Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

I. CBT Definisi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertujuan untuk memecahkan masalah tentang emosi disfungsional, perilaku dan kognisi melalui prosedur, berorientasi pada tujuan yang sistematis. Kognitif berarti proses mental seperti berpikir. Kata kognitif mengacu pada segala sesuatu yang terjadi di dalam pikiran kita, termasuk mimpi, kenangan, gambar, pikiran, dan perhatian. Perilaku mengacu pada segala sesuatu yang kita lakukan. Ini mencakup apa yang Anda katakan, bagaimana kita mencoba untuk menyelesaikan masalah, bagaimana kita bertindak, dan menghindar. Terapi adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan pendekatan sistematis untuk memerangi masalah, penyakit, atau kondisi tidak teratur. Ada bukti empiris bahwa CBT efektif untuk pengobatan berbagai masalah, termasuk suasana hati, kecemasan, kepribadian, makan, penyalahgunaan zat, dan gangguan psikotik. CBT ini terutama dikembangkan melalui penggabungan terapi perilaku dengan terapi kognitif. Pasien belajar untuk mengidentifikasi pola pikir menyimpang dan keyakinan, dan untuk mengganti mereka dengan cara yang lebih produktif berpikir dan bertindak. Akar CBT dapat ditelusuri dengan perkembangan terapi perilaku di awal abad 20, perkembangan terapi kognitif pada tahun 1960, dan selanjutnya penggabungan dari keduanya. Terapi perilaku memusatkan pada perilaku yang jelas, menekankan untuk

menghilangkan gejala yang jelas, tanpa memandang pengalaman pribadi pasien atau konflik dalam diri pasien. Terapi kognitif adalah didasarkan pada alasan teoritis dasar di mana afek dan perilaku individual adalah didasarkan sangat ditentukan oleh cara dimana ia menyusun dunia. Penyusunan dunia seseorang didasarkan pada kognisi (idea verbal atau gambaran yang ada bagi alam sadar), yang didasarkan pada asumsi (skema yang dikembangkan dari pengalaman sebelumnya). CBT mencakup berbagai pendekatan dan sistem terapeutik; beberapa yang paling terkenal termasuk terapi kognitif, terapi perilaku dan terapi rasional emotif multimodal. Mendefinisikan ruang lingkup apa yang merupakan terapi kognitif-perilaku merupakan suatu kesulitan yang menetap sejalan dengan perkembangannya.

CBT menggabungkan ilmu pengetahuan, filosofis, dan aspek perilaku menjadi satu pendekatan yang komprehensif untuk memahami psikologis dan mengatasi masalah umum. CBT merupakan ilmu pengetahuan karena telah diuji melalui studi ilmiah yang banyak. Sisi filosofis CBT adalah mengakui bahwa orang-orang memegang nilai-nilai dan keyakinan tentang diri mereka sendiri, dunia, dan orang lain. Salah satu tujuan dari CBT adalah untuk membantu orang mengembangkan flexible, non-extreme, dan self-helping beliefs yang membantu mereka beradaptasi dengan realitas dan mengejar tujuan mereka. Seperti namanya, CBT juga sangat menekankan pada perilaku. Banyak teknik CBT melibatkan mengubah cara berpikir dan merasa dengan memodifikasi cara bersikap. CBT melibatkan identifikasi pikiran, kepercayaan, dan makna yang diaktifkan ketika klien merasa terganggu emosinya. Prinsip-prinsip Cognitive Behavioral Therapy Cara seseorang berpikir dan merasa juga sangat menentukan cara seseorang bertindak. Jika seseorang merasa depresi, orang itu cenderung menarik diri dan mengisolasi diri. Jika seseorang cemas, ia mungkin menghindari situasi yang ia rasa mengancam atau berbahaya. Perilaku seseorang dapat menjadi masalah bagi dirinya seperti berikut :
1. Perilaku merusak diri, seperti minum berlebihan atau menggunakan narkoba untuk

mengatasi kecemasan, dapat menyebabkan kerusakan fisik langsung.


2. Mengisolasi diri dan prilaku mood depresi seperti tetap ditempat tidur sepanjang hari

dan tidak menjumpai teman-teman meningkatkan rasa terisolasi dan mood yang rendah.
3. Perilaku menghindar, seperti menghindari situasi yang dianggap mengancam

(menghadiri kegiatan sosial, menggunakan lift, berbicara di depan umum). CBT menggunakan format ABC yaitu : 1. A adalah activating event yang berarti suatu kejadian eksternal nyata yang telah terjadi, kejadian di masa depan yang telah diantisipasi agar tidak terjadi atau kejadian di dalam diri sendiri seperti mimpi atau memori. A ini sering disebut sebagai pencetus. 2. B adalah beliefs yang dapat berupa pikiran, aturan pribadi, tuntutan yang ia buat (untuk dirinya sendiri, dunia, orang disekitarnya), dan arti yang anda tangkap pada peristiwa internal dan eksternal. 3. C adalah consequences termasuk emosi, prilaku, dan sensasi fisik yang mendampingi setiap emosi yang berbeda.

