Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI BLOK NEUROLOGY & SPESIFIC SENSE SYSTEMS Praktikum Fisiologi Pendengaran Tes Garpu Tala

Asisten: Indah Permata Sari G1A009092

Disusun oleh:

Tesa Agrawita M. Cahya Riyadi S Riza Revina Deo Rizky Winanda

G1A010002 G1A010010 G1A010012 G1A010015

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO

2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum Praktikum Fisiologi Pendengaran dengan Tes Garpu Tala

B. Waktu, Tanggal Praktikum Jumat, 5 April 2013

C. Tujuan Praktikum 1. Melakukan pemeriksaan fungsi pendengan dan menerangkan prinsip pemeriksaan menurut cara Rinne 2. Melakukan pemeriksaan fungsi pendengan dan menerangkan prinsip pemeriksaan menurut cara Weber 3. Melakukan pemeriksaan fungsi pendengan dan menerangkan prinsip pemeriksaan menurut cara Schwabah 4. Menyimpulkan hasil pemeriksaan tersebut.

D. Dasar Teori Tidak berlebihan jika pada tahun 1974, Dewan Eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta kepada Direktur Jenderal WHO untuk melaksanakan. Perbandingan dan evaluasi berbagai metoda deteksi dini gangguan kesehatan pada pekerja. Bahkan deteksi dini penyakit akibat kerja lebih lanjut ditegaskan dalam Program Kerja bagi kesehatan pekerja yang disahkan oleh WHO. Pada banyak kasus, penyakit akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan cacat. Namun demikian ada dua faktor yang membuat penyakit ini mudah dicegah. Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur dan dikontrol (Rambe, 2003). Kebisingan mempengaruhi kesehatan antara lain dapat menyebabkan kerusakan pada indera pendengaran sampai kepada ketulian. Dari hasil penelitian diperoleh bukti bahwa intensitas bunyi yang dikategorikan bising dan yang mempengaruhi kesehatan (pendengaran) adalah diatas 60 dB. Oleh

sebab itu para karyawan yang bekerja di pabrik dengan intensitas bunyi mesin diatas 60 dB maka harus dilengkapi dengan alat pelindung (penyumbat) telinga guna mencegah gangguan pendengaran. Disamping itu kebisingan juga dapat mengganggu komunikasi. Dengan suasana yang bising memaksa pekerja berteriak didalam berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi (miss communication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Secara umum bising adalah bunyi atau suara yang tidak diinginkan (Rambe, 2003). Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian (Rambe,2003).

ANATOMI TELINGA Telinga merupakan organ yang penting bagi kehidupan manusia. Fungsi telinga sebagai indra pendengaran mutlak membantu proses komunikasi, proses belajar pada anak-anak terutama, bahkan ada profesi yang membutuhkan kejelian indra pendengaran dalam menerima suara (Soepardi, 2011). Secara umum telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: 1. Telinga luar 2. Telinga tengah 3. Telinga dalam

Gambar 1. Pembagian telinga manusia

1. Telinga Luar Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius eksternus, dipisahkan dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membrana timpani (Soepardi, 2011). a. Aurikula/ pinna melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya

sepanjang kanalis auditorius eksternus (Soepardi, 2011).

Gambar 2. Pinna/auricular (daun telinga)

b. Kanalis auditorius eksternus Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar telinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Boies, 2010). c. Membrane timpani Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan dan lapisan mukosa bagian dalam lapisan fibrosa tidak terdapat diatas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid).

Gambar 3. Membran timpani

2. Telinga Tengah Terdiri dari: a. Osikula Auditiva (Maleus, incus, stapes) yang berfungsi untuk menerima hantaran dari dari membrane timpani, dan memperkuat hantaran tersebut kemudian melanjutkan getaran ke jendela oval (Evelyn, 2000).

Gambar 4. Osikula auditiva b. Tuba eustachius Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah bagian yang bertulang. Sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang, sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringeal dan saraf mandibularis. Tuba eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani (Boies, 2010).

