Anda di halaman 1dari 9

APA ITU GAHARU ? Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu. Menurut SNI 01-5009.

1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain). Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu, hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu: (1) Infeksi karena fungi, hasil isolasi fungi disebut insolat, beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium. (2) Perlukaan, dan (3) Proses non-phatology

Sejarah Gaharu Dupa Sejak Zaman Sriwijaya Di Indonesia, Gaharu dikenal sejak zaman Sriwijaya atau tepatnya pada tahun 671 M (kira-kira tahun 10 H. Pada masa itu juga, Gaharu sudah menjadi salah satu produk dagangan, antara Sriwijaya, Tiongkok, dan India Muka. Dimana yang menjadi penggerak dalam perdagangan ini adalah musafir ziarah Budhis, yang datang langsung ke Sriwijaya. Hal ini memungkinkan, mengingat kayu gaharu juga dijadikan perlengkapan untuk sembahyang umat Budha, sebut saja Dupa. Bau gaharu cukup komplek dan menyenangkan, secara alamiah tidak ada padanan yang tepat . Gaharu dan minyaknya mendapat perhatian besar dalam budaya dan agama sejak peradaban kuno di seluruh dunia, seperti tertuang dalam catatan tertua dalam Weda bahasa Sanskerta dari India. Sementara itu, pada awal abad ke-3, dalam Nan Wu Yi Zhou Zhi (Hal-Hal aneh dri selatan) yang ditulis pada saat kepemimpinan Dinasti Wu, menyebutkan Gaharu diproduksi di wilayah Rinan, atau yang saat ini dikenal dengan sebutan Vietnam bagian tengah, dan untuk mendapatkan Gaharu dikumpulkan dari pengunungan. Dimulai pada tahun 1580, setelah Nguyen Hoang mengambil kendali atas provinsi-provinsi tengah Vietnam modern, ia mendorong perdagangan dengan negara lain, khususnya Cina dan Jepang. Gaharu yang diekspor dalam 3 varitas yaitu Calambac (ky nam dalam bahasa Vietnam)

trem hurong (sangat serupa tetapi sedikit lebih keras dan lebih banyak), dan gaharu itu sendiri. Satu pon Calambac dibeli di Hoi An selama 15 tael dapat dijual di Nagasaki untuk 600 tail. Penguasa Nguyen segera mendirikan kerajaan Monopoli atas penjualan Calambac. Monopoli ini membantu mendanai keuangan negara Nguyen selama tahun-tahun awal aturan Nguyen. Xuanzangs travelouges dan Harshacharita, yang ditulis pada abad ke-7 Masehi di India Utara menyebutkan penggunaan produk-produk gaharu seperti Xasipat (bahan tulisan) dan minyak aloe di Assam kuno (Kamarupa). Dan hingga saat ini, tradisi membuat bahan-tulisan dari kulit gaharu masih ada di Assam. Gaharu dikenal dengan banyak nama dalam kebudayaan yang berbeda, Agar di India (bahasa sansekerta), Chen-Xiang dalam bahasa Cina, trem Huong dalam bahasa Vietnam, dan Jin-koh dalam bahasa Jepang; semua bermakna insence/dupa tenggelam yang mengacu kepada padatan/densitas tinggi. Di wilayah Arab gaharu dan distilasinya dikenal dengan nama Oud demikian juga di wilayah Negara-negara Islam. Di Negara barat penggunaan minyak gaharu esensial dalam minyak wangi dengan nama oud atau oude. Gaharu dalam Perjanjian Lama dan Kitab Suci Ibrani diyakini bahwa gaharu dari Aquilaria malaccensis. Di Tibet dikenal sebagai a-ga-ru. Ada beberapa varietas digunakan dalam bahasa Tibet Kedokteran yaitu gaharu unik ar-ba-zhig; gaharu kuning a-ga-ru ser-po, gaharu putih ar-skya, dan gaharu hitam aromelan. Di dareah Asam (India) disebut sebagai ogoru, di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan gaharu, di Papua Nugini disebut ghara, dalam bahasa Thailand dikenal sebagai Mai Kritsana, di Laos dikenal sebagai Mai Ketsana. (net) Ranking Gaharu Dunia 1. AQUILARIA SUBINTEGRA 2. AQUILARIA CRASSNA 3. AQUILARIA MALACCENSIS 4. AQUILARIA APICULATA 5. AQUILARIA BAILLONIL 6. AQUILARIA BANEONSIS 7. AQUILARIA BECCARIAN 8. AQUILARIA BRACHYANTHA 9. AQUILARIA CUMINGIANA 10. AQUILARIA FILARIA 11. AQUILARIA GRANDIFLORA Found at Thailand Found at Thailand, Cambodia, Loas, Vietnam Found at Thailand, India, Indonesia Found at Philippines Found at Thailand, Combodia, Loas, Vietnam Found at Vietnam Found at Indonesia Found at Malaysia Found at Indonesia, Philippines Found at Nuegini, China Found at China

