Anda di halaman 1dari 27

BAB I PENDAHULUAN Asma adalah penyakit saluran pernafasan kronik yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas.

Menurut WHO, sekitar 15 juta orang menderita asma dan 250.000 diantaranya meninggal karena asma. Penyakit ini bisa timbul di semua usia namun paling banyak pada anak-anak.Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan angka kejadian dan derajat asma pada anak-anak, di negara maju ataupun berkembang. Satu dari sebelas anak mempunyai riwayat asma dan dua dari tiga anak yang mempunyai riwayat asma pernah mengalami serangan asma lebih dari satu kali. Menurut survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan asma menduduki urutan ke-4 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia. Pada anak-anak dari studi yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan dari 2234 anak usia 13-14 tahun prevalensi asma 8,9% dan prevalensi kumulatif 11,5%. Asma memang jarang menimbulkan kematian, namun penyakit ini menimbulkan gangguan padaaktivitas sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup penderita. Namun, menegakkan diagnosis dan tatalaksana asma juga sering kesulitan sehingga sering mengalami under/overdiagnosis atau under/overtreatme. Sehingga sangat penting sebagai seorang dokter untuk dapat menganali asma sejak dini dan memberikan tatalaksana yang sesuai sehingga meningkatkan kualitas hidup penderita.

BAB II LAPORAN KASUS A. Identifikasi Nama Umur / Tanggal Lahir Jenis kelamin Berat Badan Tinggi badan Agama Alamat Kebangsaan MRS B. Anamnesa (alloanamnesis dengan ibu penderita, 7 November 2012) Keluhan Utama: Sesak nafas sejak 2 jam SMRS Keluhan Tambahan: Batuk (+) Riwayat Perjalanan Penyakit Sejak 2 hari yang lalu penderita mengalami batuk berdahak, sesak nafas (-), mengi (-), demam (-) 2 jam sebelum MRS penderita mengalami sesak nafas dengan suara nafas mengi, sesak dipengaruhi cuaca dingin dan diawali dengan batuk berdahak, sesak lebih sering pada malam hari, sesak tidak dipengaruhi posisi, demam (-). Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit dengan keluhan sesak nafas (+). Serangan sesak pertama pada usia 1 tahun. Sesak nafas sering berulang. Frekuensinya 2-3 kali perbulan. : An. A. : 9 tahun : Laki-laki : 20 kg : 122 cm : Islam : S.Limau. Jujuhan. Muara Bungo. : Indonesia : 7 November 2012

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Ayah penderita juga mengalami keluhan yang sama Riwayat Keluarga

Riwayat sosial ekonomi Penderita anak ke 1 dari 2 bersaudara. Ayah penderita seorang pegawai swasta dan ibu penderita seorang ibu rumah tangga. Kesan : sosioekonomi sedang Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Masa kehamilan Partus Ditolong oleh Berat badan lahir Keadaan saat lahir Riwayat Makan ASI Bubur susu Nasi biasa Tengkurap Duduk Berjalan Bicara Kesan : 0 9 bulan : 9 bulan 12 tahun : >12 tahun sekarang : 3 bulan : 6 bulan : 9 bulan : 9 bulan : Perkembangan motorik dalam batas normal : cukup bulan : Spontan : Bidan : 2700 gram : Langsung menangis

Riwayat Perkembangan

Riwayat Imunisasi BCG DPT Polio Hepatitis B Campak Kesan : 1 kali, scar + (pada lengan kanan) : DPT I, II dan III : Polio I, II, dan III : Hepatitis B I, II dan III : 1 kali : Imunisasi dasar lengkap

C. Pemeriksaan Fisik Tanggal pemeriksaan: 7 November 2012 Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah Nadi Pernapasan Suhu Berat Badan Tinggi Badan Status Gizi : Kompos mentis : 100/70 mmHg : 90 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup : 36 x/menit : 36.2o C : 20 kg : 122 cm : BB/U= 20/28 x 100% = 71,4% TB/U= 122/133 x 100% = 92% BB/TB= 20/23 x100% = 87% Kesan Keadaan Spesifik Kepala Kulit Bentuk Rambut Mata : Anemis (-), ikterik (-) : Normosefali, simetris, UUB menutup : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut. : Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra (-/-) : gizi kurang

Hidung Telinga Mulut Leher Thorak Paru-paru Inspeksi Perkusi

: Sekret (+), napas cuping hidung (+). : Sekret (-), serumen plak (+) . : Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-). : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.