Gambar 5. Tuba eustachius

3. Telinga dalam Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal, terdiri dari: a. Vestibulum Vestibulum adalah ruangan kecil yang berhubungan pada sisi anterior denga koklea, pada sisi lateral dengan telinga tengah melalui dua lubang yaitu lubang oval yang ditutupi oleh bagian kaki stapes dan lubang bulat yang ditutupi oleh membrane pada sisi posterior, dengan kanalis semisirkularis (Evelyn, 2000). b. Cochlea Cochlea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ Corti. Di dalam tulang labirin, namun tidak sempurna mengisinya, labirin membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus cochlearis (Soepardi, 2011).

Gambar 6. Apparatus Cochlearis

FISIOLOGI PENDENGARAN Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe dan membran basalis ke arah bawah dan perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar. Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok, dan dengan terdorongnya membran basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang N. VIII, kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Rambe, 2003).

Gambar 7. Fisiologi Pendengaran

FISIOLOGI VESTIBULER Kanalis semisirkularis merupakan alat keseimbangan dinamik dan terangsang oleh gerakan yang melingkar, sehingga kemana saja arah kepala, asal gerakan itu membentuk putaran, maka gerakan itu akan tertangkap oleh salah satu, dua atau ketiga kanalis semisirkularis bersama-sama. Pada

manusia, kanalis semisirkularis horizontal yang mempunyai peran dominan oleh karena manusia banyak bergerak secara horizontal. Utrikulus dan sakulus merupakan alat keseimbangan statik, yang terangsang oleh gerak percepatan atau perlambatan yang lurus arahnya, dan juga oleh gravitasi. Utrikulus terangsang oleh gerakan percepatan lurus dalam bidang mendatar, sedangkan sakulus terangsang oleh gerakan percepatan lurus dalam bidang vertikal. Dalam keadaan diam, gravitasi berpengaruh terhadap utrikulus maupun sakulus. Hubungan sistem vestibuler dengan otot-otot mata erat sekali, sehingga semua gerakan endolimfe selalu diikuti oleh gerakan bola mata. Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga kelainan sistem vestibuler bisa menimbulkan gejala pada sistem tubuh yang bersangkutan (Rambe, 2003).

Telinga adalah organ halus yang mampu mendeteksi rentang bunyi yang luas. Sayangnya perlindungan telinga sering diabaikan, sehingga kerap mengalami kerusakan, yang sebenarnya dapat dihindari. Dengan memahami cara kerja telinga, kita dapat menumbuhkan apresiasi terhadap perlunya melindungi pendengaran dan membangkitkan cara-cara melindunginya (Rambe,2003). Cara Kerja Pendengaran: 1) Pulsa-pulsa tekanan bunyi memasuki telinga terluar dan

menyebabkan gendang telinga bergetar. 2) Getaran ini dipindahkan melalui telinga bagian tengah oleh satu kumpulan yang terdiri atas tiga tulang kecil, yang dikenal sebagai ossicles, ke jendela oval di telinga terdalam. 3) Jendela oval memindahkan getaran tersebut ke cairan di dalam telinga terdalam. 4) Cairan tersebut membawa getaran tadi ke sel-sel rambut cochlea yang peka. 5) Sel-sel rambut cochlea ini menerjemahkan getaran tersebut menjadi sinyal-sinyal listrik yang diteruskan ke otak yang kemudian ditafsirkan sebagai bunyi-bunyian (Rambe, 2003).

Eksposur terhadap kebisingan yang berlebihan dapat menimbulkan pengaruh pada: 1) Telinga: Kerusakan permanen pada sel-sel rambut di dalam cochlea mengakibatkan: a) Penurunan kemampuan mendengar (kehilangan pendengaran karena imbas kebisingan). b) Tinnitus (berdenging di dalam telinga) . c) Pergeseran ambang pendengaran dengan meningkatnya

kesulitan mendengar, khususnya semakin kentara di ruang yang gaduh.

