Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang Dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) memunculkan istilah anestesi pertama kali yang diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan, dalam arti lebih luas. Pemberian anestesi, dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi adalah tahapan yang sangat penting dan strategis pada tindakan pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan apabila belum dilaksanakan anestesi (Newman, 2002). Dosis obat-obatan anestesi yang diberikan harus diperhatikan secara tepat, sebab terkait dengan efek yang ditimbulkan. Apabila pemberian obat anestesi terlalu sedikit maka pasien dapat merasakan kesakitan saat dilakukan tindakan pembedahan, begitu juga saat dosis obat anestesi yang berlebihan dapat berdampak mengancam jiwa hingga kematian. Mencegah dua kejadian tersebut, harus dilakukan pemilihan obat-obat anestesi yang memenuhi kriteria trias anestesi yaitu menghasilkan efek sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, dan aman untuk sistem vital tubuh, serta mudah diaplikasikan. Pasien yang akan mendapatkan anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Penatalaksanaan anestesi pada suatu

operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu praanestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Tahap

penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi, pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi. Anestesi dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhinya. Anestesi lokal yang terbatas pada tempat penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi. Anestesi regional dapat mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. Anestesi umum dapat mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara injeksi, inhalasi, atau gabungan (Dobson, 2004). Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah bertemunya sperma dengan sel telur adalah sterilisasi. Sterilisasi ini bersifat permanen karena orang yang menerapkannya tidak akan mempunyai anak kembali. Kontrasepsi ini dilakukan dengan cara operasi pada saluran kelamin, baik pada pria maupun wanita. Pada wanita cara ini disebut dengan MOW (Metode Operasi Wanita) atau tubektomi. Cara sterilisasi ini biasanya dilakukan oleh ibu yang tidak memungkinkan untuk hamil lagi karena faktor kesehatan ibu dan bayi. II. Tujuan penulisan 1. Meninjau kasus MOW dengan manajemen general anestesi dan spinal anestesi.

2. Mengetahui jenis obat anestesi yang digunakan untuk kasus MOW.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persiapan Praanestesi Praanestesi pada pasien yang akan mendapatkan operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak dengan kunjungan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Tujuan praanestesi adalah mempersiapkan mental dan fisik secara optimal dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan keadaan fisik, meliputi ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Shimada, et al. 2009). Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara umum. Anamnesis dapat didapatkan dari pasien sendiri maupun melalui keluarga pasien. Melalui cara ini untuk melakukan pendekatan psikologis dengan pasien dan keluarganya. Poin-poin yang diperhatikan ketika anamnesis, seperti identifikasi pasien, riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anastesia, riwayat obat-obat, riwayat operasi dan anesthesia. kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin

mempengaruhi jalannya anestesi. Pemeriksaan fisik dan laboratorium dilakukan dengan teliti dan bila terdapat indikasi.

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan dan memperoleh gambaran tentang keadan pasien bertas masalah-masalah yang ada, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya diabetes melitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Atau premedikasi untuk pasien dangan riwayat tirotoksikosis. Premedikasi merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangunan dari anesthesia diantaranya : 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan 2. Memperlancar induksi anesthesia 3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus 4. Meminimalkan jumlah obat anestetik 5. Mengurangi mual- muntah pasca bedah 6. Menciptakan amnesia 7. Mengurangi isi cairan lambung 8. Mengurangi reflex yang membahayakan Pada umumnya premedikasi tidak diberikan kecuali pasien terlalu gelisah atau sulit dikendalikan. Premedikasi akan memperpanjang masa pulih. Obat anestesi yang umum diberikan adalah sulfas atropine (Latief., et al, 2002) B. Anestesi Obstetri Semua pasien yang masuk dalam obstetri sangat besar kemungkinan membutuhkan anestesi yang baik yang direncanakan atau emergensi, olehkarena itu seorang ahli anestesi seharusnya menyadari riwayat penyakit sekarang dan dahulu yang berhubungan dengan pasien obstetri. Pasien yang

membutuhkan pelayanan anestesi untuk persalinan atau section caesaria seharusnya mendapat evaluasi dan anamnesis yang detail. Berbagai macam indikasi untuk sectio caesaria antara lain: 1. Kehamilan beresiko tinggi pada maternal dan fetal: a. Peningkatan resiko ruptur uteri: 1). Riwayat kelahiran dengan seksio caesaria. 2). Riwayat miomektomi ekstensif atau rekonstruksi uterin. b. Peningkatan resiko perdarahan maternal 1). Sentral atau parsial plasenta previa. 2). Solutio plasenta. 3). Riwayat rekonstruksi vagina. 2. Distokia a. Hubungan Fetopelvik yang abnormal 1).Disproporsi kepala panggul. 2).Presentasi fetal yang abnormal : letal transvers atau obliq, presbo. b. Aktivitas disfungsional uterin. 3. Keadaan-keadaan gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera. a. Fetal distress. b. Prolaps umbilicus. c. Perdarahan maternal. d. Amnionitis. e. Herpes genital dengan disertai ruptur membrane. f. Kematian impending maternal.

