Anda di halaman 1dari 12

HERPES ZOSTER

Oleh : Aditya Fresno Dwi Wardhana, S.Ked Pembimbing : Prof. Dr. Soenarto K, SpKK(K) Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 2013

PENDAHULUAN Herpes Zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV) yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi inisial/primer dari varicella zoster virus (VZV) menyebabkan gejala akut dari penyakit cacar air yang umumnya menyerang anak-anak dan remaja. Setelah infeksi primer, varicella zoster virus akan menetap dalam kondisi dorman (tidak aktif atau laten) pada satu atau lebih ganglia (pusat saraf) posterior. Apabila seseorang mengalami penurunan imunitas seluler maka virus tersebut dapat aktif kembali dan menyebar melalui saraf tepi ke kulit sehingga menimbulkan penyakit HZ.[1] Di kulit, virus akan memperbanyak diri (multiplikasi) dan membentuk bintil-bintil kecil berwarna merah, berisi cairan, dan menggembung pada daerah sekitar kulit yang dilalui virus tersebut. HZ dapat ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, salah satunya adalah transmisi melalui pernapasan sehingga virus tersebut dapat menjadi epidemik di antara inang yang rentan. Resiko terjangkit HZ terkait dengan pertambahan usia. Hal ini berkaitan adanya immunosenescence, yaitu penurunan

sistem imun secara bertahap sebagai bagian dari proses penuaan. Selain itu, hal ini juga terkait dengan penurunan jumlah sel yang terkait dalam imunitas melawan virus varicella-zoster pada usia tertentu. Penderita imunosupresi, seperti pasien HIV/AIDS yang mengalami penurunan CD4 sel-T, akan berpeluang lebih besar menderita HZ sebagai bagian dari infeksi oportunistik.[2]

EPIDEMIOLOGI HZ terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman. Sekitar 1 juta kasus HZ terjadi di AS setiap tahunnya, dengan tingkat kejadian di semua kelompok usia 1,2 - 4,8 kasus per 1.000 orang per tahun. HZ lebih sering terjadi pasien usia lanjut (3 sampai 7 kali yang lebih tinggi daripada populasi umum), dan pasien immunocompromised (20 kali insiden yang lebih tinggi dari pada pasien immunocompetent). Beberapa penelitian melaporkan insiden yang lebih tinggi pada wanita (3,8 kasus per 1.000 orang/tahun dan 2,6 kasus per 1.000 orang/tahun pada laki-laki)[3].

ETIOLOGI & PATHOGENESIS Agen penyebab HZ, varicella zoster virus (VZV) merupakan anggota famili dari herpesvirus (herpesviridae). Setelah serangan infeksi primer (cacar air), virus menjadi dorman di ganglion saraf sensorik sampai diaktifkan kembali. Saat infeksi primer, VZV dapat masuk ke dalam pheriperal dendrits dan melepaskan nukleokapsid, yang kemudian ditransmisi secara retrograde ke badan sel di ganglion sensoris. Setelah 1-2 pekan pertahanan tubuh pejamu menghentikan proses infeksi baik di kulit dan ganglion. Akan tetapi, pada beberapa saraf sensoris VZV masih bertahan dalam fase laten. Hal ini disebabkan karena genom VZV dapat bertahan dalam bentuk molekul yang homolog terhadap molekul pada ganglion sensoris.

Kemudian VZV berintegrasi ke dalam ganglion sensoris atau sebagai episome sehingga VZV dapat bertahan terhadap pejamu.[4]

Gambar 1. (1) Infeksi primer VZV pada kulit dan selaput lendir. (2) Virion masuk ke saraf sensoris dan melepaskan nukleokapsid ke arah retrograde. Ganglion sensoris mengalami siklus lytic produktif. Pada beberapa saraf sensoris, VZV menjadi laten, dan genome DNA virus bertahan di dalam nukleus sebagai episome. (3) Genome yang laten dapat kembali aktif menyebabkan lytic infection dan nukleokapsid dapat diangkut secara aktif ke arah anterograde. VZV menuju epitel dan sekali lagi bereplikasi dan menyebabkan gejala klinis seperti cold sore atau fever blister