2) Perilaku: a) Kehilangan konsentrasi. b) Kehilangan keseimbangan dan disorientasi (berkaitan dengan pengaruh kebisingan pada cairan di dalam saluran semisirkular telinga dalam). c) Kelelahan (Rambe, 2003).

d. Kehilangan pendengaran juga dapat di akibatkan oleh: 1) Terjadinya sumbatan di telinga terluar 2) Radang selaput lendir hidung menghalangi saluran eustachius (catarrh blocking) yang

dan menyebabkan tekanan

berlebih di telinga bagian tengah 3) Berbagai kondisi medis, beberapa di antaranya dapat saja mengganggu keseimbangan (Rambe, 2003).

e. Gangguan fungsi pendengaran dapat dibagi menjadi : 1) Pendengaran normal, bila tidak dapat kesukaran mendengar pembicaraan dengan suara biasa maupun suara perlahan pada pemeriksaan audiometri tidak lebih dari 25 dBA. 2) Tuli ringan, bila tidak dapat kesukaran mendengar pembicaraan biasa, tetapi sudah ada kesukaran pembicaraan dengan suara perlahan. Pada penulisan Audiometri pada 26 40 dBA. 3) Tuli sedang, bila seringkali terdapat kesukaran mendengar suara biasa. Pada pemeriksaan Audiometri 41-60 dBA. 4) Tuli berat, bila kesukaran mendengar pembicaraan biasa sehingga harus dengan suara keras. Pada pemeriksaan audiometri 61-90 dBA. 5) Tuli sangat berat, meskipun dengan suara keras namun komunikasi tidak lancar. Pada pemeriksaan Audiometri lebih dari 90 dBA (Rambe, 2003).

Gangguan indra pendengaran dapat terjadi akibat lesi di dalam kanalis auditorius eksterna, telinga tengah, telinga dalam atau lintasan saraf auditorius yang sentral. Lesi didalam kanalis auditorius eksterna atau telinga tengah akan menyebabkan gangguan pendengaran konduktif, sedangkan lesi pada telinga dalam atau nervus kranialis kedelapan menimbulkan gangguan pendengaran sensorineural (Dennis, 2005). Gangguan pendengaran konduktif dapat terjadi akibat pbstruksi kanalais auditorius eksterna oleh serumen, debris serta benda asing. Pembengkakan pada dinding kanalis tersebut dan stenosis serta neoplasma oada kanalis auditorius eksterna. Perforasi membran timpani seperti yang terjadi pada otitis media kronik, disrupsi rangkaian osikuler seperti yang terjadi pada nekrosis prosesus longus inkus akibat trauma dan infeksi, fiksasi osikulus seperti yang terjadi pada otosklerosis, dan adanya cairan, jaringan parut atau neoplasma dalam telinga tengah, juga mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif (Dennis, 2005). Gangguan pendengaran sensorik terutama disebabkan oleh kerusakan sel rambut pada organ corti yang terjadi akibat suara yang sangat keras, infeksi virus, obat ototoksik, fraktur os temporalis, meningitis, otosklerosis kokhlea, penyakit meniere dan penuaan. Gangguan pendengaran yang terletak pada neuron terutama disebabkan oleh tumor angulus serebeli seperti neuroma akustikus tetapi keadaan ini juga dapat terjadi akibat kelainan neoplastik, vaskuler, demielinisasi, infeksi atau degeneratif atau akibat trauma pada lintasan saraf auditorius yang sentral (Dennis, 2005). Dalam fungsinya sebagai indra pendengaran, terkadang mengalami gangguan atau penurunan fungsi, dapat diakibatkan oleh adanya gangguan hantaran udara dan atau tulang, trauma, ataupun karena proses usia. Untuk itu, kita dapat melakukan pemeriksaan tes fungsi pendengaran. Ada beberapa macam test fungsi pendengaran yang lazim dilakukan. Dimulai dari tes yang masih sederhana yakni Tes dengan Penala meliputi Tes Rinne, Webber, dan Swabach. Tes Berbisik, lebih canggih lagi dengan tes audiometri, dan kini sudah kita kenal tes BERA yang merupakan tes neurologik untuk fungsi pendengaran batang otak terhadap rangsangan suara.