Tenggorokan : Faring hiperemis (+)

: statis, dinamis simetris, retraksi suprasternal (+) : hipersonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : vesikuler (+) menurun, ronki (+), wheezing (+). Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : Iktus kordis, pulsasi, dan voussour cardiaque tidak terlihat : Thrill dan ikteus tidak teraba : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : HR: 90 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-) Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi : Datar : Lemas, hepar dan lien tidak teraba : Shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus normal Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), capillary refill < 2 detik, edema pretibia (-/-) D. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Hb Leukosit Hematokrit : 13,0 gr/dl : 22.200/mm3 : 37%

Hitung Jenis : -/-/-/86/7/7

Trombosit

: 383.000/mm3

E. Diagnosa Kerja Asma Bronkial episodik sering serangan berat F. Penatalaksanaan Oksigenisasi nasal 2-4 L/menit Nebulisasi Ventolin tiap 1-2 jam , jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Dexametason injeksi (bolus) 0,5 mg/kgBB 10 mg Dexametason injeksi 1 mg/kgBB/hari 3 x 5 mg Aminofilin injeksi (bolus) 6-8 mg/kgBB 120 mg (15 menit) IVFD D5% + Drip Aminofilin 160 mg gtt 15 x/menit Ceftriaxon 2 x 500 mg iv Ambroxol syrup 3x1 cth Edukasi: - Hindari faktor-faktor pencetus serangan asma seperti infeksi saluran nafas yaitu batuk. Hindarkan anak dari perubahan cuaca yang mendadak terutama dingin - Kebutuhan makan dan minum yang bergizi untuk tumbuh kembang anak secara optimal G. Prognosa Quo ad vitam Quo ad functionam : bonam : bonam

Perkembangan Selama Perawatan 8-112012 S : Sesak nafas (-) Batuk (+) O : sens : compos mentis Nadi : 98 x/menit T : 370C Pemeriksaan Fisik : Faring : Hiperemis Pulmo : vesikuler (+) normal, ronki (+), wheezing (+) A: Asma Bronkial P : - Rencana pulang -Edukasi -Salbutamol 2 mg (3x1 tab) -Methyl Prednisolon 4 mg (3x1 tab) -Ambroxol syrup (3x1 cth) -Amoxicilin 250 mg (2x1 tab) RR : 26x/menit

BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Asma bronkhiale adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas atas dengan melibatkan banyak sel dan elemen sel, yang ditandai dengan meningkatnya reaktifitas trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan, yang menyebabkan episode mengi, batuk dan sesak nafas berulang khususnya malam atau pagi hari. Episode tersebut berkaitan dengaan obstruksi saluran nafas yang bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Asma merupakan penyakit familier, diturunkan secara poligonik dan multifaktorial. (IgG). B. Epidemiologi Kira-kira 2-20% populasi anak dilaporkan pernah menderita asma. Angka kejadian asma di Indonesia diperkirakan berkisar antara 5-10%. C. Etiologi Penyebab asma masih belum jelas. Faktor genetik dan lingkungan sangat mempengaruhi terjadinya asma pada anak. Adanya alergen dari lingkungan mencetuskan proses imun yang berhubungan dengan suatu kecenderungan genetik. Faktor genetik ini, disebut juga atopi, mempengaruhi pada kromosom yang membawa gen sitokin yang menginduksi adanya reaksi alergi, yaitu kromosom 5, 6,11, 12, dan 14 Sitokin ini dapat berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GMCSF. IL 4 dindikasikan sebagai sitokin yang berperan dalam menginduksi Th2. Sedangkan faktor lingkungan dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya asma. Telah ditemukan hubungan antara asma dan lokus histokompatibilitas (HLA) dan tanda genetik pada molekul imunoglobulin G

