Anda di halaman 1dari 22

CEDERA KEPALA A. Definisi Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.

Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001). Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat atau pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan penyakit bedah (bidang keperawatan Bp. RSUD Djojonegoro Temanggung, 2005), cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. B. Klasifikasi Cedera Kepala Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 hal yaitu (BT&CLS 2011) : 1. Mekanisme cedera kepala Cedera kepala dibagi menjadi cedar kepala tumpul dan cedar kepala tembus/ tajam. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian atau pukulan akibat benda tumpul. Sedangkan cedera kepala luka tembus disebabkan oleh luka tembak atau luka tusuk. 2. Berat ringannya cedera kepala ringan Secara umum untuk menetapkan berat ringannya cedera kepala digunakan metode penilaian Glassgow Coma Scale (GCS), yaitu menilai respon buka mata pasien, respon bicara / verbal pasien dan respon motorik. Nilai normal GCS pada pasien cedera kepala ringan adalah berkisar 15-14 sehingga terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta

seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55%). Sedangkan untuk cedera kepala sedang (CKS) nilai GCS berkisar antara 9-13, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung). Dan cedera kepala berat (CKB) nilai GCS berkisar 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam. 3. Morfologi Cedera Kepala a) Fraktur tengkorak (cranial) Fraktur cranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/ linear, atau bintang atau terbuka maupun tertutup. Adanya tanda klinis fraktur dasar tengkorak merupakan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain adanya ekomosis periorbital (raccoon eyes), ekomosis retroaurikuler (battle sign), kebocoran cairan cerebrospinal (CSS) seperti rhinorrea dan otorrhea, paresis nervus fasialis dan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah mengalami trauma. Fraktur cranial terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput durameter. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan adanya benturan yang cukup hebat/ keras. b) Lesi intracranial Lesi intracranial diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi secara bersamaan. Yang termasuk lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral. 1) Cedera otak difus Pada konkusi ringan penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/ anterograd. cedera otak difus biasanya disebabkan oleh hipoksia, iskemia dari bagian otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnue yang

segera setelah mengalami trauma. Selama ini dikenal dengan istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk, yang menunjukkan adanya kerusakan pada akson yang terlihat pada manifestasi klinisnya. 2) Perdarahan epidural Perdarahan relative jarang ditemukan (0,5%) dari semua penderita cedera kepala dan yang mengalami coma hanya 9% dari semua penderita cedera kepala. Perdarahan epidural terjadi diluar duramater tetapi masih berada di dalam rongga tengkorak, dengan cirri berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau tempoparietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningeal media, akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak namun dapat juga terjadi akibat robekan vena besar. 3) Perdarahan subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (30% pada cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya pun lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan epidural. 4) Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio dan perdarahan intraserebral sering terjadi (20-30% pada cedera otak berat). Sebagian besar terjadi di areal lobus frontal dan lobus temporal, walaupun demikian dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri didapat dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari setelah trauma, kemudian berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi segera.

C. Pemeriksaan dengan Glasgow Coma Seale (GCS) GCS memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini tidak dapat digunakan dalam pengkahian neurologik yang lebih dalam, cukup hanya mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata. Elemen-elemen ini selanjutnya dibagi menjadi tingkat-tingkat yang berbeda, dan respon-respon yang baik yang ditunjukkan pasien terhadap stimulus. Berikut adalah skala GCS dan tingkatannya (Smeltzer & Bare 2002): Respon membuka mata (eye opening) Membuka mata : Spontan Dengan perintah Dengan Nyeri Tidak berespon 4 3 2 1

Respon bicara (verbal) Berbicara dengan : Jelas dan baik Mengacau (bingung) Kata-kata tidak tepat Suara tidak jelas Tidak berespon 5 4 3 2 1

Respon motorik Berespon dengan : Dengan Perintah Melokalisasi nyeri Menarik area yang nyeri Fleksi abnormal Ekstensi Tidak berespon 6 5 4 3 2 1

D. Peningkatan Tekanan Intrakranial Tekanan intrakranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah intrakranial, dan cairan serebrospinal (CSS) di dalam tengkorak pada satu satuan waktu. Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga cranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam

ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006). Menurut Morton, et.al tahun 2005, tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari volume total), cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan darah (sekitar 10%) (Joanna Beeckler, 2006). MonroKellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan volume yang tetap (Morton, et.al, 2005). Selama total volume intrakranial sama, maka TIK akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya volume tetap konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan TIK (Morton, et.al, 2005). Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi menurunkan aliran darah otak (Joanna Beeckler, 2006). Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak (Black&Hawks, 2005). CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, dengan rumus CPP = MAP ICP. CPP normal berada pada rentang 60-100 mmHg. MAP adalah ratarata tekanan selama siklus kardiak. MAP = Tekanan Sistolik + 2X tekanan diastolik dibagi 3. Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi peningkatan TIK. Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi (Morton et.al, 2005). Jika MAP dan ICP sama, berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti, sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP (Black&Hawks, 2005). Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi (Morton, et.al, 2005).

Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada klien dengan gangguan autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan TIK. Monitoring TIK paling sering dilakukan pada trauma kepala dengan situasi (Thamburaj, Vincent, 2006): 1. GCS kurang dari 8 2. Mengantuk/drowsy dengan hasil temuan CT scan 3. Post op evakuasi hematoma 4. Klien risiko tinggi seperti usia diatas 40 tahun, tekanan darah rendah, klien dengan bantuan ventilasi. Tidak ada yang dapat dicapai jika monitoring dilakukan pada klien dengan GCS kurang dari 3 (Thamburaj, Vincent,2006). Untuk mengetahui dan memonitor tekanan intrakranial, dapat digunakan metode non invasif atau metode invasif. Metode non invasif meliputi (Thamburaj, Vincent, 2006) : 1. Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda peningkatan TIK. Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi pupil normalnya dianggap tanda peningkatan TIK. 2. Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik ultrasound time of flight sedang dianjurkan. Beberapa peralatan digunakan untuk mengukur TIK melalui fontanel terbuka. Sistem serat optik digunakan ekstra kutaneus. 3. Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek tengkorak jika ada, dapat juga memberi tanda. Sedangkan metode invasif meliputi (Thamburaj, Vincent, 2006) : 1. Monitoring intraventrikular menjadi teknik yang popular, terutama pada klien dengan ventrikulomegali. Keuntungan tambahan adalah dapat juga mengalirkan cairan serebrospinal. Cara ini tidak mudah dan dapat menimbulkan perdarahan dan infeksi (5%).

2. Sekrup dan palang dan kateter subdural. Sekrup Richmond dan palang Becker digunakan ekstradural. Cairan dimasukkan oleh kateter ke dalam ruang subdural, kemudian dihubungkan ke system monitoring tekanan arteri. Cara ini hemat biaya dan berguna secara adekuat. 3. Ladd device digunakan secara luas. Cara ini memerlukan sistem serat optik unutk mendeteksi adanya distorsi pada cermin kecil dalam sistem balon, dapat digunakan subdural, ekstra dural dan ekstra kutaneus. 4. Cardio Serach monitoring sensor digunakan subdural atau ekstradural. Sistem ini jarang digunakan. 5. Peralatan elektronik (Camino dan Galtesh) popular di dunia. 6. Peralatan yang ditanam secara penuh diperlukan oleh klien yang memerlukan monitoring TIK jangka panjang, seperti pada tumor otak, hidrocephalus, atau penyakit otak kronik lainnya. Cosmon telesensor dapat ditanam sebagai bagian dari sistem shunt. 7. Lumbal pungsi dan pengukuran tekanan cairan serebrospinal tidak direkomendasikan. Masing-masing cara memilki keuntungan dan kerugian/kelemahan. Monitor TIK yang digunakan sebaiknya memiliki kapabilitas 0 100 mmHg, akurasi dalam 1-20 mmHg + 2 mmHg, dan kesalahan maksimum 10% dalam rentang 10-100 mmHg (Morton, et.al, 2005). Klien dengan kenikan TIK perlahan seperti klien dengan tumor otaklebih toleran terhadap kenaikan TIK daripada klien dengan kenaikan TIK mendadak, seperti klien dengan hematoma subdural akut (Morton, et.al, 2005). E. PATOFISIOLOGI Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak kearah depan, membentur bagian

