Anda di halaman 1dari 5

Menimbang Manfaat yang Lebih Besar

Thursday, 04 June 2009 11:40 DR. Surahman Hidayat

1. Islam bukan diturunkan dengan begitu saja, tanpa ada tujuan, melainkan untuk
kemaslahatan alam semesta, sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT mengenai
misi Rasulullah SAW:Dinul Islam tidak semata-mata diturunkan, melainkan untuk
kemaslahatan semesta, sebagaimana firman Allah SWT tentang misi Rasul saw.

َ‫سلْنَاكَ إِلّ َرحْ َم ًة ِللْعَالَمِين‬


َ ْ‫وَمَا أَر‬
“Dan tiadaklah kami mengutus kamu (Muhammad SAW), melainkan untuk (sebagai)
rahmat bagi sekelian alam.” (Al-Anbiya:107)

Firman Allah swt. yang lain:

“Allah tidak berkehendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Maidah:6)

2. Apabila kemaslahatan untuk semua orang tidak dapat dicapai, maka perintah syari’ah
adalah mengerjakan kemaslahatan yang lebih besar. Sebagaimana firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:


“Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah
lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (Al-Baqarah:217)

Ayat ini menunjukkan Allah bertoleransi dalam hal peperangan di bulan Haram. yang
mana kita tahu status hukum berperang di bulan-bulan Haram adalah haram, tetapi untuk
kemaslahatan yang lebih besar bagi dakwah Islamiyah, bahkan bagi umat manusia, maka
inisiatif untuk berperang dalam keadaan seperti itu adalah termasuk dalam perkara yang
dibenarkan syariat.

Kemaslahatan yang lebih besar itu berupaya melumpuhkan kekuatan yang menghalang
dakwah Islam, menentang lahirnya institusi kekafiran, menghapuskan penodaan tempat
suci Masjidil Haram serta pengusiran kaum muslimin dari rumah dan kampung halaman
mereka. Secara umum kita boleh katakan segala bentuk usaha membelokkan manusia
dari aqidah Islam merupakan "Fitnah" yang lebih dahsyat dari membunuh musuh di bulan
terlarang ini.

3. Sepanjang kehidupan kita, pasti kita telah menemui keadaan ketika kita harus memilih
dua perkara yang jaiz (boleh) atau halal, tetapi maslahatnya tidak sama, maka pilihan
harus dijatuhkan pada yang mempunyai maslahat yang lebih besar.

Rasulullah saw ketika diberi pilihan antara dua perkara yang halal dan tidak
mengandung dosa di dalamnya, maka beliau memilih mana yang lebih maslahat, lebih
ringan, baik tenaga, waktu atau kosnya. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat
Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah:

“Tidaklah Rasulullah saw. diberi pilihan antara dua hal, kecuali beliau memilih yang
paling mudah di antara keduanya, jika itu tidak perkara dosa. Jika itu perkara dosa,
maka beliau paling menjahui dari perkara itu dibandingkan manusia siapapun.”

4. Apabila ketentuan untuk mempertimbangkan dan memilih pilihan mana yang memberi
lebih maslahat itu diberikan kepada seseorang melalui wakalah (perwakilan), maka pihak
wakil (yang diberi hak perwakilan) berkah menentukan dan tidak boleh dipersalahkan
ketika menjatuhkan pilihan tertentu yang masih dalam ruang kuasanya. Hal ini berlaku
untuk pemberian mandat khusus atau mandat umum, walaupun pihak penerima mantad
itu adalah individu. Lebih lagi jika mandat itu diberikan kepada kumpulan seperti syuro,
atau struktur organisasi lain yang berposisi sebagai pemimpin yang terpilih. Ijtihad
individu dari anggota organisasi itu tidak boleh overide ijtihad pemimpin.

Di atas otoriti wakalah tersebut, ijtihad dan keputusan yang diambil pemimpin dalam
menimbang (muwazonah) antara kemaslahatan, diperkuat pula dengan otoriti untuk wajib
taat kepada ulil amri yang diperintahkan Al-Qur'an dalam surah An-Nisa, ayat 59.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.”

5. Kemaslahatan itu ada yang berupa manfaat sesuatu yang kita pakai atau yang kita guna
secara fizikal, hal ini dipertimbang berdasarkan empiris dan keahlian. Taujih Al-Qur’an
menegaskan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw:

‫الّذِينَ يَ ّتبِعُونَ ال ّرسُولَ النّبِيّ الُْمّيّ الّذِي َيجِدُونَهُ مَ ْكتُوبًا عِنْ َدهُمْ فِي ال ّتوْرَا ِة‬
ُ‫ت وَ ُيحَرّم‬ ِ ‫ح ّل َلهُمُ الطّيّبَا‬
ِ ‫عنِ ا ْلمُنْكَ ِر وَ ُي‬
َ ْ‫ف وَيَ ْنهَاهُم‬
ِ ‫وَالِْ ْنجِيلِ َيأْمُ ُرهُمْ بِالْمَ ْعرُو‬
ْ‫علَ ْيهِم‬
َ ‫ت‬
ْ َ‫للَ الّتِي كَان‬ َ‫غ‬ْ ْ‫ضعُ عَ ْنهُمْ إِصْ َرهُ ْم وَا َل‬
َ َ‫ث وَي‬َ ِ‫علَ ْيهِمُ ا ْلخَبَائ‬
َ
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-
Qur’an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)

6. Pilihan yang dibuat selalunya harus disesuaikan juga di antara beberapa kemungkinan
yang akan terjadi, melalui analisa kesannya atau dampak masa akan datang atau kajian
"Fiqhul Ma'alat". Perbuatan yang jaiz yang bahkan ada kebaikannya, terbukti dilarang
Allh jika berdampak secara langsung (dzari'ah) dan menimbulkan hal-hal yang jauh lebih
merugikan, lebih mafsadat adan mudorat.

