Anda di halaman 1dari 6

Di Indonesia, ada 18 ribu penderita gangguan jiwa berat dipasung

(http://www.merdeka.com/peristiwa/di-indonesia-ada-18-ribu-penderita-gangguan-jiwa-beratdipasung.html) Laporan organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) pada 2010 tentang Global Burden Disease menyebut, kini telah terjadi perubahan jenis penyakit yang menimbulkan beban bagi negara secara global. Sebelumnya, WHO menyebut kasus kematian ibu dan anak paling besar membebani negara, tapi kini bergeser ke penyakit kronis, termasuk penyakit jiwa berat, misalnya Skizofrenia. Di Indonesia sendiri, penyakit gangguan jiwa berat juga tergolong tinggi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) Indonesia 2007 menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa berat (psikosis) di Indonesia adalah 0.46 persen atau sejuta orang. Guru Besar ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ascobat Gani menghitung, kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan jiwa berdasarkan Riskesdas 2007 adalah sebesar Rp 20 triliun. Data itu dia sampaikan dalam Seminar MDGS dan Kesehatan Jiwa pada 2010 lalu. Dia menyebut, jumlah pasien Jamkesmas rawat inap terbanyak di rumah sakit (RS) Kelas A pada 2010 lalu adalah Hebephrenic Schizophrenia (1.924 orang), Paranoid Schizophrenia (1.612 orang), Undifferentiated Schizophrenia (443 orang), Schizophrenia Unspecified (400 orang) dan Other Schizophrenia (399 orang). Jumlah itu belum termasuk pasien rawat jalan. Dari total populasi risiko 1,093,150 hanya 3.5 persen atau 38,260 yang baru terlayani di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, atau pusat kesehatan masyarakat dengan fasilitas memadai. Menurut Pendiri Rumah Komunitas Penderita Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bagus Utomo, penanganan atau proses pemulihan pasien dengan gangguan jiwa, salah satunya Skizofrenia di Indonesia masih buruk. Dia menjelaskan, proses penanganan Orang Dengan Skizofrenia (ODS) itu panjang. Mulai dari perawatan di rumah sakit, pemberian obat, sampai dukungan sosial; keluarga dan masyarakat. "Jadi multi faktor untuk proses pemulihan ini," tuturnya. Misalnya, dia menjelaskan, seorang pasien sudah mendapatkan obat dengan baik, proses pemulihan di rumah sakit berjalan bagus, tapi kalau di rumah tidak didukung keluarga dan lingkungan, maka bisa jadi pasien bakal kambuh.

"Tidak dikasih peran di rumah, kemudian stigma negatif dari masyarakat. Kalau seperti itu nanti bisa kambuh," terangnya kepada merdeka.com, Minggu (8/9) pekan lalu. Oleh sebab itu, proses pemulihan penyakit ini tahunan. Karena prosesnya lama, maka butuh ketekunan dan kesabaran dari keluarga. Selama ini, banyak keluarga masuk pada jurang keputusasaan. Karena putus asa, akhirnya ODS dipasung. "Data pemerintah, di Indonesia itu ada 18 ribu ODS dipasung. Umumnya dipasung dengan rantai," ujarnya. Banyak juga keluarga yang memasukkan anggota keluarganya yang ODS itu ke rumah sakit jiwa, klinik, yayasan pengobatan penyakit mental, membawa ke dukun, pondok pesantren khusus orang gila, atau rumah penampungan sosial. "Padahal, setelah pulang dari RS atau tempat pengobatan lain, mereka (ODS) juga butuh tempat rehabilitasi sosial, tempat kumpul, dan lain-lain. Soalnya setelah pulang dari RS, mereka banyak yang menganggur, tidak punya pekerjaan," tuturnya. Apalagi, dia melanjutkan, banyak tempat-tempat pengobatan jiwa di Indonesia ini tidak manusiawi. Ada pasien yang disuntik asal-asalan atau di pasung sampai mengidap penyakit kulit. "Ada yang tidak manusiawi, dipaksa mengemis, pasiennya sampai korengan, kudisan, kurus, tak diberi baju. Belum lagi biaya perawatan di beberapa rumah sakit dan yayasan itu mahal," terangnya. Wartawan Majalah Time, Andrea Star Reese, pernah datang ke Indonesia meliput tempat-tempat pengobatan orang dengan gangguan jiwa (gila) selama setahun, dari Januari 2011 hingga 2012. Dia mengabadikan lokasi-lokasi itu dalam foto yang dipublikasikan pada 3 September lalu. Dia mengatakan, kendala umum bagi masyarakat Indonesia sehingga memilih memasung anggota keluarganya karena masalah akses ke perawatan; biaya pengobatan mahal dan kurangnya penyebarluasan informasi dasar. Andreas juga menyebut minimnya tenaga psikiater di Indonesia. Dia mengutip data pemerintah yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 600 - 800 psikiater, setengah berbasis di Jawa, setengah dari jumlah di Jawa, sebesar 50 persen ada di Jakarta. "Dari 34 provinsi di Indonesia, hingga kini masih 7 provinsi yang belum memiliki rumah sakit jiwa. Jumlah psikiaternya juga minim, perbandingannya 1 banding 400 ribu," kata Bagus Utomo menegaskan. Emil Agustiono, Deputi Bidang Koordinasi Kesehatan, Kependudukan dan Keluarga Berencana, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat mengatakan, masyarakat tidak boleh memandang sebelah mata tentang permasalahan kesehatan jiwa karena termasuk penyakit jangka panjang yang mengurangi produktivitas bangsa.

