Anda di halaman 1dari 12

Tinjauan Pustaka

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan

I Made Setiawan
Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof DR. Sulianti Saroso, Jakarta

Abstak: Jumlah penderita HIV/AIDS pada anak dan bayi makin lama makin bertambah, karena jumlah ibu hamil yang menderita penyakit HIV/AIDS juga bertambah. Sebagian besar anak/ bayi yang menderita penyakit HIV mendapat penularan vertikal dari ibu hamil terinfeksi. Penularan penyakit sangat dipengaruhi oleh faktor risiko yang terdapat pada ibu. Ada berbagai faktor risiko pada ibu yang mempermudah penularan vertikal kepada anak/bayi, di antaranya kebiasaan ibu (perokok, peminum, pemakai obat terlarang, hubungan seks bebas tanpa pelindung dll.), jumlah muatan virus di dalam plasma, infeksi penyakit yang ditularkan melalui seks, cara persalinan (per vaginam, bedah saesar), trauma pada proses persalinan per vaginam, dan pemberian ASI kepada bayi. Untuk mengurangi penularan vertikal dari ibu terinfeksi HIV/ AIDS, maka program tata laksana pencegahan penularan vertikal dari ibu ke bayi harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, misalnya dengan menghindari serta menghilangkan faktor risiko yang terdapat pada ibu, sambil memberikan obat profilaksis antiretrovirus kepada ibu maupun bayinya. Kata kunci: Penularan vertikal, HIV/AIDS, faktor risiko, pencegahan, profilaksis antiretrovirus.

488

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan

The Prevention Management of HIV Vertical Transmission from Infected Mothers to Their Child I Made Setiawan
Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof DR. Sulianti Saroso, Jakarta

Abstract: The number of HIV/AIDS infection in children is increasing, because the incidence of HIV-infected pregnant women is also mounting. Most of the infant and children suffering from HIV infection receive vertical transmission from HIV-infected mothers. The transmission of the disease is effluent by risk factors in the HIV-infected mother. There are many risk factors that can facilitate vertical transmission to infants, such as, mothers behaviors (cigarette smooking, alcohol dringking, drugs using, unprotected sexual intercourse with multiple partners during pregnant, etc.), maternal plasma viral load, prevalence and incidence of other sexually-transmitted infection in mother, mode of delivery (vaginal or caesarean section) especially when there are traumas in vaginal delivery processes, and breast milk from HIV-infected mother. To avoid the vertical transmission, the program of preventing mother-to-child transmission management should be applied optimally by avoiding and abandoning the risk factors in HIV-infected pregnant women, while giving antiretroviral prophylaxis to mothers and their infants. Key words: mother-to-child transmission, HIV/AIDS, risk factors, prevention, antiviral prophylaxis.

Pendahuluan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada bayi dan anak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius karena jumlah penderita banyak dan selalu meningkat sebagai akibat jumlah ibu usia subur yang menderita penyakit HIV bertambah. Sebagian besar (>90%) infeksi HIV-1 pada bayi ditularkan oleh ibu terinfeksi HIV-1.1 Pada tahun 2005, secara global terdapat 700 000 penderita terinfeksi HIV setiap hari dan 200 000 di antaranya adalah anak yang berusiausia kurang dari 15 tahun dengan angka kematian terbanyak adalah mereka yang berusiausia kurang dari 1 tahun. Kebanyakan anak-anak ini mendapat infeksi pada saat perinatal. Sebagian besar penderita anak ditemukan di Afrika.2 Di Amerika Serikat, hampir 6.000 ibu hamil terinfeksi HIV melahirkan setiap tahun.3 Sampai tahun 1995, sebanyak 16.000 bayi terinfeksi HIV-1 di Amerika Serikat mendapat penularan secara vertikal pada saat perinatal dan umumnya anak-anak ini meninggal pada usia muda karena menderita AIDS.4 Dengan majunya ilmu pengetahuan, para ahli berusaha untuk melakukan pencegahan agar tidak terjadi penularan HIV dari ibu ke bayi dengan berbagai cara yaitu, dengan

mencegah infeksi HIV pada wanita, melakukan konseling dan testing pada seluruh ibu hamil, memberi obat profilaksis antiretrovirus kepada ibu dan neonatus, memberikan obat antiretrovirus kombinasi kepada ibu, menghindari pemberian air susu ibu (ASI) kepada bayi baru lahir, menghindari prosedur persalinan invasif, dan melakukan persalinan dengan cara bedah caesar elektif.5-7 Untuk menangani masalah ini diperlukan tim yang terdiri dari dokter anak, dokter kebidanan, dan dokter yang memiliki kepedulian serta pengetahuan mengenai infeksi HIV, serta kader di puskesmas yang bekerja sama dalam menjalankan tata laksana bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV.7 Penularan HIV dari Ibu ke Anak Banyak penelitian membuktikan bahwa penularan HIV terjadi pada masa intrauterin dan saat intrapartum.8,-11 Dengan menggunakan perhitungan model matematika maka distribusi penularan dari ibu ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum persalinan, dan pada saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital ibu. Penularan lainnya terjadi pada

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

489

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan masa dini kehamilan dan pada saat bayi menetek. Akan tetapi, peranan dari masing-masing saat penularan masih belum diketahui dengan jelas.4,8,10-12 Walaupun demikian, Damania dan Tank (2006) menyatakan bahwa sekitar 25 sampai 35% penularan terjadi pada saat antenatal terutama pada fase akhir kehamilan dan 70 sampai 75% terjadi pada saat persalinan. Selain itu, penularan pada saat menetek terjadi sekitar 14%.13 Karena banyak para ahli mengatakan bahwa penularan lebih sering terjadi pada masa kehamilan tua dan pada saat melahirkan, dan sangat jarang terjadi pada masa permulaan kehamilan, maka yang menjadi sasaran penting untuk mencegah penularan vertikal adalah janin pada fase akhir intrauterin dan pada waktu intrapartum.9-11 Angka Penularan Vertikal dari Ibu ke Bayi Angka penularan vertikal dari ibu ke bayi sangat bervariasi pada berbagai populasi. Tanpa pencegahan, angka rata-rata penularan HIV dari ibu ke bayi sekitar 14-42%. Angka penularan vertikal di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropah Barat berkisar antara 15 sampai 20%, sedangkan di negara sedang berkembang angka penularan vertikal adalah 40%. Misalnya di India, angka penularan vertikal berkisar antara 24 sampai 40%.13 Akan tetapi, angka penularan vertikal di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Faktor Risiko Penularan Dari Ibu Ke Bayi Tingginya angka penularan vertikal sangat dipengaruhi oleh adanya faktor risiko pada ibu hamil yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu untuk menurunkan angka penularan vertikal, maka pengenalan faktor risiko pada ibu secara dini sangat penting. Ada banyak faktor risiko penularan vertikal dari ibu ke bayi di antaranya, beratnya infeksi HIV/AIDS yang diderita ibu, cara melahirkan bayi dan proses persalinan bayi, adanya penyakit infeksi lain pada genitalia ibu, kebiasaan ibu, dan pemberian ASI kepada bayi sesudah lahir.13 Beratnya keadaan infeksi HIV pada ibu merupakan faktor risiko utama terjadinya penularan perinatal.14 Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan imunitas ibu.10,11,14-17 Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.13,15,16,18-20 Cara persalinan bayi sangat menentukan terjadinya penularan vertikal. Bayi yang dilahirkan per vaginam mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir dengan bedah saesar.7,17 Bayi yang lahir per
490

vaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum, dan episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular HIV-1.13 Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Risiko penularan dalam proses persalinan ditentukan oleh keutuhan plasenta dan membran janin,14 lamanya pecah ketuban, dan adanya komplikasi persalinan (seperti infeksi dan perdarahan pada ibu).10,11 Bila dalam proses persalinan ditemukan adanya plasenta yang tidak utuh, membran janin yang robek, ketuban pecah dini, dan adanya komplikasi persalinan, maka bayi akan mem-punyai risiko lebih tinggi untuk tertular infeksi HIV-1.10,11,14,21 Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.10,11,14,21,22 Faktor risiko lainnya adalah cara pemberian minum bayi pada saat perinatal. Bayi yang menetek mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi susu formula.10,11,20 Risiko akan lebih tinggi lagi bila tetek ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis ataupun subklinis). Di negara berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup memegang peranan penting.13 Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Merokok adalah salah satu kebiasaan ibu yang buruk. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu pengguna obat terlarang.23,24 Demikian juga, ibu yang melakukan hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan yang berganti-ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.10,11,17,21 Tata Laksana Strategi yang paling tepat untuk mencegah penularan vertikal adalah melarang ibu yang terinfeksi HIV-1 untuk hamil, dan melakukan terminasi kehamilan bagi ibu terinfeksi HIV-1. Akan tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan karena setiap orang pasti menginginkan keturunan. Kehamilan serta memiliki keturunan adalah hak setiap manusia. Penderita HIV juga memiliki hak yang sama untuk menikah dan melanjutkan keturunan. Oleh karena itu, agar bayi tidak terinfeksi HIV-1 maka dilakukan strategi pencegahan.13 Telah dikenal beberapa faktor risiko yang dapat mempertinggi angka penularan HIV-1 dari ibu ke bayi. Untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi maka tata laksana pencegahan infeksi bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sebaiknya dimulai sejak saat bayi di dalam kandungan.7 Secara umum strategi pencegahan penularan vertikal dibagi menjadi 3 kelompok seperti yang terlihat pada tabel 1.
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan
Tabel 1. Strategi untuk mencegah penularan vertikal. 13 Antenatal Memberikan antiretrovirus Memperbaiki faktor risiko Intrapartum Memberikan antiretrovirus Mengoptimalkan cara persalinan Posnatal Memberikan antiretrovirus Memberikan pengganti ASI (bila keadaan memungkinkan)

Usaha ini memerlukan kerja sama antara dokter ahli HIV dari kelompok kerja HIV/AIDS yang merawat ibu pada saat sebelum hamil dan dokter kebidanan yang merawatnya pada saat hamil. Tujuan perawatan saat kehamilan adalah untuk mempertahankan kesehatan dan status nutrisi ibu, serta mengobati ibu agar jumlah muatan virus tetap rendah sampai pada tingkat yang tidak dapat dideteksi.6 Kedua dokter tersebut harus membuat rencana program yang dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi. Kerja sama tersebut selanjutnya diteruskan dengan dokter anak yang merawat neonatus.7 Anggota tim sebaiknya terdiri dari seorang pembina untuk ibu terinfeksi HIV, dokter kebidanan, pekerja sosial, keluarga atau teman, dokter anak, dan perawat.7 Dengan kerja sama yang baik maka faktor risiko yang terjadi dapat dihindari sehingga penularan perinatal berkurang.25 Berdasarkan hal tersebut, maka tata laksana untuk mengurangi penularan vertikal dari ibu ke bayi dibagi menjadi 2 yaitu, tatalaksana ibu hamil terinfeksi HIV pada saat antenatal dan intrapartum, dan tatalaksana bayi yang dilahirkannya.17 Tata laksana pada Ibu Hamil Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu Petugas yang melakukan perawatan antenatal di Pskesmas maupun di tempat perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok, mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih lanjut. Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan tata laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang akan dilakukan sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko. Oleh karena itu, semua ibu usia subur yang akan hamil sebaiknya diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1 di masyarakat.6,25,26 Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes HIV, karena peraturan yang memaksa ibu hamil untuk dites HIV belum ada.27
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba dan dewasa muda yang justru pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh sistem pelayanan kesehatan.19 Pada hal pada masa-masa ini banyak terjadi penularan melalui hubungan seks bebas, dan juga banyak sebagai pengguna obat terlarang. Kepada mereka harus diberi konseling dan disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1. Kemudian, jika ditemukan ada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan sebagai pengguna obat terlarang, maka harus dimasukkan ke dalam program pengobatan atau program detoksifikasi.6,28 Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotipe virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti retrovirus (ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV1 dari ibu ke bayi.6,28 Pencatatan dan Pemantauan Ibu Hamil Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang melakukan konseling dan tes HIV pada waktu prenatal,7,19 sehingga mereka tidak dapat dicatat dan dipantau dengan baik. Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk catatan tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain, pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status virologi dan imunologi. Pada saat penderita datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam melihat perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amylase, lipase, gula darah puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T, dan jumlah salinan RNA HIV.7,19 Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil. Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNA HIV-1 harus dilakukan setiap trimester (yaitu, setiap 3-4 bulan) yang berguna untuk menentukan pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu.7 Bila fasilitas pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul. Pengobatan dan Profilaksis Antiretrovirus pada Ibu Terinfeksi HIV Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi,
491

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan maka ibu hamil terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV).6,9,29 Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau neonatus.19,30 Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000 salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinya penularan perinatal.18,31 Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus diberi pengobatan antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.7,17,30,32 Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan hitung sel T CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan jumlah muatan virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma), riwayat pengobatan antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan perawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan psikiater, nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain.10,11,14,17 ARV cukup aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan ibu tidak hamil. 17,32 Walaupun demikian, pemantauan jangka pendek dan jangka panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi ARV untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat penting, karena keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.33 Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada wanita tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan antiretrovirus, keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita tidak hamil. Rejimen kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama dengan antiretrovirus lain, mulai diberikan pada usia kehamilan 14 minggu dan jangan ditunda. Karena dengan menunda maka efektivitasnya akan menurun.34 Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada seluruh ibu hamil yang terinfeksi agar risiko penularan HIV perinatal berkurang.7,35 Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda, umumnya keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan 1) risiko penyakit berkembang pada ibu bila tanpa pengobatan; 2) manfaat untuk menurunkan jumlah virus, agar risiko penularan perinatal berkurang; 3) kemungkinan terjadi toksisitas obat; 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus yang sudah resisten obat; dan 5) efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam kandungan.33 CDC and Prevention USA (2009) menyarankan untuk memberikan pengobatan dan profilaksis antiretrovirus kepada ibu pada saat intrapartum sebagai berikut: 36 Pemberian ZDV intravena disarankan untuk seluruh ibu hamil terinfeksi HIV, tanpa memandang jenis antivirus
492