Beberapa faktor lingkungan yang dapat mencetuskan asma antara lain: a. Infeksi saluran nafas. Sekitar 42% eksaserbasi asma disebabkan oleh infeksi virus, terbanyak respiratory syncytial virus (RSV). Akibat adanya infeksi virus mengakibatkan kerusakan epitel saluran nafas dan jika terdapat alergen bisa langsung mengeksitasi reaksi imun. b. Alergen Alergen bisa berupa tungau debu rumah, bulu kucing atau anjing, dan serbuk sari. Makanan seperti susu sapi, telur, ikan, kacang tanah juga dapat menyebabkan asma, terutama pada masa bayi dan anak yang masih muda. c. Bahan iritan Iritan seperti rokok, udara dingin, parfum, dan polusi dapat meninduksi reaksi inflamasi. d. Emosi Emosi dapat meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga terjadi pelepasan asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma. e. Latihan jasmani Latihan jasmani dapat terjadi akibat beraktivitas di udara yang dingin dan kering. Udara yang dingin dan kering dapat meningkatkan osmolaritas dari sekret yang melapisi saluran nafas mengakibatkan lepasnya mediator. Udara yang dingin juga mengakibatkan kongesti dan dilatasi pembuluh darah bronkial. f. Faktor lain seperti obat- obatan dan bahan kimia (obat anti inflamasi dan pewarna makanan), refluks gastroesofagus, dan keadaan saluran nafas dapat mengakibatkan eksaserbasi asma.

D. Klasifikasi Pembagian asma menurut Phelan dkk (1983) adalah sebagai berikut: 1. Asma episodik jarang Biasanya terdapat pada anak umur 3-6 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran nafas bagian atas. Banyaknya serangan 3-4 kali dalam satu tahun. Lamanya serangan paling lama beberapa hari saja dan jarang merupakan serangan yang berat. Gejala-gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi (wheezing) dapat berlangsung sekitar 3-4 hari. Sedangkan batuk-batuknya dapat berlangsung 10-14 hari. Manifestasi alergi lainnya misalnya eksim jarang didapatkan pada golongan ini. Tumbuh kembang anak biasanya baik. Di luar serangan tidak ditemukan kelainan. Waktu remisi bermingguminggu sampai berbulan-bulan. Golongan ini merupakan 70-75% dari populasi asma anak. 2. Asma episodik sering Pada 2/3 golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut. Pada umur 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan udara, adanya allergen, aktifitas fisik dan stress. Banyak kasus yang tidak jelas pencetusnya. Banyaknya serangan 3-4 kali dalam satu tahun dan tiap kali serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekuensi serangan paling tinggi pada umur 8-13 tahun. Umumnya gejala paling jelek terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang dapat mengganggu tidur. Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung pada frekuensi serangan. Kalau waktu antara serangan lebih 1-2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay fever dapat ditemukan pada golongan ini. Eksim dapat ditemukan, tetapi lebih jarang dibandingkan dengan golongan asma kronik atau persisten. Golongan ini merupakan 28% dari populasi asma anak, dan pada golongan ini jarang ditemukan gangguan pertumbuhan.

10

3. Asma kronik atau persisten Pada 25% anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan, 75% sebelum umur 3 tahun. 50% anak terdapat mengi yang lama pada 2 tahun pertama dan pada 50% sisanya serangannya episodic. Pada umur 5-6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran nafas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi tiap hari. Pada malam hari sering terganggu oleh batuk dan mengi. Aktifitas fisik sering menyebabkan mengi. Dari waktu ke waktu terjadi serangan yang berat dan sering memerlukan perawatan rumah sakit. Obstruksi saluran nafas mencapai puncaknya pada umur 8-14 tahun setelah biasanya terjadi perubahan. Pada umur dewasa muda 50% dari golongan ini tetap menderita asma persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik jarang yang normal. Dapat terjadi perubahan bentuk thoraks seperti dada burung (pigeon chest), barrel chest dan terdapat sulkus Harrison.