12. AQUILARIA HILATA 13. AQUILARIA KHASIANA 14. AQUILARIA MICROCAPA 15. AQUILARIA ROSTRATA 16. AQUILARIA SINENSIS

Found at Indonesia, Malaysia Found at India Found at Indonesia, Malaysia Found at Malaysia Found at China Istilah Produk Gaharu

Abu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau gaharu penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan. adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak Budidaya Pohon Gaharu Pohon Alim merupakan tumbuhan yang menghasilkan gubalan Gaharu atau yang biasa disebut sebagai Damar Wangi, atau yang pada umunya kita menyebutnya sebagai Pohon Gaharu. Jenis tumbuhan ini cukup langka, karena hanya dapat tumbuh di hutan hujan tropis, yang akhirnya membuat harganya cukup mahal. Untuk mendapakan Gaharu ini juga cukup unik, dimana pohon alim terlebih dahulu diinfeksikan pada berbagai microba atau jamur. Gaharu ini pada umumnya dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan berbagai produk wewanggian, sebut saja parfum, pewangi ruangan (aroma terapi), dan hio. Untuk parfum, Gaharu digunakan sebagai pengganti alkohol, dan dipercaya parfum akan tahan lebih lama bila menggunakan Gaharu. Karena itu, tidak heran bila harga kayu Gaharu ini dipasarkan Rp8 juta per kilo, dimana 1 pohon dapat menghasilkan 20 kg kayu Gaharu. Produksi Gaharu ini di dalam negeri ini, lebih sering untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor, seperti China, Eropa dan Arab Saudi. Cina, menggunakan kayu Gaharu ini untuk perlengkapan sembahyang (Hio) dan karya seni, sedangkan Arab menggunakan Gaharu untuk pewangi ruangan dan aroma terapi. Sedangkan Eropa lebih menggunakannya untuk bahan baku parfum. Untuk produksi, tanaman hutan bukan kayu ini bisa dikatakan cukup murah dan mudah, walau memakan waktu sekitar 7 hingga 8 tahun. Modal awal, cukup mengeluarkan dana sekitar Rp1700 perbatang untuk bibit tanaman, yang biasanya didapat disekitar hutan seperti Gunung Leuser dan lainnya. Saat usia bibit sudah mencapai 5 hingga 6 bulan, maka tanaman akan berkembang sendiri secara alami. Tetapi, saat masih usai muda, usahakan agar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung, karena ini dapat membuat tumbuhan mati, ujar Petani Penghasil Gaharu dari Desa Timbang Jaya, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut. Saat usia tanaman sudah memasuki usia 6 tahun, maka pohon alim atau penghasil gaharu ini, akan mulai di suntikkan dengan berbagai microba atau fusarium. Selama 2 minggu berturut-