Produktivitas VZV rendah selama masa laten namun tetap menghasilkan virion matang yang dapat melewati badan sel ganglion sensoris dan memicu terjadinya reaksi imunitas pejamu yang berulang.[4] Proses pengaktifan tidak sepenuhnya dipahami, tetapi beberapa faktor risiko yang terkait tercantum di bawah ini. Pasien usia lanjut Pada pasien usia lanjut atau bila imunitas seluler menjadi terganggu, tingkat fungsi sel-T menurun sampai jatuh di bawah

ambang batas yang berhubungan dengan reaktivasi VZV dan perkembangan selanjutnya dari HZ

Immunocompromise karena penyakit atau penggunaan obat immunosupresif. Kanker , infeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV) , transplantasi organ atau transplantasi sumsum tulang , dan asupan obat imunosupresif yang lama mempengaruhi pasien untuk memiliki imunitas seluler yang buruk dan , dengan demikian dapat menyebabkan mudahnya terkena HZ.

Stres emosional dan psikologis Stres emosional , mungkin terkait dengan

perkembangan HZ dalam waktu 6 bulan setelah peristiwa kehidupan yang penuh stres. Stres jangka panjang dapat mengubah sistem kekebalan tubuh , dan imunitas spesifik seluler VZV menjadi lebih rendah di antara orang dewasa dengan depresi mayor.

Trauma mekanis Dipercaya dapat menstimulasi sistem saraf , sehingga memicu reaktivasi VZV dorman pada ganglion akar dorsal.

Ras kulit putih

Jenis kelamin perempuan

MANIFESTASI KLINIS Gejala awal dari HZ, yang meliputi sakit kepala, demam, dan malaise, yang tidak spesifik, dan dapat mengakibatkan diagnosis yang salah[5]. Gejala-gejala ini biasanya diikuti dengan sensasi nyeri terbakar, gatal, hyperesthesia, atau paresthesia[6]. Rasa sakit dapat ringan sampai ekstrim pada dermatom yang terkena dampak, dengan sensasi yang sering digambarkan sebagai menyengat, kesemutan, mati rasa atau berdenyut, dan dapat diselingi dengan nyeri yang menusuk-nusuk[7]. Gambaran klinis yang ditemukan berupa papul warna merah yang dapat berubah menjadi vesikel atau pustula. Nyeri dapat bersifat lokal pada area yang sama, tapi dapat juga menyebar. Waktu yang diperlukan antara nyeri dan awitan erupsi kisaran 14-32 hari. Reaktivasi VZV dapat terjadi setiap saat setelah infeksi varicella primer. HZ sering dimulai dengan gejala prodromal rasa sakit intens, dan 90% pasien, mengalami gatal, kesemutan, nyeri atau hyperesthesia. Jika cukup parah, rasa sakit dapat menjadi salah diagnosis sebagai myocardial infarction, pleurisy atau surgical abdomen.[8] Lokasi HZ biasanya di badan, pada beberapa kasus di muka, leher, scalp, atau ekstremitas. Erupsi biasanya hanya mengenai satu dermatom dan jarang melewati midline.[8] HZ biasanya sembuh tanpa meninggalkan gejala sisa pada anak-anak dan dewasa muda dengan sistem kekebalan yang utuh. Namun, rasa sakit/nyeri, erupsi kutan dan komplikasi lain dari HZ dapat menjadi lebih parah yang dapat disebabkan

penurunan sistem kekebalan tubuh seiring dengan bertambahnya usia dan pada pasien dengan immune compromise.[8]

Gambar 2. Distribusi dari dermatom Herpes Zoster

Pada pasien immunocompromise, HZ mungkin cukup parah dan dapat memiliki manifestasi klinis yang tidak biasa, misalnya lesi berkrusta, persisten. Lesi verrucous pada pasien terinfeksi HIV atau postherpetic hiperhidrosis. Penyakit diseminata kulit (didefinisikan sebagai lebih dari 20 vesikel di luar daerah dermatom primer atau berdekatan) dan / atau keterlibatan visceral terjadi pada sekitar 10% dari orang-orang yang immunocompromise.[8]