‫علْمٍ كَ َذ ِلكَ زَيّنّا‬


ِ ‫لّ عَ ْدوًا ِبغَيْ ِر‬
َ ‫وَلَ تَسُبّوا الّذِينَ يَ ْدعُونَ ِمنْ دُونِ الِّ فَيَسُبّوا ا‬
َ‫لِ ُكلّ أُ ّم ٍة عَ َم َلهُمْ ُثمّ ِإلَى رَ ّبهِمْ مَ ْرجِ ُعهُمْ َفيُنَبّ ُئهُمْ ِبمَا كَانُوا َيعْ َملُون‬
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am:108)

Dalam hal mempertimbangkan apa yang bakal terjadi pada masa akan datang,
pembenaran terhadap tindakan Khidir dalam Al-Qur’an adalah relevan untuk
dikemukakan.

“Dan adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan
anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya
(kepada ibu bapaknya). (Al-Kahfi:80-81)
Dalam konteks politik Islam -siyasah syar’iyah-, imam Ibnu Taimiyah mengajurkan
pilihan figur untuk suatu pos jabatan awam, baik berupa pasangan atau satu pos tertentu.
Ia minta agar mencontoh pasangan para khulafaur rasyidin yang mendapat taufiq Allah.

Sosok Abu Bakar yang lembut lebih maslahat berpasangan dengan sosok Khalid bin
Walid yang tegas.

Model Umar yang tegas lebih maslahat berpasangan dengan Abu Ubaidah, bukan dengan
Khalid bin Walid.

Untuk posisi qadhi (hakim) dia menyarankan sosok orang yang pintar dan berani
meskipun agak kurang amalan sunatnya.

Untuk seorang ahli fatwa (mufti), harus seorang yang pintar yang lebih hati-hati (’alim
yang wari’) meski kurang berani dan sangat hati-hati dalam bertindak.

Sedangkan untuk seorang panglima atau komandan, dia mengajukan orang yang kuat,
berani walaupun kurang ke’aliman dan amalan sunatnya.

8. Contoh dari Ibnu Taimiyah di atas sekaligus sesuai untuk wawasan tentang
mempertimbangkan mana yang dampaknya bersifat peribadi dan mana yang berdampak
umum. Keshalihan yang bersifat peribadi maslahatnya terbatas untuk diri peribadinya,
sedangkan keshalihan atau kethalehan (ketidak shalihan) yang akan berdampak umum
harus lebih dipertimbangkan.

Ini sesuai dengan arahan Rasulullah saw. tentang solat dan jihad bersama seorang imam
betapapun juga akhlaqnya.

“Melaksanakan solat di belakang setiap imam, baik yang baik atau yang tidak baik.
Dan berjihad bersama setiap imam, baik yang baik maupun yang tidak baik.”

Jangan tinggalkan solat berjamaah bersama seorang pemimpin, meskipun dia seorang
yang tidak baik (fajir), kerana bagi ma’mum tetap beruntung dan mendapatkan pahala
berjamaah, tidak ada ruginya, dan sudah tentu tiada kena mengena dengan pemimpin
tadi. Sebab kefajiran peribadi pemimpin dalam hal solat berjamaah boleh jadi
mengurangkan pahala bagi dirinya (pemimpin), tetapi kemaslahatan, serta pahala solat
berjamaah tetap masuk pada ma’mum tanpa berkurang sedikit pun.

Sama halnya dengan jihad bersama pemimpin yang fajir, kefujurannya merugikan
dirinya, sedangkan kemaslahatan jihad melumpuhkan musuh dakwah adalah untuk
kemaslahatan umum.

Kerana itu, fuqaha (para ahli fiqh) membuat pembahagian antara kebaikan yang terbatas
(al-khairul qashir) dengan kebaikan yang berdampak luas (al-khairul muta’addi).
Dalam konteks kemaslahatan umum yang luas (al-khairul muta’addi) yang harus lebih
diambil berat, sedangkan “al-khairul qashir” kalau ada, tentu akan lebih baik dan
memperelok. Jika tidak terpenuhi kedua-duanya, kebaikan peribadi mungkin boleh
dilaksanakan atau didorong dengan perjalanan waktu bahkan boleh ditoleransi. Tidak
demikian halnya dengan yang berdampak umum, positif atau negatif bukan perkara yang
boleh ditoleransi dan diserahkan kepada proses waktu.

8. Dalam menapaki perjuangan menuju keredhaan Allah, ada keharusan selalu menambah
madu dengan doa, sebaliknya doa harus berpadu dengan usaha. Di sektor politik
contohnya, perjuangan politik yang ditempuh dengan sabar dan bertujuan membangun
bangsa dan khidmat ummah, maka di sinilah yang membezakan politik untuk kekuasaan
dan politik untuk berkhidmat. Sebagaimana arahan Kitabullah swt.:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah kami ketika mereka sabar[1195]. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami.” (As-Sajdah:24)

‫َربّنَا هَبْ لَنَا ِمنْ أَ ْزوَاجِنَا وَذُرّيّاتِنَا قُ ّرةَ َأعْ ُينٍ وَاجْ َعلْنَا ِللْمُ ّتقِينَ إِمَامًا‬

Sumber: Halaqoh online

Anda mungkin juga menyukai