C. Anestesi Spinal Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Desborough JP. 2000). Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motorik, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih (Newman, B. 2010). Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal (Guyton, AC. 2008). Obat anestetik yang sering digunakan: 1. Lidokain Pada umumnya digunakan dosis total yang aman yakni sekitar 3-5 mg/kgBB, dosis obat ini tidak boleh diberikan berkali-kali dalam satu

waktu. Efek anestesi akan muncul setelah 5-10 menit dan berfungsi selama 45 menit sampai dengan 1 jam selama operasi berlangsung (Longnecker, 1997). 2. Bupivacaine Bupivacaine adalah agen yang berefek lebih lama dibanding lidokain, tetapi harganya lebih mahal tetapi lebih sering digunakan. Dosis total yang biasanya dapat diberikan dengan aman dalam satu waktu adalah 2-3 mg/kgBB. Bupivakaine membutuhkan waktu beberapa menit lebih lama untuk efektif didalam tubuh dibandingkan dengan lidokain yaitu 10-15 menit, namun efeknya bisa bertahan 2-4 jam. Selain itu, bupivacaine dapat mengontrol dan mengurangi rasa sakit setelah operasi selesai. Pada kasus cedera tangan rentan terhadap rasa sakit, membuat bupivacaine menjadi pilihan yang baik untuk mengobati cedera tangan dan jari. Jika tersedianya kedua obat lidokain dan bupivakaine, mereka dapat dicampur bersama-sama di dalam jarum suntik yang sama sehingga kombinasi ini memberikan keuntungan dari lidokain akan menghasilkan onset anestesi yang cepat sedangkan bupivakaine akan menghasilkan durasi anestesi yang lebih lama (Longnecker, 1997). D. Anestesi Umum Anestetik umum yang baik dan ideal mempunyai sifat-sifat mudah cara pemberiannya, mempunyai daya analgesik pada dosis kecil, menimbulkan relaksasi otot yang cukup, tidak toksik, dan mudah dinetralkan. Efek samping yang tidak diharapkan dari suatu pembiusan itu dapat diatasi dengan pemberian premedikasi. Tujuan umum pemberian premedikasi

adalah untuk mengurangi rasa nyeri, membuat masa pemulihan yang lebih tenang, mengurangi dosis anestetik yang diperlukan dan mempercepat terjadinya efek anestesi. a. Induksi anestesia Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. b. Induksi intravena Induksi intravena paling banyak dikerjakan, apalagi sudah terpasang jalur vena. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. c. lnduksi intramuskular Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 5 mg/kgBB dan setelal 3-5 menit pasien tidur. d. Induksi inhalasi lnduksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (isofluran) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.

10

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O, atau campuran N 2O dan O2. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. e. Induksi per rektal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam. f. Induksi mencuri Induksi mencuri ( steal induction ) dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak ada masalah, tetapi pada yang belum terpasang jalur vena, harus kita kerjakan dengan hati-hati supaya pasien tidak terbangun. Steal Induction inhalasi seperti induksi inhalasi biasa hanya sunkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan. g. Pemeliharaan anestesia Pemeliharaan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Pemeliharaan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.

11

h.

Pemeliharaan inhalasi Pemeliharaan inhalasi biasanva menggunakan campuran N 2O dan O 2, 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vo1% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vo1% atau sevofluran 2-4 vol%, tergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu ( assisted ) atau dikendalikan ( controlled ).

