Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Selaras dengan perkembangan ekonomi suatu negara menyebabkan

meningkatnya sistem aktivitas yang menuntut manusia untuk melakukan pergerakan dari tempat asal ke tempat tujuan dengan berbagai alasan. Hal ini menyebabkan meningkatnya tuntutan akan jasa transportasi dan menimbulkan aktivitas yang akan membebani lalu lintas pada prasarana dan sarana yang sudah ada. Kondisi seperti itu berlaku bagi Kota Mataram dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat pemerintahan provinsi NTB, pendidikan, perdagangan, jasa transportasi serta sebagai pusat segala kegiatan di wilayahnya. Menurut Morlok, E. K. (h:452) permintaan atas jasa transportasi disebut sebagai permintaan turunan (Derived Demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditi atau jasa lain. Pada dasarnya permintaan akan jasa transportasi diturunkan dari : 1. Kebutuhan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan (misalnya bekerja, belanja, sekolah) 2. Permintaan akan angkutan barang tertentu agar tersedia di tempat yang diinginkan. Studi ini akan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tarif atau jumlah suatu kendaraan yang dimiliki dengan tingkat pendapatan masyarakat, budget masyarakat terhadap transportasi, waktu tempuh dan jarak tempuh. Dilihat dari kondisi sekarang yang mengalami krisis ekonomi yang

berkepanjangan saat ini menghasilkan dampak yang negatif yang sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial, politik termasuk dalam hal ini adalah sektor transportasi.
Selain itu, penentuan suatu tarif jasa angkutan juga akan sangat berpengaruh pada besarnya Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) dari masyarakat pengguna jasanya. ATP adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa angkutan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal, sedangkan WTP adalah kesediaan masyarakat untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya (Tamin, 1999).

Pemerintah yang berperan sebagai penengah antara operator/pengusaha angkutan dan masyarakat membutuhkan pembahasan yang cukup panjang dalam penentuan tarif ini. Bila mengedepankan tuntutan masyarakat pengguna jasa semata tanpa menghiraukan kepentingan operator/pengusaha angkutan adalah keputusan yang tidak bijaksana. Namun bila hanya berpihak pada kepentingan (private profit) operator/pengusaha angkutan, maka masyarakat yang akan menanggung bebannya.

Untuk mendapatkan suatu ukuran kemampuan membayar dan kemauan membayar suatu keluarga atau masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dapat ditelusuri dari pendapatan atau pengeluaran keluarga tersebut. Atas dasar inilah
perlunya mengevaluasi kemampuan membayar (ATP) dan persepsi (WTP).

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan permasalahan yang mendasari dilakukan penelitian ini adalah : a. Bagaimana hasil persentase dari parameter yang terpilih dilihat dari karakteristik penumpang dan jenis moda yang digunakan? b. Bagaimana menggambarkan hubungan Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) terhadap parameter jumlah pendapatan dengan jenis moda yang digunakan?

BAB II LANDASAN TEORI


2.1. Pengertian Ability To Pay (ATP) ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif yang diberlakukan, sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat sasaran. Dalam analisis ini, ATP dihitung sebagai besaran tariff pada moda AKAP Ekonomi, AKAP Non Ekonomi dan ASDP yang ditinjau seperti yang ditunjukkan Gambar 5.34 sampai dengan Gambar 5.36.

Kemampuan responden AKAP Ekonomi menurut nilai ATP menunjukkan bahwa tarif kurang dari Rp. 15.000,- merupakan kelompok terbesar diikuti oleh Rp. 15.000,- sampai Rp. 30.000,- dan antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 45.000,- dengan proporsi berturut-turut sebesar 29%, 26% dan 22%. Gambaran lengkapnya disampaikan pada Gambar 5.34.

Kemampuan

responden

AKAP

Non

Ekonomi

menurut

nilai

ATP

menunjukkan bahwa tarif antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 45.000,- merupakan kelompok terbesar diikuti oleh Rp. 15.000,- sampai Rp. 30.000,- dan kurang dari Rp. 15.000,- dengan proporsi berturut-turut sebesar 27%, 18% dan 15%. Gambaran lengkapnya disampaikan pada Gambar 5.35.