dalam tengorak tepat di bawah titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup). Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan otak dan pembuluh darah. Cedera yang terjadi bisa setempat ataupun menyeluruh. Kerusakan yang terjadi akibat cedera mengakibat sawar darah otak rusak dimana akan mengakibatkan edema serebral. Respon awal otak yang mengalami cedra adalah swelling. Memar pada otak menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Vasodilatasi yang terjadi juga menyebabkan meningkatnya permiabilitas pembuluh darah yang kemudian menyebabkan berpindahnya protein dan makromolekul lainnya ke ruang ekstraseluler dan kadar air serta natrium juga akan meningkat pada ruang ekstraseluler. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka swelling dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak. Penurunan aliran darah ke otak, akan menimbulkan gejala perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik/sensorik, peningkatan tekanan darah dan pernapasan, serta penurunan nadi. Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan penyelamatan hidup. Penurunan aliran darah ke otak yang tidak segera ditanggulangi akan mengakibatkan hipoksia, kemudian iskemia jaringan otak dan nekrosis jaringan ota. Nekrosis yang terjadi akan menyebabkan defisit neurologis. Defisit neurologis pada persepsi dan kognitif akan menimbulkan gejala penurunan kesadaran, kelemahan, dan gangguan persepsi sensoris. Kemudian, defisit neurologis akan menyebabkan gangguan fungsi medulla oblongata sehingga mengakibatkan gangguan fungsi respirasi yang muncul dengan

gejala peningkatan frekuansi pernapasan. Selain itu, defisit neurologis juga menyebabkan gangguan syaraf vagal dan mengakibatkan penurunan fungsi kontraksi otot polos lambung dan penurunan kemampuan absorbsi makanan seperti nausea, vomitus, dan makanan tidak tercerna. F. MANIFESTASI KLINIS. 1. 2. 3. Nyeri yang menetap atau setempat. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral (cairan cerebros piral keluar dari telinga), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung). 4. 5. 6. 7. 8. 9. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah. Penurunan kesadaran. Pusing / berkunang-kunang. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler Peningkatan TIK Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas

10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. CT Scan Computed Tomography (CT) membuat penggunaan sinar sempit dari sinar x untuk memindai kepala dalam lapisan yang berurutan. Bayangan yang dihasilkan memberi gambaran potongan melintang dari otak, dengan membandingkan perbedaan jaringan padat pada tulang kepala, korteks, struktur subkortikal, dan ventrikel. Lesi-lesi pada otak terlihat sebagai variasi kepadatan jaringan yang berbeda dari jaringan otak normal sekitarnya. Pemindaian CT selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras dan bila dengan zat kontras, maka zat kontras dimasukkan melalui intravena. Pasien berbaring diatas meja yang dapat disesuaikan

dengan kepala pada posisi terfiksasi, sementara sistem opemindaian berputar di sekitar kepala pasien. Pasien harus dibaringkan dengan kepala pada posisi yang sangat mantap dan dengan hati-hati untuk tidak bicara dan menggerakkan wajah, karena gerakan kepala menyebabkan penyimpangan pada bayangan. Bayangan ditunjukkan pada osiloskop atau monitor tv dan difoto. 2. Pencitraan Resonans Magnetik (MRI) MRI menggunakan medan magnetik untuk mendapatkan gambaran daerah yang berbeda pada tubuh. MRI mempunyai potensian untuk mengidentifikasi keadaan abnormal cerebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi tentang perubahan kimia dalam sel, juga memberikan informasi pada dokter dalam memantau respon tumor terhadap pengobatan. MRI tidak menyebabkan radiasi ion. Sebelum pasien dimasukkan kedalam ruang MRI, semua benda-benda logam dilepaskan, demikian pula kartu kredit. Baringkan pasien dengan posisi datar di tempat yang disediakan yang digerakkan masuk ke tabung yang mengandung magnet. Proses pemindaian ini tidak nyeri tetapi pasien mendengar bunyi dentuman pada gulungan magnet sebagai getaran medan magnet. Karena proses pemindaian MRI menggunakan tabung yang sempit pasien dapat mengalami klaustrufobia. 3. Angiography Cerebral Angiography cerebral adalah proses penyelidikan dengan menggunakan sinar x terhadap sikrulasi cerebral setelah zat kontras disuntikkan ke dalam arteri yang dipilih. Angiografi cerebral adalah alat yang digunakan untuk menyelidiki penyakit vaskular, aneurisma, dan malformasi arterio vena. Hal ini sering dilakukan untuk menentukan letak, ukuran dan proses patologis. Dan juga digunakan untuk mengkaji keadaan yang baik dan adekuatnya sirkulasi cerebral. Kebanyakan angiografi cerebral dilakukan dengan memasukkan kateter melalui arteri femoralis diantara sela paha dan masuk menuju pembuluh darah bagian

