Anda di halaman 1dari 0

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan meliputi paru, sistem saraf pusat (SSP), dinding dada
(dengan diafragma dan otot interkostalis) dan sirkulasi paru. Sistem saraf pusat
mengendalikan kerja otot dinding dada, yang bekerja sebagai pompa sistem
pernafasan. Karena komponen sistem pernafasan bekerja sama untuk mencapai
pertukaran gas, malfungsi tiap-tiap komponen atau perubahan hubungan antara
komponen dapat menyebabkan gangguan fungsi. Tiga aspek utama gangguan fungsi
pernafasan yaitu gangguan fungsi ventilasi, gangguan sirkulasi pulmonal, dan
gangguan pertukaran gas. Anatomi pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru
adalah rongga hidung, faring, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus.
a. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga
hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar
sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi
menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu,
terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran
yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler
darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk.
b. Faring (Tenggorokan)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2
saluran, yaitu saluran pernafasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran
pencernaan (orofarings) pada bagian belakang.
c. Laring
Terdapat pita suara / flika vokalis, bisa menutup dan membuka saluran nafas,
serta melebar dan menyempit. Fungsi laring ini membantu dalam proses
mengejan, membuka dan menutup saluran nafas secara intermitten pada waktu
batuk. Pada saat akan batuk, flika vokalis menutup, saat batuk membuka,
sehingga benda asing keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas pada saat
menghirup udara yang tidak dikehendaki.
d. Tenggorokan (Trakea)
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya 10 cm, terletak sebagian di leher
dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku,
dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia.
Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran
pernafasan.
e. Cabang-cabang Tenggorokan (Bronkhus)
Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan
bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang
rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar
cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-
cabang lagi menjadi bronkiolus.
f. Bronkhiolus
Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai
silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada
bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus
kantung udara (alveolus).
Gambar 2.1 anatomi bagian dalam paru-paru
Pada dasarnya tujuan utama dari proses respirasi dapat dibagi menjadi 4
mekanisme, yaitu :
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir
dengan alveoli paru.
2. Difusi dari oksigen (O
2
) dan karbon dioksida (CO
2
) antara alveoli dan
darah.
3. Transformasi O
2
dan CO
2
dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel.
4. Pengaturan ventilasi dan segi-segi lainnya dari respirasi (Guyton, 1996).
2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Paru-paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping
dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang
berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang
terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-
paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam
yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan
selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk
disebut pleura luar (pleura parietalis).
Paru-paru merupakan alat tubuh yang sering mengalami kelainan patologik.
Selain kelainan yang primer mengenai paru-paru, kelainan sistemik atau alat tubuh
lain dapat pula menimbulkan perubahan pada paru-paru. Radang pada bronchus
(bronchitis) sering ditemukan, demikian pula sembab paru-paru, atelektasis dan
bronchopneumonia dapat terjadi pada keadaan terminal. Oleh karena darah dari
semua bagian tubuh harus melalui paru-paru, maka setiap kelainan yang mempunyai
hubungan dengan aliran darah akan mengenai paru-paru juga.
Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di
samping mediastinum. Oleh karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu
sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain
dalam mediastinum. Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh
pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan
hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru
mempunyai apeksi yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm
di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu
lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk
membentuk radiks pulmonalis.
Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi oleh fisura
oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan
inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu
lobus superior dan inferior.
Setiap bronkus lobaris, yang berjalan ke lobus paru-paru, mempercabangkan
bronkus segmentalis. Setiap bronkus segmentalis yang masuk ke lobus paru-paru
secara struktural dan fungsional adalah independen, dan dinamakan segmen
bronkopulmonalis. Segmen ini berbentuk piramid, mempunyai apeks yang mengarah
ke radiks pulmonalis dan basisnya mengarah ke permukaan paru-paru. Tiap segmen
dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga diisi oleh arteri, vena,
pembuluh limfe dan saraf otonom.
Alveolus adalah kantong udara terminal yang berhubungan erat dengan
jejaring kaya pembuluh darah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatomisnya,
semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar.
Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk
skuamosa, bertanggungjawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu
pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah
yang memproduksi surfaktan, yang melapisi alveolus dan memcegah kolapnya
alveolus.
Sirkulasi pulmonal memiliki aliran yang tinggi dengan tekanan yang rendah
(kira-kira 50 mmHg). Paru-paru dapat menampung sampai 20% volume darah total
tubuh, walaupun hanya 10% dari volume tersebut yang tertampung dalam kapiler.
Sebagai respon terhadap aktivitas, terjadi peningkatan sirkulasi pulmonal.
Yang paling penting dari sistem ventilasi paru-paru adalah upaya terus
menerus untuk memperbarui udara dalam area pertukaran gas paru-paru. Antara
alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru terjadi difusi gas yang terjadi berdasarkan
prinsip perbedaan tekanan parsial gas yang bersangkutan.
Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah
pertukaran gas, tetapi tetap berada dalam saluran napas di mana pada tempat ini tidak
terjadi pertukaran gas, seperti pada hidung, faring dan trakea. Udara ini disebut udara
ruang rugi, sebab tidak berguna dalam proses pertukaran gas. Pada waktu ekspirasi,
yang pertama kali dikeluarkan adalah udara ruang rugi, sebelum udara di alveoli
sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian dari gas
ekspirasi paru-paru. Ruang rugi dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik dan
ruang rugi fisiologik. Ruang rugi anatomik meliputi volume seluruh ruang sistem
pernafasan selain alveoli dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan erat. Kadang-
kadang, sebagian alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena
tidak adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang
berdekatan. Oleh karena itu, dari segi fungsional, alveoli ini harus juga dianggap
sebagai ruang rugi dan disebut sebagai ruang rugi fisiologis.
Gambar 2.2 Bagian di sekitar paru-paru
Menurut Price S.A dan Wilson L.M tahun 1946 yang peneliti dapatkan
informasinya dari salah satu situs di internet (Google) bahwasannya anatomi
pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru adalah hidung, laring, trakhea,
bronkhus dan bronkhiolus.
Fungsi masing-masing bagian paru-paru yakni sebagai berikut:
1. Fungsi hidung Terdapat bentukan-bentukan yang berfungsi untuk :
a. Bulu-bulu hidung berguna untuk menyaring udara yang baru masuk, debu
dengan diameter > 5 mikron akan tertangkap.
b. Selaput lendir hidung berguna untuk menangkap debu dengan diameter lebih
besar, kemudian melekat pada dinding rongga hidung.
c. Anyaman vena (Flexus venosus) berguna untuk menyamakan kondisi udara
yang akan masuk paru dengan kondisi udara yang ada di dalam paru.
d. Konka (tonjolan dari tulang rawan hidung) untuk memperluas permukaan,
agar proses penyaringan, pelembaban berjalan dalam suatu bidang yang luas,
sehingga proses diatas menjadi lebih efisien.
2. Pharing Terdapat persimpangan antara saluran nafas dan saluran pencernaan.
Bila menelan makanan glotis dan epiglotis menutup saluran nafas, untuk
mencegah terjadinya aspirasi. Pada pemasangan endotrakeal tube glotis tidak
dapat menutup sempurna, sehingga mudah terjadi aspirasi.
3. Laring Terdapat pita suara / flika vokalis, bisa menutup dan membuka saluran
nafas, serta melebar dan menyempit dengan fungsi sebagai berikut :
a. Membantu dalam proses mengejan.
b. Membuka dan menutup saluran nafas secara intermitten pada waktu batuk.
Pada waktu mau batuk flika vokalis menutup, saat batuk membuka, sehingga
benda asing keluar.
c. Secara reflektoris menutup saluran nafas pada saat menghirup udara yang
tidak dikehendaki.
d. Untuk proses bicara.
4. Trakea Dikelilingi tulang rawan berbentuk tapal kuda (otot polos dan bergaris)
sehingga bisa mengembang dan menyempit. Trakea bercabang menjadi 2
bronkus utama.
5. Bronkus Merupakan percabangan trakea, terdiri dari bronkus kanan dan kiri.
Antara percabangan ini terdapat karina yang memiliki banyak saraf dan dapat
menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus kiri
dan kanan tak simetris. Yang kanan lebih pendek, lebih lebar dan arahnya hampir
vertikal. Yang kiri lebih panjang dan lebih sempit dengan sudut lebih tajam.
Bronkus ini kemudian bercabang menjadi bronkus lobaris, bronkus segmentasi,
bronkus terminalis, asinus yang terdiri dari bronkus respiratorius yang terkadang
mengandung alveoli, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis.
6. Paru terdiri dari paru kanan dan kiri yang kanan terdiri dari 3 lobus, kiri 2 lobus.
Dibungkus oleh selaput yang disebut pleura viseralis sebelah dalam dan pleura
parietalis sebelah luar yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura
terdapat cavum interpleura yang berisi cairan. Di dalam saluran napas selain
terdapat lendir, juga bulu-bulu getar / silia yang berguna untuk menggerakkan
lendir dan kotoran ke atas.
Fisiologi Pernafasan Menurut Guyton, respirasi meliputi 2 bidang yakni
respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna adalah pengangkutan
oksigen dari atmosfer sampai ke jaringan tubuh dan pengangkutan karbon dioksida
dari jaringan sampai ke atmosfer. Sementara bagaimana oksigen digunakan oleh
jaringan dan bagaimana karbon dioksida dibebaskan oleh jaringan disebut respirasi
internal.
Proses respirasi merupakan proses yang dapat dibagi menjadi 5 tahap,
yaitu :
1. Ventilasi Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot.
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga
terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu otot sternokleidomastoideus
mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus
mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah : anteroposterior, lateral dan
vertikal.
2. Difusi Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas.
3. Hubungan antara ventilasi-perfusi Pemindahan gas secara efektif antara alveolus
dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru
dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan
perfusi dari unit pulmonar harus sesuai.