yang diberikan pada saat antepartum; ini bertujuan mengurangi penularan HIV perinatal. Untuk ibu yang mendapat pengobatan antivirus antepartum yang mengandung obat stavudine (d4T), maka obat ini distop selama pemberian ZDV intravena pada saat persalinan. Pada mereka yang mendapat antiretrovirus kombinasi, pengobatannya harus diteruskan selama persalinan dan sebelum dilakukan bedah saesar sesuai jadwal dengan tepat. Mereka yang mendapat terapi kombinasi dengan dosis yang sudah ditentukan termasuk ZDV, maka pada saat persalinan harus diberi ZDV intravena, sementara komponen antiretrovirus yang lain terus diberikan secara oral. Untuk ibu yang sudah mendapat antiretrovirus tetapi pada saat menjelang persalinan ternyata jumlah penurunan virus kurang optimal (misal >1000 salinan/mL) maka disarankan untuk dilakukan bedah saesar. Tidak disarankan untuk menambahkan NVP dosis tunggal pada saat intrapartum atau kepada neonatus yang dilahirkan. Ibu dengan status HIV yang tidak jelas yang datang pada saat akan melahirkan, harus dilakukan pemeriksaan tes cepat terhadap antibodi HIV, dan pemberian ZDV intravena harus dimulai jika hasil test positif (tanpa menunggu hasil tes konfirmasi) tes konfirmasi dilakukan sesudah melahirkan, dan bayi harus mulai diberi ZDV. Jika hasil tes positif, maka disarankan untuk memberikan ZDV kepada neonatus selama 6 minggu, dan jika hasil tes negatif, maka pemberian ZDV pada neonatus distop. Pada ibu terinfeksi HIV yang sedang melahirkan tetapi tidak mendapat pengobatan antiretrovirus antepartum, disarankan pemberian ZDV intravena selama melahirkan kepada bayinya selama 6 minggu. Beberapa ahli sering mengkombinasi obat ini dengan NVP dosis tunggal yang diberi kepada ibu dan neonatus.37,38 Jika digunakan NVP dosis tunggal (sendiri atau dikombinasi dengan ZDV), maka harus dipertimbangkan untuk memberikan 3TC pada saat melahirkan dan kepada ibu diberikan ZDV/3TC selama 7 hari sesudah melahirkan untuk mengurangi terjadinya resistensi virus terhadap NVP pada ibu. Dosis antiretrovirus yang harus diberikan dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. Untuk ibu yang tidak mendapat pengobatan ARV dan yang mempunyai jumlah muatan virus sangat rendah <1000 salinan/mL, beberapa ahli hanya memberikan ZDV sebagai profilaksis dan pemberian ini distop sesudah melahirkan sementara pemberian pada neonatus diteruskan.3,29 Pemberian zidovudine pada neonatus kurang bulan harus berhati-hati, karena klirens zidovudine pada bayi prematur sangat kurang. Oleh karena itu dosis yang diberikan harus lebih rendah dari dosis untuk bayi cukup bulan.39 Hati-hati memberikan golongan nonnucleoside reversetranscriptase inhibitor (NNRTI), karena sudah ada mutasi
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan virus resisten terhadap NNRTI sebanyak 15-40% pada ibu yang diberi nevirapine dosis tunggal pada waktu persalinan yang mungkin akan mempunyai risiko resisten berikutnya, bila ibu mendapat lagi pengobatan NNRTI.40-42 Pengobatan Penyakit Lain Penyakit lain yang diderita ibu dengan risiko tinggi untuk terjadi penularan vertikal juga harus diobati. Prevalensi dan insiden penyakit yang ditularkan melalui seks (misalnya, N.gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis) sangat tinggi pada wanita terinfeksi HIV-1. Penyakit ini dikenal sebagai faktor yang dapat menfasilitasi penyebaran infeksi HIV melalui hubungan seksual. Beberapa studi membuktikan, bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual (misalnya, N.gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis), trihomoniasis, dan vulvovaginal candidiasis sering disertai dengan jumlah virus HIV yang banyak di dalam sekresi genital, 22 dan pengobatan terhadap semua infeksi tersebut dapat mengurangi jumlah virus, sehingga risiko penularan vertikal HIV juga berkurang.33 Selain itu perlu juga dilakukan pengobatan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual pada laki-laki agar penularan penyakit ini dan penyakit HIV kepada wanita juga berkurang.43 Perawatan Intrapartum dan Cara Persalinan Karena sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara persalinan bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya penularan vertikal.44 Oleh karena itu, penanganan persalinan bayi harus hati-hati dan prosedur yang invasif harus dihindari. Adanya trauma dan kerusakan pada jaringan tubuh ibu maupun bayi akan mengakibatkan terjadinya penularan vertikal. Untuk menghindari penularan vertikal, maka pecah ketuban dini dan penggunaan elektrode kepala perlu dihindari, dan jangan mengambil sampel darah melalui kepala janin. Selain itu, jangan melakukan pertolongan persalinan yang mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk persalinan lama dengan penyulit.13 Persalinan per vaginam mempunyai risiko penularan vertikal HIV-1 dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan bedah saesar. 17 Oleh karena itu, persalinan sebaiknya dilakukan dengan bedah saesar elektif. Hanya dengan melakukan bedah saesar angka penularan vertikal dapat dinurunkan sebanyak 50%. Tindakan bedah ini harus dilakukan sebelum ada tanda-tanda persalinan dan sebelum ketuban pecah.14,19,32,44 Bedah saesar disarankan kepada seluruh ibu hamil terinfeksi HIV-1 yang mempunyai jumlah muatan virus HIV >1000 salinan/mL menjelang persalinan tanpa memperhatikan apakah ibu mendapat profilaksis ARV (antiretrovirus) atau tidak pada saat prenatal.3,19 Di samping melakukan bedah saesar elektif, ibu sebaiknya secara bersamaan juga diberikan profilaksis antirertovirus (ARV).14,32 Pemberian HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) yang disertai dengan tindakan bedah saesar (sebelum persalinan dan sebelum pecahnya membran) pada usia kehamilan 36-38 minggu dapat mengurangi penularan vertikal menjadi 1%.5,6,10,30,44,45 Kemampuan untuk mencegah penularan vertikal antara ibu yang mendapat HAART adalah sama dengan ibu yang mendapat ARV jangka pendek. Tujuan pemberian HAART adalah untuk mengobati penyakit HIV ibu yang sudah berat. Ibu hamil dengan penyakit HIV-1 yang ringan (limfosit CD4 >350/mL), disarankan untuk mendapat profilaksis jangka pendek.46 Untuk ibu yang sudah lama mendapat HAART dan mempunyai jumlah muatan virus kurang dari 1000 salinan/ mL, kalau fasilitas bedah saesar tidak ada, maka ibu dapat melahirkan per vaginam, karena jumlah salinan RNA virus rendah, sehingga angka penularan intrapartum juga rendah, tetapi ibu dan bayi harus tetap diberi profilaksis ARV.13 Perawatan Ibu Sesudah Melahirkan Semua ibu yang terinfeksi HIV dan baru selesai melahirkan disarankan untuk dirawat di ruang perawatan orang dewasa dan dimasukkan dalam program pengobatan.

Tabel 2. Protokol pemberian zidovudine pada ibu hamil untuk mencegah penularan vertikal. 36 Jenis Obat Untuk Ibu Zidovudine (retrovir) Dosis Saat Pemberian Cara Pemberian

100 mg 5 kali/hari 2 mg/kg 1 mg/kg/jam

Masa gestasi 14 minggu sampai menjelang melahirkan Dilanjutkan pada saat melahirkan selama 1 jam. Dilanjutkan sampai lahir Dimulai pada usia 8 jam sampai 6 minggu

Per oral Intravena Intravena Per oral Per oral

Untuk Neonatus Zidovudine (retrovir) masa gestasi >35 minggu Zidovudine (retrovir) masa gestasi 30-35 minggu

2 mg/kg/dosis, 4 kali/hari

Zidovudine (retrovir) masa gestasi <30 minggu

2 mg/kg/dosis, 2 kali/hari Dimulai pada usia 8 jam sampai 6 minggu (2 minggu pertama) selanjutnya 2 mg/kg/dosis, 3 kali/hari 2 mg/kg/dosis, 2 kali/hari Dimulai pada usia 8 jam sampai 6 minggu (4 minggu pertama) selanjutnya 2mg/kg/dosis, 3 kali/hari

Per oral

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

493

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan
Tabel 3. Antivirus Tambahan untuk Ibu Terinfeksi HIV-1 dan Neonatus dalam Keadaan Tertentu 36 Ibu selama intrapartum/postpartum Jenis Obat Dosis NVP (dosis tunggal saat intrapartum)* 200 mg dosis tunggal diberikan per oral ZDV + 3TC (ditambah dengan NVP ZDV: intravens pada intrapartum seperti dosis tunggal sebagai ekor untuk pada tabel 2, sesudah melahirkan mengurangi resisiten NVP) 300 mg dua kali/hari peroral 3TC:150 mg peroral 2 kali/hari mulai saat mau melahirkan. Neonatus NVP (dosis tunggal)** 2 mg/kg dosis tunggal peroral.