Kemampuan responden ASDP menurut nilai ATP menunjukkan bahwa tarif kurang dari Rp. 5.000,- merupakan kelompok terbesar diikuti oleh Rp. 5.000,- sampai Rp. 10.000,- dengan proporsi berturut-turut sebesar 50% dan 33%. Gambaran lengkapnya disampaikan pada Gambar 5.36.

2.2.

Willingness To Pay (WTP) Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pada studi ini WTP dihitung sebagai nilai ratarata besaran tarif yang menurut responden pantas (tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah) untuk masing-masing moda yang diamati seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.37 sampai dengan Gambar 5.39. Kemampuan responden AKAP Ekonomi menurut nilai WTP menunjukkan bahwa tarif antara Rp. 15.000,- sampai Rp. 30.000,- merupakan kelompok terbesar dengan proporsi sebesar 72% diikuti oleh kelompok responden dengan tarif kurang dari Rp. 15.000,- dengan proporsi 21%. Gambaran lengkapnya disampaikan pada Gambar 5.37.

Kemampuan

responden

AKAP

Non

Ekonomi

menurut

nilai

WTP

menunjukkan bahwa tarif antara Rp. 15.000,- sampai Rp. 30.000,- merupakan kelompok terbesar dengan proporsi sebesar 38% diikuti oleh kelompok responden dengan tarif antara Rp. 30.000,- sampai dengan Rp. 45.000,- dengan proporsi 27%. Gambaran lengkapnya disampaikan pada Gambar 5.38.

2.3.

Hubungan Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) ATP adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa angkutan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal, sedangkan WTP adalah kesediaan masyarakat untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya (Tamin, 1999). Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada alokasi biaya untuk transportasi dari pendapatan rutin yang diterimanya. Dengan kata lain ability to pay adalah kemampuan masyarakat dalam membayar ongkos perjalanan yang

dilakukannya. Dalam studi ini, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi ability to pay diantaranya: Besar penghasilan Kebutuhan transportasi Total biaya transportasi (harga tiket yang ditawarkan) Prosentase penghasilan yang digunakan untuk biaya transportasi Sedangkan Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam analisis WTP didasarkan pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan angkutan umum tersebut. Dalam permasalahan transportasi WTP dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: Produk yang ditawarkan/disediakan oleh operator jasa pelayanan transportasi Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan Utilitas pengguna terhadap angkutan tersebut Perilaku pengguna

Dalam pelaksanaan untuk menentukan tarif sering terjadi benturan antara besarnya WTP dan ATP, kondisi tersebut selanjutnya disajikan secara ilustratif pada Gambar 5.28.

ATP lebih besar dari WTP Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan membayar lebih besar dari pada keinginan membayar jasa tersebut. Ini terjadi bila pengguna mempunyai penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif rendah, pengguna pada kondisi ini disebut choiced riders.

ATP lebih kecil dari WTP Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi diatas dimana keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut lebih besar dari pada kemampuan membayarnya. Hal ini memungkinkan terjadi bagi pengguna yang mempunyai penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap jasa tersebut sangat tinggi, sehingga keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut cenderung lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada kondisi ini pengguna disebut captive riders.

ATP sama dengan WTP Kondisi ini menunjukan bahwa antara kemampuan dan keinginan membayar jasa yang dikonsumsi pengguna tersebut sama, pada kondisi ini terjadi keseimbangan utilitas pengguna dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa tersebut. Pada prinsipnya penentuan tarif dapat ditinjau dari beberapa aspek utama

dalam sistem angkutan umum. Aspek-aspek tersebut adalah:

1. 2. 3.