atas. Prosedur ini juga dikerjakan dengan tusukan langsung pada arteri karotis atau arteri vertebral atau dengan suntikan mundur ke dalam arteri brakialis dengan zat kontras. Pasien harus dalam keadaan hidrasi yang baik dan cairan yang jernih yang selalu diijinkan selama waktu pemeriksaan. Sebelum menuju ruang radiologi, pasien diinstruksikan untuk berkemih. Lokasi denyutan pembuluh darah perifer yang tepat ditandai dengan vena. Pasien diminta untuk tidak bergerak selama proses pencitraan dan diberitahu tentang adanya rasa hangat singkat diwajah, belakang mata, atau rahang, gigi, lidah, dan bibir dan rasa logam ketika agens kontras diinjeksikan. Setelah sela paha dicukur dan disiapkan, pasien diberikan anastesi local untuk mencegah nyari pada saat daerah yang telah disiapkan ditusuk dan untuk menurunkan spasme arteri. Kateter dimasukkan ke dalam arteri femoralis, dialirkan NaCl 0,9% dan Heparin dan diisi zat kontras. Fluoroskopi digunakan untuk mengarahkan kateter masuk ke dalam pembuluh darah yang tepat. Selama penyuntikan zat kontras, terlihat bayangan sirkulasi vena dan arteri yang melalui otak. 4. Pungsi Lumbal Lumbar puncture adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan memasukan jarum kedalam ruang subarakhnoid. Test ini dilakukan untuk pemeriksaan cairan serebrospinali,mengukur dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal,menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk mendeteksi adanya blok subarakhnoid spinal,dan untuk memberikan antibiotic intrathekal ke dalam kanalis spinalterutama kasus infeksi. (Brunner and Suddarths, 1999, p 1630). Tujuannya untuk mengidentifikasi adanya tekanan intrakarnial /intraspinal dan mengidentifikasi adanya darah dalam CSF akibat trauma atau dicurigai adanya perdarahan subarachnoid. Paparkan daerah lumbal. Pasien diposisikan di ujung saping tempat tidur atau meja pemeriksaan dengan bokong menghadap ke dokter,paha dan tungkai difleksikan semaksimal mungkin meningkatkan rongga antara prosesus spina vertebra, untuk mempercepat masuknya jarum ke ruang subarakhnoid.

Bantal kecil ditempatkan di bawah kepala pasien untuk mempertahankan spina dalamposisi lurus; mungkin juga bantal kecil ditempatkan diantara tungkai untuk mencegah tungkai atas berputar ke depan. Perawat membantu pasien mempertahankan kepala pasien untuk menghindari pergerakan yang tiba-tiba, karena akan menyebabkan trauma. Pasien dianjurkan untuk relaks dan diinstruksikan bernafas secara normal, karena hiperventilasi akan menurunkan meningginya tekanan. Perawat menggambarkan prosedur step demi step kepada pasien selama proses berlangsung. Dokter membersihkan tempat penusukan dengan larutan antiseptic. Anestesi local disuntikan ke tempat tempat penusukan dan jarum spinal dimasukan keruang subarakhnoid melalui interspace lumbal ketiga dan keempat atau kelima. Spesimen CSF dikeluarkan dan biasanya ditampung dalam tiga ples, diberi label. Jarum dicabut. Kassa ditempelkanpada tempat penusukan. H. PENATALAKSANAAN Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup. Pengelolaan cedera kepala menurut berat ringannya yaittu : 1. Cedera kepala ringan (GCS = 14-15) Penderita dengan cedera kepala yang dibawa ke unit gawat darurat (UGD) RS kurang lebih 80% dikategorikan dengan cedera kepala ringan, pendeita tersebut masih sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera kepala yang dialaminya. Dapat disertai dengan riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama pada kasus pasien dengan pengaruh alkohol atau obat-obatan. Sebagian besar penderita cedera kepala ringan dapt sembuh dengan sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat kecil. Pemeriksaan CT scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera kepala ringan yang disertai dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit, kepala hebat,