Lamanya Pada saat melahirkan Selama 7 hari.

NVP + ZDV (ditambah dengan NVP dosis tunggal sebagai ekor untuk mengurangi resisiten NVP)

ZDV: dosis neonatal seperti pada tabel 3TC: 2 mg/kg/dosis, 2 kali/hari secara oral

Dosis tunggal dalam 72 jam sesudah lahir. Jika ibu diobati 2 jam sebelum melahirkan, bayi diobati sesegera mungkin sesudah lahir. ZDV: diberikan sampai usia 6 minggu. 3TC: diberikan sampai usia 1 minggu.

Singkatan:IV: intravena; ZDV: zidovudine; 3TC:lamivudine; NVP: nevirapine *Pemberian tambahan ZDV intravena intrapartum; jika NVP dosis tunggal intrapartum diberikan kepada ibu, maka disarankan untuk memberikan 2TC peroral intrapartum kemudian diikuti dengan pemberian ZDV dan 3TC selama 7 hari postpartum untuk mengurangi terjadinya virus resisiten NVP **Pemberian tambahan ZDV kepada neonatus selama 6 minggu; penambahan 3TC selama 7 hari dipertimbangkan untuk mengurangi berkembangnya virus resisten terhadap NVP.

Yang sangat penting adalah ibu dan keluarganya harus mendapat perawatan dan pelayanan paripurna, karena mereka ini sering menghadapi tekanan sosial dan medis. Komponen perawatan paripurna termasuk perawatan medis dan pelayanan pendukungnya adalah sebagai berikut.36 1. Perawatan khusus yaitu, perawatan dasar, obstetri/ ginokologi, anak, dan HIV 2. Pelayanan keluarga berencana 3. Pelayanan kesehatan jiwa 4. Pengobatan penyalah gunaan obat terlarang 5. Pelayanan untuk mendukung ibu agar lebih bersemangat 6. Koordinasi pelayanan dengan tatalaksana kasus untuk ibu, anak, serta anggota keluarga yang lain. Pelayanan untuk mendukung ibu harus diatur sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masing-masing ibu. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ibu yang menyusui dapat menularkan infeksi HIV pada bayinya. Oleh karena itu, ibu sebaiknya dilarang menyusui bayinya.12 Di negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat dan juga di Thailand, ibu terinfeksi HIV dilarang memberi ASI atau menyusui bayi untuk menghidari terjadi penularan.6 Di negara miskin masalah ini masih menjadi perdebatan karena kesulitan untuk memperoleh pengganti ASI.5 Untuk mengatasi hal ini maka perlu alternatif lain. Salah satu alternatif adalah dengan memanaskan ASI sebelum diberikan kepada bayi. Tetapi cara ini belum dilakukan secara luas.10,47 Alternatif lain adalah dengan memberikan profilaksis antiretrovirus kepada bayi yang mendapat ASI, tetapi harus dipertimbangkan dengan matang, karena biayanya cukup mahal.48,49 Sebagai pengganti ASI disarankan untuk memberi susu formula. Tetapi pemberian susu formula sangat sulit terutama
494

di negara sedang berkembang, karena ada kepercayaan bahwa ASI harus diberikan kepada bayi, tidak ada air bersih, serta orangtua tidak mampu membeli susu formula.6 Selain itu, keadaan sanitasi di negara ini sangat buruk dan insiden penyakit infeksi juga sangat tinggi. Dalam keadaan ini, bila bayi diberi susu formula mungkin akan meningkatkan angka kematian bayi.10 Tata laksana Bayi Lahir Dari Ibu Terinfeksi HIV Di sebagian besar negara di dunia, penyakit HIV pada seseorang masih dianggap sebagai aib. Oleh sebab itu, adanya penyakit ini pada seseorang harus dirahasiakan untuk meningkatkan percaya diri penderita, agar diperoleh kepatuhan berobat yang maksimal. Orangtua juga harus didorong untuk ikut berperanan dalam merahasiakan penyakit anaknya, dan hanya boleh diketahui oleh para petugas yang merawatnya seperti dokter, petugas instalasi gawat darurat, dan perawat yang lain. Pemberian antiretrovirus, pengambilan darah, dan pengambilan hasil tes sering menjadi masalah bagi orangtua yang sedih, bingung, dan/atau depresi, karena merasa bersalah telah menularkan penyakit HIV kepada anaknya. Petugas yang baik, sabar, optimis, dan dapat memberi semangat kepada penderita, akan dapat mengatasi masalah yang sulit ini dengan seksama.33 Profilaksis dengan Antiretrovirus Setelah lahir, semua bayi yang terpapar HIV harus diberi profilaksis antiretrovirus untuk mengurangi penularan vertikal.19 Antivirus profilaksis yang disarankan adalah ZDV dan obat ini harus diberikan selama 6 minggu penuh dan semua obat ini harus diberikan sebelum dipulangkan.3,19 Dalam keadaan tertentu, beberapa ahli mengkombinasikan ZDV 6 minggu dengan ARV yang lain. Keadaan
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan tersebut juga diterapkan pada neonatus yang lahir dari ibu terinfeksi HIV. yang telah mendapat ARV prenatal tetapi dengan penurunan muatan virus yang tidak optimal; 2. hanya mendapat ARV intrapartum; 3. tidak mendapat obat pada saat antepartum maupun intrapartum; 4. diketahui terinfeksi virus resisten obat. Penambahan ARV lain pada ZDV 6 minggu mungkin dapat meningkatkan efikasi pencegahan penularan vertikal HIV-1, tetapi ini belum dibuktikan secara uji klinik. Selain itu, formula ARV yang lain untuk neonatus belum tersedia. Juga dosis obat untuk neonatus belum diketahui, dan data tentang keamanan obat untuk neonatus juga belum ada. Oleh sebab itu, pemberian obat kombinasi tambahan kepada neonatus harus dipertimbangkan dengan matang.3,52 Informasi yang paling banyak dari kombinasi ARV untuk neonatus adalah ZDV dengan NVP dosis tunggal, dan kombinasi ZDV dan lamivudine yang juga dikombinasi dengan nevirapine.4,10,50 Pemberian obat ini akan dapat menurunkan penularan vertikal sebanyak 47%.17 Tetapi pemantauan harus dilakukan dengan ketat terhadap kemungkinan terjadi toksisitas pada sistem darah sebagai akibat kombinasi ZDV dan lamivudine jika dibandingkan hanya dengan ZDV. Kombinasi dengan nevirapine terutama untuk bayi yang sudah terinfeksi HIV-1 harus berhati-hati, karena dapat mengakibatkan munculnya virus yang resisten terhadap nevirapine.3,40,41,52 ZDV (dikombinasi dengan ARV lain) harus diberikan sesegera mungkin kepada neonatus, yaitu dalam 12 jam sesudah lahir. Jika paparan HIV terhadap bayi diketahui antara 12 sampai 48 jam sesudah lahir, maka pemberian ZDV harus dimulai pada periode waktu tersebut. Profilaksis pascapaparan yang dimulai 2 hari sesudah lahir tampaknya kurang efisien untuk mencegah penularan. Penelitian memperlihatkan bahwa pencegahan dengan profolaksis yang dimulai antara usia 24 sampai 36 jam sesudah lahir, ternyata tidak efektif karena infeksi diperkirakan akan sudah terjadi pada saat bayi berusia 1 sampai 2 minggu.3 Profilaksis ZDV harus diberikan selama 6 minggu. Cara pemberiannya harus disampaikan kepada keluarga sebelum bayi dipulangkan. Obat ini sebaiknya disediakan di rumah sakit agar keluarga tidak kesulitan untuk memperolehnya.3 Zidovudine mulai diberikan setelah neonatus lahir dengan dosis 2 mg/kgBB setiap 6 jam selama 6 minggu. Pengobatan Zidovudine pada ibu saat hamil dan melahirkan, serta profilaksis kepada bayi baru lahir, dapat mengurangi angka penularan vertikal sebanyak 66%.4,10,17,30,44 Pemantauan Bayi Sesudah Lahir Pemeriksaan Laboratorium Untuk Mendiagnosis Bayi Terinfeksi HIV Diagnosis infeksi HIV bayi baru lahir perlu ditegakkan secepat mungkin sehingga pemberian ARV dan terapi tambahan dapat dimulai.33 Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak. Sebelum 1994 dilakukan pemeriksaan untuk
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

