Anda di halaman 1dari 22

. 1.keadaan dan masalah.

Masalah kemiskinan Salah satu masalah penting yang banyak dihadapi masyarakat sepanjang sejarah adalah kemiskinan. Kemiskinan ini sesungguhnya bisa digolongkan sebagai masalah social ekonomi yang juga berkait erat dengan masalah lainya. Sekalipun fenomena kemiskinan biasa kita jumpai sehari-hari, namun membuat suatu rumusan tentang kemiskinan secara lengkap dan utuh bisa menjadi tidak mudah. Hal itu berkaitan dengan banyaknya dimensi yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan masalah ini. Salah satu yang dapat menyulitkan perumusan tentang apa sesungguhnya kemiskinan itu adalah factor-faktor yang berkaitan dengan penilaian dan subjektivitas. Misalnya bila kepada sejumlah orang yang mempunyai kondisi social ekonomi yang relative sama ditanyakan tentang apakah mereka menilai diri mereka miskin atau tidak maka sangat mungkin jawaban yang kita dapatkan bermacam-macam. Demikian pula sebuah komunitas yang hidup terasing dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas, boleh jadi tidak pernah menganggap diri mereka mskin. Demikian pula seorang yang mempunyai taraf hidup di bawah rata-rata di perkotaan, sekalipun secara riil miskin, namun mereka sendiri tidaklah teralu mempersoalkan masalah itu. Suparlan (1995) menyebutkan bahwa kesadaran akan kemiskinan yang dialami baru terasa pada saat membandingkan kehidupan yang dijalani dengan kehidupan orang lain yang tergolong mempunyai sifat kehidupan social dan ekonomi yang lebih tinggi. Secara singkat, antropolog Parsodi Suparlan mendefenisikan kemiskina sebagai suatu standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pad sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar yang umum berlaku dengan masyarakat bersangkutan. Selanjutnya standar kehidupan yang rendah ini secar langsung tampak pengaruhnya terhadap keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong orang miskin. Sementara itu Ellis (Effendi,1993) menyebutkan bahwa kemiskinan dapat diidentifikasi menurut dimensi ekonomi, sosial , dan politik. Jadi suatu kekeliruaan menganggap seolah-olah kemiskinan hanya menyangkut masalah ekonomi semata hingga dengan penanggulangannya pun tidak dapat semata dengan pendekatan ekonomi. Disamping itu banyak pengertian-pengertian dan batasan-batasan mengenai kemiskinan yang dikatakan oleha para ahli seperti kemiskinan structural dan kebudayaan kemiskinandan lain-lain,

tetapi pada dasarnya kesemuanya itu telah memberikan gambaran bagi kita semua bahwa kemiskinan merupakan situasi dimana seseorang atau sekumpulan orang mengalami keterbatasan dan kekurangan baik secara ekonomi, social , politik, struktur dan budaya serta semua bidang kehidupan lainnya. 2. Pengukuran Kemiskinan Di Indonesi kini telah dikenal sejumlah cara bagaimana mengukur kemiskinan. Namun, disini hanya akan dibahas 2 antanya, yaitu cara pernah dikembangkan oleh sajogyo dan yang dikembangkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Menurut metode pengukuran Sajogyo, mereka yang tergolong miskin di pedesaan adalah mereka yang tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangganya dalam satu tahun equivalen harga beras kurang dari 320 kg beras ; kurang dari 240 kg beras tergolong miskin sekali ; dan kurang dari 180 kg beras tergolong paling miskin. Metode kdua dikembangkan oleh biro pusat statistic (BPS) berdasarkan ukuran objektif ilmu gizi, berupa ukuran kecukupan kalori perorangan / hari. Batas yang ditetapkan adalah kecukupan kalori 2100 kalori perorang/hari ditambah paket kebutuhan fisik bukan pangan seperti sandang, papan, bahan bakar, dan sebagainya. Di Indonesia, criteria batas garis kemiskinan ini sudah dilakukan sejak tahun 1976. Karena kenaikan harga barang-barag yang dikonsumsi penduduk juga senantiasa terjadi maka peningkata batas garis kemiskinan yang dihitung menurut rupiah juga senatiasa meningkat. Pada tahun 1976 misalnya, BPS menghitung untuk di pedesaan batas garis kemiskinan yang ditetapkan adalah seseorang harus mengeluarakan minimal Rp. 2.849,- . sehingga apabila dalam satu rumah tangga terdapat 5 anggota rumah tangga maka setiap bulannya rumah tangga tersebut harus mempunyai pengeluaraan minimal perbulan untuk tidak digolongkan miskin adalah : Rp. 2.849,- x 5 = Rp. 14.245,Pada tahun 1993, batas garis kemiskinan di daerah pedesaan mengalami kenaikan menjadi Rp. 18.244,3. Upaya Pengentasan Kemiskinan Seperti yang sudah diketahui bahwa kemiskinan disebabkan karena : 1. 2. 3. 4. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan stengah pengangguran bagi tenaga tak terampil Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan. Rendahnya upah tenaga kerja ( buruh dll.) Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi social, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.