E. MOW 1. Definisi MOW (Metoda Operasi Wanita) atau tubektomi, yaitu tindakan pengikatan dan pemotongan saluran telur agar sel telur tidak dapat dibuahi oleh sperma. Tubektomi merupakan prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas (kesuburan) seorang perempuan secara permanen. Tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan orang tidak akan mendapat keturunan lagi (Safuddin 2003; Prawirohadjo, 2002). 2. Cara Tindakan MOW menyebabkan perjalanan sel telur terhambat karena saluran sel telur tertutup. Pada prinsipnya MOW dilakukan dengan membuat buntu atau oklusi tuba uterine. Pendekatannya dapat dilakukan dengan operasi baik operasi kecil (laparatomi mini) ataupun bersamaan dengan operasi sesar (seksio caesaria). Oklusi tuba dapat dilakukan secara laparoskopik. Tuba dibuat buntu dengan memasang cincin plastik (falopering) atau memasang klip atau dengan menggunakan kalter listrik. Pada dasarnya sterilisasi laparoskopi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih nyaman untuk klien. Pada awal tahun 1990-an dilakukan uji coba

12

penutupan tuba dengan menggunakan pellet kuinakrin dan hasilnya cukup menjanjikan sebagai alternatif sterilisasi wanita tanpa operasi. Ada 4 cara tindakan untuk mencapai tuba uterina yaitu laparatomi biasa, laparotomi mini, kolpotomi dan laparoskopi : a. Laparatomi Biasa Tindakan ini paling banyak dilakukan pada tubektomi di Indonesia sebelum tahun 1970-an. MOW dengan tindakan laparotomi bisa dilakukan terutama pasca persalinan. Selain itu, dapat dilakukan bersamaan dengan seksio sesarea. b. Laparatomi Mini Tindakan ini paling mudah dilakukan 1-2 hari pasca persalinan. Saat itu, uterus masih besar, tuba uterina masih panjang dan dinding perut masih longgar sehingga mudah dalam mencapai tuba uterina dengan sayatan kecil 1-2 cm dibawah pusat. Pasien dibaringkan kemudian lipatan kulit dibawah pusat yang berbentuk bulan sabit ditegangkan antara 2 buah doek, klem hingga menjadi lurus. Pada tempat lipatan itu, dilakukan sayatan kecil 1-2 cm sampai hampir menembus rongga peritoneum. c. Kolpotomi Kolpotomi ada dua jenis yaitu: 1) Kolpotomi posterior (culdotomy) a) Cara ini yang sering dipakai b) Cul-de-sac atau cavum douglas, yang terletak diantara dinding depan rectum dan dinding belakang uterus, dibuka melalui

13

vagina untuk sampai pada tuba fallopii. Prosedur kolpotomi posterior : 1) Persiapan pre-operatif Pengosongan kandung kencing sendiri (sebaiknya jangan dilakukan kateterisasi). Tindakan antisepsis pada perineum, vulva, dan vagina dilakukan dengan penderita dalam posisi lithotomic. 2) Neurolept-analgesia+anastesi lokal Anestetik lokal disuntikkan pada pangkal ligamentum sacrouterinum. 3) Insisi dinding vagina transversal sepanjang 3-5cm dengan gunting atau scalpel. Insisi vertikal menyebabkan timbulnya jaringan parut di fornix posterior dengan akibat timbul dyspareunia. 2) Kolpotomi anterior a) Sudah jarang dilakukan pada saat sekarang. b) Tuba fallopii dicapai melalui peritoneum vesico-uterina. c) Dibuat insisi vertikal pada fornix anterior vagina, kandung kencing didorong, peritoneum dibuka, kemudian uterus diputar sehingga terlihat tuba falopi. d) Cara ini lebih sulit dan risiko perlukaan kandung kencing lebih besar dibandingkan dengan kolpotomi posterior.

14

e) Mungkin dalam kasus-kasus tertentu, cara ini berguna misalnya bila ada sistokel, dilakukan kolpotomi anterior untuk kontap sambil sekaligus memperbaiki sistokelnya. d. Laparoskopi Laparoskopi adalah melihat isi rongga perut dengan

menggunakan lensa, sejenis teleskop. Laparoskopi bisa bersifat diagnostik, hanya sekedar melihat, tetapi bisa juga untuk sebuah tindakan operasi sterilisasi wanita yakni menutup tuba dengan bantuan laparoskop. Laparoskopi bukan merupakan operasi terbuka sehingga resiko infeksi lebih rendah asal semua syarat asepsis diperhatikan. Laparoskopi tidak boleh dikerjakan pada wanita yang pernah mengalami operasi laparotomi karena adanya perlengketan pada organ dalam menyebabkan usus mudah terluka terutama pada saat memasukkan trokal. Pada dasarnya ada dua cara untuk menutup tuba secara

laparoskopik yakni secara elektrik dan mekanis. Secara elektrik satu segmen tuba sepanjang 3-4 cm di daerah isthmus, dijepit dengan penjepit yang beraliran listrik. Dengan cara ini segmen tuba yang terjepit akan mengalami koagulasi (electrocoagulation). Secara mekanik tuba di buntu dengan memasang sebuah klip atau cincin yang terbuat dari karet silikon.