11

12

E. Patogenesis Asma adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu inflamasi kronis. Inflamasi mengakibatkan adanya hipereaktivitas bronkus yaitu peningkatan respon bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap rangsang. Hal ini dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologik dan non imunologik. Jalur imunologik ini dianggap berperan penting dalam mekanisme terjadinya asma. Pada anak dengan riwayat atopi memiliki kecenderungan sistem imun spesifik bergeser ke arah proalergi, yaitu T helper 2 (Th 2). Sehingga asma bronchial sebenarnya merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada paparan pertama, adanya antigen yang masuk akan ditangkap oleh sel APC, terutama sel dendritik, dan akan dipresentasikan ke sel limfosit. Dan karena adanya faktor atopik mengakibatkan Th 2 yang teraktivasi dan menyebabkan terlepasnya sitokin. IL 4 dan IL 13 yang menginduksi sel B mensintesis IgE. Saat ada paparan kedua, mengakibatkan adanya reaksi inflamasi akut dan jika berlanjut menjadi inflamasi kronik. Inflamasi akut disebabkan terikatnya IgE pada sel mast dan terjadinya degranulasi sel mast tersebut. Hal ini menyebabkan adanya 3 kemungkinan, yaitu: respon asma cepat, respon asma cepat dan diikuti respon asma lambat, atau respon asma lambat saja. Respon asma cepat terjadi kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan dan berlangsung 1-2 jam. Pada reaski cepat terjadi pelepasan mediator oleh sel mast/ basofil yaitu preformed mediator seperti histamin dan newly generated mediator seperti leukotrin, ECF, dan prostaglandin. Peristiwa ini mengakibatkan penyempitan bronkus dengan segera, spasme otot polos bronkus, inflamasi edema, dan hipersekresi. Sedangkan pada respon lambat terjadi sekitar 4-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 12-48 jam. Pada respon lambat terjadi proses pengerahan dan aktivasi eusinofil sel Th 2, neutrofil dan makrofag (PDPI, 2004). Hipereaktivitas bronkus akibat respon lambat dapat berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan bulan. Teraktivasinya sel-sel inflamasi tadi mengakibatkan inflamasi kronik yang menimbulkan kerusakan jaringan, terutama epitel, secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan yang akan menghasilkan perbaikan jaringan. Sehingga terjadi proses yang terdiri dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan nafas, peningkatan kelenjar mukus, terjadinya fibrosis,

13

matriks ekstraseluler meningkat, dan perubahan struktur parenkim. Konsekuensi klinis dari remodeling ini adalah bronkospasme yang parah, peningkatan sekresi mukus, pengurangan elastisitas jalan nafas, dan obstruksi jalan nafas. Sehingga kekerapan asma akibat faktor lingkungan akan memperburuk asma yang sudah terjadi. Sedangkan pada jalur nonimunologik menyebabkan kerusakan langsung epitel saluran nafas dan mengaktivasi ujung nervus vagus. Contohnya pada polutan seperti rokok, ozon, ataupun infeksi virus. Reaksi inflamasi yang terjadi mengakibatkan adanya bronkospasme, edema mukosa, dan sumbatan mucus. Dan akhirnya terjadi obstruksi saluran nafas. Obstruksi saluran nafas mengakibatkan kenaikan resistensi aliran udara dan gangguan ekspirasi. Gangguan pada proses ekspirasi karena saat inspirasi secara tidak langsung mengembangkan saluran nafas melebihi ukuran selama ekspirasi sehingga resistensi saat inspirasi lebih rendah. Obstruksi tersebut menyebabkan adanya udara yang terperangkap kemudian terjadi distensi paru berlebih (hiperinflasi). Hiperinflasi ini berfungsi sebagai kompensasi dengan menurunkan complience paru sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Jika kompensasi ini gagal akan mengakibatkan hipoventilasi dan ateletaksis segmental. Dan obstruksi ini tidak merata di seluruh saluran nafas sehingga menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch) yang memperparah hipoventilasi. Ventilasi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Hipoventilasi menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea. Hipoventilasi diperparah dengan adanya vasokonstriksi pembuluh darah alveolus karena hipoksia. Pada dan fase awal serangan akut, pasien dengan asma akan dengan mengkompensasi hipoksia dengan hiperinventilasi sehingga tidak terjadi hiperkapnea memburuknya dapat ditemui dan alkalosis respiratorik. Namun, obstruksi hipoventilasi mengakibatkan hiperkapnea.

