Anda di halaman 1dari 10

Korupsi sebagai Budaya Politik Indonesia

Korupsi di Indonesia sekarang ini semakin terbongkar kriminalitasnya, dimana kasus-kasus tersebut seringkali diberitakan di media massa. Penggemboran berita korupsi pun merajalela sehingga perspektif masyarakat terhadap kinerja pemerintah buruk dan kurang mempercayai pengelolaan negara. Dibuktikan dengan kasus korupsi paling rumit di tahun 2010, Gayus Tambunan seorang pegawai departemen pajak yang hanya bergolongan III A sudah mempunyai asset sebesar 250 miliar sedangkan rata-rata penghasilan pegawai pajak departemen golongan III A tidak berpendapatan sebanyak itu. Tidak hanya gayus sebagai pamor mafia pajak yang membuat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berkurang, tapi juga kasus penyelewengan dana yang banyak diberitakan di media massa berdampak pada jalannya sektor pembangunan negara. Misalnya dari penangkapan kasus korupsi sekertaris Menpora (Wafid Muharram) yang divonis telah menerima penyuapan, penyimpangan dana Otonomi khusus provinsi Papua, dan pencekalan tersangka kasus korupsi Joko Sutrisno dalam pelaksanaan lomba ketrampilan siswa dan pameran SMK Kementrian pendidikan Nasional yang ditangani KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi). Padahal, korupsi dapat mengurangi nilai manfaat suatu pembangunan dan memperlambat perkembangan negara ke arah yang lebih maju. Menurut pandangan hukum yang berlaku, definisi korupsi sendiri berarti perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara(UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001). Dalam 13 buah Pasal UU no.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor, korupsi dirumuskan dalam bentuk tipikor yang dijelaskan di dalam pasalpasal tersebut. Dasar dasar dari tindak korupsi dikelompokkan menjadi tujuh yaitu : Kerugian keuangan negara, suap-menyuap,penggelapan dalam jabatan,pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Bentuk-bentuk lain tertera pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 yang berisi tentang tindakan pidana yang berkaitan dengan tindakan korupsi, seperti merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, saksi yang membuka identitas pelapor. Dilihat dari segi historis, Indonesia mengalami masa kolonialisme dimana korupsi telah mengakar dari masa kerajaan hingga sekarang. Hal tersebut membuat pemberantasan korupsi sulit dilaksanakan karena telah mendarah daging sebagai kepribadian bangsa. Pada masa pra-kolonialisme, para penguasa lebih otoriter untuk memimpin suatu wilayah kerajaan yang dikuasainya sehingga rakyat tidak berdaya dalam melawan raja-raja, rakyat hanya diperintahkan untuk membayar upeti kepada raja-raja. Rakyat pun tidak berani untuk mengkritik dan melakukan pertentangan karena takut akan menimbulkan perlawanan dan diperlakukan dengan buruk. Rakyat lebih cenderung kepada sikap nrimo dan cari perhatian kepada para raja untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari raja-raja. Budaya ini menyebar terutama di wilayah jawa. Budaya seperti ini memicu adanya akar dari suatu korupsi di negara Indonesia karena sistem yang diterapkan raja dengan menarik upeti kepada rakyat tidak transparan dan dapat menimbulkan penyelewengan dana. Akibatnya, rakyat semakin menderita dan wilayah kerajaan semakin makmur. Perlakuan raja tersebut juga didukung oleh adanya rakyat yang hanya dapat menerima apa adanya tanpa perlawanan dan perbaikan untuk raja dan sikap cari perhatian kepada raja untuk membahagiakan diri sendiri dan keluarga. Perilaku tersebut menyebabkan mental bangsa Indonesia menjadi malas, dan bergantung kepada orang lain sehingga mengambil jalan singkat menuju kebahagiaan. Mental tersebut dapat menjadi akar dari sebuah kata korupsi. Budaya rakyat dan raja-raja pada masa akhir kerajaan di Indonesia diamati oleh kolonial yang ingin mengeruk harta kekayaan alam Indonesia, menyebarkan agama, dan mencari kekuasaan. Tujuan-tujuan tersebut dikenal dengan sebutan mencari 3G (Gold, Glory, dan Gospel). Kasus peraturan culture stelseel yang dibuat oleh pihak Belanda sangat merugikan rakyat, padahal isi dari peraturan tersebut bertujuan untuk menyejahterkan rakyat, tapi dalam realitanya peraturan tersebut sebagai wadah untuk melaksanakan tujuan kolonialisme Belanda. Belanda juga membentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan

Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang pada akhirnya hancur karena korupsi. Pegawai VOC banyak yang terlibat korupsi dan kasus tersebut dibuktikan dengan adanya pegawai tinggi VOC yang memiliki banyak rumah mewah di Indonesia dan di negri Belanda yang seharusnya tidak dapat dibiayai oleh gaji mereka. Mental para kolonial sebagai koruptor dapat ditiru oleh bangsa yang dijajah karena mengalami proses percampuran budaya Indonesia dan Belanda. Pada Masa Orde Baru, korupsi menjadi suatu keterselubungan birokrasi pemerintah yang dimanipulasikan dengan kestabilan ekonomi rakyat. Dibalik kestabilan tersebut,Soeharto menyembunyikan korupsi politik yang dilakukannya, seperti membelit negara dengan hutang luar negri dan elit politik yang menikmati kekuasaan Soeharto. Korupsi tersebut pun dipicu oleh adanya ketidaktransparansi anggaran pemerintah sehingga banyak peluang untuk melakukan praktik korupsi. Pada era-orde baru juga didukung oleh pemerintahan yang otoriter dan subversif. Otoritas jabatan Soeharto menjadikan kuasa politik tanpa batas. Keotoritasan itu pun berdampak kepada praktik korupsi politik. Perusahaan negara seperti Bulog,Pertamina Departemen Kehutanan sering dianggap sebagai sarang korupsi sehingga banyak sekali mahasiswa dan pelajar yang protes tentang permasalahan tersebut. Padahal pada saat itu pun ada Tim Pemberantasan Korupsi tapi kelompok tersebut menunjukkan ketidakseriusan dalam memberantas korupsi. Para elit pemerintahan pada masa ini dapat melakukan praktik korupsi dengan mudah Pada Masa Era Reformasi, penyakit korupsi menjangkiti elemen penyelenggara negara. BJ Habibie yang pada awalnya aktif dalam memberantas korupsi, terlihat dari usahanya dalam mengeluarkan UU No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Presiden selanjutnya, Abdurrahmah Wahid nampak perannya dalam pemberantasan korupsi ketika membuat Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) dan peran Megawati ketika membentuk suatu badan yang berdiri hingga sekarang masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang bernama KPK (Korupsi Pemeberantasan Korupsi). Namun, dari pembentukan badan dan pembuatan undang-undang tersebut masih saja belum menyelesaikan permasalahan korupsi. Para elit politik dan penyelenggara negara masih melakukan praktik politik walaupun media massa sekarang pun banyak menyoroti pejabat-pejabat yang terkait dengan tindak pidana korupsi dan ketangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun pengusutan tersangka korupsi yang melibatkan banyak pihak belum terselesaikan. Problematika itu dibelit-belit dan tampak seperti permainan politik pemerintahan. Misalnya dalam menangani kasus Gayus dan Bank Century. Kasus tersebut ditangani dengan lambat, dan kasus ini pun harus mengorbankan satu mentri Keuangan, Sri Mulyani. Kasus Gayus juga belum terselesaikan hingga sekarang dan masih mencari tersangka yang terkait. Akhirnya,citra presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun jatuh. Dari sejarah yang dikaji, terlihat bahwa korupsi sudah menjadi budaya para aparatur negara Indonesia sehingga rakyat jengah melihat keadaan Indonesia yang semakin miskin karena ketidakmerataan alokasi dan distribusi SDA, infrastruktur pembangunan kurang memadai dan kekacauan permasalahan sosial dan politik Indonesia. Dampaknya, rakyat semakin apatis untuk memperhatikan peranan pemerintah dan pemerintah menjadi asumsi negatif di mata rakyat. Aparat pemerintah juga menjadi teladan bagi masyarakat Indonesia dimana korupsi juga menyebar luas di kalangan masyarakat. Masyarakat juga tidak ingin dibodohi terusmenerus oleh pemerintah sehingga mereka juga sering melakukan praktik korupsi, baik dalam skala besar maupun kecil. Contoh kasusnya terlihat pada kasus kecil dimana penilangan polisi dibayar memakai lembaran dua puluh ribu, daftar pekerjaan atau kuliah dengan menggunakan amplop, dan perilaku korupsi lainnya yang menimbulkan mental bangsa Indonesia menjadi mental korupsi dan mengakar menjadi budaya bangsa Indonesia. Budaya merupakan suatu orientasi nilai-nilai yang menjadi acuan tindakan-tindakan para aktor politik. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga dipengaruhi oleh budaya politik pemerintahan. Latar belakang dari budaya itu sendiri dipengaruhi oleh agama,ras,etnik,adat,bahasa,dan lain sebagainya. Perbedaan budaya tersebut dapat menyebabkan konflik antar para elit politik. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem tersebut. Dari definisi diatas, korupsi juga dapat menjadi suatu budaya yang tertanam di Indonesia karena korupsi mempunyai orientasi yang bertujuan untuk memperoleh kekayaan dengan cara memperoleh kedudukan dalam