Tes weber dan rinne yang menggunakan garpu tala dapat dilakukan untuk membedakan gangguan konduktif dengan sensorineural. Tes weber dapat dikerjakan dengan garpu tala 256-512Hz. Tes rinne merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dalam mendeteksi gangguan pendengaran konduktif yang ringan jika garpu tala yng dipakai adalah jenis 256Hz. Tes weber dilakukan dengan menempelkan pangkal tangkai garpu tala pada kepala di garis tengah dan menanyakan kepada pasien apakah ia mendengar nada di kedua belah telinga atau mendengar lebih keras pada telinga yang satu dibanding telinga lainnya (Gleadle, 2005). Pada gangguan pendengaran konduktif unilateral, nada suara terdengar pada telinga yang sakit. Pada gangguan pendengaran sensorineural unilateral, nada suara terdengar pada telinga yang sehat. Tes rinne membandingkan kemampuan mendengar lewat hantaran udara dengan kemampuan mendengar lewat hantaran tulang (Soedjak, 2000). Pemeriksaan ini dilakukan dengan mendekatkan garpu tala yang berdetar di depan lubang kanalis auditorius eksterna dan kemudian tangkai garpu tala tersebut di tempelkan pada prosesus mastoid. Pasien diminta untuk memberitahukan apakah nada suara terdengar lebih keras lewat hantaran udara atau hantaran tulang. Dalam keadaan normal, nada suara akan terdengar lebih keras lewat hantaran udara dibandingkan lewat hantaran tulang. Pada gangguan pendengaran konduktif, stimulus lewat hantaran tulang terdengar lebih keras dibandingkan lewat hantaran udara. Pada gangguan pendengaran sensorineural, baik presepsi lewat hantaran udara maupun lewat hantarn tulang akan berkurang tetapi stimulus lewat hantaran udara akan terdengar lebih keras seperti halnya pada pendengaran normal. Kombinasi informasi yang didapat dari hasil ter weber dan rinne memungkinkan kita untuk membuat kesimpulan tentatif apakah terdapat ganggian pendengaran konduktif ataukah sensorineural (Dennis, 2005). Tes schwabach digunakan untuk memastikan ada tidaknya tuli sensorineural dengan membandingkan pendengaran pasien dengan pemeriksa yang normal. Caranya yakni dengan menggetarkan garpu tala dan kemudian pasanglah pada mastoid pasien. Kalau suara tersebut sudah tidak terdengar

lagi, pindahkanlah garpu tala ke mastoid pemeriksa. Jika pemeriksa masih dapat mendengar getaran tersebut, ini berarti bahwa pasien menderita gangguan sensorineural. Jika pemeriksa tidak dapat mendengar getaran tersebut, untuk memastikan, mintalah rekan pemeriksa untuk mendengarnya (Dennis, 2005).

E. Alat Bahan 1. Tes tutur/bisik a. Ruangan panjang 6 m. b. Keadaan ruangan yang sepi atau dengan tingkat kebisingan 30dB. 2. Tes garputala a. Ruangan dengan keadaan sunyi atau dengan tingkat kebisingan 30dB. b. Garputala/penala dengan frekuensi 512 Hz.

F. Cara Kerja 1. Tes berbisik/tutur a. Penderita tidak berhadapan dengan pemeriksa, tetapi menyamping dengan telinga yang di test ke arah pemeriksa. Hal ini supaya tidak membaca bibir pemeriksa. b. Telinga yang tidak diperiksa sebaiknya ditutup atau ditekan pada tragusnya. c. Kata yang dibisikan adalah bisikan yang dikeluarkan setelah pemeriksa melakukan ekspirasi maksimal. d. Dibacakan kata yang sesuai dengan Gadjah Mada Phonetic Balance. e. Setiap kata yang tidak terdengar, pasien diminta untuk maju 1 meter. f. Kesimpulan pemeriksaan 6 meter normal 5-4 meter tuli ringan 3-2 meter tuli sedang 2-1 meter tuli berat