4. Transpor oksigen dalam darah, oksigen dapat diangkut dari paru-paru ke
jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma atau secara
kimia berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin (HbO2). Ikatan
kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Dalam keadaan normal
jumlah O2 yang larut secara fisik sangat kecil karena daya larut oksigen dalam
plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah oksigen total yang diangkut.
Cara transpor seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup. Sebagian
besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam sel-sel darah
merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya : keracunan karbon monoksida atau
hemolisis masif dimana terjadi insufisiensi hemoglobin) maka oksigen yang
cukup untuk mempertahankan hidup dapat ditranspor dalam bentuk larutan fisik
dengan memberikan oksigen dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan
atmosfer (ruang oksigen hiperbarik).
5. Pengendalian Pernafasan yang disebut pusat pernafasan adalah suatu kelompok
neuron yang terletak bilateral di dalam substansia retikularis medula oblongata
dan pons. Dibagi menjadi 3 daerah utama yaitu :
a. Kelompok neuron medula oblongata dorsalis, yang merupakan area inspirasi.
Letak neuronnya sangat dekat dan berhubungan rapat dengan traktus
solitarius yang merupakan ujung sensorik nervus vagus dan gloso varingeus.
Sebaliknya masing-masing saraf ini menghantarkan isyarat-isyarat sensorik
dari kemo reseptor perifer, dengan cara ini membantu ventilasi paru.
b. Kelompok neuron medula oblongata ventralis, yang merupakan area
ekspirasi. Merupakan kelompok neuron respirasi ventralis yang bila
terangsang merangsang otot-otot ekspirasi. Area ekspirasi selama pernapasan
tenang dan normal bersifat pasif. Bila dorongan ekspirasi menjadi jauh lebih
besar dari normal maka isyarat-isyarat tertumpah ke area ekspirasi dari
mekanisme osilasi dasar area inspirasi, meningkatkan tenaga kontraktil yang
kuat ke proses ventilasi paru.
c. Area di dalam pons yang membantu kecepatan pernafasan yang disebut area
pneumotaksis. Pusat pneumotaksis menghantarkan isyarat penghambat ke
area inspirasi, yang mempunyai efek membatasi isyarat inspirasi. Efek
sekundernya terjadi bila pembatasan inspirasi memperpendek masa
pernafasan, maka siklus pernafasan berikut akan terjadi lebih dini. Jadi
isyarat pneumotaksis yang kuat dapat meningkatkan kecepatan pernafasan
30-40 x per menit. Sementara yang lemah hanya beberapa kali per menit.
Gambar 2.3 Anatomi saluran pernafasan
2.2. Volume dan Kapasitas Paru
Volume udara dalam paru-paru dan kecepatan pertukaran saat inspirasi dan
ekspirasi dapat diukur melalui spirometer. Nilai volume paru memperlihatkan suhu
tubuh standar dan tekanan ambien serta di ukur dalam mililiter udara. (Sloane, 2003 :
271)
A. Volume
1. Volume tidal (VT) adalah volume udara yang masuk dan keluar paru-paru
selama ventilasi normal biasa. VT pada dewasa muda sehat berkisar 500 ml
untuk laki-laki dan 380 ml untuk perempuan.
2. Volume cadangan inspirasi (VCI) adalah volume udara ekstra yang masuk
ke paru-paru dengan inspirasi maksimum di atas inspirasi tidal. CDI berkisar
3.100 ml pada laki-laki dan 1.900 ml pada perempuan.
3. Volume cadangan ekspirasi (VCE) adalah volume ekstra udara yang dapat
dengan kuat dikeluarkan pada akhir ekspirasi tidal normal. VCE biasanya
berkisar 1.200 ml pada laki-laki dan 800 ml pada perempuan.
4. Volume residual (VR) adalah volume udara sisa dalam paru-paru setelah
melakukan ekspirasi kuat. Volume residual penting untuk kelangsungan
aerasi dalam darah saat jeda pernafasan. Rata-rata volume ini pada laki-laki
sekitar 1.200 ml dan pada perempuan 1.000 ml.
B. Kapasitas
1. Kapasitas residual fungsional (KRF) adalah penambahan volume residual
dan volume cadangan ekspirasi (KRF = VR + VCE). Kapasitas ini
merupakan jumlah udara sisa dalam system respiratorik setelah ekspirasi
normal. Nilai rata-ratanya adalah 2.200 ml.
2. Kapasitas inspirasi (KI) adalah penambahan volume tidal dan volume
cadangan inspirasi (KI = VT + VCI). Nilai rata-ratanya adalah 3.500 ml.
3. Kapasitas vital (KV) adalah penambahan volume tidal, volume cadangan
inspirasi, dan volume cadangan ekspirasi (KT = VT + VCI + VCE).karena
diukur dengan spirometer, kapasitas vital merupakan jumlah udara maksimal
yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas
vital dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti postur, ukuran rongga toraks,
dan komplians paru, tetapi nilai rata-ratanya sekitar 4.500 ml.