Karakteristik dari CBT adalah : 1. Menitik beratkan makna pribadi yang seseorang berikan kepada kejadian-kejadian di menentukan tanggapan emosional yang ia berikan. 2. Dikembangkan melalui evaluasi ilmiah. 3. Lebih berfokus bagaimana menghadapi suatu masalah daripada mencari akar tunggal permsalahan. 4. Menawarkan nasehat praktis untuk menghadapi masalah emosi umum. 5. Berpandangan bahwa seseorang dapat berubah dan berkembang dengan mencoba ideide dan strategi baru. 6. Berusaha untuk menormalkan emosi, sensasi fisik, dan pikiran

bukan untuk meyakinkan bahwa itu adalah cara untuk menyembunyikan masalah.

Terapi Prilaku Berdasakan pada teori belajar, yang mendalilkan bahwa problem-problem perilaku (yaitu hampir semua manifestasi kondisi psikiatrik ) merupakan sesuatu yang di dapat secara involunter,akibat pembelajaran yang tidak tepat. Terapi berkonsentrasi pada perubahan perilaku (modifikasi perilaku) lebih daripaa mengubah pola pikir nirsadar/sadar,da untuk mencapainya terapi bersifat directive (yaitu pasien menerima banyak instruksi dan pengarahan). Beberapa tenik yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Operant conditioning Teknik terapi ini berdasarkan evaluasi dan modifikasi hal-hal terlebih dahulu dan konsekuensi terhadap perilaku pasien dengan teliti.perilaku yang diharapkan didukung dengan penguatan positif dan dilarang dengan penguatan negatif. Cara baru untuk merespon pasien ini dapat diajarkan pada orang-orang yang tinggal bersamanya. b. Terapi aversi Pasien diberikan stimulus yang tidak menyenangkan (misal syok elektrik,suara keras) pada saat perilaku yang tidak dikehendaki muncul. Beberapa cara ini secara hukum dilarang. Suatu teknik pengganti, yaitu sensitisasi tertutup lebih bisa diterima, karena menggunakan pikiran-pikiran yang tidak menyenangkan sebagai stimulus yang aversif. Terapi ini controversial karena hukuman tidak selalu menyebabkan penurunan respons seperti yang diharapkan dan kadang-kadang merupakan pendorong yang positif. c. Terapi implosife

Pasien dengan ansietas

atau yang disebabkan situasi, secara langsung dipajankan

terhadap situasi tersebut untuk jangka waktu tertentu (flooding) atau dipajankan di dalam imajinasi (implosion). d. Desensitisasi sistematik Pasien dengan ansietas dan fobia dipajankan pada suatu hieraki yang bertahap terhadap situasi atau obyek yang menakutkan, dimulai dari yang paling tidak menakutkannya. Pasien akhirnya belajar untuk mengatasi objek atau siituasi yang lebih menakutkannya. Bila hal ini dibarengi dengan relaksasi (suatu pola respon antagonistik relaksasi tidak cocok dengan ansietas), tekniknya disebut inhibisi resiprokal. Terapi perilaku mengandalkan pengukuran perilaku sacara teliti. Suatu teknik akan dianggap berguna apabila berhasil, dan keberhasilannya ditentukan oleh kemampuannya menghilangkan perilaku yang tidak dikehandaki dan bisa diukur dan meningkatnya perilaku yang dikehendaki. Terapi Kognitif Secara umum, tujuan dari terapi kognitif adalah : 1. Meningkatkan aktivitas 2. Menurunkan perilaku yang tidak diinginkan 3. Meningkatkan kepuasan 4. Meningkatkan kemampuan sosial II. COPING MECANISM Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah,

menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Sedangkan menurut Lazarus (1985), koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Berdasarkan kedua definisi maka yang dimaksud mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku. Penggolongan Mekanisme Koping Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (dua) (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu :

1)

Mekanisme koping adiptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

2)

