malaria Desa Bagolo Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 42 70 Survai Longitudinal Entomologi di Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 11 71 Survei Penentuan Jangkauan Nyamuk dari Tempat Perindukan Melalui Penangkapan Metoda Human Bitting Collection Desa Sukaresik Puskesmas

44

Cikembulan Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irp. ANOTASI : Lihat nomor 14 72 Survei Penentuan Jangkauan Nyamuk dari Tempat Perindukan melalui Penangkapan Metoda Human Bitting Collection Desa Kertajaya Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 13 73 Uji Efikasi Catinsektisida (Insektisida dalam Media Cat) yang Diaplikasikan pada Dinding Tembok, Bilik dan Kayu Lapis terhadap Anopheles sundaicus/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-irrp. ANOTASI : Lihat nomor 15 74 Uji Penerimaan Kelambu Celup oleh Masyarakat dan Efektivitasnya dalam Menolak Kedatangan Nyamuk Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 29 MALARIA, FALCIPARUM 75 Kadar Klorokuin pada Kegagalan Pengobatan Malaria falsiparum dan Malaria Vivaks di Lampung Selatan/Dedeh Endawati.-- Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005.-- 62p. ANOTASI : Lihat nomor 26 MALARIA, VIVAX

45

76 Kadar Klorokuin pada Kegagalan Pengobatan Malaria falsiparum dan Malaria Vivaks di Lampung Selatan/Dedeh Endawati.-- Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005.-- 62p. ANOTASI : Lihat nomor 26 MIDWIFERY 77 Konflik Peran, Ketidakjelasan Peran, Kelebihan Beban Kerja dan Kinerja Pegawai Akademi Kebidanan Pemerintah Kabupaten Kudus/Heni Febriana.-Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 41 MOSQUITO CONTROL 78 Evaluasi Mesocyclops brevisetosus Dussart dan Sarnita untuk Pengendalian Jentik Nyamuk Secara Biologis/Yoyo R. Gionar (et al).-- Jakarta: NAMRU-2, Ditjen P2PL, Departemen Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Telah dilakukan penelitian terhadap Mescocyclops brevisetosus, yang merupakan spesies lokal Indonesia, untuk mengendalikan jentik nyamuk secara biologis. Seekor M. brevisetosus ternyata memiliki kemampuan untuk memangsa 43 jentik instar-1 Ae. aegypti dalam waktu 24 jam. Pengujian tingkat pemasangan oleh copepoda tersebut terhadap tiga jenis nyamuk, menunjukkan M. brevisetosus lebih suka memangsa jentik Aedes aegypti (95 %), diikuti oleh Culex quinquefasciatus (71%), dan Anopheles farauti (54%) dalam waktu 24 jam. Dengan kepadatan copepoda dewasa 25 ekor/ 400 ml air dalam bejana yang ditempatkan di luar ruangan dapat mereduksi hingga 98% populasi Ae. albopictus pra-dewasa dibandingkan dengan bejana berisi air tanpa copepoda sebagai kontrol. Untuk kepadatan 50 copepoda/ 400 ml air, ternyata bisa mengeliminasi secara menyeluruh kehadiran Ae. albopictus dalam bejana. Evaluasi mingguan terhadap ovitrap berisi copepoda yang ditempatkan di rumah penduduk terbukti bisa menurunkan populasi Ae. aegypti pra dewasa sebanyak 38%-100% dibandingkan dengan ovitrap tanpa copepoda (kontrol) selama 12 minggu pengamatan. Populasi copepoda di dalam ovitrap mengalami peningkatan sebanyak 2,5 hingga 6,7 kali dari populasi awal. Tingkat fekunditas M. brevisetosus juga relatif tinggi, rata-rata betina dewasa bisa menghasilkan 58 nauplius untuk sekali proses reproduksi.