Dari sebab-sebab terjadinya kemiskinan baik secara peorangan maupun struktur maka upaya yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan cara : 1. Membuka sebanyak-banyaknya lapangan pekerjaan bagi penduduk desa dan memberikan pelatihan dan ketrampilan bagi pengangguran di desa untuk melakukan usaha produktif dan mandiri yang dikoordinir oleh Balai Latihan Kerja dari Departeman Tenaga Kerja. Disamping itu membuat program-rogram pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum masyarakat lainnya yang direncanakan, dikelola dan diawasi sendiri oleh masyarakat serta memberikan pengertian yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menghargai setiap produk yang dihasilkan sendiri. (hasil usah produktif dan mandiri masyarakat) 2. Mengupayakan program pendidikan yang bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat desa dan melarang para orang tua untuk menjadikan anak-anaknya meninggalkan bangku pendidikan untuk bekerja. 3. Mengupayakan kenaikan upah tenaga kerja (buruh) sesuai dengan UMR yang berlaku dan sesuai jam kerja. 4. Memberikan pengertian bagi kepada masyarakat golongan berpenghasilan rendah untuk keluar dari kebiasaan-kebiasaan lama dan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan organisasi social, ekonomi dan politiknya agar terlepas dari berbagai keterbelakangan dan ketertinggalan dalam segala segi kehidupan dan berusaha untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian menuju status social yang lebih baik.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN (Tugas 5)

Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 %

setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut. 1. Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi Terpimpin,pemerintah menempuh cara : Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan. Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Stabilisasi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Sedangkan rehabilitasi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang diambil Kabinet AMPERA mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut. 1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan

kemacetan, seperti : 2) 3) rendahnya penerimaan negara tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana. Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian. Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara: Mengadakan operasi pajak Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan

menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.

Penghematan pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta

menghapuskan subsidi bagi perusahaan negara. Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program Stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok melonjak namun inflasi berhasil dibendung (pada tahun akhir 1967- awal 1968) Sesudah kabinet Pembangunan dibentuk pada bulan Juli 1968 berdasarkan Tap MPRS No.XLI/MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu kestabilan ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing dapat diatasi. Program Rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama 10 tahun mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana ekonomi dan sosial. Lembaga perkreditan desa, gerakan koprasi, perbankan disalah gunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun dan perbaikan tata hidup masyarakat.

2.

Kerja Sama Luar Negeri

Keadaan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama sangat parah, hutangnya mencapai 2,3-2,7 miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pemerintah mengikuti perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Perundingan dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut. Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1979. Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda juga pembayarannya.

Perundingan dilanjutkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 23-24 Februari 1967. Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunak yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia). Melalui pertemuan itu pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri. Indonesia mendapatkan penangguhan dan keringanan syaratsyarat pembayaran utangnya.

3.

Pembangunan Nasional

Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut. 1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. 3. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu, i. ii. Jangka panjang mencakup periode 25 sampai 30 tahun Jangka pendek mencakup periode 5 tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling berkaitan/berkesinambungan. Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu : 1. Pelita I

Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru. Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-

dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya. Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan

lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang. 2. Pelita II

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi ratarata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%. 3. Pelita III

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu: Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan

perumahan. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pemerataan pembagian pendapatan Pemerataan kesempatan kerja Pemerataan kesempatan berusaha Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi

muda dan kaum perempuan 4. Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Pelita IV

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan. 5. Pelita V

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya. 6. Pelita VI

Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi masa Orde Baru Dampak positif dari kebijakan politik pemerintah Orba : Pemerintah mampu membangun pondasi yang kuat bagi kekusaan lembaga kepresidenan yang membuat semakin kuatnya peran negara dalam masyarakat. Situasi keamanan pada masa Orde Baru relatif aman dan terjaga dengan baik karena pemerintah mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Dilakukan peleburan partai dimaksudkan agar pemerintah dapat mengontrol parpol. Dampak negatif dari kebijakan politik pemerintah Orba: Terbentuk pemerintahan orde baru yang bersifat otoriter, dominatif, dan sentralistis. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan politik yang sangat merugikan rakyat.