Pengguna (User) Operator Pemerintah (Regulator) Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam hal

ini dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan prinsip sebagai berikut: 1. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif yang diberlakukan, sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat sasaran. Intervensi/campur tangan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung atau silang dibutuhkan pada kondisi dimana nilai tarif berlaku lebih besar dari ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya sama dengan nilai ATP (sesuai Gambar 5.29). 2. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan angkutan umum, sehingga bila nilai WTP masih berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan (sesuai Gambar 5.29). Bila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat keleluasaan dalam perhitungan/pengajuan nilai tarif baru.

Secara kuantitatif dapat disampaikan sebagai berikut : Pada Nilai ATP = Rp 10.000, maka tarif maksimal yang berlaku adalah maksimal Rp. 10.000,-. Pada kondisi dimana nilai tarif terpaksa lebih dari Rp. 10.000, misalnya Rp. 15.000, maka kelebihan Rp. 5.000,- harus disubsidi, dalam hal ini dapat ditanggungkan ke pihak regulator (sesuai Gambar 5.30).

Keadaan terpaksa dapat terjadi karena dari sisi lain, tarif juga ditentukan oleh kondisi operasinya, yang tercakup di dalamnya biaya operasi kendaraan sebagai cost dan okupansi penumpang, rit/hari, jarak dan lainlain sebagai benefit.

Pada kondisi lain, dimana Nilai ATP tetap = Rp. 10.000,- dan WTP = Rp. 5.000, dengan nilai tarif, berdasarkan perhitungan operasi, yang kurang dari Rp. 10.000 (ATP), misalnya Rp. 7.500, terdapat pilihan untuk memperbaiki tingkat pelayanan hingga WTP-nya naik sampai Rp. 7.500,- atau menurunkan tarif (tanpa perbaikan tingkat pelayanan) sampai Rp. 5.000,- (sesuai Gambar 5.31). Selanjutnya kelebihan Rp. 2.500,- harus disubsidi.

Pada kondisi selanjutnya, dimana Nilai ATP tetap = Rp. 10.000 dan WTP = Rp. 5.000, dengan nilai tarif, berdasarkan perhitungan operasi, yang kurang dari Rp. 10.000 (ATP), misalnya Rp. 5.000, terdapat keluasaan Rp. 5.000 untuk menaikkan nilai tarif sampai dengan Rp. 10.000 (sesuai Gambar 5.32). Namun demikian perlu dilakukan perbaikan tingkat pelayanan angkutan umum, sehingga WTP-nya juga meningkat hingga minimal sama dengan tarif yang berlaku.

Ilustrasi terakhir adalah kondisi ideal, dimana Nilai ATP tetap = Rp. 10.000 dan WTP = Rp. 5.000, dengan nilai tarif, berdasarkan perhitungan operasi, yang kurang dari Rp. 5.000 (WTP), misalnya Rp. 2.500. Pada kondisi ini terdapat keluasaan Rp. 2.500 untuk menaikkan nilai tarif sampai dengan Rp. 5.000, tanpa perbaikan tingkat pelayanan (sesuai Gambar 5.33). Sebagai pelengkap atas ilustrasi di atas, dapat disampaikan beberapa hal tambahan sebagai berikut: 1. Nilai tarif berdasarkan pertimbangan operasi kendaraan sudah

memperhitungkan faktor keuntungan disamping faktor ekonomis lain (depresiasi, bunga bank dll.), sehingga pada kondisi tarif operasional saja, pihak operator sudah mendapatkan keuntungan. 2. Dalam konteks operasi kereta api, subsidi harus dilakukan dengan cara langsung, oleh pemerintah. Hal yang harus diperhatikan adalah bila tidak terdapat kondisi ideal, dimana tarif dibawah WTP (Gambar 5.33), maka regulator harus memberikan subsidi langsung pada kendaraan yang tarifnya diatas ATP.