4. Kapasitas total paru (KTP) adalah jumlah total udara yang dapat ditampung
dalam paru-paru dan sama dengan kapasitas vital ditambah volume residual
(KTP = KV + VR). Nilai rata-ratanya adalah 5.700 ml.
C. Volume ekspirasi kuat dalam satu detik (VEK
1
)
Volume udara yang dapat dikelurkan dari paru yang terinflasi maksimal saat
detik pertama ekshalasi maksimum. Nilai normal VEK
1
sekitar 80% KV.
D. Volume respirasi menit
Volume tidal dikalikan jumlah pernapasan per menit.
2.3. Penimbunan dan Reaksi Debu Dalam Paru
Masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru-paru dapat memberikan
rangsangan pada organ tersebut, dimana reaksi dan perkembangan selanjutnya
tergantung dari sifat dan jumlah pada partikel debu tersebut.
Partikel debu dapat menstimuli otot polos sirkuler dari saluran pernafasan,
sehingga dapat menimbulkan kontraksi dan menyempitnya saluran pernafasan. pada
beberapa orang tertentu dapat terjadi reaksi yang berlebian walaupun kadar debu
cukup rendah.
Penimbunan debu pada sel muko-siliaris dapat merangsang sekresi dari mucus
dengan gerakan silia dan reflek batuk dapat mengeluarkan debu bersama-sama
mukus. Pada keadaan kronis kelenjar dapat membengkak, seingga penyempitan
daripada saluran udara dapat bersifat permanen.
Pada saat seseorang menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan
terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru
akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel
yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas,
sedangkan partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran
pernapasan bagian tengah. Partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron,
akan masuk ke dalam kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel
yang lebih kecil lagi, kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat nafas dihembuskan.
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh
adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Penyakit
pneumoconiosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk
atau terhisap ke dalam paru-paru. Partikel debu yang dapat mengendap dan
menempel pada permukaan alveoli akan merangsang pengerahan makrofag pada
daerah tersebut. Pada keadaan kronis dapat merangsang sel-sel fibroblast yang
terdapat pada jaringan interstisiil (jaringan penyangga) untuk memproduksi jaringan
retikulis dan kolagen yang berlebihan sehingga terjadi apa yang disebut fibrosis.
Penimbunan debu dalam paru-paru dapat menimbulkan (George, 1976) sebagai
berikut :
a. Sedikit atau tidak ada reaksi sama sekali
b. Produksi dan sekresi mukus yang berlebihan
c. Pembesaran kelenjar mukosa
d. Pengerahan sel-sel makrofag dan pencernaan partikel debunya.
e. Proliferasi kronik atau reaksi peradangan
f. Retikulinosis
g. Fibrosis
h. Metaplasia atau keganasan.
Menurut Sumamur (1996) dengan menarik nafas, udara yang mengandunng
debu masuk ke dalam paru-paru. Apa yang terjadi dengan debu itu, sangat tergantung
dari pada besarnya ukuran debu. Debu-debu berukuran di antara 5-10 mikron akan
ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron
ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya di antara
1 dan 3 mikron akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru-paru. Partikel-
partikel yang berukuran 0,1-1 mikron tidak begitu gampang hinggap di permukaan
alveoli, oleh karena debu-debu ukuran demikian tidak mengendap. Debu-debu yang
partikel-partikelnya berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil,
sehingga tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput lender, oleh karena
gerakan Brown, yang menyebabkan debu demikian bergerak keluar masuk alveoli.
2.4. Kelainan Paru Yang Dapat Dideteksi Dengan Tes Fungsi Paru
Beberapa kelainan paru-paru yang dapat dideteksi dengan tes fungsi paru
adalah sebagai berikut : (ILO : 1996)
1. Sindrom penyumbatan (obstructive sidrome)
Sindrom penyumbatan ini terjadi apabila kapasitas ventilasi menurun akibat
menyempitnya saluran udara pernafasan. Keadaan ini ditandai dengan :
a. Penurunan volume ekspirasi yang dipaksakan (FEV) yang dapat ditunjukan
sebagai persentase terhadap kapasitas vital yang dipaksakan (FVC) atau
kapasitas vital (VC).
b. Peningkatan volume residu (RV).
2. Sindrom Pembatasan (restrictive syndrome)
Sindrom pembatasan ini terjadi apabila terjadinya penurunan kapsitas ventilasi
sebagai akibat dari menurunnya kapasitas vital (VC). Keadaan ini ditandai
dengan volume ekspirasi yang dipaksakan dalam persen (FEV 1,0%) normal atau
meningkat.
3. Sindrom gangguan fungsi parensima paru-paru
Sindrom ini ditandai dengan meningkatnya ventilasi (hyper ventilation) dan
menurunnya jumlah oksigen dalam pembuluh darah arteri (hypoksemia) dan
menurunnya kemampuan difusi pada waktu istirahat atau bekerja.