mendeteksi IgG spsesifik terhadap HIV menggunakan tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan tes Western blot. Dengan teknik ini ternyata diagnosis pasti diperoleh sangat lambat, dan pada bayi yang masih muda, dapat terjadi hasil positif palsu, karena antibodi IgG yang terdapat di dalam tubuh bayi sebagian besar adalah antibodi maternal yang menyeberang dari ibu melalui plasenta, dan dapat dideteksi sampai bayi berusia 18 bulan.4,10 Agar infeksi HIV pada bayi dapat didiagnosis lebih dini, maka harus dilakukan tes langsung terhadap virus menggunakan tes PCR DNA HIV, biakan virus HIV, pemeriksaan kadar antigen core p24, atau pemeriksaan kadar RNA HIV.10 Pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk penapisan pertama pada bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV adalah tes PCR DNA HIV. Tes ini mempunyai sensitivitas 93,2% dan spesifisitas 94,9%. Tetapi tes ini kurang akurat untuk pemeriksaan neonatus. Pada bayi dengan risiko penularan rendah, nilai prediktif positif tes PCR DNA HIV pada bulan pertama lahir adalah 55,8%, sedangkan sesudah periode tersebut menjadi 83,2%.4 Walaupun demikian, tes pertama sebaiknya dilakukan dalam 48 jam pertama sesudah lahir. Tes harus diulang pada saat bayi berusia 1-2 bulan dan kemudian pada saat berusia 4-6 bulan.33 Piakan virus HIV sama sensitifnya dengan tes PCR DNA HIV, tetapi biayanya mahal dan memerlukan waktu cukup lama, yaitu lebih dari 2 minggu. Pemeriksaan antigen p24 kurang sensitif dan mempunyai angka positif palsu sangat tinggi. Pemeriksaan kadar RNA virus HIV dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan penyakit. Tetapi pemeriksaan kadar RNA virus HIV tidak disarankan sebagai tes penapisan infeksi HIV pada bayi, karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah dibandingkan dengan tes DNA HIV.4 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemeriksaan PCR DNA HIV-1 sebaiknya dilakukan pada saat bayi berusia 14 sampai 21 hari. Beberapa ahli menyarankan dilakukan sebelum bayi berusia 48 jam agar segera dapat dideteksi infeksi HIV yang terjadi intrauterin. Namun, bila hasil tes RNA atau DNA negatif pada saat bayi berusia 48 jam maka tes sebaiknya diulang pada bayi berusia 14 sampai 21 hari, karena sensitivitas pemeriksaan ini akan meningkat 2 minggu sesudah lahir, dan kebanyakan bayi mendapat infeksi pada saat persalinan. Sampel tes PCR pertama tidak boleh menggunakan darah tali pusat, karena dapat memberikan hasil positif palsu. 4,33 Bila hasil tes pertama negatif, maka pemeriksaan dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 sampai 2 bulan, kemudian pada usia 4 sampai 6 bulan.3 Bila tiga sampel darah (saat lahir, usia satu bulan, dan usia empat bulan) diperiksa dengan tes virologi memberi hasil negatif, maka sekitar 95% bayi dianggap tidak terinfeksi HIV. Diagnosis infeksi HIV secara pasti dapat ditegakkan bila dua sampel darah yang terpisah dites dengan pemeriksaan virologi memberikan hasil positif.4,33 Tes serologis yang dilakukan pada bayi sesudah usia
495

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan 12 bulan dapat digunakan untuk memastikan apakah antibodi HIV dari ibu yang menyeberang plasenta sudah tidak ada lagi. Jika bayi pada usia 12 bulan masih menunjukkan antibodi IgG positif dengan tes ELISA, maka tes harus diulang pada usia 18 bulan. Bila hasil tes antibodi bayi pada usia ini negatif, dan sebelumnya hasil tes PCR DNA HIV-1 dua sampel yang terpisah juga negatif, maka dapat dipastikan bahwa bayi tidak terinfeksi HIV.4,33 Seandainya semua tes HIV-1 menunjukkan hasil negatif tetapi gejala klinis sangat jelas maka patut dicurigai adanya infeksi HIV-1 subtipe lain seperti subtipe B, C, D, dan E, atau infeksi HIV-2. Semua subtipe virus ini tidak akan terdeteksi bila menggunakan antigen atau antibodi atau primer HIV-1. Untuk mendeteksi virus ini diperlukan antigen, antibodi, atau primer yang spesifik.3 Penilaian terhadap Hasil tes HIV Negatif Penjelasan yang diberikan disini berdasarkan pada definisi surveilans CDC and Prevention USA yang dianggap sesuai untuk tata laksana bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Definisi eklusi infeksi HIV ini digunakan hanya untuk bayi yang tidak memenuhi kriteria yang sudah dijelaskan di atas. Pada bayi usia kurang dari 18 bulan yang tidak menetek dan hasil tes virologinya (RNA atau DNA) negatif, diperkirakan tidak terinfeksi HIV-1 berdasarkan pada:3 Hasil dua tes virologi RNA atau DNA dari spesimen yang terpisah, yang diambil pada usia >2 minggu dan usia >4 minggu adalah negatif; atau Hasil satu tes virologi RNA atau DNA negatif dari spesimen yang diambil pada usia >8 minggu; atau Hasil 1 tes antibodi HIV-1 negatif dari spesimen yang diambil pada usia 6 bulan; dan Tidak ada bukti infeksi HIV secara klinis maupun hasil tes laboratorium yang lain (mis. Hasil tes virologi yang positif jika tes dilakukan berikutnya dan tidak ada tanda AIDS). Bayi atau anak dengan hasil tes seperti di atas diperkirakan tidak terinfeksi HIV-1, tetapi untuk memastikannya perlu dilakukan tes virologi ulang. Kadang-kadang bayi dengan hasil tes virologi positif bila diulang memberikan hasil negatif. Oleh sebab itu, disarankan untuk mengulang pemeriksaan.3 Bayi yang tidak menetek yang berusia kurang dari 18 bulan dengan hasil tes virologi (RNA atau DNA) negatif, dipastikan tidak terinfeksi HIV-1 berdasarkan ketentuan:3 Paling tidak dua hasil tes virologi (DNA atau RNA) negatif dari dua spesimen yang berbeda, satu diambil pada usia >1 bulan dan satu lagi diambil pada usia >4 bulan. Atau Paling tidak 2 hasil tes antibodi HIV-1 negatif yang berasal dari 2 spesimen yang terpisah diambil pada usia 6 bulan; dan Tidak ada bukti klinis maupun laboratorium untuk infeksi HIV-1.
496

