Anda di halaman 1dari 16

BAB IV KOMORBIDITAS Dengan menggunakan interviu terstruktur dan semi struktur serta kriteria DSM, beberapa penderita memenuhi

lebih dari satu diagnosa gangguan psikiatri. Hal tersebut dinamakan komorbiditas. Biasanya sukar untuk menentukan gangguan yang pertama kali terjadi. Kovacs dkk (1984a, 1984b) mengamati bahwa 79% anak usia sekolah dengan MDD menderita gangguan distimia dan depresi (38%), gangguan cemas (33%), dan gangguan perilaku (7%). Mereka juga memperhatikan bahwa 93% penderita dengan gangguan distimia mempunyai gangguan lain seperti MDD (57%), gangguan cemas (36%), gangguan deficit atensi (14%) dan gangguan perilaku (11%). Ryan dkk (1987) menemukan bahwa 10% dari penderita praremaja dan 11% remaja dengan MDD juga mempunyai gangguan perilaku. Peneliti juga memperhatikan bahwa 45% anak-anak dan 27% remaja dengan MDD menderita fobia menghindar. Kashani dkk (1987) menemukan bahwa 47% remaja di populasi umum didiagnosa MDD, 100% juga mempunyai diagnosa distimia. Remaja tersebut juga mempunyai tambahan diagnosa seperti gangguan cemas (75%), gangguan menentang (50%), gangguan perilaku (33%), penyalahgunaan alkohol (25%) dan penyalahgunaan zat (25%). Dalam otopsi anak dan remaja yang melakukan bunuh diri, Shafii dkk (1984, 1985, 1988) menemukan bahwa 95% korban didiagnosa gangguan psikiatri, dibandingkan dengan 48% dari group kontrol. Dari korban bunuh diri, 81% mempunyai diagnosa komorbid, 76% dengan MDD dan atau distimia dengan gangguan perilaku dan / atau penyalahgunaan alkohol dan zat, dibandingkan dengan 29% pada kontrol. Dalam suatu penelitian dari 350 anak dan remaja yang dirawat di RS, ditemukan bahwa dua kali lipat anak dan remaja menderita MDD serta distimia dengan diagnosa komorbid gangguan psikiatri lain (khususnya gangguan perilaku, gangguan menentang dan ADHD atau penyalahgunaan alkohol dan zat) daripada hanya menderita MDD dan/ atau distimia.

Kebanyakan dari penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa intensitas, berat ringannya gangguan, waktu, kronisitas, kekambuhan dan risiko bunuh diri secara bermakna lebih besar pada anak dan remaja depresi dengan diagnosa komorbid daripada mereka yang tanpa komorbiditas Mereka merekam interaksi face to face antara ibu & bayinya dari usia 2-20 minggu. Ada 2 tipe situasi eksperimental, masing-masing berakhir 3 menit. Awalnya, ibu-ibu mempunyai interaksi face to face alami dengan bayinya, selanjutnya ibu duduk berhadapan muka dengan bayinya, sementara ibu tetap tak berespon & mempertahankan muka kurang ekspresif.

Untuk menekankan sensitivitas, responsivitas & reaksi afektif dalam komunikasi resiprokal dengan ibunya, kami menggunakan penetapan langsung, ekstensif dari Tronick et al, observasi terus menerus. Bayi usia 2 bulan duduk tenang sendiri di kursi wajah serius, pipi menurun, mulut separo terbuka, sudut bibir turun, tapi ada pandangan harapan pada mata seakan dia menunggu Segera ibunya datang ke dalam ruangan & berkata hallo.. wajah & tangan bayi terangkat. Dia mengikuti ibunya datang kepadanya dengan kepala & matanya. Badannya dipenuhi ketegangan, wajah & matanya terbuka dengan bersemangat yang berakhir dengan senyuman. Mulutnya terbuka lebar & seluruh tubuhnya menghadap ibunya. Dia berubah, lidahnya dimainkan, senyumnya berhenti & dia melihat ke bawah dengan segera, sementara ibunya berbicara dengan suara yang meninggi. Ibunya mulai memeluk bayi & dengan lembut menggerakkan pinggang & kakinya.Dia melihat ke atas lagi, tersenyum lebar, menyempitkan mata, membawa satu tangan ke mulut, bergumam, berkata-kata & mulai melingkarkan kaki & lengannya ke arah ibu. Dengan peningkatan aktivitas ini, ibu mulai tersenyum menyeringai lebih luas, bicara lebih keras, dengan aksen penekanan yang lebih tinggi, memberikan aksen pada bicara bayi dengan ibunya & aktivitas bayi dengan gerakan ibu pada kakinya. Ibu melanjutkan interaksi dengan bayi & setelah 40 detik bayi melihat ke bawah lagi dengan tenang, wajah memcebilkan, ibu melihat ke bawah pada kaki bayi, kemudian melihat wajahnya & bayi kembali