4. Sindrom paru-paru mengembang
Sindrom ini ditandai dengan meningkatnya tekanan gas CO
2
dalam darah arteri
(hiperkapnea). Keadaan ini biasanya diakibatkan oleh karena adanya penekanan
pada pusat pernafasan.
2.5. Uji Fungsi Paru
Upaya perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk memelihara dan
menjaga agar tenaga kerja tetap dalam keadaan sehat dan selamat sewaktu maupun
sesudah kerja. Cara terbaik untuk itu adalah dengan melakukan tindakan pencegahan.
Dari berbagai cara pencegahan yang dapat dilakukan, pemantauan kesehatan tenaga
kerja merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pemantauan disesuaikan dengan
spesifikasi faktor bahaya yang ada atau diduga ada dalam sistem kerja masing-
masing faktor bahaya yang terkandung dalam udara, misalnya dapat berwujud
inhalasi bahan kimiawi atau partikel debu atau benda asing lainnya ke dalam paru.
Pengukuran fungsi ventilasi untuk keperluan diagnostik terdiri atas
pengukuran kuantitas volume udara di dalam paru di bawah kondisi tertentu dan
kecepatan pengeluaran udara di dalam paru. Dua cara pengukuran volume paru yang
lazim digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit pernafasan adalah
pengukuran total lung capacity (kapasitas total paru) atau TLC dan residual volume
(volume residual) atau RV. Kapasitas total paru (TLC) adalah volume udara yang
ada di dalam paru setelah inspirasi maksimal, sedangkan residual volume (RV)
adalah volume udara yang tersisa di dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal.
Volume udara yang dihembuskan keluar dari paru dalam perubahan dari TLC
menjadi RV disebut vital capacity (kapasitas vital) atau VC.
Pengukuran aliran udara pernafasan secara klinis yang lazim dilakukan
adalah melalui perasat, yaitu pasien melakukan inspirasi hingga mencapai kapasitas
total paru dan kemudian menghembuskan udara dengan kuat himgga mencapai
volume residual (RV). Tiga pengukuran secara umum dihasilkan dari perekaman
volume-waktu, yaitu spirogram yang didapat selama melakukan perasat ekspirasi
paksa (forced expiration): (1) volume udara yang dihembuskan keluar selama satu
detik pertama ekspirasi (volume ekspirasi paksa dalam satu detik) atau FEV1 (forced
expiratory volume in 1 second), (2) total volume yang dihembuskan keluar dengan
paksa (FVC, forced vital capacity, kapasitas vital paksa) dan (3) kecepatan aliran
udara ekspirasi rata-rata selama kapasitas vital 50 persen (forced expiratory flow
antara kapasitas vital 25% dan 75% atau FEF25-75% juga disebut maximal
midexpiratory flow rate atau MMFR).
Pengukuran yang dilakukan untuk uji fungsi paru adalah pengukuran FEV
1
(Forced Expiratory Volume in one Second). FEV
1
adalah volume udara yang dapat
dihembuskan dalam satu detik dengan usaha maksimum setelah inspirasi maksimum.
Nilai FEV
1
yang rendah menunjukan gambaran obstruksi saluran pernafasan. Dari
hasil penelitian, inhalasi debu kapas, flax, hennep, menimbulkan penurunan kapasitas
ventilasi terhadap sebagian besar tenaga kerja di pabrik.
Pengukuran FEV
1
dilakukan pada waktu mulai kerja dan sehabis kerja.
Penurunan kapasitas ventilasi ini dapat dihambat degan pemberian obat
bronkodilator, anthihistamin dan vitamin C. Pemaparan dalam jangka panjang dapat
menimbulkan perubahan yang menetap pada kapasitas ventilasi. Efek akut ini dapat
diukur dengan penurunan FEV
1
dan hasilnya :
a. Kurang dari 0,06 liter : tidak ada efek akut.
b. 0,06-0,20 liter : efek akut nyata.
c. Lebih dari 0,20 liter : efek akut lebih.
Apabila pengukuran FEV
1
dibandingkan dengan orang normal menurut ras,
tinggi dan umur yang sma, hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Lebih dari 80% : tidak ada kelainan paru kronis.
b. 60-80% : ringan sampai sedang.
c. Kurang dari 60% : sedang sampai berat.