turut. Dimana minggu pertama, pohon akan diberi makan berupa mikroba, dan minggu kedua dapat memasukkan mikroba dengan suntikan fusirium. Dan bila berhasil, maka pohon akan mengeluarkan wewangian, dan ini yang menandakan bahwa tanaman tersebut berhasil, ungkap Sofyan. Saat melakukan suntikan, maka pohon akan dibolongi dengan diameter tergantung dari besar pohon. Lubangan yang diberikan juga sebanyak 32 atau sesuai dengan besar pohon. Dan bila mikroba yang disuntikkan tidak sesuai, maka secara alami, pohon akan menutup lubang tersebut. Dan ini berarti pohon tidak menghasilkan gaharu, tambah Sofyan. Setelah penyuntikkan, selang waktu 1 hingga 2 tahun, maka Gaharu dapat dipanen. Dan untuk memisahkan antara kayu dan gubalan gaharu dibutuhkan 12 jenis pisau dengan keterampilan yang ahli pula. Setelah itu, kayu dijemu dengan cara dianginkan agar kayu bagus dan wanginya tidak menguap. jangan kena matahari, karena itu akan menghilangkan kadar wangi dari gaharu, tambahnya. Seperti diungkapkan dari awal, produksi gubalan gaharu ini sangat unik, karena terinfeksi penyakit yang ditimbulkan oleh jamur Phaeoacremonium parasitica. Dan infeksi ini yang membuat gubalan gaharu atau damar wangi sebagai respon masuknya mikroba pada jaringan pohon yang terluka akibat pelubangan (pengergajian), atau secara alami karena batang pohon yang patah dan kulit kayu yang terkelupas. Masuknya mikroba kedalam jaringan dapat berupa resin berwarna coklat serat berbau harum, serta menumpuk pada pembuluh untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain. Menandakan bahwa tumbuhan itu behasil, cukup mudah. dimana tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang pohon yang menjadi lunak, menguning, dan rontok. Selain itu, juga akan terjadi pembengkakan, pelekukan atau penebalan pada batang, dan cabang tanaman. Semakin hitam warna kayu, maka semakin bagus kualitas yang akan membuat harga jual juga semakin tinggi. Sebelumnya, para petani penghasil gaharu menyatakan untuk mendapatkan gaharu dengan kualitas baik termasuk sulit, bahkan tidak jarang ada sebagian petani yang gagal panen, karena pohon alim tidak menghasilkan gaharu. Masalah yang dihadapi oleh petani sama, suntik fusarium yang terdiri dari 50 mikroba didalamnya, tidak cocok, dan terkadang pelubangan pada pohon alim yang mengenai inti pohon, sehingga membuat pohon menjadi mati. Pada intinya gagal gaharu ini dikarenakan suntik fusarium yang tidak sesuai, bahkan saat pelubangan mengenai inti pohon, Ujar Direktur PT Gaharu Sejati, Dodi Arianto. Dirinya menjelaskan, dulunya Gaharu ini didapat dengan cara yang sedikit rumit, karena harus mengambil dari hutan. Kalau dihutan, pembentukan gubalan gaharu dilakukan secara alami, melali serangga yang makan kulit kayu. Tetapi, karena permintaan terus meningkat dan penenbangan hutan yang terjadi, akhirnya, Gaharu di budidayakan. Tetapi karena belum faham dengan tekhnologi, petani Indonesia dan Sumut terutama mengambil suntikan ini dari Malaysia dan Singapura. Padahal penghasil gaharu itu hanya Indonesia, Thailand, dan vietnam, tambah Dodi