melihat ibunya. Ibu membiarkan dia turun & mereka menggeser tubuhnya, Bayi tiba-tiba tersenyum lebar, berkata terpatah-patah. Ketika wajah bayi melebar luas & lengan & kakinya menuju ke arah ibu. Ibu nampaknya menangkap ketergesa-gesaannya, tersenyum lebar, suara ibu juga lebih jelas, Setelah saling burst wajah bayi menjadi sangat serius, anggota badan tenang & ibu berespon tenang mengikuti bayi Pada detik ke 70, bayi reda secara komplit & melihat ke kakinya dengan wajah serius. Wajah ibu berubah serius, suaranya menjadi pelan & hampir berhenti, tekanan menjadi rendah. Mulut ibu ke bawah, merefleksikan mulut bayi yang serius, Setelah 3 detik, bayi mulai lagi bersinar dalam senyum yang lebar. Ibu segera berespon dengan malu-malu dengan senyum lembut, suara lembut. Bayi berespon dengan kata-kata terpatah-patah, lingkarkan kakinya ke arah ibu. Pada detik ke 90.pergerakannya berubah & wajahnya menjadi serius. Ibu juga sangat serius. Interaksi ini berlanjut dengan senyum yang menguatkan secara intermiten, pandangan yang serius & keadaan tak bergerak yang harmoni antara ibu & bayinya. Ibu menjadi tenang saat bayi tenang. Kemudian bayi menggoda mengajak ibu memasuki interaksi. Ketika bayi menjadi sangat senang, ibu dengan pelukan yang hati-hati pada pinggang bayi & kaki untuk mempertahankan puncak kesenangan bayi. Dalam situasi eksperimental selanjutnya, dengan bayi yang sama, ibu tetap tanpa ekspresi selama 3 menit. Bayi duduk sendiri di kursi melihat ke bawah pada tangannya . Melilitkan jari jemari tangan satu ke tangan yang lain. Setelah ibu masuk, gerakan tangannya berhenti. Bayi melihat ibu, membuat kontak mata dengan ibu & tersenyum. Wajah seperti topeng ibu tak berubah. Bayi menghindar cepat ke sisi lain & tetap tenang, wajahnya mengekspresikan keseriusan. Bayi tetap dalam keadaan seperti itu untuk 20 detik. Kemudian bayi melihat kembali wajah ibu, bulu mata & kelopak mata terangkat naik, tangan & lengannya mulai pelan-pelan menuju ke arah ibunya. Bayi cepat melihat ke bawah pada tangannya,

tetap untuk 8 detik & kemudian wajahnya dilihat sekali lagi. Rupanya ini dipotong oleh menguap dengan mata & wajah bayi yang berubah-ubah. Bayi mulai menarik jari jemari dari tangan yang lain, sementara seluruh tubuh kurang gerak. Setelah menguap, yang berakhir 5 detik, dia melihat wajah ibunya dengan cepat. Ketika ibu tak berespon, gerakan tangannya menjadi tersentak-sentak, mulutnya mencucu, mata menyempit khususnya alis mata. Dia memalingkan wajahnya ke sisi lain, tapi dia tetap memperhatikan ibunya dalam pandangan samping (melirik). Bayi melipat tangannya lagi, kakinya lurus menjauhi ibunya & dengan cepat disentakkan kembali. Menurut Tronick et al, ini adalah pola khas reaksi bayi terhadap wajah ibunya yang tanpa ekspresi. Mula-mula bayi berespon terhadap ibunya & memberi salam, ketika ibu tak berespon, bayi menjadi tenang & waspada atau hati-hati. Dia mencoba untuk mempengaruhi ibunya dengan senyuman singkat, ketika bayi tak menerima respon, dia memalingkan muka. Dia melanjutkan bertahan, ketika pertahanan untuk kontak menemui kegagalan, bayi secara bertahap menarik diri, menyesuaikan wajahnya & tubuhnya jauh dari ibunya dengan ekspresi tanpa harapan & tetap jauh dari ibu. Tak seorang bayipun menangis, bagaimanapun.. Ibu merasa bahwa itu adalah aturan yang ekstrim & sulit untuk dipertahankan secara emosional tak responsif terhadap bayi mereka selama 3 menit. Ketika mereka kembali setelah eksperimen ini, butuh waktu minimal 30 detik bagi bayi untuk hangat terhadap ibunya kembali. Mula-mula bayi memonitor kekhawatiran ibu, pada saat itu, bayi akan nakal atau tak sopan jika bayi tak dapat memaafkan ibu karena menghindar sebelumnya. Bayi mempunyai kemampuan tak sadar untuk merespon secara diskriminasi terhadap manusia pada hari pertama kehidupannya. Tanda depresi adalah bentuk transien ringan sampai sedang dari depresi yang biasanya berakhir pada periode waktu yang singkat, beberapa menit sampai beberapa jam. Hal itu adalah pengalaman pada level sensori motor proprioseptif & visceral. Pengalaman ini tak dapat diulang melalui memori, pemanggilan kembali atau asosiasi bebas. Tanda depresi berhubungan dengan ganguan dalam irama biologi dari keterlibatan

& ketidak terlibatan dalam kontak dengan manusia. Ketidak terlibatan, penarikan diri & tanda depresi memodulasi mood rendah & respon afektif, memfasilitasi penyimpanan energi & sumber-sumber lain & menstimulasi cara adaptasi lebih efektif. Tanda depresi mengaktifkan perilaku kelekatan pada ibu, memodulasi respon afektif & menstimulasi inisiasi kontak baru. Glaser (1967) mendeskripsikan depresi tersamar pada anak & remaja. Annel (1972), Brumback & Weinberg (1977), Cantwell & Carlson (1979), Cytryn (1972), Gellen (1983), Kazdin (1989), Kovacs & Beck (1977), Shafii et al (1979, 84, 85, 88, 90) telah ikut andil secara bermakna dalam penelitian, dokumentasi, klasifikasi & perkembangan skala perilaku & pengukuran psikoneuroendokrinologi untuk depresi pada anak & remaja. ). Menggunakan kriteria dewasa dalam praktek klinik & riset secara bermakna lebih lanjut data berdasar riset gangguan mood pada anak & remaja. Gangguan mood (gangguan afektif) dibagi dalam gangguan depresi & gangguan bipolar. Gangguan depresi lebih lanjut dibagi dalam depresi mayor (gangguan unipolar), distimia (gangguan distimik atau neurosis depresi) & gangguan depresi Not Otherwise Specified (NOS). Dalam depresi mayor, penderita mengalami episode tunggal atau rekuren yang berasosiasi dengan simtom lain sedikitnya 2 minggu tanpa mood elevasi, elasi atau mania. Jadi gangguan ini kadang dirujuk sebagai gangguan unipolar. Pada distimia, penderita berpengalaman dengan mood depresi yang kronis berasosiasi dengan simtom lain. Beratnya simtom distimia kurang daripada episode depresi mayor. Durasi distimia biasanya 2 tahun untuk dewasa, 1 tahun untuk anak & remaja. Anak & remaja mungkin lebih iritabel daripada mood depresi. Pada gangguan depresi NOS, penderita mengalami gambaran depresi yang tak memenuhi kriteria untuk gangguan depresi mayor atau distimia. Gangguan bipolar dibagi dalam gangguan bipolar (klasik gangguan depresi manibipolar I), siklotimia (bipolar II) & gangguan bipolar NOS. Pada gangguan bipolar penderita mengalami episode mani dalam bentuk predominan mood elevasi, expansif, iritabilitas, hiperaktif, tekanan pembicaraan, flight of ideas & harga diri yang melambung. Selanjutnya penderita mungkin mengalami satu atau

lebih periode depresi. Karena mood yang berfluktuasi antara 2 kutub berlawanan elasi & depresi, gangguan ini disebut gangguan bipolar. Episode cukup berat untuk mengganggu hubungan penderita dengan orang lain, tampilan kerja & aktivitas sosial. Pada siklotimia, penderita berpengalaman dengan gangguan mood kronis termasuk episode hipomani & episode mood depresi. Berat & durasi siklotimia kurang daripada berat & durasi gangguan bipolar, biasanya 2 tahun untuk dewasa & 1 tahun untuk anak & remaja. Penderita tak bebas untuk lebih dari 2 bulan dari simtom hipomania atau depresi. Pada gangguan bipolar NOS, penderita dengan hipomania yang tak memenuhi kriteria diagnosis untuk gangguan bipolar atau siklotimia (APA 1987) Penelitian Frongillo EA dkk (2002) mengatakan bahwa kekurangan makan pada remaja di Amerika (keluarga kadang-kadang atau sering kali tidak mendapat makanan yang cukup) secara bermakna lebih mungkin untuk menderita distimia, pikiran tentang kematian, keinginan untuk mati dan usaha bunuh diri. Penelitian tersebut menyimpulkan terdapat hubungan yang kuat antara kekurangan makan dengan gangguan depresi serta simtom bunuh diri.8 Penerapan kriteria dewasa ke diagnosis depresi pada masa bayi, anak dan remaja telah menjadi langkah besar dalam membantu klinisi untuk membuat diagnosa yang tepat dan mengembangkan rencana pengobatan yang tepat. Beberapa perkembangan masalah pada bayi, anak dan remaja telah menghasilkan pertimbangan, seperti mood iritabel menggantikan mood depresi, 1 tahun menggantikan 2 tahun durasi distimia dan BB tak sesuai dengan yang diharapkan menggantikan kekurangan atau penurunan BB.3,4,18,20,23 Perlu ditambahkan pula bahwa dalam pembahasan umum mengenai depresi pada anak, faktor regresi memainkan suatu peranan yang penting, anak kehilangan beberapa ketrampilan yang tadinya telah dikuasainya pada fase perkembangan sebelumnya.2,3,16,17 Smart & Taylor (1973) melaporkan kasus bayi berusia 9 minggu. Ibu dan bayi mempunyai hubungan dekat dan bahagia. Anak yang lebih tua di rawat di RS. Ibu memberi makan secara cepat dan meletakkan bayi ke tempat tidur. Bayi menerima sedikit pengasuhan dari ibunya dibandingkan 9 minggu pertama

kehidupannya. Segera setelah itu, bayi menjadi sangat pucat dan lesu, tak bergairah dan menjadi letargi. Frontanellanya sangat cekung dan kulitnya tak elastik. Setelah sadar bahwa bayi mungkin menderita depresi karena kontak yang sedikit dengan ibu, ibunya segera melewatkan lebih banyak waktu dengan bayi dan secara aktif mengasuh dia. Dalam 1 minggu bayi pulih Secara perkembangan, remaja normal mempunyai kecenderungan ke arah depresi. Hal ini penting untuk menjelaskan dan membedakan depresi patologis dengan depresi normal dan mood labil remaja. Sroufe & Rutter (1984) adalah pionir dalam bidang perkembangan psikopatologi. Menurut mereka perkembangan psikopatologi mengeksplorasi proses ontologi dimana pola awal dari adaptasi individu berkembang menjadi pola akhir yang mempengaruhi pola adaptasi selanjutnya. Perspektif utama dari perkembangan psikopatologi adalah tak hanya pola perilaku normal dapat berubah, tapi juga simtom psikopatologi mempengaruhi dan berubah melalui perkembangan. Trad (1986) menulis, perspektif perkembangan utama adalah proporsi bahwa keduanya, individu normal dan individu yang mengalami gangguan melewati perjalanan perkembangan yang umum, dimana fungsi pada satu level mempunyai implikasi yang dapat diprediksi untuk fungsi selanjutnya. Perkembangan psikopatologi tak mengikuti perkembangan linear tapi mengikuti transformasi perilaku.3 Jadi perspektif psikopatologi perkembangan adalah bahwa manifestasi depresi akan dipengaruhi oleh faktor-faktor regresi, perkembangan tertahan (developmental arrest), kontinuitas, diskontinuitas perilaku dan transformasi perilaku tersebut.2,3 Secara phenomenologi berdasar klasifikasi DSM-III & DSM-IIIR tak mengambil transformasi perilaku dan regresi sebagai pertimbangan dalam mendeskripsikan gangguan depresi dalam masa bayi, anak dan remaja. Observasi secara klinik langsung dan data berdasar riset berintegrasi dengan perspektif perkembangan dengan observasi perilaku psikologi pada tahun pertama kehidupan, usia 2-3 tahun, 4-5 tahun, 6-12 tahun dan 13-18 tahun akan membantu dalam membuat evaluasi dan diagnosa yang lebih akurat serta intervensi pengobatan yang lebih efektif.3,14,18

Sebagai tambahan dari gambaran klinik umum depresi, depresi pada anak diekspresikan dengan regresi. Anak kehilangan ketrampilan perkembangan spesifik yang sesuai usia pada level sebelumnya. Klinisi perlu mengenal tugas perkembangan masing- serta intervensi pengobatan yang lebih efektif.3,14,18 kesedihan dan duka cita pada anak dan dewasa meliputi protes, putus asa dan sikap yang tak terpengaruh. Protes diekspresikan melalui kemarahan, hostilitas dan menangis. Putus asa adalah perasaan kesedihan dan regresi serta depresi yang temporer. Sikap yang tak terpengaruh adalah penarikan diri dari afek dan cinta pada love object yang hilang. Proses tersebut terjadi bersama-sama dan menolong individu mengatasi hal tersebut. Menurut Bowlby, anak-anak khususnya usia kurang dari 6 tahun, tak dapat mengatasi hal itu secara efektif. Proses duka cita pada anak menjadi sepanjang hidup dan kronik, mirip dengan duka cita patologi yang tak terselesaikan pada masa dewasa.1,3,16 Menurut teori psikodinamika, depresi pada anak dan dewasa sering berhubungan dengan kehilangan love object, kehilangan harga diri atau kehilangan perasaan kesejahteraan. Depresi yang tak terselesaikan dan tak diobati pada masa anak, bersama dengan kurangnya pengganti love object, membawa ke perkembangan kurang empati, yang menghasilkan kekejaman terhadap binatang dan anak lain. Kemudian hari, pada masa remaja dan dewasa, sadistik, destruktif serta kadang-kadang perilaku membunuh dapat menjadi keluaran (outcome).3,4,16 Menurut observasi yang dilakukan oleh Cytryn,L dan McKnew, DH anak menggunakan pola pertahanan (defense) yang sama, khusus untuk menghindari atau supaya tidak merasa depresi. Pada tingkat pertama adalah fantasi yaitu bila depresi masih bersifat terselubung. Bila usaha ini tidak berhasil akan timbul pola pertahanan tingkat ke dua yaitu dengan ekspresi verbal, anak akan bercerita atau berkhayal dengan tema yang sedih. Perasaan sedih belum tampak secara nyata. Baru pada pola pertahanan tingkat ke tiga perasaan yang depresif akan menjadi nyata.2 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Schwartz dkk dikatakan bahwa pada psikopatologi masa anak, usia onset berperan dalam outcome gangguan bipolar. Tetapi sebagai prediktor dari fungsi kehidupan sehari-hari,

ternyata psikopatologi pada masa anak lebih bermakna dibandingkan dengan usia onset.24 pengasuh utama dari bayi dengan FTT biasanya mengalami depresi, marah, putus asa dan mempunyai harga diri yang rendah (Reinhart 1979). Satu dari gambaran klinik yang paling menonjol dari anak FTT selain penurunan BB adalah apati Adanya kesedihan atau depresi, sebagai pengganti apati yang berlebihan, merupakan tanda yang baik, yang menandakan bahwa bayi masih berpengalaman merasakan dan berkomunikasi dengan perasaan internal. a. Berat Badan: Kebanyakan bayi tersebut mempunyai peningkatan BB yang sangat sedikit atau kehilangan BB. Biasanya BB di bawah 3% pada saat evaluasi, peningkatan BB secara cepat terjadi setelah perawatan di RS atau perubahan lingkungan dalam pengasuhan maternal. b. Tinggi Badan (TB): TB biasanya terpengaruh, tapi tak seberat BB, jika anak mengalami FTT untuk waktu yang lama, penurunan TB yang bermakna akan terjadi. c. Ukuran kepala dalam batas normal. Dalam masa bayi, DA, hospitalism dan FTT memperlihatkan bentuk depresi berat dan lama serta deprivasi dengan konsekuensi yang buruk. Simtomatologi klinik lain telah diobservasi pada bayi yang tak sama dengan sindrom di atas tapi juga merupakan gambaran yang bermakna dari depresi, hanya lebih ringan dan berlangsung beberapa hari atau minggu. Misal, Robertson (1965) melaporkan adanya depresi pada bayi usia 2 bulan yang secara bermakna membaik ketika ibunya menjadi lebih terlibat. Wisdom (1977) melaporkan bentuk akut depresi pada bayi laki-laki 6 bulan dalam keluarga yang utuh. Depresinya berakhir 3-4 hari setelah kehilangan pengasuh. Fraiberg & freedman (1964) menemukan bahwa depresi dan penarikan diri pada orangtua ikut berperan pada kesedihan, penarikan diri, autoerotik, perilaku seperti autisme dan perkembangan retardasi pada bayi buta. Brazelton et al (1971) mendeskripsikan bayi perempuan yang memperlihatkan kecengengan, kesedihan, penarikan diri dan ketidak responsifan dimulai 10 hari setelah kelahiran. Selama sepuluh hari tersebut, bayi itu menjadi

waspada, mata terbuka lebar tampak aktif. Dia secara keseluruhan normal dalam respon neurologi dan perilaku. Tim peneliti berkunjung ke rumah 3 hari kemudian, melaporkan bahwa ibu memperlihatkan kepasifan dan tak responsif. Bayi bergelung dalam posisi fetus & bergerak sangat sedikit ketika diangkat. Pada beberapa tingkat, bayi berespon terhadap rangsangan auditoris dan visual. Setelah usia 3 minggu, bayi dalam kebanyakan waktu mengulum kepalannya. Observasi pada minggu 10 dan bulan 3, 4, 7, 8 memperlihatkan bahwa bayi mengalami deteriorasi secara kognitif dan emosional, secara bermakna di bawah perkembangan normal dan mempunyai animasi fasial sangat sedikit. Tak adanya laporan penurunan BB atau kegagalan untuk meningkatkan BB adalah suatu tanda awal FTT. Pada 8 bulan, bayi dilihat neurolog. Neurolog mengatakan bahwa bayi mengalami retardasi dan otaknya tak normal. Dalam kunjungan rumah 2 minggu kemudian, ada perubahan perilaku ibunya. Ibu berusaha mengatasi depresi dan apatinya serta mulai secara aktif terlibat dengan bayinya melalui peningkatan kontak tubuh, berbicara dan bermain. Pengamat memperhatikan bahwa bayi telah lebih aktif, bermain dengan peneliti dan mencoba merangkak serta duduk tanpa bantuan. Bayi berkembang secara dramatikal. Pada usia 12 bulan, koordinasi motoriknya sesuai dengan usia, usia 18 bulan berjalan sendiri, usia 21 bulan bermain dengan boneka. Pada usia 2 tahun, bayi menghangat, ekspresif, penuh kasih sayang dan berfungsi sesuai usia kronologis. Bayi ini yang suatu saat didiagnosis kerusakan otak dan retardasi oleh neurolog dan kemungkinan autistik, secara dramatik membaik setelah kontak afektif dan sensorimotor ibunya meningkat. Kasus ini mengilustrasikan bentuk depresi berat yang tak mengikuti kriteria FTT, DA atau hospitalism. Gangguan kontak manusia dan mothering berperan dalam perkembangan penarikan perilaku, kepasifan, apati dan secara bermakna memperlambat perkembangan afektif dan sensorimotor. a. Disamping gangguan yang cukup berat yang sudah dibahas, juga terdapat gangguan depresi yang lebih ringan dan hanya berlangsung beberapa hari

atau minggu. Jenis ini dikenal sebagai Depresi Sensorimotor Ketika klinisi berpengalaman dengan kesedihan yang empatik ini, hal itu mempunyai diagnosa yang bermakna dan sering membantu dalam mendiferensiasikan depresi dari bentuk perilaku penarikan diri, seperti pada kasus penyakit fisik, autisme masa anak atau RM berat. b. Ketika orang dewasa mendekat, bayi terpaku pada mata orang dewasa tersebut dengan pandangan sedih yang dalam, lama, waspada dan kemudian tiba-tiba berubah menjadi tangisan kesakitan. Bila depresi bayi menjadi lebih lama, tangisan kesakitan mungkin hilang dan hanya ngambek, tangisan iritabel atau merengek yang tetap ada. Setelah beberapa waktu, bayi mungkin berhenti menangis. Orang tua mungkin merasa bahwa bayi menjadi lebih baik dan menjadi bayi yang baik. Penurunan yang bermakna dalam menangis atau tiadanya tangisan dalam depresi pada bayi adalah tanda yang tak menyenangkan. c. Mata bayi memancarkan kewaspadaan dan kesedihan, seperti mengkomunikasikan kesedihan internal Sebagai perkembangan depresi, bayi selanjutnya mempunyai kontak mata yang singkat. Pada depresi yang berat, bayi mungkin terpaku pada pengamat dalam perilaku kosong dan apati atau kontak mata yang menghindar. Ekspresi fasial dan kontak mata adalah dua kesimpulan utama yang mengalihkan klinisi pada kemungkinan DSM dan gangguan pada mothering. d. hasa: Mendekut dan mengoceh yang biasanya nampak pada usia 1 & 2 bulan, tak terjadi pada bayi depresi. Bayi akan menjadi rewel. Bayi nampaknya tak dapat belajar skemata baru untuk ekspresi tahap internal seperti mendekut, mengoceh dan merespon secara vokal stimuli dari ibu. Pada bayi yang lebih tua, perilaku inisiatif dan ketrampilan berbahasa yang didapat menurun, bayi mengalami regresi, lebih rewel dan menangis. e. Perilaku makan: Bayi depresi tak minum air susu ibu (ASI) atau susu botol secara teratur. Bayi tak nampak senang dan membaik setelah makan, juga menjadi pemakan yang rewel. Muntah, meludahkan makanan, ruminasi, kadang makan berlebihan dapat berkembang jika depresi berlanjut.

Peningkatan BB yang tidak sesuai dengan yang diharapkan atau penurunan BB adalah tanda FTT. f. kurang ingin tahu: Bayi depresi kehilangan ketegasan dan keingin tahuan mereka tentang pengalaman baru. Mereka menjadi menarik diri. Penarikan diri ini, berbeda dengan pasivitas, karena disini ada kesedihan, depresi dan apati yang mendasari. g. . Apati: Dengan berkembangnya depresi, ketenangan, ekspresi wajah sedih diganti dengan ekspresi wajah kososng dan tak responsif. Apati adalah tanda perasaan anak yang dalam keadaan tak berdaya dan putus asa. Keberadaan apati adalah tanda yang tak menyenangkan dari DA atau FTT. h. Mood disforik: Mood depresi atau disforik muncul sebagai wajah sedih tanpa ekspresi, tatapan aversi (keengganan), tatapan mengganggu dan iritabilitas (Carlson & Kashan 1988). i. Mood disforik: Mood disforik dan depresi pada anak usia 3-5 tahun mungkin nampak sebagai ekspresi sedih, muram atau mood labil dan iritabilitas (Carlson & Kashani 1988). Kesedihan yang berlebihan, tak berdaya, kurang gembira dan preokupasi dengan hukuman memenuhi dunia anak. Tema kegagalan, luka, destruksi dan fantasi kematian yang meresap dan dipercaya oleh anak. Pada fase awal depresi, fantasi magik dan kemahakuasaan dapat secara temporer mengurangi rasa sakit dan putus asa. Bila depresi berlanjut, fantasi kemahakuasaan hilang dan tematema kegagalan muncul dalam bermain dan berfantasi. j. Pada bentuk depresi berat dan lama, mereka berfantasi dalam kesendirian dan sikap yang tak terpengaruh yang kosong. Biasanya hal itu demikian menyakitkan anak-anak, maka mereka menyimpannya sendiri, beberapa beraksi Mood disforik: Mood disforik dan afek depresi diekspresikan dalam fantasi tak wajar. Tema yang dominan dalam permainan anak, mimpi dan lamunan adalah kegagalan, menyalahkan diri atau kritik terhadap diri sendiri, kehilangan atau penyingkiran, trauma personal, kematian dan bunuh diri (Cytryn & Mc Knew 1979).

Tema

depresi

tersebut

memainkan

peran

penting

dalam

perkembangan depresi. Pada beberapa anak, hanya hal tersebut sebagai bukti depresi, yang dalam perilaku mungkin tak nampak. Gambaran klinik spesifik utama sebagai berikut: a. Mood disforik dan afek depresi: Mood labil meningkat, kesedihan serta mood disforik lebih nampak. Mood yang berubah dan kecenderungan ke arah reaksi mengamuk meningkat. Remaja lebih rentan terhadap gangguan depresi. Simtom depresi pada remaja mirip dengan masa dewasa. b. Pubertas: Pubertas muncul terlambat pada remaja dengan depresi kronik, khususnya jika depresi berhubungan dengan penurunan BB dan anoreksia. Remaja depresi mengalami kesukaran dalam mengerti tanda pubertas. Kesadaran diri dan keraguan diri meningkat. Sekresi hormonal yang berlebihan, bersamaan dengan lingkungan yang penuh stres, dapat membawa remaja dalam depresi berat dan perilaku bunuh diri. Mimpi basah dan incest menambah beban rasa bersalah pada remaja depresi. Periode menstruasi remaja perempuan depresi mungkin terlambat, ireguler atau berhubungan dengan rasa sakit dan tak nyaman berlebihan. Mood disforik meningkat selama periode premenstruasi. Remaja perempuan yang mengalami depresi merasa bersedih hati, menangis tanpa sebab, menjadi merajuk dan mengisolasi diri di kamar serta tidur lebih lama. c. Perkembangan kognitif: Disorganisasi fungsi kognitif yang sementara pada remaja pubertas secara bermakna menjadi berlebihan pada remaja depresi. Terjadi keterlambatan perkembangan berpikir abstrak, yang biasanya terjadi sekitar usia 12 tahun. Pada remaja yang lebih tua, kemampuan memperoleh hal yang baru akan menurun atau hilang. Tampilan sekolah sering terpengaruh. Jika remaja yang sebelumnya mempunyai tampilan sekolah baik dan tiba-tiba menjadi menurun, depresi harus dipertimbangkan sebagai faktor yang mendasari. Membolos, menunda menyelesaikan tugas, perilaku iritabel di kelas dan kurang konsentrasi tentang pencapaian hasil & masa depan juga dapat menjadi tanda awal depresi pada remaja. Pada remaja depresi, pikiran