Merchant et al (1975) sesudah membedakan bermacam-macam uji fungsi paru
mengambil kesimpulan bahwa pengukuran FEV
1
memberikan perbedaan sangat
tetap dan tepat antara pekerja yang menderita bissinosis atau yang mengalami
penurunan fungsi paru dan yang tidak menderita.(Majalah Hiperkes : 1983)
Tabel 2.1 Kriteria gangguan fungsi paru menurut ATS
(American Thoraric Society)
Kategori KVP
(%pred)
VEP1
(%pred)
VEP1/KVP
(%)
DLCO
(%pred)
VO2m(ml/kg/
mt)
Normal 80 80 75 80 25
Ringan 60 - 79 60 - 79 60 - 74 60 - 79 16 - 24
Sedang 51- 59 41 - 59 41 - 59 41 - 59 16 - 24
Berat 50 40 40 40 15
2.6. Faktor-faktor Karakteristik Pekerja Yang Berpengaruh Terhadap
Kesehatan Fungsi Paru
Kesehatan fungsi paru pekerja dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai
berikut :
1. Merokok
Merokok merupakan faktor penting untuk terjadinya bronkhitis menahun dan ada
juga hubungannya dengan phatogenitas emphysema paru-paru terutama pada
perokok berat. (Hadiarti : 1982)
2. Kebiasaan menutup hidung dan mulut dengan masker
Kebiasaan menutup hidung dan mulut dengan menggunakan masker bagi tenaga
kerja akan menghambat pemajanan debu dalam paru-paru sehingga menghambat
kerusakan paru-paru lebih lanjut. Sebab semakin banyak fibrogenic material
(debu proliverative lain) tertimbun pada paru-paru semakin banyak terjadi
kerusakan alveoli (fibrosis paru-paru) akibatnya akan mengurangi elastisitas pada
paru-paru, sehingga menurunkan fungsi paru. (Wigers, 1955)
3. Umur
Semakin tua usia seseorang terjadi degenerasi otot-otot pernafasan dan elastisitas
jaringan akan menurun sehingga kekuatan otot-otot pernafasan berkurang
menyebabkan kemampuan untuk menghirup udara berkurang. Semakin tua umur
akan makin banyak alveoli paru-paru yang rusak karena ketuaan sehingga
menimbulkan tidak berfungsinya alveoli dan terjadi pengerasan pada dinding
alveoli. (Wigers, 1955)
4. Masa kerja
Lamanya tenaga kerja terpajan oleh cemaran debu merupakan faktor penting
timbulnya penimbunan debu di dalam paru-paru. Semakin lama bekerja di tempat
ruangan yang berdebu maka kemungkinan besar banyak pulalah debu tertimbun
di dalam paru-paru sebagai hasil penghirupan debu sehari-hari dalam bekerja.
(Sumakmur, 1995)
2.7. Debu
2.7.1. Definisi, Sumber, dan Karakterisitk Debu
Pengertian debu menurut International Labour Organization (ILO, 1998)
yang tercatat dalam tesis Ida Choridah (2008) didefinisikan sebagai suatu bentuk
aerosol yang terbentuk oleh proses mekanis dari bagian bahan baku ke dalam udara
dengan bentuk halus dengan komposisi bahan kimia yang sama. Partikel debu
umumnya padat dan bentuk tidak beraturan dengan diameter lebih 1m. Sedangkan
definisi debu menurut kelompok studi WHO yang dikutip oleh Pricella Maulana
(2002) adalah aerosol yang terdiri dari partikel padat tidak termasuk benda hidup.
Debu adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatan-
kekuatan alami atau mekanisme, seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan,
pengempakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik
maupun anorganik, misalnya : batu, kayu, biji logam, arang, butir-butir zat dan lain
sebagainya (Sumamur, 1996) atau kontaminan yang tersuspensi di udara dalam
bentuk partikulat atau debu padat dengan rentang diameter 0,001 sampai dengan 100
mikron. Debu aerosol dan gas iritan kuat menyababkan reflek batuk atau spasme
larings atau penghentian bernfas (WHO, 1993).
Berbagai jenis pencemar yang dilepaskan ke udara berasal dari aktivitas
alamiah ataupun manusia. Pencemaran udara alamiah terbentuk dari berbagai sumber
biotik maupun abiotik. Seperti dekomposisi bahan-bahan radioaktif, kebakaran
hutan, tanaman, letusan gunung berapi, emisi dari air serta tanah dan sumber
geothermal lainnya. Sedangkan pencemaran udara berdasarkan aktivitas manusia
terjadi karena meluasnya penggunaan bahan kimia dan berdampak pada kesehatan
masyarakat dan lingkungan (WHO, 2000).
Pada umumnya sumber pencemar udara diklasifikasikan menjadi sumber
pencemar diam dan bergerak. Sumber pencemar diam diantaranya adalah
pembangkit listrik, industri dan rumah tangga. Sedangkan sumber pencemar bergerak
diantaranya adalah aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor dan transportasi laut
(Sudrajat, 2005).
Pencemar dari industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Deposit, particulate matter, ialah debu yang hanya sementara ada di udara dan
segera mengendap akibat daya tarik bumi; 2) Suspendet particulate matter, ialah
debu yang tetap berada di udara dan tidak mengendap (Yunus, 1997). Partikel debu
yang dapat dihirup berukuran 0,1 sampai 10 mikron. Debu dalam industri dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu: debu organik (padi, kapas, bulu
binatang dan lainnya) dan debu anorganik (metalik dan non metalik).
Debu yang berbahaya terhadap saluran nafas adalah debu yang dapat dihirup
oleh alat nafas. Debu ini disebut debu inhalable dengan diameter di bawah 10m.
Debu yang lebih besar dari 10m akan dikeluarkan seluruhnya dari saluran nafas.