Pemerintah Orde Baru gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik dan benar kepada rakyat Indonesia. Golkar menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara 2 partai lainnya hanya sebagai boneka agar tercipta citra sebagai negara demokrasi.

Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Dalam setiap pemilhan presiden melalui MPR Suharto selalu terpilih.

Demokratisasi

yang

terbentuk

didasarkan

pada

KKN(Korupsi,

Kolusi,

dan

Nepotisme)sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya. Kebijakan politik teramat birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN. Dwifungsi ABRI terlalu mengakar masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan pada bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang berperan besar terisi oleh personel TNI dan Polri. Dunia bisnis tidak luput dari intervensi TNI/Polri. Kondisi politik lebih payah dengan adanya upaya penegakan hukum yang sangat lemah. Dimana hukum hanya diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa sehingga tidak mampu mengadili para konglomerat yang telah menghabisi uang rakyat. Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru : Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit. Indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat. Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru : Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam Perbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial) Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.

Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997. Kebijakan Moneter Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moeneter (Bank Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah yang beredar dan kredit yang pada akhirnya akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur dengan, a. Kesempatan Kerja Semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan. b. Kestabilan harga Apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama dengan harga yang akan masa depan. c. Neraca Pembayaran Internasional Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter. Kebijakan Fiskal Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiscal

adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara. Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran. Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N). Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Sektor Luar Negeri Kebijakan Moneter (Monetary Policy) Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : 1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar 2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu) Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain : 1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada

masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang. 2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang. 3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio. 4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian. Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy) Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif. 2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. 3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget) Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin. PEMBIYAAN umber pembiayaan pembangunan pada umumnya dapat dibagi atas (Tjokroamidjojo, 1986: 100) : a. Sumber-sumber penerimaan dalam negeri khususnya yang tersedia sebagai tabungan pemerintah b. Tabungan masyarakat Tabungan masyarakat antara lain dapat dipupuk melalui perbankan dan lembagalembaga keuangan ataupun bentuk penanaman modal. Perhitungan dalam rencana mengenai tabungan masyarakat ini dilakukan berdasar perkiraan atas perkembangan kegiatan ekonomi, peningkatan pendapatan masyarakat, desain-desain tabungan dalam masyarakat,

pengembangan pelembagaan keuangan termasuk non bank, kebijaksanaan moneter, perkreditan khususnya tingkat bunga dan kebijaksanaan di bidang penanaman modal. c. Sumber dana dari luar negeri Dapat tersalur ke dalam anggaran negara atau pun tidak, langsung kepada sektor perkreditan atau kepada sektor penanaman modal. Perkiraan tentang sumber dana luar negeri lain mulai banyak direncanakan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan investasi pda umumnya, dilihat secara komplementer kebutuhan pembiayaan pembangunan sebagai resource gap .

Mengenai penerimaan dalam negeri diusahakan dari pajak langsung, pajak tidak langsung dan penerimaan bukan pajak. Pada umumnya yang dihitung sebagai sumber pembiayaan pembangunan hanyalah sisa setelah dikurangi pembiayaan rutin pemerintah. Bagi Indonesia misalnya hal ini disebut sebagai tabungan pemerintah. Sejalan dengan pemberian urusan kepada daerah teramsuk sumber keuangannya, maka dalam bunyi pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dicantumkan sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas : a. Pendapatan asli daerah, adalah pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. b. Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari: 1. Bagian Daerah atau Bagi Hasil Bagian daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil bagi atas penerimaan pajak dan bumi bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB), dan sumber daya alam. 2. Dana Alokasi Umum

Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000, dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisai 3. Dana alokasi khusus

Dana alokasi khusus (DAK) adalah alokasi dana dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, yaitu kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan seperti dana alokasi umum dan kebutuhan yang merupakan komitemen atas dasar prioritas nasional c. Pinjaman daerah Pinjaman daerah didefinisikan sebagai semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani

kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim dalam perdagangan. d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Pendapatan daerah lain-lain yang sah dapat berupa hasil penjualan asset tetap daerah, penerimaan sumbangan dari pihak ketiga kepada daerah atas dasar kesukarelaan dengan persetujuan DPR, jasa giro, dll.

REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA Oleh: I Nyoman Yoga Segara* Abstrak Istilah reformasi secara populer digunakan sejak bangsa Indonesia mengalami pergerakan menuju demokratisasi disegala bidang dengan meninggalkan era Orde Baru. Semenjak itu, bangsa ini mengalami era baru, salah satunya di bidang birokrasi yang dianggap banyak menyimpan masalah. Hal yang sama juga menjadi tatanan baru di lingkungan Kementerian Agama yang me-launching Reformasi Birokrasi sejak 2009. Ada banyak hal yang harus dibenahi Kementerian Agama jika ingin birokrasi menjadi lebih baik menuju kepemerintahan yang baik dan bersih (good government and clean governance), terpenting lagi bagaimana menjadikan wilayah satuan kerja bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kata Kunci: reformasi, birokrasi, pelayanan publik A. PENDAHULUAN Reformasi birokrasi dilakukan untuk pembenahan praktek birokrasi secara komprehensif menuju terwujudnya good governance. Dalam menciptakan birokrasi pemerintah yang lebih efektif dan efisien bukan hanya dari aspek organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), prosedur dan peraturan, melainkan juga pembenahan dari aspek pengawasan dan akuntabilitas yang dapat memberikan nilai tambah terhadap kualitas pelayanan publik. Kualitas pelayanan, produktivitas, daya saing, dan kinerja aparatur yang masih rendah telah menjadi hambatan birokrasi di tanah air. Persoalan yang timbul dalam dalam pemerintahan selama ini pada dasarnya menunjukkan rendahnya kemampuan dan ketiadaan sikap dari aparatur yang kurang peduli dalam hal memenuhi tuntutan masyarakat. Di samping itu, kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama ini masih belum sesuai dengan harapan. B. KONSEP DAN PEMBAHASAN 1. Orientasi Reformasi Birokrasi Aparatur Negara sebagai abdi masyarakat harus mampu melaksanakan tugas dan fungsi yang diemban secara professional dan bertanggung jawab, sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara memuaskan. Pembaharuan sistem manajemen pemerintahan, pendekatan dan strategi yang dapat digunakan, antara lain: a) Menciptakan pola dasar organisasi atau lembaga pemerintah (termasuk unit pelaksana pelayanan publik); b) Mengubah sistem manajemen kepegawaian dari manajemen ketatausahaan ke manajemen SDM aparatur; c) Menyederhanakan dan menyempurnakan ketatalaksanaan, sistem prosedur dan mekanisme pelayanan publik;

d) Memperbaiki sistem pengelolaan barang milik Negara; e) Menyempurnakan sistem manajemen keuangan unit pelayanan publik; f) Mengembangkan sistem pengawasan dan akuntabilitas kinerja aparatur.

Sasaran yang akan dicapai dalam pelaksanaan reformasi birokrasi meliputi: a) Kelembagaan/organisasi, yakni tepat fungsi dan tepat ukuran; b) Budaya organisasi, yakni birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi; c) Ketatalaksanaan, yakni system proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance d) Regulasi dan deregulasi birokrasi, yakni regulasi yang tertib, tidak tumpang tindih, berjalan secara kondusif; dan e) SDM, yakni memiliki integritas, kompeten, professional, produktif dan sejahtera. Peran pengawasan menjadi penting guna mendorong keberhasilan tugas dan fungsi organisasi. Pengawasan merupakan kegiatan membandingkan antara kondisi yang seharusnya dengan kondisi yang ada, dan apabila terjadi perbedaan disebut temuan. Dengan demikian, fungsi pengawasan harus memberikan masukan penyempurnaan dan tindakan koreksi. Disadari bahwa paradigma pengawasan dewasa ini menempatkan peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebagai konsultan dan katalisator untuk membantu pihak manajemen birokrasi pemerintah dalam mempercepat proses pencapaian tujuan organisasi. 2. Rujukan Ke Arah Reformasi Birokrasi Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, menyatakan bahwa reformasi birokrasi merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut tiga aspek, yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process), dan Sumber Daya Manusia aparatur. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah area perubahan yang meliputi Kelembagaan (organisasi); Budaya Organisasi; Ketatalaksanaan; Regulasiregulasi birokrasi; dan Sumber Daya Manusia. Sementara hasil yang ingin dicapai adalah organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran; birokrasi degan integritas dankinerja tinggi; sistem proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance; regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif; serta SDM yang berintegrasi, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera. Pelaksanaan program reformasi birokrasi yang dapat dijadikan contoh (best practice), yaitu Kementrian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksaan Keuangan. Misalnya, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan sebagai proyek percontohan mengedepankan 3 pilar utama reformasi, yaitu: a) Penataan organisasi, meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi, serta modernisasi organisasi