Penyakit itu, dia melanjutkan, dapat menimbulkan beban cukup besar bagi negara dan harus diselesaikan secara lintas sektor dan dengan upaya kolaborasi untuk mengatasi permasalahan penyakit kesehatan jiwa ini. "Caranya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi meningkatkan produktivitas para penderita dengan dukungan yang tepat," ujarnya dalam kampanye Kesadaran Publik 'Lighting the Hope for Schizophrenia', beberapa waktu lalu. [mtf]

Penyebab Skizofrenia
1:50 AM | Para ahli berpendapat bahwa Skizofrenia dapat berkembang karena faktor genetika ataupun faktor lingkungan keluarga dan sosial si penderita yang lebih sering disebut sebagai bio-psycho-social model. Yang dimaksud dengan faktor genetika disini adalah gangguan yang terjadi pada saat kehamilan ataupun pada saat usia dini yang menyebabkan penyebab halus dalam otak kita yang menjadikannya rentan menderita Skizofrenia, sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan dan keluarga adalah gangguan atau traumatik yang dialami oleh penderita setelah melalui masa remajanya.

Asal Perkembangan dari Skizofrenia

Dari diagram di atas menunjukkan bagaimana faktor biologis,genetik dan prenatal bisa menimbulkan kerentanan terhadap skizofrenia.Faktor lingkungan seperti stress, depresi atau narkoba juga menjadi pemicu timbulnya Skizofrenia ini.

Hasil Penelitian sekarang juga menunjukkan bahwa otak anak-anak dan remaja lebih sensitif 5 sampai 10 kali daripada otak orang dewasa dalam menderita stress dalam arti sesuatu yang bagi orang dewasa adalah merupakan stress ringan tapi hal ini adalah stress yang sangat berat buat anak-anak dan remaja dimana hal ini bisa saja menjadi akar dan pemicu dari Skizofrenia. Gambar berikut menunjukkan bagaimana Skizofrenia bisa berkembang dalam diri kita sejak masa kanak-kanak :

Hubungan Genetika dengan Skizofrenia Apabila seseorang mempunyai hubungan keluarga dengan penderita psikotik seperti skizofrenia, gangguan bipolar maupun depresi akut, maka kemungkinan untuk menderita penyakit tersebut juga sangat tinggi dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Namun hal ini masih belum dapat dipahami dengan jelas karena dalam kasus penelitian terhadap saudara kembar, apabila salah satunya menderita Skizofrenia, maka untuk saudara kembar yang memiliki type jenis gen yang sama persis hanya sekitar 50%. Selama ini para ilmuwan terus mempelajari bagaimana kebiasaan dan pola asuhan dapat membentuk suatu kepribadian, kesehatan dan intergritas seseorang dan diasumsikan bahwa sifat seseorang itu terbentuk dari 55% intergritas dan 45% berasal dari lingkungan sosial. Tetapi pada kenyataannya, terkadang sifat genetika itu hanya timbul ketika seseorang berada dalam lingkungan tertentu dibandingkan dengan faktor lainnya. Kepribadian seseorang hanya dipengaruhi oleh 0% faktor genetika apabila dia tidak tumbuh di lingkungan yang benar dan juga hanya dipengaruhi oleh 0% faktor lingkungan apabila dia tidak memiliki gen yang bagus

Begitu juga dengan Skizofrenia, meskipun seseorang memiliki gen tersebut dalam tubuhnya tetapi apabila dia berada dalam lingkungan yang sehat dan benar, maka dipastikan orang tersebut tidak akan menderita Skizofrenia dalam hidupnya. sama halnya jika seseorang hidup dalam lingkungan sosial yang tidak sehat, maka tingkat atau resiko dia menderita Skizofrenia semakin tinggi. Hubungan Lingkungan dengan Skizofrenia Yang dimaksud dengan "Lingkungan" oleh para ahli psikotik disini bukan hanya lingkungan tempat seseorang tinggal dan beraktivitas tetapi arti lingkungan disini sangat luas mencakup kehidupan sosial, faktor nutrisi, hormonal, obat2 yang dikonsumsi oleh ibu selama masa kehamilan, tingkat stress dan depresi, penggunaan obat2an dan vitamin, pendidikan, pekerjaan, bahkan infeksi virus. Jadi dapat disimpulkan dengan jelas bahwa bagi ahli psikotik Skizofrenia, lingkungan berati sesuatu yang lain daripada "genetika"

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa peningkatan hubungan keluarga (odds ratio) dapat diasosiasikan dengan beberapa faktor lingkungan (sejarah keluarga/genetika) dapat memicu terjadinya Skizofrenia. Dalam diagram tersebut, odds ratio mewakili peningkatan hubungan keluarga dengan resiko Skizofrenia, dimana 1 adalah angka rata-rata. Jadi, anak yang lahir di musim dingin (antara bulan Januari sampai dengan bulan April) memiliki resiko 10% lebih banyak menderita skizofrenia sedangkan anak yang lahir di lingkungan perkotaan memiliki 50% lebih tinggi menderita skizofrenia. Begitu juga dengan anak yang lahir dari ibu yang menderita penyakit Rubella juga sama memiliki peluang 50% menderita Skizofrenia. Untuk memahami lebih jelas hubungan faktor genetika dan lingkungan dengan sebab seseroang menderita Skizofrenia, sebaiknya berkonsultasi langsung dengan ahli genetika. (http://idschizophrenia.blogspot.com/2010/12/penyebab-skizofrenia.html)

Anda mungkin juga menyukai