Pemeriksaan Laboratorium Lain Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan untuk mengetahui efek samping pengobatan. Pemberian antiretrovirus pada neonatus sering mengakibatkan anemia, neutropenia, limfopenia, dan jumlah sel CD4 menurun.52 Untuk mengetahui status imun bayi maka sel limfosit CD4+ harus selalu diperiksa. Pemeriksaan lebih baik menggunakan persentase CD4+, karena nilai ini tidak dipengaruhi oleh usia, sedangkan jumlah absolut limfosit CD4+ bervariasi sesuai dengan usia.4,10 Pemberian Profilaksis Pneumocystis Carinii Pneumonia Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP) (dulu disebut Carinii) merupakan infeksi oportunistik serius yang paling sering terjadi pada anak dengan angka kematian yang sangat tinggi, dan sering dipakai sebagai indikator terjadinya infeksi perinatal HIV. PCP paling banyak terjadi pada bayai usia 3-6 bulan. PCP pada anak yang terinfeksi HIV dapat terjadi pada usia di bawah 1 tahun, dan tidak tergantung dari hasil hitung sel T CD4+ (tidak seperti kasus HIV pada orang dewasa).4,10 Profilaksis terhadap PCP dimulai sesudah selesai pemberian profilaksis zidovudine selama 6 minggu. Profilaksis ini tidak disarankan pada bayi yang berusia kurang dari 6 minggu, karena penyakit ini sangat jarang terjadi pada neonatus.4,10 Profilaksis dapat dihentikan bila hasil tes PCR DNA HIV negatif dua kali (satu sampel pada usia 1 bulan dan yang lain pada usia 4 bulan). Bila ternyata bayi terinfeksi HIV, maka profilaksis harus diteruskan sampai bayi berusia 12 bulan dan pemberiannya tidak bergantung pada jumlah sel limfosit CD4+. Sesudah bayi berusia 12 bulan profilaksis tergantung dari jumlah limfosit CD4+ atau dapat diteruskan selama anak menderita HIV.4,10,30,33 Obat yang digunakan untuk profilaksis adalah trimethoprim-sulfamethoxazole (dapat dilihat pada tabel 4). Efek samping trimetoprim-sulfametoksazol dapat memperberat anemia yang disebabkan oleh zidovudine dan juga dapat mengganggu metabolisme bilirubin yang belum matang pada bayi baru lahir.4,10 Sebagai alternatif dapat digunakan dapson atau atovakuon (Mepron). Untuk mendeteksi efek samping, maka harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap sebelum memberikan profilaksis, selanjutnya pemeriksaan laboratorium dilakukan setiap bulan.4,10 Tes Penapisan Tuberkulosis Penderita infeksi HIV secara bersamaan dapat juga terinfeksi dan tertular bakteri tuberkulosis. Oleh sebab itu, perlu dicari informasi tentang adanya infeksi tuberkulosis pada ibu serta anggota keluarga yang lain. Bayi yang terinfeksi HIV dan semua bayi yang tinggal bersama penderita tuberkulosis mempunyai risiko tinggi tertular tuberkulosis. Sebelum melahirkan, pada ibu hamil terinfeksi HIV harus dilakukan tes penapisan TBC. Bayi harus dipisah dari ibu atau orang yang menderita TBC paru aktif sampai orang tersebut tidak menularkan kuman TBC. 4 Bila ada
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan
Tabel 4. Obat profilaksis Pneumocystis carinii Pneumonia pada bayi. 4 Jenis obat Dosis Cara pemberian Alternatif pemberian

Obat yang disarankan: trimetoprim-sulfametoksazol Trimetoprim150 mg/m2/hari atau 2 kali/hari atau 3 kali/minggu 5mg/kg/hari. (mis. Senin, Selasa, Rabo)

Sulfametoksazol

750mg/m2/hari atau 25mg/kg/hari

2 kali/hari atau 3 kali/minggu (mis. Senin, Selasa, Rabo)

Secara oral 1 kali/hari, tiga kali/minggu, 3 hari berturut-turut.Secara oral, 2 kali/ hari selama 1 minggu.Secara oral, 2 kali/ hari, 3 kali/minggu dengan selang hari (Senin, Rabo, Sabtu) Secara oral 1 kali/hari, tiga kali/minggu, 3 hari berturut-turut.Secara oral, 2 kali/ hari selama 1 minggu.Secara oral, 2 kali/ hari, 3 kali/minggu dengan selang hari (Senin, Rabo, Sabtu) Secara oral Secara oral Secara oral

Obat alternatif: Dapson (Bayi 1 bulan)

Atovakuon (mepron) (Bayi 1 sampai 3 bulan dan lebih 24 bulan) 45 mg/kg/hari Anak usia 4-24 bulan

2 mg/kg (dosis maksimal 100 mg 30 mg/kg/hari

1 kali/hari 1 kali/hari 1 kali/hari

kemungkinan anak terpapar dengan tuberkulosis, maka anak tersebut harus mendapat program yang sesuai dengan program TBC pemerintah atau sesuai dengan petunjuk WHO.33 Bayi yang terpapar penderita TBC aktif, harus menjalani tes purified protein derivative (PPD) dan foto toraks. Tes PPD pada bayi terinfeksi HIV dianggap positif bila terjadi indurasi dengan diameter 5 mm. Walaupun hasil tes negatif, bayi yang terpapar tuberkulosis harus diberi profilaksis isoniasid (INH) selama 3 bulan. Kemudian, tes PPD harus diulang. Jika hasil tes negatif, maka INH harus dihentikan. Jika hasil tes positif, maka profilaksis diteruskan. Pada semua anak yang terinfeksi HIV harus dilakukan tes PPD setiap tahun untuk penapisan dimulai pada usia 12 bulan.4 Pemantauan Bayi yang Terpapar HIV terhadap Perkembangan Penyakit Lain Paparan HIV-1 pada saat perinatal umumnya tidak menyebabkan prematuritas atau berat badan lahir rendah, tetapi pertumbuhan dan perkembangan neurologis serta gejala penyakit infeksi perinatal lain dari neonatus perlu dipantau secara ketat. Semua imunisasi rutin harus diberikan

kepada bayi yang terpapar HIV. Akan tetapi, jika infeksi HIV terdiagnosis, maka pemberian imunisasi harus mengikuti petunjuk tata laksana untuk anak yang terinfeksi HIV.33 Setelah bayi dipulangkan dari ruang perawatan, orangtua harus diberi tahu agar selalu datang ke poliklinik anak untuk memantau perkembangan bayi serta kemungkinan munculnya gejala penyakit infeksi HIV/AIDS. Karena banyak ARV diketahui sangat toksik, maka perlu dilakukan pemeriksaan darah sebagai data dasar sebelum bayi dipulangkan (seperti pemeriksaan darah tepi lengkap, tes fungsi hati). Biasanya bayi yang terpapar tetapi tidak menunjukkan gejala infeksi, harus dipantau di poliklinik anak secara rutin untuk perawatan bayi sehat dan imunisasi.33 Pengobatan ARV Pada Bayi Terinfeksi HIV Jika bayi yang terpapar sudah dinyatakan terinfeksi, kapan memulai pemberian ARV masih menjadi perdebatan. Beberapa ahli mengatakan sebaiknya pemberian ARV dilakukan lebih agresif dan sedini mungkin sebelum terjadi kelainan imunologis dan munculnya gejala klinis, 51 sedangkan yang lain menyarankan menunggu sampai terjadi