2. Tes garputala a. Tes Rinne 1) Penala digetarkan pada punggung tangan atau siku, dengan tujuan supaya tidak terlalu berisik (ke meja). 2) Tekankan ujung tangkai penala pada prosessus mastoideus salah satu telinga pasien dan tangan pemeriksa tidak boleh menyentuh jari-jari penala. 3) Tanyakan kepada pasien apakah ia mendengar bunyi penala mendengung di telinga yang diperiksa. Bila mendengar, pasien disuruh mengacungkan jari telunjuk. Begitu tidak mendengar lagi jari telunjuk diturunkan. 4) Pada saat pemeriksa mengangkat penala dari prosessus mastoideus pasien, kemudian penala didekatkan ke depan liang telinga pasien. Tanyakan apakah pasien mendengar bunyi dengungan. 5) Catat hasil pemeriksaan rinne sebagai berikut: Tes rine positif AC lebih lama/sama dengan BC tes AC lebih kecil dari BC conductive

normal atau SNHL(Sensoneural hearing loss). Tes rine negatif hearing loss (CHL) b. Tes Webber 1) Getarkan penala yang berfrekuensi 512 seperti pada butir sebelumnya 2) Tekanlah ujung penala pada dahi pasien di garis median 3) Tanyakan pada pasien, apakah iya mendengar bunyi penala sama kuat di kedua telinga atau hanya terdengar kuat di salah satu sisi 4) Catat hasil pemeriksaan tes webber seperti berikut: Normal Lateralisasi kanan Lateralisasi kiri c. Tes Schwabach 1) Getarkan penala berfrekuensi 512 seperti butir sebelumnya AD=AS AD lebih keras dari AS AS lebih keras dari AD

2) Tekankan ujung tangkai penala pada prosessus mastoideus salah satu telinga pasien 3) Minta pasien mengacungkan jati saat dengungan menghilang 4) Dengan segera tempelkan ujung tangkai penala ke prosessus mastoideus pemeriksa. Bila dengungan penala masih dapat didengar oleh pemeriksa maka hasil pemeriksaannya adalah SCHWABACH MEMENDEK (curiga SNHL) 5) Apabila dengungan penala yang dinyatakan berhenti oleh pasien juga tidak tedengar oleh pemeriksa maka hasil pemeriksaannya mungkin SCHWABACH NORMAL atau SCHWABACH MEMANJANG. Untuk memastikan,

dilakukan pemeriksaan ulang namun diawali dengan BC dari pemeriksa kemudian ke pasien. 6) Bila memang hasilnya tetap sama maka hasilnya adalah SCHWABACH NORMAL. Namun apabila dengungan di penderita masih terdengar, maka hasilnya adalah

SCHWABACH MEMANJANG.

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Probandus Nama Usia Jenis Kelamin : M. Cahya Riadi : 20 Tahun : Laki laki

Dari hasil pemeriksaan didapatkan sebagai berikut : Tes Rinne Positif ( AC > BC ) Tes Weber Tidak ada lateralisasi Tabel 1. Hasil Tes Garpu tala Dapat disimpulkan bawah pemeriksaan garpu tala yang dilakukan pada probandus dalam batas normal dan tidak terdapat kelainan apapun. Tes Schwabach Sama dengan pemeriksa

B. Pembahasan Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah tes garpu tala atau seringkali disebut sebagai tes penala. Pemeriksaan ini merupakan jenis kualitatif. Terdapat beberapa jenis tes tersebut, antara lain adalah: a. Tes Rinne Digunakan untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya. Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikula pasien (Boies, 2010).

Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal (Boies, 2010).

b. Tes Weber Tes pendengaran yang digunakan untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan telinga kanan. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien samasama tidak mendengar atau sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi (Soepardi, 2011). Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan patologis pada MAE atau cavum timpani misal : otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, bila ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan (Boies, 2010).

c. Tes Schwabach Digunakan untuk membandingkan hantaran tulang orangyang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannnya normal. Gelombanggelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo temporal (Soepardi 2011).

Gambar 8. Ukuran Garpu tala

Interpretasi Hasil tes Garpu tala: TEST RINNE Positif WEBER Tidak ada lateralisasi SCHWABACH Sama pemeriksa Lateralisasi ke telinga yang sakit Lateralisasi ke telinga yang sehat Memanjang dengan DIAGNOSIS

Normal

Negative

Tuli konduktif Tuli sensorineural

Positif

Memendek

Catatan

Pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif Tabel 2. Interpretasi tes Garpu tala

C. Aplikasi Klinis 1. Telinga Luar (Otitis Eksterna) Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan oleh bakteri dapat terlogalisir atau difus, telinga rasa sakit. Faktor ini penyebabtimbulnya liang telinga, otitis eksterna dan ini, alergi. kelembaban, Faktor ini

penyumbatan

traumalocal

menyebabkan berkurangnya lapisan protektif yang menyebabkan edema dari epitel skuamosa. Keadaan ini menimbulkan trauma local yang

mengakibatkan bakteri masuk melalui kulit, inflasi dan menimbulkan eksudat. Bakteri patogen pada otitis eksterna akut adalah pseudomonas (41 %), strepokokus (22%), stafilokokus aureus (15%) dan bakteroides (11%). Istilahotitis eksterna akut meliputi adanya kondisi inflasi kulit dari liang telinga bagian luar. Otitis eksterna ini merupakan suatu infeksi liang telinga bagian luar yang dapat menyebar ke pina, periaurikular, atau ke tulang temporal. (Soetirto, 2007). Otitis eksterna akut dibedakan menjadi 2 yaitu: a. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel atau bisul) adalah infeksi oleh kuman pada kulit di sepertiga luar liang telinga yang mengandung adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea, kelenjar serumen (Mansjoer, 2009). b. Otitis Eksterna Difus adalah infeksi yang terjadi peada kulit liang telinga dua per tiga dalam. Tampak kulit liang telinga hiperemis dan edema dengan tidak jelas batasanya, serta tidak dapat furunkel (Soepardi, 2011).

2. Telinga Tengah (Otitis Media Akut) Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikrobake dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibodi. Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.Sumbatan tuba eustachius merupakan factor penyebab utama dari otitis media (Soetirto, 2007). Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengahdan terjadi peradangan.Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran nafas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah olehkarena tuba eustachiusnya pendek, lebar dam letaknya agak horizontal. Selain itu juga disebabkan oleh (Soetirto, 2007) :

a. Tonsilitis b. Rhinitis dan sinusitis kronis c. Nasal allergi d. Tumor nasopharing e. Deformitas (Cleft palate) f. Prematuritas g. Sosial ekonomi yang rendah. Ada 5 stadium otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, yaitu : 1) Stadium Oklusi Tuba Eustachius Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membrana timpani akibat tekanan negatif dalam telinga tengah karena terjadinya absorpsi udara. Selain retraksi, membrana timpani kadang-kadang tetap normal atau hanya berwarna keruh pucat atau terjadi efusi. Stadium oklusi tuba Eustachius dari otitis media supuratif akut (OMA) sulit kita bedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan virus dan alergi (Helmi, 2006). 2) Stadium Hiperemis (Pre Supurasi) Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di timpani yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat (Helmi, 2006). 3) Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen (nanah). Selain itu edema pada mukosa telinga tengah makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging (penonjolan) membrana timpani ke arah liang telinga luar. Pasien akan tampak sangat sakit, nadi & suhu meningkat dan rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan ruptur membran timpani

akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan. Nekrosis ini disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani karena penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil (Helmi, 2006). Keadaan stadium supurasi dapat kita tangani dengan

melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan membuat luka insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan mudah menutup kembali sedangkan ruptur lebih sulit menutup kembali. Bahkan membran timpani bisa tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh lagi (Helmi, 2006). 4) Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur nyenyak (Helmi, 2006). Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah) tetap berlangsung selama lebih 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih 1,5-2 bulan maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (OMSK) (Helmi, 2006).