pemerintahan. Budaya tersebut juga tidak menyebar di dalam kalangan elit politik saja, namun masyarakat Indonesia yang tidak paham dan mengabaikan pemahaman betapa pentingnya penghilangan praktik korupsi juga turut membantu jalannya korupsi walaupun kasus dominan yang sering terjadi di masyarakat masih berskala kecil. Dari praktik kecil korupsi itulah muncul bibit-bibit generasi para elit politik dengan kejahatan white collar crime. Indonesia pada tahun 2005, menurut versi transparancy Internasional menempati urutan ke-36 negara tekorup. IPK tersebut adalah persepsi korupsi di sektor publik pada 180 negara. Nilai IPK ini skalanya dari 0 sampai 10. Nol mengindikasikan persepsi terhadap korupsi yang tinggi. Sedangkan 10 mengindikasikan tingkat korupsi yang rendah. Pada 2006, IPK Indonesia adalah 2,4. Sedangkan IPK pada 2007 adalah 2,3. Penurunan indeks tersebut dapat disebabkan oleh masih banyaknya koruptor yang dibebaskan dari jeratan hukum. Misalnya, pada tahun 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis bebas Pontjo Sutowo dan Ali Mazi dari dakwaan korupsi perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton, putusan Pengadilan Negeri Blora yang memvonis bebas Supito, terdakwa kasus korupsi pengadaan bantuan gubernur untuk air bersih senilai Rp 800 juta.Padahal negara tetangga kita, Malaysia, memiliki skor yang jauh lebih baik dari Indonesia yakni 5,1. Singapura memperoleh skor 9,3 untuk indeks persepsi korupsi. Pada tahun 2010, Angka Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 tetap 2,8 atau berada di peringkat ke-110 dari 178 negara yang disurvei. Nilai ini sama persis dengan tahun 2009 sehingga bisa dimaknai pemberantasan korupsi berada pada titik stagnan. Hal ini disebabkan oleh kurang berjalannya pemberantasan korupsi disebabkan sistem hukum dan politik di Indonesia masih korup. Anggota DPR, DPRD, dan pemilu kepala daerah harus mengeluarkan banyak uang pada saat kampanye pemilu. Praktik money politics sering terjadi di Indonesia sehingga menimbulkan kekacauan dan masalah kecurangan dalam pemilu. Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa korupsi dapat menjadi suatu budaya di Indonesia karena dilihat dari segi historis, praktik tersebut diterapkan secara turun-temurun dan sulit diberantas apabila tidak dilakukan dengan kesadaran untuk merubah jati diri bangsa Indonesia. Perubahan nilai-nilai tersebut harus dimulai dari otak penggerak negara, yaitu aparat penyelenggara negara. Apabila aparat penyelenggara negara mempunyai pemikiran menjalankan pemerintahan mendahului kepentingan bangsa dan negara dibandingkan kepentingan partai politik dan kepentingan individu, maka stabilitas pembangunan Indonesia yang sedang berkembang, infrastruktur negara pun masa manfaatnya lebih panjang, dan kesejahteraan sumber daya manusia tercapai karena alokasi dan distribusi dibagikan secara merata. Indonesia juga dapat mencontoh negara-negara maju tentang bagaimana cara pemberantasan korupsi yang tepat untuk mengintegrasikan pembangunan bangsa Indonesia. Seperti Singapura, Hongkong, Denmark, New Zealand, dan negara tetangga sendiri yaitu Malaysia. Indonesia dapat melihat dan mencontoh hongkong yang menjadikan zero tolerance sebagai prinsip utama dalam pemberantasan korupsi. Karakteristik orang Indonesia yang penuh toleransi pun mendukung timbulnya bibit-bibit korupsi sehingga penegakan hukum tidak berjalan secara maksimal. Penegak hukum dan lembaga pemberantas korupsi harus bersikap tidak toleransi dengan orang yang telah melanggar korupsi, baik itu korupsi yang dilakukan oleh pegawai rendah atau pejabat besar. Indonesia yang mempunyai sumber alam dan minyak tambang yang berlimpah, seharusnya mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas tinggi untuk mengelola SDA yang telah ada. Namun, sebaliknya kemajuan negara Indonesia telah diambil oleh koruptor yang bermental para pencuri dan mempunyai integritas rendah. Indriyanto Seno Adji, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, mengatakan bahwa sejak Orde Lama sampai era reformasi, integritas dan mentalitas suap para pejabat negara tidak berubah. Ketaatan regulasi dianggap lebih rendah dengan tradisi upeti kepada pejabat negara. Ini semua yang disebut institusionalized corruption yang merajalela (Kompas,28/04/2011). Maka dari itu, pemerintah, DPR, dan penegak hukum seharusnya bersama-sama menerapkan suatu paradigma pemberantasan korupsi. Paradigma tersebut tidak hanya dalam bentuk prosedural dimana struktur pemerintah yang hanya melengkapi fungsional personal dalam pemberantasan hukum, seperti menyediakan penyidik, penuntut, dan pengadilan khusus. Tapi elemen tersebut seharusnya dilingkupi dengan rasa keadilan, sanksi moral yang kuat, memperbaiki sistem-sistem pemerintah yang rentan dengan praktik korupsi. Langkah awal yang harus