Tabel 5. Jadwal Pemantauan dan Pengobatan Bayi yang Terpapar HIV-1 (Sampai Usia 18 Bulan, sebagai Tambahan dari Perawatan Anak dan Imunisasi Rutin) 3 Kegiatan Lahir Riwayat dan pemeriksaan fisik Pemeriksaan risiko infeksi lain Profilaksis ARV Saran tidak menetek Pemeriksaan darah tepi lengkap Pemeriksaan PCR DNA atau RNA Mulai profilaksis PCP Enzym immunoassay X X X X X X 14 hari 4 mg X X X X X X X X X X Usia Bayi 6 mg 8 mg

4 bulan

12-18 bulan

X X

X X

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

497

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan kelainan imunologis serta munculnya gejala klinik untuk mencegah agar tidak cepat terjadi resistens virus terhadap obat.33 Penutup Jumlah penderita infeksi HIV pada anak makin lama makin meningkat. Hal ini terutama disebabkan oleh penularan vertikal dari ibu hamil yang terinfeksi HIV. Ada berbagai faktor risiko pada ibu yang mengakibatkan penularan lebih mudah terjadi, sehingga insidens infeksi HIV pada anak cepat meningkat. Oleh sebab itu, perlu ada tindakan pencegahan yaitu dengan menghindari faktor risiko yang mungkin terjadi pada ibu, serta memberikan antiretrovirus profilaksis pada ibu maupun bayi yang dilahirkan. Untuk melaksanakan program pencegahan ini diperlukan kerja sama yang baik antara dokter kebidanan, dokter anak, dokter ahli HIV/AIDS, perawat, bidan, petugas sosial, serta anggota keluarga penderita. Dengan demikian, program tata laksana pencegahan dapat berjalan dengan baik, sehingga angka penularan dapat ditekan semaksimal mungkin dan insedens penyakit ini pada anak menjadi rendah. Daftar Pustaka
1. 2. Kamal H, Rathore MH. Pediatric HIV Infection. Jacksonville Med 1997; August: 334-8. Ginsburg AS, Miller A, Wilfert CM. Diagnosis of Pediatric Human Immunodeficiency Virus Infection in Resource-Contrained Settings. Pediatr Infect Dis J 2006;25:1057-64. Havens PL, Mofenson LM, The Committee on Pediatrics AIDS. Evaluation and Management of the Infant Exposed to HIV-1 in the United States. Pediatrics 2009; 123:175-87. Krist AH, Faucher AC. Mangement of Newborns Exposed to Maternal HIV Infection. Am Fam Physicians, 2002; 65:204902. Shetty AK, Maldonado Y. Prevention of Perinatal HIV-1 Transmission in the United States. Neoreviews 2001; 2:c83-c93. Kanshana S, Simonds RJ. National program for preventing mother-child HIV transmission in Thailand: successful implementation and lessons learned. AIDS, 2002:16: 953-9. Duong T, Ades AE, Gibb DM, Tookey PA, Masters J. Vertical transmission rates for HIV in the British Islet: estimates based on surveillance data. BMJ 1999;319:1227-9. Newell ML. Mechanisms and timing of mother-to-child transmission of HIV-1. AIDS 1998;12:831-7. Thisyakorn U, Kongphatthanayothin M, Sirivichayakul S, Rongkavilit C, Poolcharoen W, Bien DD, et al. Thai Red Cross zidovudine donation program to prevent vertical transmission of HIV: the effect of the modified ACTG 076 regimen. AID, 2000;14:2921-7. Peckham C, Gibb D. Mother-To-Child Transmission Of The Human Immunodeficiency virus. N Engl J Med 1995;333:298302. Domachowske J. Pediatric Human Immunodeficiency Virus Infection. Clin Microbiol Rev 1996;9:448-67. Coovadia HM, Rollins NC, Bland RM, Little K, Coutsoudis A, Bennish M, et al. Mother-to chilled transmission of HIV-1 infection during exclusive breatfeeding in the first 8 months of life; an intervention cohort study. Lancet 2007;369:1107-16. Damania KR, Tank PD. Prevention of mother to child transmission of HIV infection. J Obstet Gyncol India, 2006;56:390-5. Palumbo P, Holland B, Dobbs T, Pau CP, Luo CC, Abrams EJ, et al. Antiretroviral Resistance Mutations among Pregnant Human Immunodeficiency Virus Type 1-Infected Women and Their Newborn in the United State: Vertical Transmission and Clades. J Infec Dis, 2001;184:1120-6. Brandt CD, Sison AV, Rakusan TA, Kaufman TE, Thomas E, Saxena ES, et al. HIV DNA Blood Level in Verticlly Infected Pediatric Patients: Variations with Age, Association with Disease Progression, and Comparison with Blood Levels in Infected Mothers. J Acqure Immune Defic Syndr 1996;13:254-61. Thea DM, Steketee RW, Pliner V, Bornschegel K, Brown T, Orloff S. The effect of maternal viral load on the risk of perinatal transmission of HIV-1. AIDS 1997;11:437-44. Dorenbaum A, Cunningham CK, Gelber RD, Culnane M, Mofenson L, Britto P, et al. Two-Dose Intrapartum/Newborn Nevirapine and Standard Antiretroviral Therapy to Reduce Perinatal HIV Transmission. A Randomized Trial. JAMA 2002:288:189-98. Mofenson LM, Lambert JS, Stiehm ER, Bethel J, Meyer WA, Whitehouse J, et al. Risk Factor for Perinatal transmission of Human Immunodeficiency Virus Type-1 in Women Treated With Zidovudine. N Engl J Med 1999;341: 385-93. Mofenson LM, The Committee on Pediatric AIDS. Tachnical Report: Perinatal Human immunodeficiency VirusTesting and Prevention of Transmission. Pediatrics 2000;106(16):1-12. Jackson DJ, Chopra M, Doherty TM, Colvin MSE, Levin JB, Willumsen JF, et al. Operational effectiveness and 36 week HIVfree survival in the South Africa programme to prevent motherto-child transmission of HIV-1. AIDS 2007;21:509-16. Mathesom PB, Thomas PA, Abrams EJ, Pliner V, Lambert G, Bamji M, et al. Heterosexual behavior during pregnancy and perinatal transmission of HIV-1. AIDS 1996;10:1249-56. Coombs RW, Reichelderfer PS, Landay AL. Recent Observations on HIV type-1 infection in the geneital tract of men and women. AIDS 2003;17:455-80. Turner BJ, Hauck WW,WalterW, Fanning TR, Markson LE. Cigarette Smoking and Maternal-Child HIV Transmission. J Acqur Immune Defic Synd 1997;14:327-37. Rodriguez EM, Mofenson LM, Chang B-H, Rich KC, Fowler MG, Smeriglio V, et al. Association of maternal drug use during pregnancy with maternal HIV culture positivity and perinatal HIV transmission. AIDS 1996;10:273-82. Rakgoasi, SD. HIV Counseling and testing of Pregnant womwn Attending Antenatal Clinics in Botswana, 2001. J Health Popul Nutr 2005;23(1):58-65. Chopra M,Doherty T, Jackson D, Ashworth A. Preventing HIV transmissions to children: Quality of counseling of mothers in South Africa. Acta Paediatr 2005;94:357-63. Aynalem G, Mendoza P, Frederick T, Mascola L. Who and Why? HIV-Testing Refusal During Pregnancy: Implicatian for Pediatric HIV Epidemic Disparity. AIDS and Behavior 2004;8:25-31. Behet F MTF, Matendo R, Vaz L ME, Kilese N, Nanlele D, Kokolomami J, et al. Preventing vertical transmission of HIV in Kinshasa, Democratic Republic of the Congo: abaseline survey of 18 antenatal clinics. Bull WHO, 2006:84:969-75. Connor EM, Sperling RS, Gelber R, Kiselev P, Scott G, OSullivan MJ, et al. Reduction of Maternal-Infant Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type-1 with Zidovudine Treatment. N Engl J Med 1994;331:1173-1180. Lindegren ML, Byers RH, Thomas JP; Davis SF, Caldwell B, Rogers M, et al. Treds in Perinatal Transmission of HIV/AIDS in the United State. JAMA 1999;282:531-8. Garcia PM, Kalish LA, Pitt J, Minkoff H, Quinn TC, Burchett SK, et al. Metrnal levels of Plasma Human Immunodeficiency Virus Type-1 RNA and the Risk of Perinatal Transmission. N Engl J Med 1999;341:394-402. Goetghebuer T, Haelterman E, Marvillet I, Barlow P, Hainaut M, Salameh A, et al. Vertical transmission of HIV in Belgium; a 1986-2002 retrospective analysis.Eur J Pediatr 2008; SpringerVerlag. Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