Gambar 3. Chronic verrucous pada pasien HIV

Gambar 4. Disseminated cutaneous zoster dengan papul ungu kehitaman, multipel pada kaki

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari varicella adalah HSV, vesicular viral exanthems (Coxsackie, ECHO), pityriasis lichenoides et varioliformis acuta (PLEVA), rickettsialpox, erupsi obat, dermatitis kontak, gigitan serangga atau bahkan skabies. HSV biasanya memiliki lesi yang lebih terlokalisasi di lokasi infeksi primer. PLEVA adalah gangguan inflamasi kronis. Penyakit tangan, kaki dan mulut juga melibatkan mukosa mulut tetapi lebih ke ekstremitas distal. Lesi awal dari rickettsialpox adalah tempat gigitan kutu. Gigitan serangga berhubungan dengan wheal yang mendasari dan dapat terjadi secara tunggal atau lebih. Skabies cenderung terjadi di lipatan tubuh dan membutuhkan periode yang lebih lama untuk pengembangan lesi. Dermatitis kontak tidak terkait dengan gejala prodromal infeksi VZV dan lebih sering melibatkan ekstremitas. HSV, dermatitis kontak lokal, dan infeksi bakteri pada kulit (misalnya impetigo bulosa, selulitis) adalah diagnosis banding dari infeksi HZ. Pada dermatitis

kontak dan infeksi bakteri pada kulit, didapatkan DFA negatif dan tidak didapatkan multinucleated epithelial giant cells pada pemeriksaan Tzanck smear.[8]

KOMPLIKASI Komplikasi HZ dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori menurut sistem yang terkena yaitu kulit, mata, saraf dan organ visceral. Komplikasi juga dapat dibagi menjadi akut, kronis atau keduanya. Komplikasi yang mempengaruhi kulit, mata, dan sistem saraf umum/sering ditemukan, sedangkan komplikasi pada organ visceral relatif jarang ditemukan[9]. Komplikasi dari HZ termasuk postherpetic neuralgia, infeksi bakteri sekunder, pembentukan parut, oftalmik zoster, sindrom Ramsay-Hunt,

meningoencephalitis, kelumpuhan motorik, pneumonitis dan hepatitis. Tingkat keparahan dan kejadian postherpetic neuralgia meningkat seiring dengan peningkatan usia, yaitu 10-15% dari semua pasien HZ mengalami postherpetic neuralgia. Oftalmik zoster terjadi pada 7% pasien HZ, dengan 20-70% mengalami penyakit okular termasuk kebutaan. Sindrom Ramsay-Hunt terjadi akibat reaktivasi infeksi VZV dari ganglion geniculate. Selain timbul vesikel di kanal telinga, lidah dan / atau hard palate, pasien mungkin mengalami kelumpuhan saraf wajah akut, nyeri di telinga, hilang rasa pada 2/3 anterior lidah, mulut dan mata kering. Jika saraf vestibulocochlear juga dipengaruhi, maka tinnitus, gangguan pendengaran dan / atau vertigo dapat terjadi.[8]