Hiperkapnea mengakibatkan peningkatan produksi asam karbonat sehingga menimbulkan asidosis respiratorik. Selain itu dapat terjadi asidosis metabolik karena hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas. Adanya hipoksia

14

juga mengakibatkan menurunnya produksi surfaktan dan meningkatkan resiko ateletaksis. Dan akhirnya pasien mengalami gagal nafas dan berujung pada kematian. F. Gejala Klinis 1. Batuk Batuk pada asma bersifat persisten. Persisten di sini jika batuk berlangsung lebih dari 3 minggu (WHO, 2008). Batuk pada asma memberat saat malam/ dini hari dan timbul episodik setelah ada faktor pemicu, seperti asap rokok, allergen, aktivitas fisik berlebih, ataupun udara dingin dan kering. 2. Mengi Mengi adalah suara berfrekuensi tinggi yang terdengar pada akhir ekspirasi. Hal ini disebabkan oleh penyempitan saluran nafas distal. 3. Sesak nafas Sesak nafas dapat dijumpai dari ringan sampai berat. Sesak nafas bisa juga bermanifestasi sebagai rasa berat di dada. Sesak nafas ini dikarenakan aktivitas otot otot nafas yang kuat sebagai kompensasi kadar CO2 yang bertambah dalam darah. 4. Nafas memendek, sulit bicara, dan gelisah Hal tersebut dikarenakan adanya obstruksi saluran nafas. Semakin berat asma, semakin susah pasien berbicara, bahkan pasien terputuspurus saat mengucapkan kata-kata. 5. memberat. Semakin berat asma, semakin menurunkan aktivitas (IDAI, 2004). Selain itu fatig juga bisa disebabkan gangguan tidur di malam hari akibat gejala asma memberat pada malam hari. Fatig dan penurunan aktivitas Hal ini dikarenakan pasien merasakan sesak dan batuk yang

15

6. Sianosis Sianosis ini terlihat di bibir dan ujung jari. Sianosis hanya terlihat pada serangan asma berat karena mekanisme kompensasi sudah gagal dan terjadi hipoksia. Serangan akut yang spesifik jarang dilihat sebelum anak berumur 2 tahun. Secara klinis asma dibagi dalam 3 stadium, yaitu; a. Stadium I Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk paroksismal karena iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing yang merangsang batuk. b. Stadium II Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak nafas berusaha bernafas lebih dalam. Ekspirium memanjang dan terdengar bunyi mengi. Tampak otot nafas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi suprasternal, epigastrium dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan membuungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat dan sianosis sekitar mulut. Thoraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada pernafasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernafasan abdominal, retraksi suprasternal dan interkostal. c. Stadium III Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara sangat sedikit sehingga suara nafas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada perbaikan. Juga batuk seperti ditekan. Pernafasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi nafas yang mendadak tinggi.