46

P2PLP 79 Pengaruh Metopren (Bahan Aktif: Altosid 1.8B) terhadap Pertumbuhan Anopheles Farauti/Mardiana.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-irrp. ANOTASI : Lihat nomor 8 NASOPHARYNGEAL NEOPLASMS 80 Kadar Cystatin C Darah dan Bersihan Kreatinin (CCT) pada Penderita Kanker Nasofaring yang Mendapat Kemoterapi Cisplatin/Marina Salim.-- Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005,-- 90p. ANOTASI : Lihat nomor 26 NUTRITION DISORDERS 81 Comparison of Dietary Assessment Methods Against Energy Expenditure By Pal Approach Among Selected Primary School Children, Aged 9-11-Y-OLD, In Central Jakarta/Mina Grace Cunanan Aquino.-- Jakarta: Faculty of Medicine University of Indonesia Postgraduate Program Study Program Nutrition, 2005.-73p. ANOTASI : Malnutrion, caused by excessive and lack of nutrient intakes, and increased susceptibility to infection, is a strong contributor to increasing morbidity, mortality and poor mental development affecting millions of children worldwide. Thus, many nutrition preventine and intervention programs are targeting children to improve their nutritional status and to prevent the associated lifelong health consequences of malnutrition. Success of monitoring these intervention programs depends on accurate report of dietary intakes which in turn depends on self-reported information of individuals. Hence, dietary assessment method should be serutinized to determine if such method provides valid measures of intakes. As no single measure of diet can be considered as entirely valid, it is the task of nutrion professionals to determine how to obtain the best possible measure of dietary intakes of individuals. Therefore validation of dietary assessment method with a gold standard or against an independent inarker of intakes is of freat importance to deterinine the best strategy for collecting dietary information in children. Up to now, there is no known method on how best to assess the intakes of children in both developed and developing countries. Thus, this study has attempated to validate the widely-used and most preferred method

47

in dietary survey, 24-hour recall among school children in developing urban city of Central Jakarta, using the observed weighed food record as gold standard and energy expenditure as reference of energy intakes. This study is divided into three (3) parts. Part I consists of background of the study, review of related literature, research problem, rationale, research questions, objectives, hypotheses and conceptual framework. Part II contains the MANUSCRIPT OF THE STUDY, entitled comparison of dietary assessment methods against energy expenditure by PAL approach among selected primary school children, 9-11-y-old, in Central Jakarta. The manuscript is written following the requirement for submission to the Asia Pacific journal of Clinical Nutrition. Part III encloses the APPENDICES including detailed methodology, other results of the study, questionnaires, ethical approval, informed consent, grant approval, references and curriculum vitae were made to accomplish the whole study. BIFK OCCUPATIONAL HEALTH 82 Kelelahan Umum pada Pekerja Shift dan Faktor-faktor yang berhubungan pada Pekerja Inspector Soft Drink Pabrik Minuman Botol PT X Bali Tahun 2005/Susy Purnawati.--Jakarta: Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.-- 87p. ANOTASI : Kerja shift yang memberi keuntungan dalam mendukung produktivitas perusahaan telah terbukti dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental pekerja. Pekerja-pekerja shift dihadapkan kepada masalah-masalah sehubungan dengan penerapan sistem kerja ini menyangkut kelelahan, menurunnya penampilan kerja, risiko meningkatnya angka kecelakaan kerja dan penyakit serta timbulnya berbagai masalah keluarga dan sosial. Pekerja inspector soft drink di perusahaan ini menjalani sistem kerja shift pagi-sore masing-masing selama enam hari berturut-turut dalam seminggu kemudian libur pada hari minggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan skor kelelahan umum antara pekerja shift pagi dan sore serta mengetahui hubungan beberapa faktor terhadap kelelahan umum pada pekerja inspector soft drink sebuah perusahaan minuman botol. Metode penelitian adalah studi prospektif dengan mengukur kelelahan umum responden dalam tiga kali periode pengukuran berselang dua minggu pada kedua grup shift pagi dan sore. Data penelitian didapat dari laporan Panitia Pembina Kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan, observasi, wawancara, pemeriksaan fisik, pengisian kuesioner 30-item gejala kelelahan umum dan tes objektif kelelahan Bourdon Wiersma yang dilakukan dua jam sebelum akhir shift.