Kulit Superinfeksi bakteri Jaringan parut Zoster Gangrenosum

Viseral Pneumonitis Hepatitis Esofagitis

Neurologi postherpetic neuralgia Meningoensefalitis Palsi saraf perifer

Cutaneous dissemination

Gastritis Perikarditis Cystitis Artritis

Palsi saraf kranial Tuli Sensory loss Komplikasi okular Granulomatous angiitis

Tabel 1. Komplikasi Herpes Zoster

PENATALAKSANAAN Edukasi dan dukungan pada pasien HZ sangat penting dalam penatalaksanaan. Hal itu meliputi penjelasan kepada pasien mengenai perjalanan penyakit, rencana pengobatan, aturan dosis obat. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan resiko menular terhadap orang lain yang belum pernah terinfeksi VZV. Memberi edukasi kepada pasien agar menjaga ketahanan tubuhnya dengan mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, memberikan penjelasan kepada pasien agar berhenti merokok karena dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh. Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya imunisasi vaksin VZV untuk mencegah dan menurunkan resiko terkena HZ dikemudian hari. Pengobatan topikal diberikan sesuai stadiumnya. Jika masih stadium vesikel, diberikan bedak untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif, diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi, dapat diberikan salap antibiotik.[11] Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik. Untuk mengatasi nyerinya diberikan analgesik. Apabila terjadi infeksi sekunder, dapat diberikan antibiotik.[11] Menurut FDA, obat untuk nyeri neuropatik pada neuropati perifer diabetik dan neuroplagia pasca herpetik adalah pregabalin. Dosis awalnya adalah

2x75mg sehari, setelah 3-7hari dapat dinaikan jadi 2x150mg sehari jika respon dianggap kurang. Dosis maksimum adalah 600mg sehari. Efek samping ringan berupa dizziness dan somnolen yang akan menghilang sendiri.[11] Obat lain yang dapat digunakan adalah antidepresi trisiklik (misalnya nortriptilin dan amitriptilin) yang menghilangkan nyeri pada 44-67% kasus. Efek sampingnya antara lain gangguan jantung, sedasi, dan hipotensi. Dosis awal amitriptilin adalah 75mg sehari kemudian ditinggikan sampai timbul efek terapeutik, bisa sampai 150-300mg sehari. Dosis notriptilin adalah 50-150 mg sehari.[11] Indikasi pemberian antiviral adalah HZ oftalmikus dan pasien dengan defisiensi imunitas mengingat komplikasinya. Obat yang biasa digunakan adalah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir. Selain itu, antivirus yang bisa untuk HZ adalah Amantidin, Vidarabin, Idoksuridin.[11] Asiklovir merupakan derivat guanin dengan spesifitas yang tinggi terhadap herpes simpleks dan zooster. Obat ini dikonversi menjadi aminofosfat oleh timidin kinase dari virus, yang ternyata lebih mudah melakukan fosforilasi timidin kinase sel pejamu yang tidak terinfeksi virus. Jadi, obat hanya diaktifkan dalam sel yang terinfeksi oleh virus. Obat itu nantinya akan menghambat DNA polimerase virus dengan derajat yang lebih besar daripada terhadap enzim hospes.[11] Obat yang lebih baru adalah famsiklovir dan pensiklovir yang memiliki paruh eliminasi lebih lama sehingga cukup diberikan 3x250mg sehari. Obat-obatan tersebut diberikan tiga hari sejak lesi pertama kali muncul.[11] Dosis asiklovir yang dianjurkan adalah 5800 mg sehari dan biasanya diberikan 7 hari. Valasiklovir cukup 3x1000mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi tetap timbul, obat-obatan masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi.[11]

Indikasi pemberian kortikosteroid adalah pada syndrom Ramsay-Hunt. Pemberian sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Prednison merupakan obat yang sering diberikan dengan dosis 3x20mg sehari. Setelah seminggu, dosis diturunkan secara bertahap. Dikatakan bahwa kegunaannya untuk mencegah fibrosis.[11] . PENCEGAHAN Vaksinasi VZV telah terbukti mengurangi resiko infeksi laten VZV. Pencegahan VZV harus ditujukan kepada pencegahan reaktivasi dan penyebaran VZV laten. Pengobatan dengan asiklovir jangka panjang hanya diberikan pada pasien immunocompromise. Salah satu pendekatan pencegahan HZ adalah stimulasi imunitas terhadap VZV yang ada pada orang tua dan individu dewasa resiko tinggi. Penemuan ini mengindikasikan vaksinasi untuk orang tua penting untuk pencegahan HZ dan komplikasinya. Pada tahun 2006, FDA telah menyetujui penggunaan vaksin VZV untuk pencegahan HZ pada orang tua usia 60 tahun atau lebih. Dengan perkembangan vaksin VZV sebagai terapi antiviral dan pengobatan nyeri neuropatik, maka akan mengurangi keluhan pasien HZ.[10]

Anda mungkin juga menyukai