16

G. Diagnosis a. Anamnesis Kelompok anak yang dapat diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal /morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. b. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum: baik sampai letargi Pada serangan yang ringan keadaan pasien baik, namun dengan memburuknya serangan keadaan pasien dapat memburuk sampai letargi. Letargi merupaka tanda kegagalan nafas. 2. Vital sign: takikardi dan takipnea Takikardi dan takipnea bisa ditemukan terutama pada asma sedang sampai berat karena mekanisme kompensasi sudah gagal dan hipoksia memberat. Dan jika didapatkan gagal nafas, laju nadi dan laju nafas menurun 3. Inspeksi: bisa terdapat sianosis, hiperinflasi dada, nafas cuping hidung, Penggunaan otot bantu nafas, dan retraksi interkostal. Hiperinflasi dada biasanya terlihat sebagai mekanisme kompensasi hipoksia pada serangan akut. Sedangkan nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu nafas, dan retraksi interkostal biasanya ditemukan pada asma sedang dan berat sebagai mekanisme kompensasi karena kadar CO2 yang semakin meninggi dalam darah. Sianosis merupakan manifestasi dari hipoksia jaringan pada asma sedang sampai berat pada bibir dan ujung jari. 4. Auskultasi: Wheezing, ekspirasi memanjang, ronki/crackles Wheezing merupakan salah satu tanda khas dari asma. Wheezing merupakan mengi yang ditemukan saat auskultasi. Wheezing pada anak dengan usia di atas dua tahun hampir semua disebabkan oleh asma. Semakin berat asma, wheezing terdengar semakin nyaring. Namun pada gagal nafas tidak lagi ditemukan wheezing hanya ditemukan retraksi

17

interkostal ataupun pemakaian otot bantu nafas. Ekspirasi memanjang dikarenakan pada penderita sam memang terjdai gangguan ekspirasi. Sedangkan adanya ronki/crackles dikarenakan produksi mukus yang meningkat. 5. Perkusi: hipersonor Hipersonor dikarenakan udara ekspirasi tertahan dan susah untuk keluar akibat obstruksi. 6. Pulsus paradoksus Pulsus paradoksus dikarenakan kenaikan tekanan intratoral sebagai mekanisme kompensasi mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung. Pulsus paradoksus ditemukan pada asma sedang dan berat. Jika ada gagal nafas, pulsus paradoksus tidak ditemukan. c. Pemeriksaan Penunjang 1. Uji Faal Paru Pada anak lebih dari 6 tahun, sudah dapat dilakukan uji faal paru. Uji faal paru dapat menggunakan spirometri atau yang lebih sederhana dengan peak expiratory flow meter (PEF meter). Pemeriksaan ini lebih berfungsi untuk menilai beratnya gejala. Pada pemeriksaan spirometri dalam mendiagnosis asma dapat ditemukan: Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP <75% atau VEP1 <80% nilai prediksi Perbaikan 15% secara spontan atau setelah pemberian inhalasi bronkodilator Sedangkan pada pemeriksaan PEF meter dapat ditemukan: Variabilitas pada PEF >15%. Kenaikan >15% pada PEF setelah pemberian inhalasi bronkodilator. Penurunan >15% pada PEF setelah provokasi bronkus Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PEF dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2minggu.

18

2. Uji provokasi bronkus Uji provokasi bronkus dilakukan pada pasien dengan kecurigaan asma tetapi uji faal paru normal. Uji provokasi bronkus dapat dilakukan dengan pemberian methacholine (histamin) atau latihan. Uji provokasi bronkus dapat juga positif pada penyakit lain, seperti rinitis alergik, PPOK, dan bronkiektasis. 3. Pemeriksaan Foto Rontgen Toraks Pemeriksaan Foto Rontgen dilakukan dengan proyeksi posteroanterior dan lateral. Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin, hanya dilakukan pada asma sedang/ berat. Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran napas berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru juga perlu pemeriksaan ini. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan atelektasis, yang merupakan komplikasi dari asma, ataupun penyakit lain yang merupakan diagnosis banding untuk asma 4. Analisis Gas darah Hanya dilakukan pada serangan asma berat. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan peningkatan PaCo2 dan rendahnya PaO2. H. Penatalaksanaan Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: Pereda (reliever), yaitu bagaimana kita meredakan serangan atau gejala asma yang timbul Pengendali (controller) yaitu bagaimana kita mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik. Pemakaian obat terus menerus dalam jangka waktu lama, bergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan.