5) Stadium Resolusi Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen tidak ada lagi. Stadium ini berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Stadium ini didahului oleh sekret yang berkurang sampai mongering (Helmi, 2006). Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK). Kegagalan stadium ini berupa membran timpani tetap perforasi dan sekret tetap keluar secara terus-menerus atau hilang timbul (Helmi, 2006). Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Helmi, 2006). 3. Telinga Dalam (Meniere) Penyakit Meniere adalah suatu penyakit yang ditandai oleh serangan berulang Vertigo (perasaan berputar), tuli dan tinnitus (telinga berdenging). Gejalanya berupa seangan vertigo, mual dan muntah mendadak, yang berlangsung selama 3-24 jam dan kemudian menghilang secara perlahan. Secara periodik, penderita merasakan telinganya penuh atau merasakan adanyatekanan di dalam telinga.Pendengaran di telinga yang terkena berfluktuasi (kadang jelas, kadang kurang)tetapi semakin lama semakin memburuk (Soetirto, 2007). Tinnitus bisa menetap atau hilang-timbul dan semakin memburuk sebelum, setelah maupun selama serangan vertigo.Pada kebanyakan penderita, penyakit ini hanya menyerang 1 telinga dan pada 10-15% penderita, penyakit ini menyerang kedua telinga. Pada salah satu bentuk penyakit Meniere, tuli dan tinnitus terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum seangan vertigo (Soetirto, 2007).

BAB III KESIMPULAN

1. Telah dilakukan pemeriksaan fungsi pendengaran menggunakan tes garpu tala menurut Rinne dengan prinsip membangdingkan kekuatan Air Conduction (AC) dan Bone Conduction (BC) pada pasien. 2. Telah dilakukan pemeriksaan fungsi pendengaran menggunakan tes garpu tala menurut Weber dengan prinsip membangdingkan kekuatan Bone Conduction (BC) pada pasien dengan Bone Condustion (BC) pada pemeriksa, dengan syarat fungsi pendengaran pemeriksa normal. 3. Telah dilakukan pemeriksaan fungsi pendengaran menggunakan tes garpu tala menurut Schwabah dengan prinsip membangdingkan kekuatan Bone Conduction (BC) pada telainga kiri dan kanan pasien. 4. Hasil pemeriksaan tes garpu tala: a. Hasil pemeriksaan tes Rinne didapatkan AC > BC yang artinya normal. b. Hasil pemeriksaan tes Weber tidak didapatkan lateralisasi yang artinya normal. c. Hasil pemeriksaan tes Schwabah didapatkan BC pasien = BC Pemeriksa yang artinya normal.

DAFTAR PUSTAKA

Boies, Adam. 2010. Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6 Cetakan VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Dennis, Kasper L; Fauci Anthony S; Longo Dan L; et al. 2005. Harrisons The The Principles of Internal Medicine. Sixteenth Edition. USA : McGrawHill. Gleadle, Jonathan. 2005. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Erlangga. Helmi & Sosialisman. 2006. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mansjoer, Arif; Kuspuji Triyanti; Rakhmi savitri et al. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Media Aeculapius. Rambe. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising.Medan: Tesis Sekolah Pasca Sarjana USU. http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-andrina1.pdf diperoleh 8 april 2013 Soepardi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Penerbit FKUI Jakarta, 2011. Soetirto, I.,Hendarmin, H., Bashiruddin, dalam J., Buku 2007.Gangguan Pendengaran Ajar Ilmu Kesehatan

dan Kelainan

Telinga

Telinga,Hidung,Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Evelyn, C. Pearce. 2000. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia

Soedjak, Sardjono; Sri Rukmini; Sri Herawati; & Sukesi. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai