Anda di halaman 1dari 10

BAB II ISI 2.

1 Definisi Dekomposisi Selulosa adalah komponen utama daun dan merupakan polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan -1,4glikosida. Kandungan selulosa di dalam dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman. Selulosa berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk lignoselulosa (Lynd et al. 2002). Mekanisme penguraian selulosa dapat ditunjukkan melalui proses yang melibatkan enzim selulase dan berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama tahap menguraikan polimer selulosa secara random, kedua tahap penguraian selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi, dan tahap terakhir adalah mengurai seloboisa menjadi glukosa (Lynd et al. 2002). Enzim selulase merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen. Endoglukanase atau dikenal 1,4-D-glukan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.4), mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal -1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi sebagai tahap pertama. Eksoglukanase, termasuk 1,4-D-glukan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.74) atau selodekstrinase dan 1,4-D-glukan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.91) atau selobiohidrolase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan nonpereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan glukosa sebagai tahap kedua. Enzim -glukosidase (EC 3.2.1.21) atau glukosida glukohidrolase mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa sebagai tahap yang ketiga atau terakhir (Lynd et al. 2002). Komponen lain yaitu lignin juga diketahui berikatan dengan selulosa pada tanaman. Lignin menjadi salah satu dari polimer organik yang sangat lambat untuk didekomposisi dalam lingkungan karena struktur kimianya yang sangat kompleks (Erden et al. 2009). Kompleksitas struktur, bobot molekul yang tinggi dan sifat ketidaklarutan lignin dalam air membuat degradasi lignin sangat sulit. Degradasi lignin merupakan tahapan pembatas bagi kecepatan dan efisiensi yang berhubungan dengan selulosa (Simanungkalit et al. 2006). Tingkat degradasi lignin tergantung pada kondisi lingkungan dan jenis kapang yang

terlibat (Mansur et al. 2003). Kapang memiliki kemampuan mendegradasi lignin karena kapang ini dapat menghasilkan enzim-enzim pendegradasi lignin. Mtui dan Nakamura (2007) menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok utama enzim ekstraseluler yaitu manganase peroksidase, lignin peroksidase dan lakase. Kelompok enzim tersebut diyakini berperan penting pada kapang dalam mendegradasi lignin. Enzim lignolitik lainnya adalah fenoloksidase yang mengoksidasi gugus dan p-fenol serta gugus amina menjadi kuinon. Pada kelompok fenoloksidase terdapat enzim lakase dan tirosinase yang memberikan reaksi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan p-kresol (Hutchinson 1990). Proses dekomposisi terdiri dari tiga tahapan yang diikuti oleh perubahan distribusi populasi mikroba, yaitu tahap mesofilik (20-40oC), tahap termofilik (40-80oC) dan tahap stabilisasi atau pendinginan (Silvia et al. 2005). Dekomposisi yang dilakukan koloni kapang pada tanaman hutan secara alami membutuhkan waktu yang cukup lama. Di alam proses dekomposisi oleh kapang dilakukan secara konsorsium. Osono et al. (2009) meneliti proses dekomposisi serasah di sekitar pohon meranti yang hidup di dalam hutan tropik musiman di Thailand. Kolonisasi kapang hanya meningkat 30% pada serasah daun selama proses dekomposisi yang berlangsung 9 bulan. 2.2 Kompos dan Pengomposan A Definisi Kompos dan Pengomposan Menurut Gaur (1982) pengomposan merupakan proses biokimia dimana berbagai mikrooganime menguraikan dan merombak bahan organik menjadi bahan seperti humus dengan kerapatan isi rendah, bersifat stabil dan dapat diberikan kedalam tanah tanpa memberikan efek yang merugikan bagi tanaman. Pengomposan merupakan dekomposisi bahan organik yang terkontrol yang digunakan secara luas sebagai sebuah tekhnik untuk menstabilisasi dan mereduksi bahan besar dari bahan organik untuk di kembalikan ke tanah dalam bentuk dan volum yang lebih halus (Sinaga, 1992). Sedang produk dari proses pengomposan biasa disebut sebagai kompos dan dapat diartikan sebgai campuran bahan organik