Beberapa sifat biofisiologis tumbuh pohon penghasil gaharu yang penting untuk diperhatikan adalah faktor sifat fisiologis pertumbuhan, sebagian besar pohon pada fase pertumbuhan awal (vegetatif) memiliki sifat tidak tahan akan intensitas cahaya langsung (semitoleran) hingga berumur 2 - 3 tahun. Faktor lain sifat fenologis pembungaan dimana setiap jenis, selain dipengaruhi oleh kondisi iklim dan musim setempat juga akan dipengaruhi oleh kondisi edafis lahan tempat tumbuh. Sifat fenologis buah/benih yang rekalsitran, badan buah pecah dan tidak jatuh bersamaan dengan benih. Sifat fisiologis benih memiliki masa istirahat (dormansi) yang sangat rendah, benih-benih yang jatuh di bawah tajuk pohon induk pada kondisi optimal setelah 3 4 bulan akan tumbuh dan menghasilkan permudaan alam tingkat semai yang tinggi dan setelah 6 8 bulan akan terjadi persaingan, sehingga populasi anakan tingkat semai akan menurun hingga 60 70 %. Aspek pertumbuhan permudaan alam tingkat semai penting diketahui sebagai dasar dalam penyediaan bibit tanaman dengan cara memanfaatkan cabutan permudaan alam. Beberapa ciri morfologis, sifat fisik, sebaran tumbuh serta nama daerah jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia sebagai berikut : Aquilaria spp. pohon dengan tinggi batang yang dapat mencapai antara 35 40 m, berdiameter sekitar 60 cm, kulit batang licin berwarna putih atau keputih-putihan dan berkayu keras. Daun lonjong memanjang dengan ukuran panjang 5 8 cm dan lebar 3 4 cm, ujung daun runcing, warna daun hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau diketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polongan berbentuk bulat telur aatau lonjong berukuran sekitar 5 cm panjang dan 3 cm lebar. Biji/benih berbentuk bulat atau bulat telur yang tertutup bulu-bulu halus berwarna kemerahan. Jenis A. malaccensis di wilayah potensial dapat mencapai tinggi pohon sekitar 40 m dan diameter 80 cm, beberapa nama daerah seperti : ahir, karas, gaharu, garu, halim, kereh, mengkaras dan seringak. Tumbuh pada ketinggian hingga 750 m dpl pada hutan dataran rendah dan pegunungan, pada daerah yang beriklim panas dengan suhu ratakelembaban sekitar 70 %, dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun. Jenis A. microcarpa tinggi sekitar 35 m berdiameter sekitar 70 cm dengan nama daerah tengkaras, engkaras, karas, garu tulang dll. Sedangkan A. filaria tinggi pohon antara 15 18 m berdiameter sekitar 50 cm, di Irian Jaya memiliki nama daerah age dan di Maluku las. Tumbuh di hutan dataran rendah, rawa hingga ketinggian sekitar 150 m, pada kawasan beriklim kering bercurah hujan sekitar 1000 mm/th. A. beccariana, memiliki nama daerah mengkaras, gaharu dan gumbil nyabak. Tumbuh hingga ketinggian 850 m.dpl pada kondisi kawasan beriklim kering dengan curah hujan sekitar 1500 mm/th. Gyrinops spp. Tumbuhan gaharu jenis ini berbentuk sebagai pohon yang memiliki ciri dan sifat morfologis yang relatif hampir sama dengan kelompok anggota famili Thymeleacae lainnya. Daun lonjong memanjang, hijau tua, tepi daun merata, ujung meruncing, panjang sekitar 8 cm, lebar 5 6 cm. Buah berwarna kuning- kemerahan dengan bentuk lonjong. Batang abukecoklatan, banyak cabang, tinggi pohon dapat mencapai 30 m dan berdiameter sekitar 50 cm. Daerah sebaran tumbuh di wilayah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan potensi terbesar berada di Irian Jaya (Papua) Aetoxylon spp, pohon dengan rataan tinggi sekitar 15 m, berdiameter antara 25 75 cm, kulit batang ke abu-abuan atau kehitam-hitaman dan bergetah putih. Bentuk daun bulat telur, lonjong, licin dan mengkilap dan bertanggkai daun sekitar 8 mm. Bunga dalam kelompok berjumlah antara 5 6 bunga, berbentuk seperti payung, dengan panjang tangkai bunga sekitar 9 mm, bentuk bunga membulat atau bersegi lima berdiameter sekitar 4 mm, buah membulat panjang

