Anda di halaman 1dari 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi

Pemeriksaan sitologi dengan Pap smear saat ini telah berhasil menurunkan insidensi kanker serviks di negara-negara maju. Walaupun begitu, kanker serviks masih merupakan penyebab kematian terbesar dari seluruh penyakit keganasan pada wanita, prevalensi kanker serviks adalah 23 juta wanita di seluruh dunia menderita kanker serviks setiap tahunnya dan 82% kasus baru ditemukan di negara berkembang. Hal ini dikarenakan upaya pencegahan dini dengan skrining rutin Pap smear belum dapat diaplikasikan sesuai ketentuan yang seharusnya. Di negara maju di Eropa, US, Canada saja yang wanita-wanitanya telah melakukan screening rutin, tiap tahunnya tercatat sekitar 30.000 wanita meninggal karena kanker serviks.5,6 Insidensi kelainan sitologi CIN2/3 di US saat ini sekitar 150 per 100.000 wanita, dengan puncak insidensi sekitar 800 per 100.000 wanita pada kelompok usia 25-29 tahun. Forounzanfar et.al melakukan penelitian insidensi kanker serviks berdasarkan usia di 187 negara dari 1980-2010. Angka insidensi global meningkat dari 378.000 kasus per tahun menjadi 454.000 kasus per tahun pada tahun 2010. Angka kematian dari kanker serviks menurun, namun tetap tinggi. Tercatat 200.000 kematian pada tahun 2010. Di negara berkembang, 46.000 dari jumlah ini pada usia 15-49 tahun, dan 109.000 kasus pada usia di atas 50 tahun.5,6

2.2. Etiologi dan Patofisiologi

Karsinoma sel skuamosa dari serviks mempunyai ciri khas yaitu berkembang dari lesi displatik yang sebelumnya telah ada di sambungan skuamo-kolumnar, yang kemudian diikuti oleh infeksi HPV. Meskipun sebagian besar wanita dapat membersihkan virus tersebut, tetapi dengan adanya infeksi yang persisten dapat menyebabkan terjadinya preinvasive dysplastic cervical disease. Perubahan

molekular yang terjadi pada karsinogenesis cervix sangat kompleks dan tidak sepenuhnya dimengerti. Karsinogenesis ini merupakan hasil interaksi dari lingkungan, kekebalan penjamu, dan variasi genetik.10

Gambar 2.1. Diagram ilustrasi pembentukkan kanker serviks. A. Sel terinfeksi HPV aktif. B. Lesi preinvasif secara klinis, neoplasia servikal intraepitel (Cervical Intraepithelial Neoplasia = CIN) 3 atau karsinoma in situ (Carcinoma in situ = CIS) menunjukkan stage pertengahan dari perkembangan kanker serviks. C. Lingkungan, imunitas tubuh, dan variasi genom sel somatik saling mempengaruhi timbulnya kanker serviks invasif. 10

Gambar 2.2. Genom Human Papilloma virus

Human Papillomavirus termasuk famili Papovavirus yang merupakan suatu virus DNA yang dapat bersifat memicu terjadinya perubahan genetik. HPV berbentuk ikosahedral dengan ukuran 50-55 nm, 72 kapsomer, dan 2 protein kapsid. HPV merupakan suatu virus yang bersifat non-enveloped yang mengandung double-stranded DNA. Virus ini juga bersifat epiteliotropik yang dominan menginfeksi kulit dan selaput lendir dengan karakteristik proliferasi epitel pada tempat infeksi.10 Penelitian yang dilakukan di laboratorium memperlihatkan HPV memiliki selubung protein yang dikenal dengan kapsid mayor L1 dan minor L2, serta memproduksi protein E1, E2, E4, E5, E6, E7. Adanya antigen virus seperti struktur protein kapsid L1, onkoprotein E6 dan E7 menjadi salah satu dasar dibuatnya vaksin HPV. 9 Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat diidentifikasi (tabel 2.3) dimana 40 di antaranya ditularkan melalui hubungan seksual.8 Tabel 2.1. Klasifikasi filogenetik dan epidemiologis dari tipe HPV anogenital9

Virus HPV sendiri dapat bersifat risiko-rendah dan bersifat risiko-tinggi. Tipe resiko-rendah berhubungan dengan kondiloma dan displasia ringan. Sebaliknya, tipe resiko-tinggi berhubungan dengan displasia sedang sampai karsinoma in situ. Virus HPV risiko-tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Di Indonesia, tipe virus yang menyebabkan kanker adalah tipe 16,18, dan 52. 9 HPV memainkan peran penting untuk terjadinya kanker serviks. Tidak seperti HPV resiko rendah, HPV onkogenik dapat berintegrasi kedalam genom manusia. Setelah menginfeksi, protein HPV yang berfungsi untuk replikasi E1 dan E2 menyebabkan HPV dapat bereplikasi pada sel-sel serviks. Protein ini diekspresikan dengan jumlah yang besar pada infeksi HPV dini, dan dapat memicu timbulnya perubahan sitologi dan dapat dideteksi sebagai low grade squamous intraepithelial (LSIL) pada Pap smear. Selanjutnya, terjadi amplifikasi replikasi virus dan transformasi normal sel menjadi sel tumor. Secara spesifik, keterlibatan produk gen virus yaitu E6 dan E7 onkoprotein berhubungan dengan tansformasi tersebut. Protein E7 berikatan dengan retinoblastoma (Rb) yang merupakan tumor suppresor protein, dimana E6 berikatan dengan gen p53, akibatnya terjadilah proliferasi dan imortalisasi dari sel-sel serviks. 10

Gambar 2.3. Diagram onkoprotein E6 dan E7 dan protein penekan tumor p53, p21, dan Retinoblastoma (Rb). Sebelah kanan, onkoprotein E7 memfosforilasi protein penekan tumor Rb menghasilkan pelepasan transkripsi

faktor E2F yang terlibat dalam progresi siklus sel. Efek kumulatif dari onkoprotein E6 dan E7 akhirnya mengakibatkan perubahan siklus sel, meningkatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol.9,10

Pada penelitian terbaru, tidak hanya onkogen E6 dan E7 yang berperan dalam patogenesis kanker serviks, namun juga ditemukan onkogen E5 yang meningkatkan ekspresi protein E-cadherin dan beta-katenin pada kultur sel monolaminer. Kedua protein ini berpengaruh pada kemampuan adesi, motilitas, dan diferensiasi sel epitel serviks. Bila terjadi peningkatan, akan mengarah pada displasia epitel serviks. Onkogen E5 juga meningkatkan produksi matriks metalloproteinase yang merupakan protein yang berperan untuk mendegradasi matriks ekstraseluler. Protein ini merupakan protein esensial dalam proses fisiologis dan patologis, termasuk perkembangan embriyonik, diferensiasi, remodeling jaringan, dan karsinogenesis, temasuk perkembangan kanker serviks.2

2.3. Klasifikasi 2.3.1. Berdasarkan gambaran histologi

Terdapat 2 subtipe histologis dari kanker serviks yang paling sering, yaitu karsinoma sel skuamosa dan Adenokarcinoma. Adapun terdapat beberapa subtipe histologis dari kanker serviks, antara lain: Karsinoma sel skuamosa Adenokarsinoma Adenokarsinoma tipe endosevikal Endometroid adenokarsinoma Adenokarsinoma Adenokarsinoma papillary villoglandular Adenokarsinoma serosa Clear cell adenokarsinoma Adenokarsinoma mesonephric minimal deviasi

Kanker serviks tipe campuran

Adenosquamous carcinoma Glassy cell carcinoma Adenoid cystic carcinoma Adenoid basal epithelioma

Tumor neuroendokrin Large cell neuroendocrine Small cell carcinoma

Tumor malignant yang lain Sarkoma serviks Limfoma maligna

2.3.2. Berdasarkan Hasil Kolposkopi

Kolposkopi adalah suatu pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, yaitu suatu alat yang dapat disamakan dengan mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalam (pembesaran 10-15x).13 Alat ini selain dilengkapi oleh sumber cahaya dan filter hijau atau TV. Biasanya digunakan untuk memeriksa serviks dan kadang-kadang vagina atau vulva. Cara ini merupakan cara pemeriksaan klinik dengan melakukan pemeriksaan adanya perubahan permukaan epitel serviks/vagina/vulva dan ujungujung pembuluh darah di daerah tersebut. Dengan bantuan kolposkop banyak tindakan konisasi serviks dapat dihindarkan karena biopsi dapat diarahkan.13

Tabel 2.2. Indeks kolposkopi Reid 12 Indeks kolposkopi Batas lesi 0 Indeks 1 Tepi 2 yang

tepi Bentuk kondiloma

atau mikropapiler, Lesi yang teratur menggulung epitel putih batas dengan batas halus keluar, tak tegas, tepi dan lurus batas

dalam di antara daerah berbeda penampakan epitelnya yang

seperti bulu ayam, lesi satelit dan

putih yang meluas melewati transformasi Warna lesi zona

Epitel putih , tidak Corak intermediet Tiram tegas, warna salju warna putih (abu- kusam berkilau abu berkilau) yang tak Tak Punktasi tampak mosaik jelas kasar

yang

Pola pembuluh darah

Pembuluh halus, pola

dan yang

teratur, tiap lesi pembuluh darah dengan kondiloma mikropapiler bentuk tau

Pola pewarnaan setelah aplikasi dengan larutan iodin

Lesi

coklat Pengambilan

Lesi yang tegas

mahoni, lesi minor warna iodin tak berwarna kuning yang berwarna sempurna (seperti mustard kulit kura-kura)

kuning mustard

Nilai kolposkopi

0 - 2 = CIN 1;

3 - 5 = CIN 2 ;

6 - 8 = CIN III

2.3.3. Berdasarkan klasifikasi FIGO

Tingkat keganasan klinik dapat dibagi menurut FIGO dan menurut sistem TNM. Sistem staging menurut FIGO sekarang ini standar dan dapat digunakan untuk semua tipe-tipe histologis kanker serviks.12

Tabel 2.3. Stadium kanker serviks menurut FIGO 1994 (Federation Internationale de Gynecologie et dObstetrique)
Stadium Tanda Klinis Karsinoma Preinvasif 0 Karsinoma in situ, karsinoma intra-epitelial

Karsinoma Invasif I Karsinoma masih terbatas di serviks (perluasan ke korpus uteri harus diabaikan). Ia Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, lesi yang dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang sangat superfisial dikelompokkan sebagai stadium Ib. Kedalaman invasi ke stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm. Ia1 Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm. Ia2 Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm. Ib Ib1 Ib2 II Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia. Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm. Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm. Telah melibatkan vagina, tetapi belum sampai 1/3 bawah atau infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul. Iia Iib III Telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium. Infiltrasi ke parametrium, tetapi belum sampai dinding panggul. Tumor telah melibatkan 1/3 bagian bawah vagina atau adanya perluasan sampai dinding panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain.

10

IIIa

Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai dinding panggul.

IIIb

Perluasan sampai dinding pelvis atau adanya hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal akibat tumor.

IV Iva Ivb

Perluasan keluar organ reproduktif. Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum. Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul.

Untuk staging menurut FIGO, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan8 : i. Diagnosis untuk stadium Ia1 dan Ia2 harus berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dari jaringan yang diambil terutama dengan konisasi, dimana harus mencakup seluruh lesi. ii. Keterlibatan pembuluh darah maupun limfe tidak

mempengaruhi staging tetapi harus dicatat secara khusus karena akan mempengaruhi pengambilan keputusan

terapinya. iii. Secara klinis tidak mungkin untuk memperkirakan apakah kanker serviks telah meluas sampai ke korpus uteri sehingga perluasan ke korpus uteri dianggap tidak ada. Penemuan sel-sel ganas pada pemeriksaan sitologi dari bilasan kandung kemih membutuhkan pemeriksaan lanjutan termasuk biopsi dari dinding kandung kemih.12

11

Gambar 2.4. Karsinoma serviks uteri : Staging kanker serviks (kanker primer dan metastasis)12

2.4. Pencegahan dan Deteksi Dini

Untuk menekan morbiditas dan mortalitas kanker serviks, perlu dilakukan tindakan preventif dan diagnosis dini. Penemuan kasus pada stadium awal, bahkan sebelum terjadinya keganasan invasif merupakan upaya yang sangat signifikan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian karena kanker serviks. Oleh karena itu disarankan bagi para wanita untuk melakukan skrining rutin.

12

Jadwal yang disarankan oleh American Cancer Society (ACS), the American Society for Colposcopy and Cervical Pathology (ASCCP), the American Society for Clinical Pathology (ASCP), the US Preventive Services Task Force (USPSTF), dan the American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), adalah sebagai berikut : 5

< 21 tahun 21-29 tahun 30-65 tahun

: tidak direkomendasikan untuk skrining : Pemeriksaan sitologi (Pap smear) setiap 3 tahun : Human papillomavirus (HPV) dan pemeriksaan sitologi setiap 5 tahun (dianjurkan) atau hanya pemeriksaan sitologi tiap 3 tahun.

>65 tahun

: tidak ada skrining bila skrining rutin sebelumnya adekuat dan hasilnya negatif

2.4.1. Consensus Guidelines for the Management of Abnormal Cervical Cancer Screening Tests and Cancer Precursors 2012

Karena penemuan dini kelainan sitologis pada serviks sangat penting untuk menentukan prognosis yang lebih baik, maka American Society for Colposcopy and Cervical Pathology (ASCCP) pada tahun 2012 berinisiatif untuk melakukan standarisasi dalam penatalaksanaan wanita dengan hasil sitologis serviks abnormal. Hasil itu merupakan review dari hasil konferensi ASCCP tahun 2006 yang dilakukan perubahan pada beberapa poin, diantaranya :7

13

Tabel 2.4. Perubahan Esensial Guidelines ASCCP 2006 dan 20127

Pada guidelines terbaru, didapatkan beberapa algoritma berbeda dalam penatalaksanaan hasil sitologi serviks yang abnormal, yang tersaji sebagai berikut:7 1. Hasil Sitologi tidak memuaskan Hasil sitologi yang tidak memuaskan adalah hasil Pap smear yang ditemukan darah, proses inflamasi, atau proses lain yang terjadi di serviks. Bila terjadi hal ini, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulang 2-4 bulan kemudian, sambil dilakukan terapi untuk inflamasi atau proses lain yang terjadi di serviks. Kolposkopi disarankan untuk wanita dengan hasil pemeriksaan sitologi yang tidak memuaskan pada 2 pemeriksaan berturutturut.7

14

Gambar 2.5. Algoritma penanganan hasil sitologi yang tidak memuaskan7

2. Hasil sitologi negatif namun tidak didapatkan sel endoserviks dan sel metaplastik (EC/TZ) Bila sel endoserviks dan sel metaplastik tidak ditemukan, berarti pemeriksaan Pap smear gagal mengambil sampel dari squamous columnar junction. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HPV, bila negatif, ulangi pemeriksaan 3 tahun berikutnya, bila positif, lakukan pemeriksaan sitologi dan HPV setahun kemudian.7

Gambar 2.6. Algoritma penanganan hasil sitologi dengan EC/TZ negatif atau insufisien7

3. Hasil Sitologi Negatif, namun tes HPV positif Bila hasil sitologi negatif, namun tes HPV positif, dilakukan pemeriksaan kedua tes tersebut setahun kemudian, atau bisa juga

15

dilakukan tes tipe DNA HPV, apabila tes positif tipe 16 atau 18, dapat langsung dilakukan kolposkopi.7

Gambar 2.7. Algoritma penanganan hasil sitologi negatif dengan HPV positif7 4. Atypical Squamous Cell or Undetermined Significance (ASC-US)7 Hasi sitologi yang menunjukkan ASC-US lebih dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HPV, namun dapat juga melakukan pemeriksaan sitologi ulang setahun kemudian. Bila salah satu dari kedua alternatif ini positif, dapat dilakukan kolposkopi.

Gambar 2.8. Algoritma penanganan hasil sitologi ASC-US7

5. ASC-US positif atau Lowgrade Squamous Intraepithelial Lession (LSIL) pada usia 21-24 tahun

16

Pada kelompok usia ini, justru lebih dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan sitologi ulang setahun kemudian dibanding melakukan pemeriksaan HPV.7

Gambar 2.9. Algoritma penanganan hasil sitologi ASC-US dan LSIL pada usia 21-24 tahun7 6. Wanita 30 tahun dengan LSIL positif Untuk kelompok ini, langsung dianjurkan untuk melakukan tes HPV, bila positif, langsung dilakukan pemeriksaan kolposkopi, bila negatif, dilakukan tes sitologi dan HPV setahun kemudian.7

Gambar 2.10. Algoritma penanganan hasil sitologi LSIL pada usia 30 tahun7

17

7. Wanita hamil dengan LSIL Pada wanita hamil dengan LSIL, dilakukan kolposkopi, bila hasilnya negatif, dilakukan pemeriksaan lanjutan setelah melahirkan, bila hasilnya positif, dilakukan tindak lanjut berdasarkan ASCCP guidelines.7

Gambar 2.11. Algoritma penanganan hasil sitologi LSIL pada wanita hamil7

8. High Grade SIL Hasil sitologi ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi CIN 3+, oleh karena itu, langsung dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kolposkopi.7

Gambar 2.12. Algoritma penanganan hasil sitologi HSIL7

18

9. HSIL pada usia 21-24 tahun Pada wanita usia lebih tua dengan hasil pemeriksaan sitologi HSIL, dianjurkan terapi electrosurgical excision sesegera mungkin, namun pada wanita usia 21-24 tahun, lebih dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kembali setelah 6-12 bulan.7

Gambar 2.13. Algoritma penanganan hasil sitologi HSIL pada usia 21-24 tahun7

10. Atypical Glandular Cell (AGC) Pada kelompok ini, langsung dianjurkan untuk pemeriksaan kolposkopi untuk menentukan stadium CIN dan penanganan selanjutnya.7

Gambar 2.14. Algoritma penanganan hasil sitologi AGC7

19

Gambar 2.15. Algoritma penanganan hasil sitologi AGC7

11. Hasil Kolposkopi CIN-1 Setelah pada pemeriksaan sitologi didapatkan kelainan yang merupakan indikasi untuk melakukan kolposkopi, apabila didapatkan hasil kolposkopi CIN-1, maka algoritma yang berlaku sebagai berikut :7

Gambar 2.16. Algoritma penanganan CIN-1 dari hasil sitologi ASC-US, LSIL, HPV-16 atau -18, dan persisten HPV7

20

Gambar 2.17. Algoritma penanganan CIN-1 dari hasil sitologi HSIL7

Gambar 2.18. Algoritma penanganan CIN-1 pada wanita 21-24 tahun7

12. Hasil Kolposkopi CIN-2,3

Pada hasil kolposkopi Cin-2,3 langsung dilakukan terapi eksisi dan dipantau sesuai algoritma yang berlaku.7

21

Gambar 2.19. Algoritma penanganan CIN-2,37

Gambar 2.20. Algoritma penanganan CIN-2,3 pada usia 21-24 tahun7

13. Adenocarcinoma In-situ (AIS) Jenis histologis ini merupakan keganasan yang lebih berbahaya karena progresifitas penyakit dan angka mortalitas yang lebih tinggi dibanding dengan squamous cell carcinoma. Oleh karena itu, pada kasus ini, diterapkan penanganan yang lebih agresif.7

22

Gambar 2.21. Algoritma penanganan Adenocarcinoma In-Situ7

2.4.2. Vaksinasi Pencegahan lain selain deteksi dini dengan skrining Pap smear rutin adalah dengan pemberian vaksinasi. Saat ini, vaksinasi yang telah digunakan secara luas di seluruh dunia adalah HPV4 (quadrivalen) dengan merk dagang Gardasil dan HPV2 (bivalen) dengan merk dagang Cervarix.1

2.4.2.1 Gardasil (HPV4)

Pada tahun 2006, FDA telah mengesahkan pemakaian vaksinasi pertama untuk mencegah infeksi HPV dengan tipe spesifik. Gardasil adalah vaksin rekombinan kuadrivalen yang melindungi dari infeksi HPV-6,-11,-16,-18 dengan merangsang pembentukan antibodi spesifik tubuh terhadap antigen spesifik ini. Vaksin ini terbuat dari ragi Saccharomyces cerevisiae. Vaksin ini telah terbukti 70% efektif mencegah kanker serviks, 80% efektif mencegah kanker anus, 60% efektif mencegah kanker vagina, dan 90% efektif mencegah condiloma akibat HPV.1 Vaksinasi ini juga diteliti mampu mereduksi dan mencegah progresifitas displasia sel dari serviks seperti CIN-1,2,3 yang merupakan lesi prekursor dari kanker serviks, anus, vulva, vagina, dan penis.1,3 Injeksi vaksin Gardasil ini diberikan dalam 3 dosis, pada 0,1, dan 6 bulan. Vaksinasi ini paling efektif pada populasi wanita yang belum aktif secara reproduktif, oleh karena itu sangat dianjurkan pemberiannya pada usia antara 9-25

23

tahun. Vaksin ini diteliti 99% efektif mencegah infeksi HPV apabila diberikan pada usia tersebut. Namun, Gardasil juga dianjurkan untuk usia 45 tahun keatas, karena fungsinya yang juga dapat mencegah progresifitas displasia sel ke arah keganasan.1 Efek samping pemberian vaksinasi ini sangat ringan, yaitu kelelahan, bengkak pada daerah penyuntikan, nyeri kepala, nausea, dan demam.1 FDA saat ini masih melanjutkan penelitian pemberian vaksinasi ini pada lakilaki. Sampai saat ini, pemberian vaksinasi ini pada laki-laki usia 9-26 tahun dapat menurunkan angka kejadian timbulnya condiloma dan lesi prekursor kanker anus. Pada penelitian lain, pemberian vaksinasi ini pada laki-laki juga bermanfaat untuk menurunkan angka transmisi infeksi HPV melalui hubungan seksual sehingga dapat mencegah infeksi HPV bagi wanita pasangannya.3 Pada penelitian terbaru tahun 2013, vaksin quadrivalen telah terbukti lebih efektif mencegah timbulnya condiloma dibanding vaksin bivalen karena vaksin quadrivalen melindungi dari HPV tipe-6,-11,-16,-18. HPV tipe-6 dan -11 merupakan penyebab tersering condiloma pada organ genital. Sementara vaksinasi bivalen hanya melindungi dari HPV tipe-16, dan 18.1,3

Gambar 2.22. Perbandingan vaksinasi bivalen dan quadrivalen1

24

2.4.2.2. Cervarix (HPV2) Pada tahun 2009, FDA mengesahkan vaksin kedua untuk mencegah infeksi HPV. Cervarix adalah vaksin bivalen yang mencegah infeksi HPV tipe-16, dan 18. Kedua tipe ini adalah penyebab utama kanker serviks. 1 Cervarix mirip dengan vaksin kuadrivalen dalam dosis dan waktu pemberian.1 Cervarix juga efektif dalam mencegah progresifitas lesi prekanker seperti CIN1,2,3 dan adenokarsinoma in-situ.1 Cervarix diteliti lebih sering menimbulkan efek samping pada daerah penyuntikan seperti bengkak, kemerahan, dan nyeri dibanding dengan gardasil. Bahkan dilaporkan juga bahwa vaksin ini lebih sering menimbulkan gejala sistemik seperti fatigue, nyeri kepala, dan myialgia dibanding gardasil.1 Sampai saat ini, penelitian terakhir menyatakan bahwa cervarix lebih baik dalam mengkasilkan proteksi terhadap HPV tipe-16 dan -18. Hal ini terlihat dari perbandingan kadar serum antibodi spesifik yang terbentuk pada tubuh manusia setelah pemberian vaksin cervarix lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian vaksin quadrivalen karena pada pemberian vaksin quadrivalen, perangsangan pembentukan antibodi ditujukan untuk empat tipe virus HPV sedangkan pada pemberian vaksin bivalen hanya dua tipe virus HPV. 1

2.4.2.3. Vaksinasi Nonavalen

Saat ini sedang dikembangkan jenis vaksin baru untuk mencegah vaksin HPV, yaitu vaksin nonavalen yang memberikan perlindungan terhadap HPV tipe 6, 11, 16, 18, 31, 33, 45, 52, dan 58. Tetapi efikasi vaksinasi ini masih dipertanyakan. Potensi untuk dapat menurunkan efektifitas pembentukan antibodi yang spesifik terhadap HPV tipe-16, -18 pada pemberian vaksinasi ini sampai sekarang masih belum terbukti.1 Pemberian vaksin Gardasil dan Cervarix keduanya terbukti dapat memberikan perlindungan silang terhadap HPV tipe31,-33,-45,-52,-58 yang efektifitasnya

25

mirip dengan pemberian vaksin nonavalen. Hal ini menjadi faktor lain yang menyebabkan efikasi vaksin ini masih diteliti sampai sekarang.1

26

Anda mungkin juga menyukai