BAB III ANALISA DATA dan HASIL PEMBAHASAN


3.1. Analisa Data Karakteristik Responden Hasil analisa data yang dilakukan dengan sistem survey di Fakultas Ekonomi Program Studi S1 Ekstensi Universitas Mataram dapat diketahui karakteristik responden berdasarkan distribusi frekuensi menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, besar pengeluaran, jumlah kendaraan, tempat tinggal, maksud dan tujuan perjalanan, serta jenis angkutan yang digunakan. a. Jenis Kelamin responden Tabel Distribusi frekuensi responden menurut jenis kelamin
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total Jumlah responden 16 9 25 Persentase (%) 64 36 100

Dari tabel di atas, maka dapat diketahui semua responden yang bekerja sebagai mahasiswa/pelajar berjenis kelamin perempuan dan laki-laki.

b.

Umur responden Tabel Distribusi frekuensi responden menurut umur


Umur (tahun) 20 21 22 23 24 Total Jumlah responden 5 12 4 0 4 25 Persentase (%) 20 48 16 0 16 100

Tabel di atas menunjukan bahwa sebagian besar (48%) responden berumur antara 21 tahun, kemudian diikuti (20%) responden berumur 20 tahun, dan responden yang berumur 22 tahun dan 24 tahun (16%).

c.

Jumlah Anggota keluarga Tabel Distribusi frekuensi responden menurut jumlah anggota keluarga
Jumlah Anggota Keluarga 3 4 5 6 7 8 Total Jumlah responden 3 8 5 3 4 2 25 Presentase (%) 12 32 20 12 16 8 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (32%) responden mempunyai jumlah anggota keluarga 4 orang, (20%) responden yang mempunyai anggota keluarga 5 orang, (16%) responden yang mempunyai anggota keluarga 7 orang, (12%) responden yang mempunyai anggota keluarga 3 dan 6 orang serta hanya (8%) responden yang mempunyai

anggota keluarga 8 orang.

d.

Pendapatan Keluarga Tabel Distribusi frekuensi responden menurut pendapatan keluarga

Pendapatan Keluarga (per bulan) < Rp 500.000,Rp 500.000,- s/d Rp 1.000.000,Rp 1.000.000,- s/d Rp 2.000.000,> Rp 2.000.000,Total

Jumlah responden 4 5 8 8 25

Persentase (%) 16 20 32 32 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (32%) responden mempunyai pendapatan dan > Rp 2.000.000,- dan (20%) responden mempunyai pendapatan keluarga Rp 500.000,- s/d Rp 1.000.000,- dan hanya (16%) responden yang mempunyai pendapatan keluarga < Rp 500.000,keluarga Rp 1.000.000,- s/d Rp 2.000.000,-

e.

Jumlah Kendaraan Tabel Distribusi frekuensi responden menurut jumlah kendaraan


Jumlah Kendaraan yang dimiliki (per keluarga) 0 1 2 3 4 5 Total Jumlah responden 1 7 4 7 4 2 25 Persentase (%) 4 28 16 28 16 8 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (28%) responden mempunyai jumlah kendaraan 1 dan 3, (16%) responden yang mempunyai jumlah kendaraan 2 dan 4, (8%) responden yang mempunyai jumlah kendaraan 5 orang, (4%) responden yang tidak mempunyai kendaraan.

f.

Besar Pengeluaran untuk transportasi Tabel Distribusi frekuensi responden menurut besar pengeluaran untuk transportasi
Besar Pengeluaran untuk transportasi Rp 5.000,- s/d Rp 10.000,Rp 10.000,- s/d Rp 20.000,> 20.000,Total Jumlah 1 10 14 25 Presentase (%) 4 40 56 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (56%) responden mengeluarkan biaya transportasi sebesar > Rp 20.000,- per minggu, (40%) responden yang mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp 10.000,- s/d Rp 20.000,- per minggu, (4%) responden yang, (4%) responden yang mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp 5.000,- s/d Rp 10.000,- per minggu.

3.2.