19

Obat-obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana asma antara lain: 1. Agonis 2-Adrenergik Golongan 2-agonis terbagi dua, yaitu: kerja lambat dan kerja cepat. Golongan kerja cepat, seperti salbutamol; terbutalin; atau pirbeterol, digunakan untuk serangan asma. Sedangkan golongan kerja lambat, seperti salmeterol dan formeterol, digunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi, tidak digunakan sebagai monoterapi. Mekanisme kerja 2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran nafas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas vaskular, dan menghambat kerja sel mast. 2-agonis tersedia dalam bentuk inhalasi ataupun oral. Untuk inhalasi terdapat dalam bentuk metered dose inhaler, dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler). Pemberian inhalasi lebih dianjurkan karena lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Efek samping yang dapat timbul yaitu rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, hipokalemia 2. Metilxantin Golongan metilxantin digunakan sebagai penggganti 2-agonis. Metilxantin lepas lambat (teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma dan juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena (aminofilin). Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Efek samping yang dapat timbul adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebih dapat terjadi konvulsi. 3. Kortikosteroid Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi, penghambatan kebocoran pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan peningkatan kerja respon -reseptor. Kortikosteroid dapat

20

diberikan secara inhalasi ataupun oral. Steroid inhalasi lebih sering digunakan karena efek samping yang minimal, yaitu kandidiasis orofaring dan batuk. Jika dengan steroid inhalasi asma tidak terkontrol, lebih baik ditambah dengan obot pengontrol lain daripada menaikkan dosis. Dan steroid oral diberikan pada asma berat yang tidak terkontol dengan steroid inhalasi. 4. Kromolin Yang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan nedokromil sodium. Bila serangan diduga diakibatkan faktor alergi dan serangan terjadi lebih dari 3 kali dalam sebulan diberikan ketotifen dosis 0,025 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis diberikan selama 6 bulan atau lebih. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Kromolin diberikan secara inhalasi. Efek samping yang rimbul berupa batuk atau rasa obat yang tidak enak saat melakukan inhalasi. 5. Obat lain Adrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia 2agonis. Sedangkan antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan asma, namun kerjanya tidak terlalu poten dibandingkan 2agonis kerja cepat. Sebagai pengendali asma juga terdapat golongan antihistamin seperti ketotifen. Obat asma yang relatif baru adalah leukotriene modifiers yang mekanisme kerjanya menghambat 5lipoksigenase sehingga memblok sintesis leukotrien dan memblok reseptor leukotrien. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien) Penatalaksanaan Serangan Asma di Klinik/ Ruang Gawat Darurat Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan,langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian penanganan serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut belum memasyarakat.

21

Penanganan awal anak dengan asma adalah diberikan 2-agonis dengan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan. Jika pada penilaian derajat secara klinis dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi 2- agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Hal ini dikarenakan pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi betaagonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya. Jika tidak terdapat 2- agonis dapat diberi suntikan epinefrin subkutan dosis 0,01 ml/ kg dalam larutan 1:1000 (dosis maksimum 0,3 ml). Dan dipantau stelah 20 menit tidak ada perbaikan, ulang dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin. a. Serangan Ringan Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat 2agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. b. Serangan Sedang Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon parsial, berikan cairan intravena dan oksigen, lalu pasien diobservasi di