dijalankan pemerintah dengan dilaksanakannya perubahan paradigma bangsa dalam pemberantasan korupsi dan perbaikan moral pemerintah dengan integritas yang tinggi. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Reformasi+Pemberantasan+Korupsi&dn=20090812 132629 http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=632 http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/04/21/brk,20110421-329223,id.html http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/04/21/brk,20110421-329282,id.html http://www.kejaksaan.go.id/uplimg/File/UU202001.pdf http://www.simpuldemokrasi.com/dinamika-demokrasi/resensi-buku/1333-budaya-politik-demokratis.html http://www.forum-politisi.org/berita/article.php?id=516 http://www.kompas.com

Korupsi Dalam Sudut Pandang Sosial dan Budaya


Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan yang sudah membudaya di kalangan masyarakat. Lahirnya ungkapan budaya korupsi sebenarnya merupakan respon dari maraknya kasus korupsi yang telah merajalela dan menggurita di Indonesia. Lebih dari itu, budaya juga mewakili dari kebiasaan korupsi masyarakat yang telah mendarah daging dan sulit dihilangkan. Sampai saat ini, kasus korupsi tidak hanya melilit para elit penguasa, akan tetapi mulai dari pejabat tinggi sampai pegawai terendah, mulai dari pusat sampai daerah. Berbagai undang-undang telah dibuat untuk menanggulanginya, alih-alih bisa berlaku efektif justru sebaliknya kasus korupsi semakin marak. Tidak hanya para koruptor yang terjerat, para penegak hukum sekalipun justru terlibat korupsi. Bagaikan lingkaran setan, korupsi tidak dapat dengan mudah diberantas. Hukum yang di gadang-gadang dapat menjadi solusi ternyata harus tunduk begitu saja terhadap kekuatan uang dan pragmatisme politik. Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia. Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain dalam hal tindakan korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan berlangsung lama menjadi sebuah objek kajian yang menarik bagi setiap orang. Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian itu. Misalnya ada orang yang meneliti pengaruh korupsi terhadap perekonomian, perpolitikan, sosial, dan kebudayaan. Dan pada kesempatan ini, saya sangat tertarik untuk membahas pengaruh korupsi terhadap sosial dan kebudayaan. Perkembangan korupsi yang ada di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap tinggi. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Fenomena korupsi telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia pada sebuah mentalitas, yang pada dasarnya tercipta oleh sebuah mentalitas modern seperti budaya konsumtif, easy going, tidak mau bekerja keras, apatisme terhadap nasib sehingga menimbulkan penderitaan sesama khususnya rakyat

kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi, meskipun korupsi bukanlah sebuah lapangan pekerjaan baru. Singkatnya tindakan korupsi seolah-olah bukanlah sebuah tindakan yang diharamkan oleh agama manapun sebab kenderungan korupsi telah merasuki hati semua orang dan korupsi sudah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Di bawah ini saya akan mencoba membuka ingatan saudara kembali mengenai beberapa kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia.

SIAPA SAJA MEREKA YANG PERNAH MASUK DALAM DAFTAR KORUPTOR DI INDONESIA?

Inilah beberapa daftar kasus korupsi di Indonesia : : Dakwaan atas tindak korupsi di tujuh yayasan. : : Dalam Technical Assistance Contract dengan PT Ustaindo Petro Gas. Pembobolan di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) oleh Eddy Tansil.

: Melibatkan Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. : : Penyimpangan penyaluran dana BLBI Korupsi APBD.

esia

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Data dan foto 14 belas koruptor tersebut direncanakan ditayangkan di televisi dan media massa dengan frekuensi seminggu sekali. Mereka adalah: Sudjiono Timan - Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Eko Edi Putranto - Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS) Samadikun Hartono - Presdir Bank Modern Lesmana Basuki - Kasus BLBI Sherny Kojongian - Direksi BHS Hendro Bambang Sumantri - Kasus BLBI Eddy Djunaedi - Kasus BLBI Ede Utoyo - Kasus BLBI Toni Suherman - Kasus BLBI Bambang Sutrisno - Wadirut Bank Surya Andrian Kiki Ariawan - Direksi Bank Surya Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani - Kasus BLBI

13. 14.

Nader Taher - Dirut PT Siak Zamrud Pusako Dharmono K Lawi - Kasus BLBI

Indeks persepsi korupsi pada tahun 2009. Semakin hijau menunjukkan tingkat korupsi semakin rendah; sedangkan semakin merah menunjukkan semakin tinggi tingkat korupsi sebuah negara. Menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001, tiga belas negara yang paling minim korupsinya adalah Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, Swiss, dan Israel. Sedangkan menurut survei persepsi korupsi, tigabelas negara yang paling tinggi tingkat korupsinya adalah Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina. Sebenarnya, ketika berbicara budaya, maka penanggulangan korupsi tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek, sebagai contoh hukum atau moral saja, dimana keduanya selalu dijadikan kambing hitam. Lebih dari itu harus dilihat dari berbagai aspek seperti sosia, budaya dan faktor lainnya. Kebiasaan (tradisi) korupsi telah ada mulai dari masa kerajaan terdahulu. Budaya korupsi tersebut dapat di bagi ke dalam kurun waktu sebelum kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, sampai masa orde reformasi. Pada kurun waktu sebelum kemerdekaan, budaya korupsi terlihat masih dalam bentuk yang sangat primitif, sebagi contoh penyalahgunaan wewenang dalam perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kehancurannya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Ditambah dengan gaya hidup para bangsawan yang korup tanpa memerdulikan kehidupan sosial, maka sebuah keniscayaan apabila keadaan ini dimanfaatkan oleh penjajah dalam menghancurkan kejayaan mereka. Seiring bergulirnya waktu, ternyata pemimpin negara ini tidak pernah beranjak dewasa dalam menghadapi korupsi. Hal tersebut terbukti dengan mental mereka yang masih korup dan mandulnya agenda pemerintah dalam pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu. Ambil contoh orde lama dengan pembentukan Paran dan Operasi Budhi yang mandek di tengah jalan, juga pada masa orde baru dengan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Opstib (Operasi Tertib), yang justru menjadi pelindung pemerintah. Sampai akhirnya pada masa Susilo Bambang Yudoyono (SBY), dengan janji penuntasan korupsi secara maksimal ternyata berhenti di tengah jalan. Bukti di depan mata, yaitu mengguritanya berbagai kasus besar yang tidak terselesaikan dan dilema Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) yang tersandera kepentingan. Parahnya, era reformasi dan demokrasi yang seharusnya mendukung pemberantasan korupsi, justru sebaliknya malah menjadi pemicu korupsi.