Debu yang terhirup ke dalam saluran nafas sebagian akan masuk ke alveoli yaitu
bagian paru-paru tempat terjadinya proses pertukaran O
2
dan CO
2
. Debu ini disebut
sebagai debu respirable yaitu yang berukuran 5m. Tergantung ukuran kecepatan
aliran udara serta bentuk anatomis saluran nafas, debu akan ditimbun di bagian paru
yang berbeda dengan mekanisme yang berbeda pula.
Menurut ukuran debu di udara dapat dibagi menjadi 2 macam (Sumamur,
1996) yaitu:
1. Debu inhalabel, yaitu debu dengan ukuran 10 mikron yang mengendap dalam
saluran pernafasan. Debu yang berukuran kecil atau respirabel dengan ukuran <5
mikron akan dapat mencapai paru-paru dan tertahan di sana. Debu dalam ukuran
ini sering tidak kelihatan dalam kondisi penerangan biasa, oleh karena itu harus
diperhatikan cara pengendaliannya agar tidak mengganggu tenaga kerja.
Kerusakan yang terjadi pada paru-paru sangat tergantung pada ukuran debu,
menurut Waldboth seperti yang dikutip Sumamur (1996), yaitu:
a. Diameter 0,001 - 0,1 mikron, debu keluar masuk saluran pernafasan dengan
gerakan brown.
b. Diameter 0,1 1,0 mikron, debu apabila terdifusi dapat mengendap di
alveoli.
c. Diameter 1,0 3,0 mikron, debu dapat mengendap di alveoli.
d. Diameter 3,0 5,0 mikron, debu dapat masuk sampai antara bronchial
dengan trachea.
e. Diameter 5,0 10,0 mikron, debu sampai hanya trachea.
2. Bukan debu inhalabel, yaitu debu yang diameternya >10,0 mikronyang hanya
sampai rongga hidung.
2.7.2. Jenis-jenis debu
Debu debu industri diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok besar yaitu debu
organik dan debu anorganik. Debu organik berasal dari material tumbuh-tumbuhan
dan binatang atau dari metrian sintetik. Secara umum, debu-debu organik cenderung
menimbulkan reaksi alergik setelah terjadi pajanan akut dan kronis. Debu organik
sintetik dapat menimbulkan iritasi dan reaksi alergik dan juga pengaruh-pengaruh
lokal seperti dermatitis atau pengaruh toksik sistemik seperti kerusakan liver.
Debu anorganik dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian yakni metalik dan
non metalik. Debu non metalik mengandung silica yang lebih lanjut diklasifikasikan
sebagai crystalline atau amorphous. Debu metalik anorganik dapat mengakibatkan
dermatitis lokal dan toksisitas sistemik, terutama ginjal, darah dan sistem syaraf
pusat. Debu yang mengandung crystalline atau silica bebas dapat menyebabkan
pneumokoniosis sebagai akibat pajanan kronik (Alpaugh, 1988 dalam Adelina
Siregar, 2004).
2.7.3. Exposure Debu Terhadap Paru-paru
a. Efek debu terhadap paru-paru
Debu yang tertimbun di dalam jaringan alveoli dapat menyebabkan
mengerasnya jaringan tersebut (Edwin L. Alpaugh : 1988). Keadaan
mengerasnya jaringan paru-paru disebut fibrosis. Apabila banyak bagian dari
paru-paru mengalami fibrosis, maka jaringan tersebut menjadi kurang elastis. Hal
ini menyebabkan berkurangnya kapasitas paru-paru dalam menampung udara
pernafasan. Dengan kata lain, fibrosis dapat menyebabkan terjadinya penurunan
kapasitas pernafasan. Bila jumlah udara yang ditampung dalam paru-paru
berkurang, maka oksigen yang dapat diserap oleh kapiler darah juga tidak
mencukupi kebutuhan. Akibatnya alat tubuh yang banyak memerlukan oksigen
(seperti jantung, otak dan lain-lain) akan menderita kekurangan oksigen sehingga
dapat menimbulkan gangguan terhadap faal dari alat-alat tubuh tersebut. Untuk
menambah keperluan oksigen, maka kekuasan kontraksi otot-otot pernafasan
diperbesar, agar paru-paru lebih banyak berkembang lagi. Karena jaringan paru-
paru yang mengalami fibrosis ini kurang elastis, maka sewaktu menarik nafas
dapat menyebabkan perasaan sesak nafas dan atau sakit dada. Jadi, adanya
penurunan kapasitas pernafasan serta adanya perasaan sesak nafas dan atau sakit
dada, dapat dipakai sebagai tolak ukur adanya kelainan faal paru-paru menahun,
yang antara lain dapat disebabkan oleh efek debu.