15

2. Keuntungan Secara umum keuntungan kontap wanita dibandingkan dengan kontrasepsi lain adalah: a. Lebih aman, karena keluhan lebih sedikit dibandingkan dengan cara kontrasepsi lain. b. c. Lebih praktis, karena hanya memerlukan satu kali tindakan saja. Lebih efektif, karena tingkat kegagalannya sangat kecil dan merupakan cara kontrasepsi yang permanen. d. Lebih ekonomis, karena hanya memerlukan biaya untuk satu kali tindakan saja. Secara khusus keuntungan kontap wanita adalah : a. b. c. d. e. f. Sangat efektif dan permanen. Dapat mencegah kehamilan lebih dari 99%. Tidak ada efek samping dalam jangka panjang. Tidak mempengaruhi proses menyusui. Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Tidak mengganggu hubungan seksual.

3. Kerugian a. b. c. d. e. Rasa sakit/ketidak nyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan. Ada kemungkinan mengalami risiko pembedahan. Pasien dapat menyesal dikemudian hari. Risiko komplikasi kecil (meningkat bila digunakan anestesi umum). Rasa sakit atau ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan.

16

f. g.

Dilakukan oleh dokter yang ahli. Tidak melindungi diri dari Infeksi Menular Seksual (IMS).

4. Wanita Yang Dapat Menjalani a. b. Usia lebih dari 26 tahun. Sudah punya anak cukup (2 anak), anak terkecil harus berusia minimal 5 (lima) tahun. c. d. e. f. Yakin telah mempunyai keluarga yang sesuai dengan kehendaknya. Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius. Ibu pasca persalinan. Ibu pasca keguguran.

5. Waktu Pelaksanaan a. Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional klien tersebut tidak hamil. b. c. Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi. Pasca persalinan - Minilap : di dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau 12 minggu. - Laparoskopi : tidak tepat untuk pasca persalinan. d. Pasca keguguran - Triwulan pertama : dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvis (minilap atau laporoskopi). - Triwulan kedua : dalam wakatu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvis (minilap).

17

6. Persiapan Sebelum Tindakan Hal-hal yang perlu dilakukan oleh calon peserta kontap wanita adalah: a. Puasa mulai tengah malam sebelum operasi, atau sekurang-kurangnya 6 jam sebelum operasi. Bagi calon akseptor yang menderita gastritis agar diberikan obat untuk mengobati gastritis sebelum puasa. b. Mandi dan bersihkan daerah kemaluan dengan sabun mandi sampai bersih dan juga daerah perut bagian bawah. c. Tidak memakai perhiasan, kosmetik, cat kuku, dll. d. Membawa surat persetujuan dari suami yang sudah ditandatangani atau di cap jempol. e. Menjelang operasi harus kencing terlebih dahulu. f. Datang ke rumah sakit tepat pada waktunya dengan ditemani anggota keluarga terutama suami. 7. Perawatan Setelah Tindakan a. Istirahat selama 1-2 hari dan hindarkan kerja berat selama 7 hari. b. Kebersihan harus dijaga terutama daerah luka operasi jangan sampai terkena air selama 1 minggu. c. Makanlah obat yang diberikan dokter secara teratur sesuai petunjuk. d. Senggama boleh dilakukan setelah 1 minggu, yaitu setelah luka operasi kering. Tetapi bila tubektomi dilaksanakan setelah melahirkan atau keguguran, senggama baru boleh dilakukan setelah 40 hari.

18

8. Komplikasi Komplikasi akibat sterilisasi dapat dibagi dalam dua kategori yakni komplikasi akibat anestesi dan komplikasi akibat tindakan operasi. Komplikasi akibat anestesi antara lain adalah perasaan mual sampai muntah, pusing, pneumonia aspirasi, alergi sampai shock anafilaksis (terutama terhadap lidokain) dan pada keadaan yang parah,

dapat berakibatkan kematian. Oleh karena itu, persiapan minimal dalam sebuah tindakan sterilisasi adalah tersedianya obat anti anafilaksis (adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, dopamin) cairan infus dan oksigen. Efek samping dan komplikasi akibat tindakan operasi oleh WHO dibagi dalam komplikasi minor dan komplikasi mayor. Komplikasi minor antara lain adalah rasa sakit pada tempat irisan, demam, perdarahan ringan, dan infeksi luka yang tidak memerlukan pemondokan. Komplikasi mayor adalah perdarahan banyak yang membutuhkan operasi lebih jauh dan atau transfusi, perlukaan usus, atau kandung kencing, infeksi panggul berat, sepsis dan kematian.

Anda mungkin juga menyukai