Pertama, dari aspek ekonomi. Perlu disadari bahwa mayoritas masyarakat indonesia yang agraris lebih memilih pekerjaan sebagai petani yang notabenenya garis menengah ke bawah. Pada masa pembangunan, ada upaya dari mereka untuk memperbaiki tarap kehidupan, khususnya dikalangan para pemimpin. Kondisi tersebut berkembang pesat pada zaman orde baru dimana pembangunan dalam berbagai bidang digalakan. Sayangnya, seiring dengan kepentingan global pada saat itu, faham kapitalisme masuk ke Indonesia. Berbagai kebijakan orde baru yang lebih memihak kapitalisme ternyata membawa dampak yang signifikan terhadap mental bangsa Indonesia, yaitu masyarakat Indonesia yang materialistis. Akibatnya, masyarakat saling berlomba untuk mendapatkan kekuasaan demi mendapatkan kesempatan memperkaya diri sendiri. Dalam pikiran para pemimpin yang terpenting adalah keuntungan yang diperolah dari sebuah jabatan, maka tidak jarang kerja sama licik antara perusahaan dan pemerintah mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar. Tidak berbeda dengan zaman orde baru, sampai saat ini pemerintah masih mendukung dan menerapkan sistem kapitalisme. Sebagai contoh lahirnya undang-undang Migas dan Penanaman Modal yang ditinjau kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK), karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945. Dengan sistem kapitalis ini, pemerintah mempunyai kesempatan yang luas untuk mengeruk keuntungan dari para pemodal yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, dari aspek moralitas. Semua orang pasti tidak membenarkan tindakan korupsi. Akan tetapi, dalam kenyataannya masyarakat tetap terjangkit penyakit tersebut. Jika menggunakan pendekatan teori moral Immanuel Khan dengan Deontologinya (1724-1804), kita akan mendapatkan gambaran dasar atas sikap anomi masyarakat Indonesia pada saat ini, yaitu gagasan moral yang diusung masyarakat tidak sesuai dengan kewajiban yang harus dilakukan seseorang. Terkait hal tersebut, figur para pemimpin menjadi sangat penting dalam meluruskan moral masyarakat. Sebaliknya, saat ini kita selalu disuguhkan dengan berita fakta tentang bobroknya moral penguasa. Oleh karenanya, secara tidak langsung masyarakat kehilangan panutan dalam melaksanakan gagasan-gagasan moral yang diusungnya selama ini. Tidak mengherankan apabila mereka tidak merasa bersalah ketika melakukan sesuatu yang melanggar moralitas atau norma (korupsi), lebih dari itu mereka bahkan apatis dalam menyikapinya. Lebih lanjut, melihat dasar moralitas masyarakat Indonesia yang komunal dan sektoral, para pemimpin harus menyikapinya secara arif, yaitu mengimbanginya dengan menumbuhkan rasa nasionalisme. Melihat sejarah perjuangan kemerdekaan, tidak semua pihak (khsususnya para pemimpin) memahami arti nasionalisme, sebaliknya mereka membela kepentingan suku dan daerah masing-masing. Kaitannya dengan korupsi, konteks Nasionalisme diharap dapat membendung mentalitas mementingkan kepentingan kelompok yang menjadi salah satu potensi lahirnya budaya korupsi di Indonesia. Ketiga, dari aspek pendidikan, pemerintah dianggap belum bertindak maksimal dalam mendukung pemberantasan korupsi lewat jalur pendidikan, karena sampai saat ini belum ada bukti konkrit dari tindakannya. Sebaliknya, akhir-akhir ini kita selalu disuguhkan dengan permasalahan pendidikan yang terkait dengan korupsi. Sebagaimana menjamurnya kasus-kasus korupsi dalam instansi pendidikan, masih maraknya para pengajar dan siswa yang berlaku curang (tidak jujur) dalam proses pendidikan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah, khususnya Menteri Pendidikan untuk mencari solusi yang solutif. Keempat, dari aspek hukum, dimana aspek ini menjadi perasalahan yang harus disikapi serius oleh pemerintah. Bagaikan pedang bermata dua, seharusnya pemerintah tidak pandang bulu dalam

mengayunkannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintah selalu melindungi orang yang dianggap secara politik dapat berdampak terhadap kelanggengan kekuasaan. Melihat realita yang ada, pemerintah masih bersifat represif dengan menjadikan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan, sekaligus menjadikannya otonom jika terkait dengan kepentingan orang banyak (publik). Seharusnya, pemerintah telah meningalkan cara primtif dan kuno tersebut, sudah saatnya pemerintah menerapkan sistem hukum yang responsif dan progresif. Akhirnya, pemaparan di atas merupakan sebagian kecil pandangan tentang banyaknya faktor penyebab korupsi yang menjadi PR kita bersama.

ASUMSI DASAR KORUPSI DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG BUDAYA DALAM KACAMATA ETIS
1. Budaya maklum Seringkali masyarakat indonesia mempunyai sikap tolerir kepada seseorang terlepas dari baik tidaknya hal tesebut kepada dirinya, diri orang lain, dan diri orang tersebut. Nilai afeksi yang terkesan menggampangkan sesuatu, yang mana memang dianggap pantas oleh sebagian konstruksi masyarakat. Memang pada dasarnya masyarakat indonesia sulit untuk disiplin, menganggap segalanya dengan mudah (easy going), cari jalan aman, tak mau mencari resiko, itulah memang karakteristiknya. Sesuatu yang dianggap tidak merugikan dirinya dianggap tidak apa-apa, dan tidak memikirkan efek ke depan dari apa yang akan timbul, akibat dari yang dia lakukan. Maklum ada tempatnya tapi jikalau kemakluman itu malah menjadi anomali kecil lama kelamaan malahan menjadi deviance yang melembaga. 2. Hubungan personal eksklusif Berdasarkan hubungan antar pribadi yaitu teman, kenalan, sahabat, serta kolega mendapatkan perlakuan yang berbeda, dilebih lebihkan dan dielu-elukan dan dianggap segala-galanya. Budaya kita memang sangat menghargai hubungan khusus seperti teman tapi tidaklah harus segala kepentingannya harus kita penuhi tanpa adanya dasar kebenaran yang layak bagi etika yang hendaknya kita terapkan.

3. Ikatan persaudaraan patriarki Memang tidak semua sistem kekeluargaan di Indonesia bersifat patriarki tapi secara mayoritas masyarakat indonesia menganut sitem patriarki didalam keluarga. Saudara saudara satu dari lainnya menjadi tanggungan dari saudara yang lebih tua yang lain. Jadi di Indonesia memang hubungan kekeluargaan menjadi dilema, di satu sisi lain ingin mengangakat status saudara tapi dilain pihak bahwa hal tersebut memang tak sesuai dengan aturan yang ada secara layak, terlepas dari kebenaran moral yang beraspek nilai yang tentu saja mengarah kearah budaya kebaikan setempat yang bisa saja dikatakan kontras dengan aturan aturan objective yang ada. Saudara juga saudara, adakalanya saudara adalah sama dihadapan kita dengan orang lain yang juga menuntut atas kesaamaan dan kesetaran haknya tanpa melupakan hakikat kemanusiaan yang sesungguhnya. 4. Ketabuan sebuah idealis Kebiasaan kita memang tidak nyaman jika kita lain atau pun tidak sama dengan orang lain, kita terkesan harus melebur pada suatu sistem kempok akibat konsekuensi dari fakta sosial. Komformitas yang kebablasan dalam artian tak mempunyai nilai ideal yang kuat sebagai sebuah pegangan pembanding atas realita baik buruk yang terjadi disekitar ruang lingkup hidup. Yang menjadi masalah yakni masyarakat kita, baik secara perseorangan selau terbawa arus dan ikutan dan peduli bahwa itu baik ataupun buruk bagi dirinya maupun orang lain, baik tergerus dalam lembah sitem birokrasi yang korup dan terkesan memang dia menjadi bagian sistem tersebut. Adakalanya kita perlu menjadi idealis dalam tataran mempunyai nilai ideal atas dasar kebenaran etik yang mendasar sebagai tinjauan baik buruk.