48

Hasil peneltian dianalisis dengan perangkat lunak komputer SPSS 11,5. Dan didapatkan hasil bahwa ada perbedaan bermakna antara skor kelelahan umum shift pagi dan shift sore (p=0,046) dimana shift sore mempunyai rerata skor kelelahan umum lebih tinggi. Selain itu didapatkan risiko kelelahan pada pekerja shift sore 2,46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan shift pagi. Faktor-faktor lain yang juga diteliti ternyata tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap skor kelelahan umum. Faktor-faktor tersebut yaitu: umur (p=0,093), masa kerja (p=0,839), status pendidikan (p=0,198), status perkawinan (p=0,290), pekerjaan tambahan (p=0,093) dan IMT (p=0,080). Dari penelitian ini terbukti bahwa shift sore berakibat skor kelelahan umum lebih tinggi dibandingkan shift pagi, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya lebih mengefektifkan pemanfaatan waktu-waktu pemulihan pekerja secara partisipatori baik oleh pihak perusahaan maupun pekerja. BIFK ORGANIZATIONS 83 Perencanaan Strategis RSUD Menggala Kabupaten Tulang Bawang Tahun 2006 2010 dengan Rerangka Balanced Scorecard/Freddy Oloan Purba.-- Depok: Program Pascasarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2005.-- 145p. ANOTASI : Lihat nomor 56 OXYTOCIN 84 Perbandingan Daya Guna Oksitosin Saat Kepala Crowning dengan Oksitosin Segera Setelah Bayi Lahir pada Manajemen Kala III/Ivanna Beru Brahmana.-Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : During active management of the third stage, oxytocin was given after delivery of the fetus to prevent postpartum hemorrhage. Oxytocin administration during the fetal head is crowning, however, stimulates uterine contraction faster and more effective bleeding control is expected. To compare effectiveness of oxytocin administration in the active management of the third stage between when the head is crowning vs. soon after delivery of the fetus. Randomized clinical trial. The study was conducted in Sardjito Hospital Yogyakarta and 8 affiliation hospitals. A total of 1312 patients meeting the inclusion and exclusion criteria were randomized into two groups, 656 belonged to the treatment (crowning) and 656 the control (after delivery of the fetus) groups. Outcomes measured were amount of bleeding duration of the third stage, occurrence of retained placenta uterine atony, and the use of additional oxytocics.

49

Both groups were comparable in terms of parity, gestational age, hemoglocin level, age, and duration of labor. There were significant differences in the amount of bleeding between treated and control group i.e. 152 50.99 ml vs. 174.05 161.25 ml (p= 0.001) and the duration of the third stage of labor i.e. 7.69 3.27 vs. 8.25 3.58 minutes (p= 0.003). There was no retained placenta and uterine atony in the treatment group, but there were 2 (0.3%) cases of retained placenta and 9 (1.4%) cases of uterine atony in the control group. One out of 9 cases (11,11%) of uterine atony died due to massive postpartum hemorrhage. The use of oxytocics in the control group was 3.8% compared to only 0.2% in the treatment, giving the relative risk 25 times higher (95% CI 6.26-99.85). The administration of oxytocin during the fetal head is crowning reduced the amount of postpartum bleeding and duration of the third stage of labor significantly. Neither retained placenta nor uterine atony was encountered, and the use of oxytocics was fewer than the treatment group. ABFK PARASITIC DISEASES 85 Survai KAP dan SPOT Parasitemia Malaria Desa Bagolo Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Tahun 2002/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI: Lihat nomor 42 PERITONITIS 86 Biakan dan Uji Sensitifitas Bakteri pada Peritonitis di Rumah Sakit Sardjito Tahun 2004/Bernard A. Baskoro Sudiyanto.-- Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 22 PESTICIDES 87 Kondisi Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Keracunan pada Tenaga Kerja Toko Penjual Pestisida di Kota Jambi/Supriatna.-- Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 20 88

50

Pengendalian Vektor dan Reservoir Penyakit secara Kimia dengan Pestisida/Sukar.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Peneltian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 37 PLANTS 89 Tumbuhan Liar yang Berpotensi sebagai Insektisida Hayati/Nunik Siti Aminah; Dasuki.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 59 Senyawa bioaktif yang terkandung dalam tumbuhan diduga dapat berfungsi sebagai insektisida diantaranya adalah senyawa saponin, alkaloid, sterol, flavonoid, poliverfenol, tanin dan minyak atsiri. Insektisida alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ramah terhadap lingkungan karena dampak negatif yang berupa residu dapat ditekan sehingga aman bagi kesehatan. Beberapa senyawa yang berpotensi sebagai insektisida, repelen, antifedan IGR, larvisida dan oviposition. Familia yang dapat dimanfaatkan antara lain familia Verbenaceae terdiri dari 12 jenis Clerodendrum colomitosum, C. crytophyllum, C. fragrans, C. imane, C. indicum, C. inerme, C. inforturnatum, C. myricordes, Lantana camara, L. rugosa, Vitex trifolia, V. negunda. Familia Euphorbiaceae terdiri dari 8 jenis Euphobia adenocthlora, E. antiquorum, E. hirta, E. khasiana, E. Maculata, E. pulcherr ima, E. rayleana, E. tirucalli. Familia Convolvulaceae terdiri dari 7 jenis Ipomea cornea, I. Nil polmata, I. Pundurata, I. Purpurea, I. Quamoclit. Familia Piperaceae terdiri dari 6 jenis Piper arcuatum, P. betle, P. excelsum. P. Guineese, P. longun, P. nigrum. Familia Meliaceae terdiri dari 3 jenis Melia toosendan, M. azedarach, M. volkensil. Familia Asteraceae terdiri dari 2 jenis Eclipta alba, E. Prostrata. Familia Salanaseae yaitu Datura metel. Familia Moraceae yaitu Terminalta catappa. Familia Clusiaceae yaitu Callophyllum inophylum. Familia Pandanaceae yaitu Pandanus tectorius yaitu Callophyllum. Familia Pandanaceae yaitu Pandanus tectorius. Familia Apocynaceae yaitu Catharanthus roseus. Eichhornia crassipes, Lymnocharis flava dan Salvinia natanus yang merupakan tumbuhan liar atau gulma air dapat berperan sebagai larvisida untuk membunuh larva Culex quinquefasiatus. BPPK PLASMODIUM FALCIPARUM 90 Studi Dinamika Penularan Malaria di Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis Jawa Barat Tahun 2004/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan

51

Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 10 POISONING

Binatang,

Badan

91 Kondisi Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Keracunan pada Tenaga Kerja Toko Penjual Pestisida di Kota Jambi/Supriatna.-- Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 20 POLYMERASE CHAIN REACTION 92 Konstruksi Plasmid Pembawa Fragmen DNA Sarc-CoV yang akan Digunakan sebagai Pola Cetak Sintesis RNA Standar untuk Sistem Pendeteksi Infeksi Virus Korona dengan Metoda Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RTPCR)/Dwi Hilda Putri.-- Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005.-- 60p. ANOTASI : Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) merupakan penyakit infeksi pernafasan akut berat yang disebabkan oleh virus korona baru. Virus baru ini dinamakan SARS- Coronavirus (SARS-CoV). Mengingat tidak spesifiknya gejala yang ditimbulkan, masih belum adanya obat dan vaksin yang efektif, serta masih adanya kemungkinan berulangnya wabah SARS, maka sistem pendeteksi yang cepat dan akurat sangat diperlukan. Salah satu sistem pendeteksi cepat yang dikembangkan. Salah satu sistem pendeteksi cepat dan akurat sangat diperlukan. Salah satu sistem pendeteksi cepat yang dikembangkan saat ini adalah dengan metode RT-PCR. Keunggulan sistem deteksi dengan RT-PCR adalah, disamping dapat mendeteksi infeksi lebih dini karena RNA virus relatif mudah ditemukan pada awal infeksi, sitem ini juga dapat mendeteksi tidak hanya SARS-CoV, tapi juga beberapa virus korona yang lain, dengan menggunakan primer yang sama. Hal ini dimungkinkan karena dari beberapa penelitian memperlihatkan bahwa daerah Open Reading Frame (ORF) 1b pol merupakan daerah yang sangat lestari pada kelompok virus korona termasuk SARS-CoV. Dalam penelitian ini sudah berhasil disintesis cDNA SARS-CoV yang mengandung daerah lestari pada virus korona. Disamping mengandung daerah yang lestari, daerah di dalam fragmen yang dihasilkan dari produk PCR, juga terdapat daerah yang sangat spesifik untuk SARS-CoV. Selanjutnya DNA SARSCov, disisipkan ke plasmid pBluesrciptII KS, sehingga berhasil mengkonstruksi plasmid pembawa fragmen DNA SARS CoV yang akan digunakan sebagai pola