GCS < dari 15 atau adanya defisit neurologis fokal, foto servical juga harus dibuat jika terdapat nyeri pada palpasi leher. Pemeriksaan foto polos dilakukan untuk mencari fraktur linear atau depresi pada servikal, fraktur tulang wajah ataupun adanya benda asing di daerah kepala, akan tetapi harus diingat bahwa pemeriksaan foto polos tidak boleh menunda transfer penderita/medevacke RS yang lebih memadai. Apalagi bila ditemukan adanya gejala neurologis yang abnormal, haris segera dikonsultasikan pada ahli bedah saraf. Bila penderita cedera kepala mengalami asimtopmatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama beberapa jam dan dilakukan pemeriksaan ulang. Bila kondisi penderita tetap normal maka dapat dianggap penderita aman. Akan tetapi bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsangan verbal maupun tulisan, krputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang. 2. Cedera kepala sedang (GCS = 9-13) Dari seluruh penderita cedera kepala yang masuk ke UGD RS hanya 10% yang mengalami cedera kepala sedang. Mereka pada umunya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau terlihat mengantuk atau disertai dengan defisit neurologis fokal seperti hemiparese. Sebanyak 10-20% dari penderita cedrea kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam keadaan koma, pada saat dilakukan pemeriksaan di UGD, dilakukan anamnesa singkat dan stabilisasi cardiopulmonar sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan. Penderita harus dirawat di ruangan perawatan intensif yang setara, dilakukan observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial selama 12-24 jam pertama. 3. Cedera kepala berat (GCS = 3-8) Penderita dengan cedrea kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status cardiopulmonarnya telah stabil, memiliki resiko morbiditas dan mortalitas cukup besar. Tunggu dan lihat penderita dengan cedera kepala berat adalah sangat berbahaya, karena

diagnosis serta terapi yang sangatlah penting. Jangan menunda transfer/ medevac karena menunggu pemeriksaan penunjang seperti CT scan. Pada cedera kepala dapat dilakukan penatalaksanaan berupa pimary survey dan resusitasi dan secondary survey: 1. Primary Survey dan Resusitasi Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal. Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera kepala berat dengan hipotensi mempunyai status mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dengan penderita cedera kepala berat tanpa hipotensi (60% vs 27%), adanya hipotensi akan menyebabkan kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan kardiopulmoner harus segera dilakukan. a. Airway dan Breathing Terhentinya pernafasan sementara dapat terjadi pada penderita cedera kepala berat dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Lakukan pembersihan jalan nafas dari debris dan muntahan; lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang collar cervikal. Intubasi Endotrakeal (ETT) / Laryngeal Mask Airway (LMA) harus segera dipasang pada penderita cedera kepala berat yang koma dan jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100% dan pemasangan pulse oksimetri/ monitor saturasi oksigen. Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada panderita cedera kepala berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut. Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada trauma kapitis karena akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Oksigen selalu diberikan, dan bila pernafasan meragukan, lebih baik memulai ventilasi tambahan. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. stabilitas dan resusitasi

Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh keservikal C1C7 normal b. Circulation Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali stadium terminal yaitu bila medulla oblongata mengalami gangguan. Perdarahan intracranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik pada cedera kepala berat, pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi dan resusitasi untuk mencapai euvolemia. Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang cukup hebat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga di curigai kemungkinan penyebab syok lain seperti Syok Neurologis (Trauma Medula Spinalis), kontusio jantung atau Temponade Jantung dan Tension menekan Pneumothoraks. arterinya. Hentikan Perhatikan semua perdarahan cedera dengan intra adanya

abdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darah pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema. Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun dapat memberi respon normal segera setelah teknan darah normal. Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat dapat dilakukan pemasangan infus dengan larutan normal salin (Nacl 0,9%) atau RL cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema

cerebral. Lakukan pemeriksaan Ht, periksa darah perifer lengkap, trombosit, dan kimia darah. c. Pemeriksaan Neurogis / Disability Pemerikasaan neurologis harus segera dilakukan segera setelah status kardiopulmoner stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan GCS dan refleks cahaya pupil. Pada penderita koma respon motorik dapat dilakukan dengan merangsang / mencubit otot Trapezius atau menekan kuku penderita. Pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pada pupil dilakukan sebelum pemberian sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar pada pemeriksaan berikutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obatan paralisis jangka panjang tidak dianjurkan, bila diperlukan analgesia sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena. Pasien dengan CKR, CKS, CKB dengan menggunakan CT Scan harus dievaluasi adanya : hematoma epidural, darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel, kontusio dan perdarahan jaringan otak, edema cerebri, pergeseran garis tengah, fraktur cranium. Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasi dapat dilakukan elevasi kepala 30o. Jika terjadi hiperventilasi lakukan : Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama. Pasang kateter Foley Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural besar, hematom sub dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo).