3.

24.

4.

5. 6.

25.

26.

7.

27.

8. 9.

28.

29.

10.

30.

11. 12.

31.

13. 14.

32.

498

Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan
33. Paintsil E, Andiman WA. Care and Management of the Infant of the HIV-1-infected Mother. Semin Perinatol 31:112-232007 Elsevier Inc. All rights reserved. 34. Lallemant M, Jourdain G, Coeur SL, Kim S, Koetsawang S, Comeau AM, et al. A Trial of SWhortened Zidovudine Regiment to Prevent Mother-to-Child Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type-1. N Engl J Med 2000;343:982-991. 35. Ekouevi DK, Toure R, Becquet R, Viho I, Sakarovitch C, Rouet F, et al . Serum lactate levels in Infants Exposed Peripartum to Antiretrovirul Agents to Prevent Mother-to-chlid Transmission of HIV: Agence National de RecherchesSur le SIDA et les Hepatitis Virales 1209 Study, Abidjan, Ivory Coast. Pediatrics 2006;118:e1071-e7. 36. Public Health Service Task Force/CDC prevention USA. Recommendations for Use of Antiretroviral Drugs in Pregnant HIVInfected Women for Maternal Health and Interventions to Reduce Perinatal HIV Transmission in the United States. April 29, 2009. http://aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/PerinatalGL.pdf. 37. Taha TE, Kumwenda NI, Gibbons A, Broadhead RL, Fiscus S, Lema V, et al. Short postexposure prophylaxis in newborn baies to reduce mother-tichild transmission of HIV-1: NVAZ randomized clinical trial. Lancet 2003;362:1171-7. 38. Lallemant M, Jourdain G, Coeur SL, Mary JY, Huong NNG, Koetsawang S, et al . Single-Dose Perinatal Nevirapine plus StandardZidovudine to Prevent Mother-to Child Transmission of HIV-1 in Thailand. N Engl J Med 2004;351:217-28. 39. Capparelli EV, Mirochnick M, Dankner WM, Blanchard S, Mofenson L, George D, et al. Phamacokinetics and Tolerance of Zidovudine in Preterm Infants. Pediatr 2003;142:47-52. 40. Cunningham CK, Chaix M-L, Rekacewicz C, Britto P, Rouzioux C, Gelber RD, et al. Development of Resistant Mutations in Women Receiving Standard Antiretroviral Therapy Who Received Intrapartum Nevirapine ti Prevent Perinatal Human Immunodeficiency Virus Type-1 Transmission: A Substudy of Pediatric AIDS Clinical Trials GroupProtocol 316. J Infect Dis 2002;186:181-8. 41. Jackson JB, Pergola GB, Guay LA, Musoke P, Mracna M Fowler G, et al. Identification of the K193N resistance in Uganda women receing nevirapine to prevent HIV-1 vertical transmission AIDS 2000;14:F111-5. 42. Ishleman SH, Mracna M, Guay LA, Deseyve M, Cunningham S, Mirochnick M, et al. Selection and fading of resistance mutations in women and infants receiving nevirapine to prevent HIV1 vertical transmission (HIVNET 012). AIDS, 2001;15:1951-7. 43. Cohen MS, Hoffman IF, Royce RA, Kazembe P, Dyer JR, Daly CC, et al. Reduction of concentration of HIV-1 insemen after treatment of urethritis: implications for prevention of sexual transmission of HIV-1. Lancetg 1997;349:1868-73. 44. The International Perinatal HIV Group. The Mode of Delivery and the Risk of Vertical Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type-1. N Engl J Med 1999;340:977-987. 45. The European Mode of Delivery Collaboration. Elective caesarean-section versus vaginal delivery in prevention of vertical HIV-1 transmission: a randomized clinical trial. Lancet 1999;353:1035-9. 46. Tonwe-Gold B, Ekouevi DK, Viho I, Amani-Bose C, Toure S, Coffie PA, et al. Antiretroviral Treatment and Prevention of Peripartum and Postnatal HIV Transmission in West Africa: Evaluation of a Two-Tiered Approach. PLoS Med. 2007;4:136273. 47. Israel-Ballard KA, Maternowska MC, Abrams BF, Morrison P, Chitibura L, Chipato P, et al. Acceptability of Heat Treating Breast Milk to Prevent Mother-to Chlild Transmission of Human Immunodeficiency Virus in Zimbabwe: A Qualitative Study. J Hum Lact 2006;22(1):48-60. 48. Kilewo C, Karlsson K, Masswe A, Lyamuya E, Swai A, Mhalu F, et al . Prevention of Mother-toChild Transmission of HIV-1 Through Breast-Feeding by Treating Infants Prophylactically With Lamivudine in Dar es Salaam, Tanzania. J Acqur Immune Defic Synd 2008;48:315-23. 49. Kumwenda NI, MooveaDR, Mofenson LM, Thigpen MC, Kafulafula G, Li Q, et al. Extended Antiretroviral Prophylaxis to Reduce Breast-Milk HIV-1 Transmssion. N Engl J Med 2008;359:119-29. 50. Jackson JB, Musoke P, Fleming T, Guay LA, Bagenda D, Allen D, et al. Intrapartum and neonatal single-dose nevirapin compared with zidovudine for prevention of mother-to-child transmission of HIV-1 in Kampla, Uganda: 18 month follow-up of the HIVNET 012 randomised trial. Lancet 2003;362:859-68. 51. Violari A. Cotton MF, Gibb DM, Babiker AG, Steyn J, Madhi SA, et al . Early Antiviral Therapy and Mortality among HIV-Infected Infants. N Engl J Med 2008;359:2235-44. 52. Pacheco SE, McIntos K, Lu M, Mofenson LM, Diaz C, Foca M, et al. Effect of Perinatal Antiretroviral Drug Exposure on Hematologic Values in HIV-Uninfected Children: An Analysis of the Women and Transmission Study. J Infect Dis 2006;154:108997. ZN/MS/FE

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 10, Oktober 2009

499

Anda mungkin juga menyukai