52

cetak RNA standar. RNA standar yang dihasilkan dapat digunakan sebagai kontrol positif untuk sistem pendeteksi virus korona dengan metode RT-PCR. BIFK POSTPARTUM HEMORRHAGE 93 Perbandingan Daya Guna Oksitosin Saat Kepala Crowning dengan Oksitosin Segera Setelah Bayi Lahir pada Manajemen Kala III/Ivanna Beru Brahmana.-Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 84 PUBLIC HEALTH 94 Antropo-Zoonosis Membayangi Kesehatan Masyarakat dan Terputusnya Keberlanjutan Walet sebagai Penghasil Devisa/Mas Noerdjito.-- Bogor: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2005, irrp. ANOTASI : Lihat nomor 24 SHRIMP 95 Efikasi Larvasida Bacillus sphaericus dan Bacillus thuringiensis Israeliensis (BTI) Serotype H-14 terhadap Larva Nyamuk Anopheles sundaicus dan Pengaruhnya terhadap Benur Udang/Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang.-- Ciamis: Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 5 SMOKING 96 Merokok Pasif sebagai Faktor Risiko Stoke Akut/Tri Wahyuliati.-- Yogyakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 2005.-- irrp. ANOTASI : Lihat nomor 25 ZOONOSES 97 Pemilikan Hewan Peliharaan sebagai Tantangan Terjadinya Zoonosa di Sumatera Barat/Salma Maroef.-- Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2005.-irrp.

53

ANOTASI : Lihat nomor 2 Untuk meningkatkan SDM tahun 2010 yaitu dengan mengetahui indikator yang berpengaruh pada generasi penerus salah satu di antaranya penyakit rabies. Rabies merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh perantara atau induk semang. Induk semang itu adalah hewan berdarah panas diantaranya anjing dan kucing. Tujuannya untuk menggambarkan kemungkinan besar persentase penyebaran penyakit lebih besar meskipun penyakit itu mudah diberantas. Desain penelitian cross-section merupakan data primer kepala keluarga (KK). Sampel untuk penelitian ini diambil secara acak. Dari 800 KK hampir 100% KK memiliki anjing dan 42,0% keluarga yang memiliki hewan peliharaan kucing. Pemilik anjing 1-3 ekor (92,4% KK), pemilikan kucing 1-3 ekor (38,5% KK.) Pemilikan anjing per sepuluh KK (18 ekor) dan kucing (7 ekor). Di pedesaan pemilikan anjing dan kucing lebih besar dibandingkan di perkotaan. Pemilikan anjing: kesenangan (62,0%), berburu (22,5%) gabungan (10,6%), dan jaga rumah (4,0%). Kegunaan kucing untuk menjaga rumah (26,9%), merasa senang (13,0%) dan gabungan/kombinasi (2,6%). Informasi ini untuk dapat meningkatkan kewaspadaan akan terjadinya penyebaran zoonosa di antaranya rabies, toksoplasmosis dan lain-lain, juga dapat digunakan program pemberantasan rabies untuk perkiraan cakupan vaksinasi. BPPK

54

Anda mungkin juga menyukai