Berat ringannya efek debu terhadap paru-paru dipengaruhi oleh efek
beberapa faktor antara lain : ukuran, konsentrasi, lamanya pajanan, jenis serta
sifat-sifat kimia dari debu tersebut. Selain itu, faktor kondisi atau daya tahan
seseorang juga berpengaruh atas berat atau ringannya efek debu tersebut terhadap
paru-paru.
b. Mekanisme masuknya debu dalam alat pernafasan
Di sini ada 3 (tiga) alternatif terhadap mekanisme masuknya debu dalam
paru-paru sebagai berikut : (Riadi, 1972)
1. Pengaruh inertia debu sendiri
Karena inertia atau kelembaban dari partikel debu yang bergerak yaitu pada
waktu udara membelok ketika melalui saluran pernafasan yang tidak lurus,
maka partikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat membelok
mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya menumbuk
selaput lendir dan hinggap di sana.
2. Pengaruh sedimentasi
Pengaruh sedimentasi terutama terjadi di tempat-tempat bronchi dan
bronchioli karena di tempat tersebut kecepatan udaranya sangat kurang, kira-
kira 1 cm/detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu
dan mengendapkannya.
3. Gerakan Brown
Gerakan brown lebih berlaku pada debu-debu yang mempunyai ukuran
kurang dari 0,1 m, dimana melalui gerakan udara tiba sampai pada
permukaan alveoli.
Demikian kemungkinan mekanisme masuknya debu dalam saluran
pernafasan. Sebaliknya bila debu tersebut sudah dapat masuk selanjutnya nasibnya
tergantung pada lokasi dimana debu tersebut tersangkut maupun jenis debu tersebut.
Jenis debu tersebut akan menentukan pengaruhnya terhadap faal paru.

Anda mungkin juga menyukai

  • Model Studi
    Model Studi
    Dokumen6 halaman
    Model Studi
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    100% (3)
  • OB 1 Kelompok 5 Fix
    OB 1 Kelompok 5 Fix
    Dokumen15 halaman
    OB 1 Kelompok 5 Fix
    Amira Shafuria
    Belum ada peringkat
  • Pendahuluan FIK
    Pendahuluan FIK
    Dokumen30 halaman
    Pendahuluan FIK
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Bi Cuy
    Bi Cuy
    Dokumen10 halaman
    Bi Cuy
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Makalah Fisika Atom
    Makalah Fisika Atom
    Dokumen11 halaman
    Makalah Fisika Atom
    Meri Afriani
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 24
    Kelompok 24
    Dokumen19 halaman
    Kelompok 24
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Rampan Karies
    Rampan Karies
    Dokumen9 halaman
    Rampan Karies
    Dewi Kurniasih
    Belum ada peringkat
  • Cara Kerja Obat
    Cara Kerja Obat
    Dokumen1 halaman
    Cara Kerja Obat
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Bi Cuy
    Bi Cuy
    Dokumen10 halaman
    Bi Cuy
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • OB 1 Kelompok 5 Fix
    OB 1 Kelompok 5 Fix
    Dokumen15 halaman
    OB 1 Kelompok 5 Fix
    Amira Shafuria
    Belum ada peringkat
  • Rampan Karies
    Rampan Karies
    Dokumen9 halaman
    Rampan Karies
    Dewi Kurniasih
    Belum ada peringkat
  • Vol.19 No
    Vol.19 No
    Dokumen8 halaman
    Vol.19 No
    Lukman Husni
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi Darah
    Fisiologi Darah
    Dokumen1 halaman
    Fisiologi Darah
    Nadya Purwanty
    Belum ada peringkat
  • Cara Kerja Obat
    Cara Kerja Obat
    Dokumen1 halaman
    Cara Kerja Obat
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Fisika Inti
    Fisika Inti
    Dokumen4 halaman
    Fisika Inti
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Cavitas Thoracis
    Cavitas Thoracis
    Dokumen143 halaman
    Cavitas Thoracis
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Formulir PSIPD
    Formulir PSIPD
    Dokumen2 halaman
    Formulir PSIPD
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Contoh Praktikum Kating
    Contoh Praktikum Kating
    Dokumen4 halaman
    Contoh Praktikum Kating
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Contoh Praktikum Kating
    Contoh Praktikum Kating
    Dokumen4 halaman
    Contoh Praktikum Kating
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • 2 Makalah Orto 4 - Oral Habits and Their Management-Mei11 Dan Soal
    2 Makalah Orto 4 - Oral Habits and Their Management-Mei11 Dan Soal
    Dokumen45 halaman
    2 Makalah Orto 4 - Oral Habits and Their Management-Mei11 Dan Soal
    NurAnizha
    Belum ada peringkat
  • Bagian Suhu
    Bagian Suhu
    Dokumen8 halaman
    Bagian Suhu
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Bagian Metabolisme
    Bagian Metabolisme
    Dokumen14 halaman
    Bagian Metabolisme
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • KARBOHIDRAT
    KARBOHIDRAT
    Dokumen3 halaman
    KARBOHIDRAT
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat
  • Biokompatibilitas Amalgam Gigi
    Biokompatibilitas Amalgam Gigi
    Dokumen10 halaman
    Biokompatibilitas Amalgam Gigi
    Gusnia Ira Hastuti Hutabarat
    Belum ada peringkat