5. Anomali ditengah masyarakat Anomali, semakin kentalnya sebuah norma dikemungkinkan untuk tumbuhnya sebuah anomali. Sebuah naluri manusia untuk memberontak dan bersifat mengacuhkan aturan ataupun anutan yang ada, masalah anomali korupsi memang terjadi di Indonesia dewasa ini yang memang dari bergai faktor memang memunculkan kesempatan serta peluang untuk melakukan itu, terlepas ataupun tidaknya berlakunya sebuah nilai bahwa mencuri itu buruk tanpa memandang tinjauan moral dan etis yang berlaku.

6. Moral bertendensi etiket Moral hanya dijadikan pajangan dan topeng serta kulit luar saja dalam berperilaku. Sebagai pembanding yaitu di Amerika yang kental akan nilai liberalisme yakni kebebasan yang bertanggung jawab. Sedangkan di indonesia dapat saya katakan tidak bebas dan tidak bertanggung jawab kenapa ? di Indonesia kental akan nilai serta norma tapi rendah akan tanggung jawab dan kesadaran sosial bagi orang lain yang seenaknya sendiri, sebagai contoh di Amerika Serikat bebas untuk membeli konten pornografi bahkan dijual di supermarket, tapi tidak semua umur dapat membelinya, yaitu harus sudah berumur diatas 18 tahun dan menunjukan bukti indentitas akan hal itu (seperti KTP), sedangkan di Indonesia pornografi memang dilarang baik secara formil yaitu UUD ataupun secara konvensi (nilai dan norma) ketimuran, namun secara intrinsik maupun laten nyatanya kontenporno di Indonesia malah diperjual belikan secara sembunyi kepada anak anak dibawah umur. Ada baiknya moral sebagi pakaian dan identitas kita sebagai tujuan penentuan baik buruk dan tak bertentangan dengan etika.

7. Mahalnya tanggung jawab Mahalnya tanggung jawab, memang dikatakan tanggung jawab di masyarakat kita rendah, hak, hak, dan hak saja yang dituntut, kebebasan bahkan menjadi momok penyubur ketidak tanggung jawaban karena belum adanya landasan bagaimana harus mengamalkan sebuah kebebasan yang berdasar. Kebebasan harus berdasar tidak boleh merugikan orang lain, atas dasar kewajiban kita bisa jadi hak bagi orang lain.

8.

Kebebasan yang kebablasan Sifat dasar manusia jika tak mempunyai aturan pasti bertindak seenaknya terlepas bahwa kebebasan itu sebagai tonggak pengembangan diri individu untuk bertindak lebih baik tanpa adanya kekangan mapun intervensi dari pihak lain.

Mentalitas modern pemicu tindakan korupsi tersebut bisa dihilangkan dengan mengembangkan sebuah budaya tandingan seperti nilai-nilai agama. Setiap agama pasti mengembangkan nilai-nilai kerja keras, tanggung jawab, rasa bersalah dan lain-lain. Setiap orang harus mengusahakan nilai kerja keras untuk memeroleh kebahagiaan. Setiap orang akan merasa bahagia jika ia bisa menikmati hasil jerih payah yang merupakan buah dari kerja kerasnya sendiri. Untuk itu, kita harus mengupayakan usaha pemberantasan korupsi dengan mempercepat pemberlakuan Asas Pembuktian Terbalik, penegakan hukum yg tegas dan konsisten dengan sanksi berat kepada pelaku korupsi (hukuman mati), menata kembali organisasi, memperjelas, transparansi, mempertegas tugas dan fungsi yg diemban oleh setiap instansi. Selain itu menyempurnakan sistem ketatalaksanaan meliputi: perumusan kebijakan (agar tidak terjadi penyalahgunaan kebijakan), perencanaan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan evaluasi pertanggungjawaban kinerja serta KUALITAS PELAYANAN MASYARAKAT, dan mengembangkan budaya kerja yang tertib/malu melakukan KKN.

1.

Anda mungkin juga menyukai