b) Penyempurnaan Proses Bisnis, yang terdiri dari penyusunan Standard Operating Procedures (SOP) yang rinci, analisis danevaluasi jabatan serta analisis beban kerja, dan c) Peningkatan Manajemen SDM, berupa pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian, penyusunan pedoman dan penetapan pola mutasi, pembangunan Assessment Center, penyusunan pedoman rekruitmen, dan peningkatan disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan agenda reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama secara resmi telah di-launching oleh Menteri Agama beberapa waktu yang lalu, dengan tujuan utama agar tercipta penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dan bersih, yang tercermin dari pelayanan yang bermutu kepada masyarakat, dan birokrasi yang efektif, efisien, akuntabel serta terhindar dari segala bentuk penyimpangan. Adapun area perubahan dalam program reformasi birokrasi di Kementrian Agama mengedepankan delapan area, antara lain: a) Perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) yaitu birokrasi yang berintegritas dan berkinerja tinggi b) Organisasi yang tepat ukuran danfugsi c) Proses kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, yang menunjang good governance d) Sumber Daya Manusia aparatur yang memeliki integritas, netralitas, kompeten, kapabel, profesional, kinerja tinggi dan sejahtera e) Regulasi yang kodusif, tepat dan tidak tumpang tindih f) Pengawasan untuk meningkatkan pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme

g) Akuntabilitas kinerja birokrasi, dan h) Pelayanan publik yang memenuhi pelayanan yang berkualitas (excellent). Paling tidak ada sembilan prinsip reformasi birokrasi di Kementerian Agama yang harus dipedomani, yakni: a) Berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan publik b) Berorientasi pada peningkatan kinerja c) Integritas d) Akuntabilitas e) Transparansi f) Penegakan hukum/aturan

g) Disentralisasi/pembagian wewenang h) Antisipasi, dan

i)

Inovatif.

Secara tajam, untuk mewujudkan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama, maka perlu: a) Instruksi Menteri Agama tentang pelaksanaan reformasi birokrasi; b) Menyusun grand strategy reformasi birokrasi secara efektif, efisien, produktif yang bebas dari praktik KKN; c) Melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi secara bertahap dan berkelanjutan. 3. Enam Langkah Nyata Agar reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama tidak hanya slogan saja, maka perlu langkah-langkah konkrit, antara lain: a) Penataan organisasi, meliputi pemisahan, penggabungan, penajaman tugas dan fungsi organisasi; b) Penyempurnaan tata laksana (business process), meliputi pembuatan analisis dan evaluasi, analisis beban kerja, risiko jabatan, dan job description; c) Peningkatan pelayanan public, meliputi pembuatan standar pelayanan minimal, seperti standar biaya, mutu, waktu, sarana, prasarana, informasi dan teknologi;

d) Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), meliputi perumusan indicator kinerja utama sebagai tolok ukur keberhasilan capaian kinerja; e) Pengembangan SDM, meliputi penyusunan formasi, rekruitmen, reposisi pegawai, penciptaan system assessment center, pembuatan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) yang terintegrasi, peningkatan koordinasi antar unit terkait, pendidikan dan pelatihan (diklat) berbasis kompetensi serta peningkatan disiplin pegawai; f) Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk melaksanakan semua kegiatan dari langkah-langkah konkrit reformasi birokrasi tersebut.

4. Pelayanan Publik yang Diharapkan di Lingkungan Kementerian Agama Sekretaris Jenderal Kementrerian Agama, Bahrul Hayat, Ph.D, menyatakan bahwa: a) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Kementerian Agama menekankan pembangunan bidang agama dengan arah kebijakan pada: 1) Peningkatan kualitas kerukunan intern dan antar umat beragama 2) Peningkatan kualitas pelayanan, pemahaman dan kehidupan beragama b) Kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, pemahaman dan kehidupan beragama setidaknya menyangkut dua hal, yaitu: 1) Pelayanan kepada umat beragama agar dapat memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya

2) Pelayanan dalam rangka peningkatan kualitas pengamalan ajaran agama dikalangan pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari. c) Ada tiga hal yang dibutuhkan dalam upaya perbaikan kinerja pelayanan public, yaitu: 1) Adanya perangkat hukum atau aturan berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui public, apa yang diputuskan 2) Adanya struktur pelaksana, prosedur dan pembiayaan yang tertuang dalam suatu prosedur operasional yang berstandar 3) Adanya control public, yakni mekanisme yang memungkinkan public mengetahui apakah pelayanan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. d) Idealnya dalam suatu standar pelayanan dapat terlihat dengan jelas dari: 1) Dasar hukum 2) Persyaratan pelayanan 3) Prosedur pelayanan 4) Waktu pelayanan 5) Biaya 6) Proses pengaduan C. PENUTUP Sebagai salah satu instansi pemerintah yang sangat besar dari jumlah pegawainya dan terbanyak dari segi unit kerja yang tersebar ke pelosok, Kementerian Agama membutuhkan percepatan untuk dapat menjadi instansi yang bebas dari KKN. Hampir sama dengan situasi yang dihadapi instansi pemerintah lainnya, Kementerian Agama juga dihadapkan pada sejumlah tantangan, terutama mewujudkan reformasi birokrasi. Paling tidak ada beberapa yang dijadikan titik pijak sebagai langkah akselerasi reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Agama antara lain organisasi, ketatalaksanaan, prosedur, dan dibidang pelayanan publik yang sekurang-kurangnya dapat dilakukan melalui enam langkah nyata seperti diuraikan di atas. Perubahan mindset merupakan sebuah keharusan jika ingin mewujudkan perilaku baru dalam birokrasi publik. Perubahan prosedur pelayanan dari pelayanan yang cenderung kompleks dan menghambat akses warga secara wajar menjadi pelayanan yang cepat, pasti, transparan, dan responsif, hanya akan berhasil jika diikuti dengan perubahan misi dan budaya birokrasi. Selama misi utama birokrasi masih pada upaya untuk mengendalikan perilaku, akan sulit untuk mengembangkan praktik pelayanan publik yang baik. Beberapa strategi pokok yang perlu dilakukan untuk mengubah paradigma pelayan yang dapat dilakukan dalam rangka pembenahan pelayanan publik di Indonesia adalah Pertama, mengubah budaya paternalistik/feodalisme dalam pelayanan menjadi budaya egaliter sehingga posisi antara pejabat, pegawai pemerintahan, dan pengguna jasa layanan publik

adalah sama. Masyarakat sebagai pengguna jasa layanan publik bukanlah pihak yang meminta-minta pelayanan secara cuma-cuma, karena pada dasarnya mereka sudah membayar pelayanan itu melalui pajak dan retribusi yang dibayarkan. Kedua, menegakkan kriteria efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan. Tidak semata-mata bahwa pelayanan kepada publik sudah dilakukan, namun harus memerhatikan apakah pelayanan tersebut sudah cukup cepat, mudah, dan jelas bagi masyarakat, juga tidak menghabiskan banyak biaya, terutama biaya yang seharusnya tidak perlu (tidak resmi). Ketiga, mengembangkan remunerasi berdasarkan kinerja (merit system), sehingga mendorong aparatur lebih kreatif dan inovatif dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Keempat, terbuka menerima kritik yang disampaikan publik (media, LSM, dan masyarakat). Pada saat yang sama, dikembangkan juga mekanisme evaluasi secara berkala atas pelayanan yang sudah dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal. Keempat, membudayakan delegasi kewenangan dan diskresi yang bertanggung jawab. Tidak boleh lagi ada pelayanan kepada masyarakat yang terhambat karena tidak adanya pimpinan. Keenam, orientasi kepada pelayanan pengguna jasa. Tidak seperti pelayanan yang dikembangkan sektor swasta, pelayanan yang dikembangkan oleh birokrasi selama ini cenderung kurang berorientasi kepada pengguna jasa. DAFTAR PUSTAKA Departemen Keuangan Republik Indonesia. Inspektorat Jenderal. Majalah Auditor, Vol. 4, No. 8, Juni-Agustus Tahun 2003 Hayat, Bahrul. Arah dan Pola Reformasi Birokrasi Kementerian Agama. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional pada tanggal 14 s.d 16 Juli 2008. Kepmenpan No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik Ismani, HP. Etika Birokrasi. Jurnal Administrasi Negara. Vol. II, No. 1. September 2001: 31-41 Rooswiyanto, Tony. 2005. Etika Organisasi Pemerintah, Bahan Diklat Prajabatan Golongan I dan II. Jakarta: Departemen Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi dalam Perspektif Pengawasan. Makalah Seminar Nasional Pengawasan, tanggal 14 s.d 16 Juli 2008. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Publik Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme *Penulis adalah Widyaiswara Pusdiklat Tenaga Administrasi, Kementerian Agama RI Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

Anda mungkin juga menyukai