konkrit, penarikan diri, isolasi dan energi yang kurang dapat menimbulkan kesan kepribadian skizoid atau bentuk awal skizofrenia. Miskonsepsi ini adalah satu dari kesalahan paling umum dibuat dalam mendiagnosa depresi pada remaja. d. Percaya diri: Percaya diri yang rendah adalah kontrbutor yang bermakna untuk depresi sepanjang hidup. Pada remaja, depresi meningkatkan percaya diri yang rendah. Remaja depresi merasa bahwa mereka telah mengakibatkan kegagalan pada diri sendiri dan orang lain. Keputus asaan dan tak berdaya menurunkan percaya diri lebih lanjut dan terjadi lingkaran setan. Saat itu, mereka mencoba bertahan melawan percaya diri yang rendah dengan denial, melalui fantasi kemahakuasaan atau melarikan diri dari realitas melalui penggunaan alkohol dan zat. e. Perilaku anti sosial: membolos sekolah, mencuri, berkelahi dan sering dituntut karena mengemudi atau kecelakaan, khususnya pada remaja dengan riwayat perilaku baik, merupakan indikator depresi. Penyalahgunaan alkohol dan zat: Sejumlah besar remaja depresi menyalahgunakan alkohol atau zat. Penggunaan mariyuana, amphetamin, obat yang meningkatkan mood, barbiturat, tranquilizer, obat yang menginduksi tidur dan secara khusus alkohol adalah sering digunakan. Beberapa remaja menggunakan cocain, heroin atau derivat narkotik lainnya atau halusinogen Penelitian oleh Johnston (1981) pada 17.000 anak SMA di Amerika Serikat menemukan bahwa meskipun penggunaan mariyuana sehari-hari telah menurun 12%, tetapi sekitar 10% merokok mariyuana. Secara mengejutkan, 65% melaporkan bahwa mereka telah menggunakan beberapa tipe obat tersebut sepanjang hidup. f. Perilaku sexual: Secara umum remaja depresi tak memperlihatkan ketertarikan dalam kencan atau interaksi heterosexual. Beberapa remaja terlibat dalam peran sexual atau bahkan promiskuitas sebagai pertahanan terhadap depresi. Promiskuitas remaja depresi sering mempunyai kualitas mencela diri sendiri. Banyak remaja tak mencegah kehamilan atau penyakit kelamin. Beberapa berharap menjadi hamil sebagai kompensasi kehilangan

obyek atau harga diri yang rendah. Remaja depresi mungkin menikah lebih awal untuk melarikan diri dari konflik keluarga. Sering perkawinan tersebut tak berjalan baik dan menambah depresi. g. Kesehatan: Remaja depresi nampak pucat dan lelah serta kurang gembira. Mereka sering mempunyai keluhan fisik, seperti sakit kepala, sakit perut, kurang nafsu makan dan penurunan BB tanpa sebab organik. Karena remaja depresi tak biasa menggunakan perasaan secara verbal, simtom fisik sering ada saat berkunjung ke diri. h. Berat badan: Penurunan BB dapat mengindikasikan depresi. Pada waktu yang sama, harga diri yang rendah dan perawatan diri yang kurang, mungkin berperan pada makan berlebihan dan obesitas. i. Perilaku bunuh diri: Perilaku bunuh diri erat hubungannya dengan depresi. Faktor risiko terjadinya perilaku bunuh diri adalah depresi kronis, komorbid penyalahguna zat, impulsivitas dan agresi, riwayat penyiksaan fisik atau sexual, aktivitas sex sesama jenis, riwayat keluarga atau pribadi usaha bunuh diri dan akses mendapatkan alat bunuh diri, seperti senjata api, lingkungan keluarga yang tak stabil, baru-baru ini kehilangan teman atau orang yang dicintai.
3-6,13

klinisi. Sensitivitas klinisi dalam mengambil

kesimpulan terhadap mood disforik atau depresi dapat mencegah usaha bunuh

Anak perempuan lebih sering melakukan usaha bunuh diri (3

kali lebih besar), tetapi anak laki-laki lebih banyak yang berhasil dalam melakukan bunuh diri (5 kali lebih sering). 3,5,8 Banyak remaja karena mood disforik dan harga diri yang rendah mempunyai pikiran untuk melakukan bunuh diri. Biasanya pikiran bunuh diri tersebut terorganisasi dan tanpa rencana pasti. Remaja depresi rentan terhadap bunuh diri. Survey dari 5.500 murid SMA di Kentucky, 30% melaporkan bahwa mereka mempunyai pikiran serius tentang usaha bunuh diri dalam 12 bulan terakhir, 19% mempunyai rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri dan 11% melakukan bunuh diri (Jennings 1990). Di Louisville, ditemukan peningkatan bunuh diri pada remaja yang bermakna selama periode 5 tahun. Pada masa remaja awal, lebih dari 80%

peningkatan angka bunuh diri dan masa remaja akhir, lebih dari 100% peningkatannya (Shafii et al 1985).

Anda mungkin juga menyukai