Hasil Pembahasan Pada Gambar 3.2a dapat dikatakan bahwa dari 25 orang atau per keluarga yang telah di survey didapatkan prosentase pada jenis kelamin perempuan adalah 64 % dan pada laki-laki adalah 36 %. Pada Gambar 3.2b dapat dikatakan bahwa nilai kemampuan responden menurut ATP dan WTP untuk persentase jumlah pendapatan keluarga adalah Rp 1.000.000,- s/d Rp 2.000.000,- dan > Rp 2.000.000,- yang merupakan kelompok terbesar diikuti oleh Rp 500.000,- s/d Rp 1.000.000,- dan < Rp 500.000,- dengan proporsi berturut-turur sebesar 32 %, 20 %, dan 16 %. Dalam hal ini diteliti 25 orang atau per keluarga. Pada Gambar 3.2c dapat dikatakan bahwa nilai kemampuan responden menurut ATP dan WTP untuk persentase jumlah kendaraan yang dimiliki atau kepemilikan kendaraan adalah 1 kendaraan dan 3 kendaraan dalam satu keluarga yang merupakan kelompok terbesar diikuti oleh 2 kendaraan, 4 kendaraan, dan 5 kendaraan ddalam satu keluarga dengan proporsi berturut-turur sebesar 28 %, 16 %, dan 8 %. Dalam hal ini diteliti 25 orang atau per keluarga. Pada Gambar 3.2d adalah grafik hubungan antara parameter jumlah pendapatan keluarga dengan kepemilikikan kendaraan, dimana terdapat : ATP lebih besar dari WTP Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan membayar lebih besar daripada keinginan membayar jasa tersebut. Ini terjadi bila pengguna mempunyai penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif rendah, pengguna pada kondisi ini disebut choiced riders. ATP lebih kecil dari WTP Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi diatas dimana keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut lebih besar dari pada kemampuan membayarnya. Hal ini memungkinkan terjadi bagi pengguna yang mempunyai penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap jasa tersebut sangat tinggi, sehingga keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut cenderung lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada kondisi ini pengguna disebut captive riders.

BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan hasil survey dan pengolahan data serta pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Semua responden yang bekerja sebagai mahasiswa/pelajar berjenis kelamin perempuan dan laki-laki. 2. Sebagian besar (48%) responden berumur antara 21 tahun, kemudian diikuti (20%) responden berumur 20 tahun, dan responden yang berumur 22 tahun dan 24 tahun (16%). 3. Sebagian besar (32%) responden mempunyai jumlah anggota keluarga 4 orang, (20%) responden yang mempunyai anggota keluarga 5 orang, (16%) responden yang mempunyai anggota keluarga 7 orang, (12%) responden yang mempunyai anggota keluarga 3 dan 6 orang serta hanya (8%) responden yang mempunyai anggota keluarga 8 orang. 4. Sebagian besar (32%) responden mempunyai pendapatan s/d Rp 2.000.000,keluarga Rp 1.000.000,-

dan > Rp 2.000.000,- dan (20%) responden mempunyai

pendapatan keluarga Rp 500.000,- s/d Rp 1.000.000,- dan hanya (16%) responden yang mempunyai pendapatan keluarga < Rp 500.000,5. Sebagian besar (28%) responden mempunyai jumlah kendaraan 1 dan 3, (16%) responden yang mempunyai jumlah kendaraan 2 dan 4, (8%) responden yang mempunyai jumlah kendaraan 5 orang, (4%) responden yang tidak mempunyai kendaraan. 6. Sebagian besar (56%) responden mengeluarkan biaya transportasi sebesar > Rp 20.000,- per minggu, (40%) responden yang mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp 10.000,- s/d Rp 20.000,- per minggu, (4%) responden yang, (4%) responden yang mengeluarkan biaya transportasi sebesar Rp 5.000,- s/d Rp 10.000,- per minggu. 7. Sehingga Kemampuan membayar masyarakat khususnya sebagai mahasiswa terhadap pelayanan pendidikan untuk biaya transportasi ke kampus adalah sebesar > Rp 20.000,per minggu. 8. Sedangkan Kemauan membayar adalah sebesar Rp 5.000,- s/d Rp 10.000,- per minggu.

Anda mungkin juga menyukai