22

Ruang Rawat Sehari dan ditata laksana sebagai serangan sedang. Di Ruang Rawat Sehari teruskan pemberian oksigen, kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon,prednison, atau triamsinolon. Nebulisasi 2-agonis tetap diberikan ditambah antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral. c. Serangan Berat Jika menurut penilaian awal secara klinis serangannya berat, pengobatan serangan berat dapat langsung diberikan tanpa harus melalui tahapan ringan atau sedang. Pada serangan berat, nebulisasi 2-agonis ditambah antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Obat yang diberikan adalah steroid intravena diberikan secara bolus 0,5 mg/kgBB, dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. Kemudian Aminofilin injeksi (bolus) 6-8 mg/kgBB selam 5-15 menit dan drip Aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam dalam cairan D5% atau NaCl. Terus pantau tiap 3 jam dan catat vital sign. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Steroid yang dianjurkan adalah prednisone dan prednisolon. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24- 48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana. Pencegahan serangan asma, terdiri atas: - Penghindaran terhadap faktor pencetus merupakan hal yang penting dalam tata laksana asma secara menyeluruh. - Kontrol teratur tidak hanya bila terjadi serangan akut, tetapi kontrol terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan bergantung keadaan asma. Hal ini berfungsi meyakinkan asma terkontrol.

23

- Edukasi Edukasi yang baik akan mengurangi serangan akut yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Edukasi ini terutama ditujukan pada pasien dan keluarganya sehingga tercapai pemahaman tentang asma,.

24

I.

Prognosis Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodic jarang sudah menghilang pada umur 21 tahun. Dua puluh persen asma episodic sering sudah tidak timbul pada masa akil balik, 60% tetap sebagai asma episodic sering dan sisanya sebagai asma episodic jarang. Hanya 5% dari asma kronik/ persisten yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodic sering, hampir 60% tetap sebagai asma kronik/persisten dan sisanya menjadi asma episodic jarang.

J.

Komplikasi Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison. Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian.

25

BAB III ANALISIS KASUS Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang dengan keluhan utama sesak nafas. Dari keluhan tersebut yang dapat kita pikirkan adalah adanya penyempitan saluran nafas, penyakit paru obstruksi, atau penyakit jantung. Serangan sesak ini sudah sering terjadi yaitu sejak usia 1 tahun dengan frekuensi serangan sesak yaitu 2-3 kali/bulan, dan lamanya sesak 2 hari. Sesak memberat pada dini hari dan disertai suara mengi. Di luar serangan penderita tidak ditemukan kelainan dan tumbuh kembang anak baik, tidak ada demam. Dari pemeriksaan fisik ditemukan, frekuensi napas 36x/menit, faring hiperemis dan pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis oleh karena itu pengobatan di tambah antibiotik retraksi suprasternal, perkusi hipersonor pada lapangan paru, vesikuler menurun, ronchi ada, terdapat wheezing ekspirasi yang khas pada penyakit asma, dari anamnesis didukung pula dengan adanya riwayat keluarga menderita asma, maka diagnosis asma bronchial menjadi diagnosis kerja pada kasus ini. Gambaran klinis asma pada anak tersebut lebih mengarah pada asma episodic sering, dikarenakan frekuensi serangan lebih dari 1 kali per bulan, dengan derajat serangan yaitu serangan berat karena pasien datang dengan sesak nafas yang berat, bicara hanya per kata, suara mengi terdengar tanpa stetoskop, terdapat retraksi dinding dada dan pernafasan cuping hidung. Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan tatalaksana serangan berat yaitu Oksigenisasi nasal 2-4 L/menit, nebulisasi Ventolin tiap 1-2 jam , jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam, Dexametason injeksi (bolus) 0,5 mg/kgBB 10 mg , dexametason injeksi 1 mg/kgBB/hari 3 x 5 mg, aminofilin injeksi (bolus) 6-8 mg/kgBB 120 mg (15 menit), IVFD D5% + Drip Aminofilin 160 mg gtt 15 x/menit, Ceftriaxon 2 x 500 mg iv dan Ambroxol syrup 3x1 cth.

26

DAFTAR PUSTAKA Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2002. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH.

27

Anda mungkin juga menyukai