yang telah terdekomposisi sebagian atau seluruhnya berasal dari hewan atau tanaman dan mungkin mengandung abu, kapur, dan bahan senyawa kimia lainnya. Dalzell et al., (1987) menyatakan bahwa pengomposan merupakan suatu proses perubahan mikrobiologi secara terus menerus yang dihasilkan oleh aktivitas-aktivitas suatu suksesi berbagai jenis mikroorganisme yang masingmasing cocok terhadap suatu lingkungan dengan waktu yang relatif terbatas. Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari bermacam-macam sumber. Dengan demikian, kompos merupakan sumber bahan organik dan nutrisi tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulosa 15-60%, enzi hemiselulosa 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-30%, bahan mineral (abu) 3-5%, di samping itu terdapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam amonium) sebanyak 2-30% dan 1-15% lemak larut eter dan alkohol, minyak dan lilin (Sutanto, 2002). Menurut Gaur (1982), kondisi pengomposan dapat berlangsung pada kondisi anaerob maupun aerob. Pengomposan anaerob diartikan sebagai proses dekomposisi bahan organik dengan tanpa menggunakan oksigen bebas. Hail akhir dari pengomposan anaerob terutama berupa CH4, CO2. Sedangkan Pengomposan aerob merupakan proses pengomposan atau proses pendekomposisisan bahan organik dengan menggunakan oksigen bebas. Hasil akhir dari proses ini merupakan produk metabolisme biologi yang berupa CO2, H2O, panas, unsur hara, dan sebgian humus. Organisme utama yang terlibat dalam proses pengomposan adalah fungi, bakteri, dan aktinomisetes (Millar, 1958). Reaksi yang terjadi pada proses pengomposan aerobik menurut Gaur (1982) : Gula(CH2O)6(selulosa, hemiselulosa) + xO2 (N organik) (Protein) NH4+ NO2 xCO2+ XH2O +energi NO2 Energi

Reaksi Utuh: Bahan Organik Aktivitas Mikroorganisme Dalam kondisi aerasi yang baik fungi sangat respon dan tumbuh dengan cepat (Millar, 1959). Bahkan menurut Gaur (1982) dan Soepandi ( 1983), metabolisme fungi lebih efisien dibanidng bakteri, fungi menggunakan C dan N dengan menghasilkan sedikit CO2 dan NH4 di banding bakteri. Proses pengomposan melalui 3 tahapan dan proses perombakan bahan organik secara alami membutuhkan waktu yang relatif (3-4 bulan), CO2+H20+Hara+Humus +Energi

mikroorganisme umumnya berumur pendek. Sel yang mati akan didekomposisi oleh populasi organisme lainnya untuk dijadikan substrat yang lebih cocok dari pada residu tanaman itu sendiri. Secara keseluruhan proses dekomposisi umumnya meliputi spektrum yang luas dari mikroorganisme yang memanfaatkan substrat tersebut, yang dibedakan atas jenis enzim yang dihasilkannya (Saraswati, dkk, 2006).

B.

Karakteristik Bahan Kompos Bahan yang dapat dikomposkan dapat berupa limbah pertanian seperti

jerami, sekam padi, daun-daunan, ampas tebu atau kotoran padat atau cair dari manusia dan hewan juga dapat dari sampah rumah tangga dan residu hutan (Gaur, 1982). Sagu, pada umumnya tanaman sagu toleran terhadap tanah masam atau ber Ph rendah dengan Al, Mn, dan Fe yang tinggi, dan kadar garam sampai 10 ms/em. Dengan kondisi miskin atau kejenuhan basa rendah, sagu masih dapat tumbuh, sagu dapat membentuk bahan vegetatif yang banyak sehingga dengan luasan yang besar, limbahnya mampu memperkaya bahan humus dan menekan gulma (Wahid, 1988). Selain sagu, jagung dan alang-alang juga umumnya di jadikan bahan utama pembuatan kompos.

c. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan Dekomposisi bahan organik selama proses pengomposan merupakan suatu perubahan situasi dalam suhu , Ph dan ketersediaan hara yang berbeda-beda . Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan adalah kandungan lignin, ukuran bahan asal, kandungan nitrogen bahan, reaksi kimia (pH pengomposan), suhu, kelembaban, aerasi, nisbah C/N, inokulasi jasad mikro, penambahan CA3(PO4)2 dan penghancuran patogen dan parasit. Nisbah C/N Merupakan faktor penting dalm proses dekomposisi bahan organik pada pengomposan. Selama proses pengomposan nisbah C/N menurun secara drastispada suhu tinggi dan menurun kemudian menurun lambat secara kontinyu pada fase pendinginan kompos. Nisbah C/N yang optimum bagi pengomposan sehingga berlangusng cepat dan efisien adalah anatara 30-40. Karbon dibutuhkan mikroorganisme untuk pertumbuhan sedangkan nitrogen digunakan untuk sintetis protein. Apabila nisbah C/N tinggi, maka aktivitas biologis akan berkurang dan diperlukan beberapa silkus organik untuk menyelesaikan dekomposisi bahan kompos. Jika nisbah C/N terlalu rendah, kehilangan N melalui volatilisasi amonia dan denitrifisasi akan meningkat. Ukuran Irisan Bahan Pengomposan akan berlangusng dengan cepat apabila bahan kompos di potong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Karena akan mempermudah dekomposisi oleh jasad mikro. Komposisi bahan mentah yang terdapat dalam tumpukan perlu diatur sehingga di peroleh komposisi C dan N yang memadai. Kelembaban dan Aerasi Dekomposisi aerobik dapat terjadi pada tingkat kelembaban 30 % sampai 100%, jika pembalikan dilakukan secara baik. Pada kelembabapan di bawah 40%, kelembaban akan berjalan lambat. Menurut Gaur (1982), Proses pengomposan secara aerobik memiliki tingkat kelembaban optimum sekitar 50%-60%, kecuali

untuk bahan yang berserat seperti jerami dan alang-alang di perlukan kelembaban 80-85% karena jerami membutuhkan waktu yang lambat untuk dapat lembab. Temperatur Temperatur yang optimum untuk terjadinya dekomposisi bahan organik menjadi CO2 dan air adalah 60o . Besarnya temperatur akan bergantung pada tipe bahan yang dikomposkan dan ukuran dari timbunan pengomposan. pH Umumnya pH awal pengomposan diantara agak asam sampai netral yaitu 6-7. Kapur dapat digunakan untuk mengurangi kemasaman. Inokulasi Jasad Mikro Inokulasi jasad mikro hanya efektif di berikan apabila populasi jasad mikro dalam kondisi rendah. Penambahan CA3(PO4)2 Penambahan batuan fosfat 5% dari berat/ berat dapat menigkatkan kandungan nitrogen kompos sebesar 30% dari kontrol.

2.3.

Humus dan Humifikasi (jelasin secara detail) (AGRIDA)

2.4.

Karakteristik Trichoderma sebagai Aktivator dan Peningkat Mutu Kompos Pada awalnya perhatian terhadap peranan fungi terbatas pada inokulasi

seleksi bakteri dan fungi mikoriza yang beruhubungan dengan pertumbuhan tanaman. Sementara fungi saprofitik beum banyak disentuh dalam bahan-bahan penelitian. Apadahal menurutnya bahwa fungi tersebut cukup penting dan merupakan komponen terbesar dan umum pada rhizosfer tanah. Diantara fungi saprofitik tersebut adalah Trichoderma spp.

Rifai (1969 dalam Mala, 1994), menyatakan bahwa ciri koloni Trichoderma adalah kompak atau menapas yang berhubungan dengan pertumbuhan dan konidiofornya, sementara sebagian koloni membentuk zone mirip cincin yang kkas dan jelas. Warna koloni Trichoderma ada yang kekuningan, kuning, hijau dimana warna ini dipengaruhi oleh pigmentasi dan jumlah konidianya. Umumnya antara spesies-spesies Trichoderma terdapat kemiripan antara satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan esukaran dalam membedakan spesies-spesies tersebut. Well (1986 dalam Mala, 1994) menyebutkan bahwa Trichoderma memiliki kelebihan daripada kelompok lain untuk model pengendalianhayati penyakit tanaman. Hal ini karena Trichoderma banyak ditemukan pada berbagai tempat, mudah diisolasi, dibiakkan dengan cepat tumbuh pada berbagai media (substrat), bersifat parasit terhadap patogen tumbuhan, jarang sebagai patogen bagi tumbuhan tingkat tinggi mampu berkompetisi dengan baik dalam hal ruang dan makanan, mampu memproduksi antibiotik, dan mempunyai sistem enzim yang mampu menyerang sel inangnya. Sebagai Fungi yang bersifat saprofitik Trichoderma spp. Menggunakan bahan-bahan yang telah mati (terlapuk ) sebagai sumber energinya. Trichoderma spp. Terlibat dalam interaksi kompelks seperti produksi antibiotik, produksi fungistatisia, dan berperanan sebagai microparasitisme. Trichoderma spp. Juga efektif dalam efek antagonis dalam melawan Rhizoctonia solani (penyebab busuk batang, blight dan damping off), Sclerotium rolfii, dan lainnya (Sinaga, 1992). Aktivitas antagonistik tersebut dapat berupa pembentukan antibiotik ataupun lisisdalam kompetisi memperebutkan nutrien maupun sebgai parasitisme. Dari hasil penelitian disebutkan bahwa aktivitas tersebut distimulasi dan menentukan patogen tanaman yang terdapat dalam tanah yang mengontrol selama dekomposisi biologi bahan organik dalm tanah. Dlam hal berperanan pada proses perombakan bahan-bahan yang berselulosa adalah karena Trichoderma mempunyai kombinasi enzim Cl dan Cx

yang berguna secara sinergis dalam memecahkan substrat kompleks (Sinaga, 1992). Trichoderma spp. Sebagai Perombak Selulosa Trichoderma harzianum secara umum fungi ini diklasifikasikan menjadi Phycomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes. Jenis jamur ini berfilamen dan berkembang hebat di tanah-tanah, beberapa diantaranya menyukai pH rendah. Jamur ini terdapat diseluruh horizon profil tanah tentu saja jumlah yang tersebar lapisan permukaan tempat bahan organik tersedia cukup aerasinya (Buckman dan Brady, 1982). Trichoderma harzianum menghasilkan enzim 1,3-Glucanase, chitinase, dan proteinase yang mampu berperan dalam menghancurkan bahan-bahan yang mengandung chitin, protein atau sebagai hiperparasit terhadap Rhizoctonia solani Trichodernma harzianum dapat beraktivitas mendekomposisi bahan-bahan selama masih adanya bahan organik yang dijadikan sumber makanan untuk

mikroorganisme, dan mikroorganisme ini akan terus bekerja (Anonimous, 2008). Protein yang tinggi dalam kompos ternyata begitu mudah terurai oleh Trichoderma harzianum sehingga menimbulkan tingginya kadar N-total pada kompos dan seiring hal tersebut menurunkan nilai C-organik kompos. Trichoderma harzianum efektif sebagai dekomposer pada bahan-bahan yang tinggi kadar sellulosa. Hal ini disebabkan karena Trichoderma harzianum mampu menghasilkan enzim sellulase yang mampu menghidrolisis bahan-bahan yang mengandung kadar sellulosa yang tinggi Pengaplikasian kompos dengan perbedaan umur kompos dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme tanah hal ini dikarenakan pemberian Trichoderma harzianum dan aktifitas mikroorganisme tersebut masih berlangsung untuk mendekomposisi bahan organik karena didalamnya terus terjadi penambahan sumber makanan untuk mikroorganisme (Anonimous, 2008). Enzim selulosa yang mampu menghidrolisis ikatan dalam selulosa setidaknya teridiri dari 3 komponen enzim yaitu enzim Cl yang aktif menghidrolisa selulosa alami, enzim Cx aktif menghidrolisa merombak selulosa terlarut dan enzim glukosidase (Allison, 1973).

Mekanisme perombakannya, tahap pertma enzim menghidrolisis polimer selulosa dari kompleks selulosa dan mengubahnya menjadi monomer glukosa. Tahap kedua metabolisme gula sederhana menjadi CO2 (secara aerobik) atau asam organik dan alkohol yang diikuti oleh CH4 dan CO2 (proses anaerobik) dengan penggabungan secara simultan dari bahan karbon ke dalam protoplasma mikrobia. Mikroorganisme yang memiliki enzim lengkap selulosa diantaranya kapang selulolitik yakni Trichoderma harzianum. Menurut (Talanca, 2002), Berdasarkan hubungannya dengan tanaman, maka mikroba rizhosfer dibagi 3 yaitu: 1) kelompok mikroba yang menguntungkan, 2) kelompok mikroba yang merugikan, dan 3) kelompok mikroba netral (Waksman, 1963; Kloepper et al., (1980). Mikroba rizhosfer yang menguntungkan diantaranya adalah mikroba pelarut Trichoderma spp. Mikroba ini banyak dijumpai pada daerah rizhosfer yang kaya akan sumber karbon (C). Sumber C ini berasal dari ekskresi asam-asam organik dari akar tanaman yang ada serta hasil pelapukan bahan organik sisa-sisa tanaman. Untuk mempercepat proses dekomposisi dan memperbaiki kualitas kompos limbah pertanian, maka diperlukan mikroba penghasil selulosa yaitu jamur Trichoderma spp. Hal ini perlu karena dua pertiga dari sisa tanaman berupa selulosa. Selulosa merupakan makromolekul yang sulit melapuk, karena terdiri dari komponen serat panjang dan kaku (Preston, 1988). Hasil penelitian Gunarto, (2000) terhadap pengukuran aktivitas selulosa menunjukkan bahwa T. koningii isolat Bo-14 memiliki aktivitas endoglukanase yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jamur Trichoderma spp. mempunyai kemampuan yang baik merombak selulosa serta propagasi Trichoderma spp. tergolong mudah dan kemampuan bersaing dalam menggunakan sumber karbon pada stadium lanjut. Pemberian Trichoderma harzianum pada pengomposan Chromolaena odorata dengan diberikan kronotriko menghasilkan ketersediaan N lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan bioaktivator yang diberikan oleh kompos lainnya. Dan pengaruh jenis bioaktivator dan bahan pengaya nyata terhadap pH.

P-tersedia (ppm) dan P-total (%) kompos sangat di tentukan dalam proses pembuatan kompos terhadap kualitas dan kandungan hara berbagai jenis kompos. Secara umum pengaya kompos gulma Chromolaena odorata yang hanya diberi tanah yang menghasilkan kadar P-total terendah hanya 1,65%, dibandingkan dengan gulma Chromolaena odorata yang diberi guano. Sedangkan kadar P cukup tinggi mencapai 18% P2O5 dari fosfat alam (Wikimedia Fondution, 2007).

Sumber : Gunarto, L. 2000. Aktivitas isolate Trichoderma spp. dalam perombakan selulosa. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 15 (1) : 43-47.

Talanca, Haris A. 2002. POTENSI JAMUR Trichoderma spp. MEROMBAK LIMBAH PERTANIAN Penelitian Tanaman Serealia MENJADI BAHAN ORGANIK. Balai

Ramadhani, Dwi. 2007. Formulasi Pupuk Bioorganik Campuran dengan Trichoderma harzianum dengan kascing. INSTITUT PERTANIAN BOGOR.

Anda mungkin juga menyukai