sekitar 3 cm dan lebar 2 cm, serta tebal 1 cm.Tumbuh pada kawasan hutan dataran rendah dengan lahan kering berpasir, beriklim sedang dengan curah hujan sekitar 1400 mm/th, bersuhu sebagai kayu biduroh, laka, garu laka, garu buaya dan pelabayan. Gonystylus spp, memiliki ciri dan sifat morfologis dengan tinggi dapat mencapai 45 m dan berdiameter antara 30 120 cm, memiliki tajuk tipis, dan berakar napas (rawa), Bedaun tunggal, bentuk daun bulat telur, panjang 4 15 cm, lebar 2 7 cm dengan ujung runcing, bertangkai daun 8 18 mm, licin dengan warna hijau-kehitaman. Bunga berbentuk malai berlapis dua, muncul diujung ranting atau ketiak daun, berwarna kuning, tangkai bunga panjang sekitar 1,5 cm. Berbuah keras, berbentuk bulat telur dengan ujung meruncing, memiliki 3 ruang, panjang 4 5 cm, lebar 3 4 cm, benih berwarna hitam. Gaharu dari jenis ini umumnya terbentuk pada bekas taksis duduk cabang, sehingga bentuk gaharu berbentuk bulatan-bulatan. Nama daerah gaharu dari kelompok jenis ini adalah : karas, mengkaras, garu, halim, alim, ketimunan, pinangbae, nio, garu buaya, garu pinang, bal, garu hideung, bunta, mengenrai, udi makiri, sirantih dll. Enkleia spp, tumbuhan penghasil gaharu dari kelompok jenis ini berbentuk tumbuhan memanjat (liana) dengan panjang mencapai 30 m berdiameter sekitar 10 cm, batang kemerah-merahan, beranting dan memiliki alat pengait. Bunga berada diujung ranting, bertangkai bunga dengan panjang mencapai 30 cm, bunga berwarna putih atau kekuningan, Buah bulat-telur, panjang 1,25 cm dan lebar 0,5 cm. Dikenal dengan nama daerah tirap akar, akar dian dan akar hitam, garu cempaka, garu pinang, ki laba, medang karan, mengenrai, udi makiri, garu buaya, bunta dll. Wiekstroemia spp. Pohon berbentuk semak dengan tinggi mencapai sekitar 7 m dan diameter sekitar 7,5 cm, ranting kemerah-merahan atau kecoklatan. Daun bulat telur, atau elips/lancet, panjang 4 12 cm dan lebar 4 cm. Helai daun tipis, licin di dua permukaan, bertangkai daun panjang 3 cm. Bunga berada diujung ranting atau ketiak daun, berbentuk malai dan tiap malai menghasilkan 6 bunga dengan warna kuning, putih kehijauan atau putih, dengan tangkai bunga sekitar 1 mm, mahkota bunga lonjong atau bulat telur dengan panjang 8 mm dan lebar 5 mm berwarna merah. Kelompok gaharu dari jenis-jenis ini dikenal memiliki nama daerah, layak dan pohon pelanduk, kayu linggu, menameng atau terentak dengan daerah sebaran tumbuh di wilayah Maluku dan Irian Jaya. Dalbergia sp. sementara hanya ditemukan 1 jenis yakni D. parvifolia sebagai salah satu dari anggota famili Leguminoceae merupakan tumbuhan memanjat (liana) dan produk gaharunya kurang disukai pasar. Excoccaria sp genus ini hanya ditemukan 1 jenis yakni E. agaloccha yang merupakan anggota famili Euphorbiacae tergolong tumbuhan tinggi dengan tinggi pohon antara 10 20 m dan dapat mencapai kelas diameter sekitar 40 cm. Produksi gaharunya kurang disukai pasar. Secara biologis tumbuhan penghasil gaharu memiliki ciri, sifat dan karakter pertumbuhan, selain bersifat sebagai tumbuhan pioner, semitoleran terhadap cahaya, juga memiliki sifat perbenihan yang memiliki masa dormansi rendah. Tumbuhan penghasil gaharu sesuai peta sebaran tumbuh tidak memerlukan syarat yang spesifik terhadap lahan serta iklim. Berdasarkan aspek tersebut tumbuhan penghasil gaharu dapat dikembangkan pada berbagai jenis tanah serta iklim.