2.

Secondary Survey Pemeriksaan neurologis serial (GCS, Lateralisasi dan reflek pupil) harus segera dilakukn untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal adalah dilatasi pupil dan hilangnya reflek pupil terhadap cahaya, adanya trauma langsung pada mata, sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan menyebabkan pemeriksaan pupil mata menjadi sulit, namun tetap harus dipikirkan adanya trauma kepala pada penderita cedera kepala berat. Ingat: selalu upayakan untuk mencegah kerusakan otak sekunder!

I. NURSING CARE PLAN 1. Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital a. Aktifitas dan istirahat Gejala Tanda : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan : - Perubahan kesadaran, letargi - hemiparese - ataksia cara berjalan tidak tegap - masalah dlm keseimbangan - cedera/trauma ortopedi - kehilangan tonus otot b. Sirkulasi Gejala : - Perubahan tekanan darah atau normal - Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia c. Integritas ego Gejala Tanda : Perubahan tingkah laku atau kepribadian : - Cemas - Mudah tersinggung - Delirium - Agitasi

- Bingung - Depresi d. Eliminasi Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi. e. Makanan/cairan Gejala Tanda Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera. : muntah, gangguan menelan. : - kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran. - Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopa, Tanda kehilangan sebagian lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman. : - Perubahan kesadran bisa sampai koma - Perubahan status mental - Perubahan pupil - Kehilangan penginderaan - Wajah tdk simetris - Genggaman lemah tidak seimbang - Kehilangfan sensasi sebagian tubuh g. Nyeri/kenyamanan Gejala Tanda h. Pernafasan Tanda i. Keamanan : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi, mengi. : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama. : Wajah menyeringai, respon menarik pada ransangan nyeri nyeri yang hebat, merintih.

f. Neurosensori

Gejala Tanda

: Trauma baru/trauma karena kecelakaan. : - Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan - Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda batle disekitar telinga, adanya aliran cairan dari telinga atau hidung. - Gangguan kognitif - Gangguan rentang gerak - Demam

2. Prioritas Keperawatan a) Memaksimalkan perfusi serebral b) Mencegah dan meminimalkan komplikasi c) Mengoptimalkan fungsi otak d) Menyokong proses koping e) Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit 3. Tujuan Pemulangan a) Fungis cerebral meningkat,defisit neurologi dapat diperbaiki atau distabilkan b) Komplikasi tidak terjadi c) ADL dpt terpenuhi sendiri atau dibantu ornag lain d) Keluarga memahami keadaan yg sebenarnya dan dpt terlibat dlm proses pemulihan e) Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakan dpt dipahami dan mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang terdsedia) 4. Rencana Tindakan Keperawatan (Terlampir) 5. Implementasi Implementasi adalah proses keempat dari proses keperawatan yang merupakan pelaksanaan dari rencana yang telah disusun sebelumnya.

6. Evaluasi a. Perfusi jaringan cerebral kembali efektif.

WOC Trauma kepala

Cedera jar. Otak setempat Kerusakan setempat

Cedera menyeluruh

Kekuatan diserap sepanjang jar. otak

Sawas darah otak rusak Vasolidator pemb. Darah & edema(Ketidakseimbangan CES & CIS) CO2 meningkat PH menurun - Perubahan tingkat kesadaran; kehilangan memori - Perubahan respons motorik/ sensori, gelisah, muntah - Perubahan TTV

Mobilisasi sel darah & permeabilitas pembuluh darah Edema Peningkatan TIK Penurunan darah ke jar. otak Hipoksia Iskemi jar otak Nekrosis jar otak Defisit neurolosis Gang. Syaraf vagal Penurunan fungsi kontraksi otot polos lambung Penurunan kemamp. absorsi makanan Nausea Vornitus Makanan tdk tercerna Gang fungsi medulla dolongata Gangguan fungsi otot respirasi Perubahan frek.RR

Penurunan perfusi jar. otak Penurunan tingkat kesadaran Gang. Pemenuhan kebutuhan ADL Kerusakan persepsi & kognitif Kerusakan mobilitas fisik Perubahan persepsi sensorik

Resti pola nafas tdk efektif Resti cedera sekunder

Resiko nutrisi kurang dr kebutuhan

Resiko deficit cairan

Anda mungkin juga menyukai