Budidaya Gaharu Untuk menjadi petani gaharu ini cukup mudah dengan modal yang cukup relatif murah juga, asalnya memiliki lahan untuk penanaman pohon alim. Untuk lahan seukuran 1 Ha, dapat menaman pohon sebanyak 2500 pohon, dengan jarak penanaman sekitar 22 m. Selain itu, disela jarak tersebut juga dapat ditanami jenis tumbuhan lain, Kakao misalnya. Untuk biaya dalam budidaya ini, membutuhkan dana yang tidak terlalu besar, tetapi harus sabar untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Modal awal yang dikeluarkan adalah pembelian bibit pohon alim, yang biasanya dijual dengan harga rp4 ribu perbatang untuk ukuran 20 hingga 30 cm, sedangkan untuk ukuran 40-60 cm, dijual dengan harga Rp6 ribu perbatang. Selanjutnya, pohon tumbuh secara alami, dan bila diperlukan dapat dapat mengunakan bubuk pestisida curater untuk pengendalian hama ulat, atau hanya menggunakan NPK Mutiara. Dan bila diperkirakan dana yang dibutuhkan perbulan, sekitar Rp1700 perbatang/bulan, selama 6 bulan. Sedangkan untuk penyuntikan fusarium pada usia pohon sekitar 5 tahun, dibutuhkan dana yang cukup besar, untuk 1 liter fusarium dijual dengan harga Rp3 juta. Dan ini dapat digunakan untuk 6 pohon yang berdiameter 30 cm. Ada 2 jenis dalam pembudidayaan pohon penghasil Gaharu ini, yang pertama adalah penyulingan untuk mengambil minyaknya. Dan kedua, berupa kayu untuk dibakar. Untuk penyulingan, saat usia pohon sudah mencapai 5 tahun atau berdiameter minimal 20 cm, maka pohon disuntik, setelah 8 bulan hingga 1 tahun sesudah penyuntikan dapat dilakukan penyulingan. Dengan harga minyak gaharu berkisar Rp100 hingga Rp300 juta per 1 Liter. Sedangkan untuk pembakaran, dengan proses yang sama, hanya saja panennya sekitar 2 tahun setelah penyuntikkan. (Juli Ramadhani Rambe) Lestarikan Jadi Pohon Eksklusif INDONESIA merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia dengan kualitas terbaik. Pohon-pohon gaharu penghasil gubal (bagian terdalam dari batang pohon gaharu yang warnanya hitam, coklat hitam, coklat kemerahan dengan keharuman yang kuat) terbaik yang sangat sesuai dengan kondisi produksi alami di Indonesia mungkin sudah punah. Yang tertinggal adalah pohon-pohon yang memiliki sifat kerentanan yang lebih tinggi. Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Gaharu atau agarwood, aleawood, eaglewood dan jinkoh memiliki nilai jual tinggi. Kelangkaan pohon gaharu di hutan alam menyebabkan perdagangan gaharu asal semua spesies Aqularia dan Grynops di atur dalam CITES (Convention on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan ekspornya dibatasi dalam kuota. Saat ini, Indonesia diposisikan untuk mengambil peran aktif dalam menyelamatkan produksi gaharu dengan mengalihkan produksi gaharu alam ke gaharu buatan. Dengan demikian di masa yang akan datang, Indonesia akan memasuki era gaharu budidaya atau mengambil kata yang lebih popular gaharu non-CITES quota. Dengan mengambil tema Menuju Produksi Gaharu secara Lestari di Indonesia, Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA IPB bekerjasama dengan Departemen Kehutanan RI dan didukung oleh Sinarmas Forestry, Perhutani, International Timber Trade Organization, Asgarin

dan Yayasan Kehati menggelar Seminar Nasional I Gaharu di IPB International Convention Center (12/11). Tema ini diambil sebagai ekspresi dari keprihatinan masyarakat pemerhati gaharu terhadap tuntutan dunia akan pentingnya produksi gaharu yang lestari di Indonesia. Hadir dalam acara ini, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, SE, MM, untuk membuka acara, didampingi Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Prof.Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr. Hendrayanto, Dekan Fakultas MIPA IPB, Dr. Hasim, pejabat dari Dephut RI, peneliti, dan pemerhati gaharu Indonesia. Menhut mengatakan kekayaan alam Indonesia harus kita lestarikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selama ini bagi hasil dari produksi gaharu selalu merugikan petani gaharu. Misal dari hasil penjualan gaharu 40% untuk pemilik modal, 20% untuk pemberi ijin, sisanya untuk proses produksi dan petani. Ini tidak akan mensejahterakan rakyat, tambahnya. Mengingat pengumpul gaharu alami adalah penduduk penghuni sekitar hutan, maka sistem produksi yang akan dikembangkan sebaiknya berbasis masyarakat tepian hutan. Oleh sebab itu tata kelola wilayah yang memberikan insentif pada masyarakat tepian hutan perlu dipertimbangkan. Pohon gaharu pasarnya sangat besar. Gaharu yang mengandung damar wangi dan bila dibakar mengeluarkan aroma yang khas dapat diolah menjadi minyak gaharu, cindera mata, dupa makmul dan hio, parfum, obat-obatan dan untuk bahan kosmetik. Negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti China, India, Pakistan, Bangladesh, Thailand adalah pasar gaharu. Sehingga gaharu perlu dilestarikan dan yang mengembangkannya harus pakar-pakar dari IPB, ujarnya saat diwawancara. Sejak tahun 2003, kuota ekspor gaharu menurun terus menjadi sekitar 125 ton/tahun untuk tiap species. Dalam batasan kuota ini, produksi hanya dapat memenuhi sekitar 10-20% permintaan pasar, sehingga peluang pasar masih terbuka. Menhut menambahkan untuk menjaga kelestarian alam sekaligus keberlanjutan ekspor, selain harus dikonservasi, gaharu juga harus diproduksi secara buatan pada pohon gaharu hasil budidaya. Pohon gaharu telah ditanam lebih dari 1750 ha di seluruh Indonesia dan ini menjadi modal dasar menuju produksi gaharu secara lestari di Indonesia. Sementara itu, produksi gubal gaharu melibatkan mikroorganisme (sejenis cendawan yakni fusarium dan acremonium). Mekanisme pembentukan oleo resin (damar wangi) gaharu merupakan hasil interaksi antara pohon dan mikroorganisme tadi. Dengan proses budidaya, petani menyuntikkan cendawan ke batang pohon gaharu saat umurnya menginjak lima tahun. Dari infeksi cendawan tersebut, pohon gaharu melakukan perlawanan dengan mengeluarkan senyawa oleo resin. Satu kilogram gubal gaharu dengan kualitas terbaik dijual dengan harga 30 juta rupiah. Gaharu jenis Aquilaria malaccensis daerah penyebarannya di Sumatera (10 pohon/hektare) dan Kalimantan (9 pohon/hektare). Untuk jenis Aquilaria filarial daerah penyebarannya di Papua (60 pohon/hektare), Maluku (30 pohon/ha) dan Sulawesi (7 pohon/hektare). Dan untuk jenis Gyrinops sp daerah penyebarannya di NTB (8 pohon/hektare) dan NTT atau 7 pohon per hektare. (net/jpnn

Anda mungkin juga menyukai