Mekanisme koping maladaptive adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial

yaitu : a. Reaksi Orientasi Tugas Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situasi stress secara realistis, dapat berupa konstruktif atau destruktif. Misal : Perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan. Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber-sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis. Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan, merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang. b. Mekanisme pertahanan ego, yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental. Adapun mekanisme pertahanan ego adalah sebagai berikut : 1) Kompensasi Proses dimana seseorang memperbaiki penurunan citra diri dengan secara tegas menonjolkan keistimewaan/kelebihan yang dimilikinya. 2) Penyangkalan (denial) Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitif. 3) Pemindahan (displacement) Pengalihan emosi yang semula ditujukan pada seseorang/benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit mengancam dirinya. 4) Disosiasi Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya. 5) Identifikasi (identification) Proses dimana seseorang untuk menjadi seseorang yang ia kagumi berupaya dengan mengambil/menirukan pikiran-pikiran, perilaku dan selera orang tersebut.

6) Intelektualisasi (intelectualization) Pengguna logika dan alasan yang berlebihan untuk menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya. 7) Introjeksi (Introjection) Suatu jenis identifikasi yang kuat dimana seseorang mengambil dan melebur nilainilai dan kualitas seseorang atau suatu kelompok ke dalam struktur egonya sendiri, merupakan hati nurani. 8) Isolasi Pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran yang mengganggu dapat bersifat sementara atau berjangka lama. 9) Proyeksi Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi. 10) Rasionalisasi Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat diterima masyarakat untuk menghalalkan/membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima. 11) Reaksi formasi Pengembangan sikap dan pola perilaku yang ia sadari, yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya ia rasakan atau ingin lakukan. 12) Regresi Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini 13) Represi Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran seseorang; merupakan pertahanan ego yang primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain. 14) Pemisahan (splitting) Sikap mengelompokkan orang / keadaan hanya sebagai semuanya baik atau semuanya buruk; kegagalan untuk memadukan nilai-nilai positif dan negatif di dalam diri sendiri. 15) Sublimasi Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam penyalurannya secara normal.

16) Supresi Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebetulnya merupakan analog represi yang disadari; pengesampingan yang disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang; kadang-kadang dapat mengarah pada represi yang berikutnya. 17) Undoing Tindakan/ perilaku atau komunikasi yang menghapuskan sebagian dari tindakan/ perilaku atau komunikasi sebelumnya; merupakan mekanisme pertahanan primitif. III. KRISIS INTERVENSI

Jenis-jenis krisis intervensi jiwa : a. Krisis perkembangan terjadi sebagai respon terhadap transisi dari satu tahap

maturasi ke tahap lain dalam siklus kehidupan (mis, beranjak dari remaja ke dewasa). b. Krisis situasional terjadi sebagai respon terhadap kejadian yang tiba-tiba dan

tidak terduga dalam kehidupan seseorang. Kejadian tersebut biasanya berkaitan dengan pengalaman kehilangan (mis, kematian orang yang dicintai). c. Krisis adventisius terjadi sebagai respon terhadap trauma berat atau bencana

alam. Krisis ini dapat mempengaruhi inidividu, masyarakat, dan bahkan negara. Resiliensi : suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan positif atau dapat pulih kembali dalam situasi atau kondisi yang sulit. Aspek Resiliensi Uyun (2012:13) menjelaskan bahwa ada tujuh kemampuan yang dapat dijadikan untuk membentuk aspek resiliensi individu yaitu: 1. Regulasi Emosi. Suatu kemampuan untuk mengelola emosi agar tetap berada dibawah tekanan. 2. Pengendalian Impuls. Merupakan kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, menerima perasaan yang tidak menyenangkan serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. 3. Menganalisa Data. Suatu kemampuan dalam menganalisa penyebab dari masalah yang ada.

4. Efikasi Diri. Merupakan suatu keyakinan yang dapat membangun kepercayaan pada diri sendiri dalam memecahkan masalah. 5. Optimis. Suatu kemampuan untuk tetap berpikir positif dalam menghadapi masa depan. 6. Empati. Merupakan kemampuan individu untuk bisa membaca, melihat dan merasakan bagaimana perasaan, serta emosi orang lain 7. Pencapaian. Pencapaian yaitu suatu kemampuan untuk meningkatkan hal-hal positif dari kehidupan dalam menghadapi tantangan dan kesempatan yang ada. Pencapaian mencakup juga keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan yang mengancam dalam kehidupan. Karakteristik Resiliensi 1. Insight. Merupakan kemampuan untuk memahami diri sendiri, orang-orang yang ada disekitar serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi tertentu. 2. Kemandirian. Suatu kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli terhadap orang lain. 3. Hubungan. Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan. 4. Inisiatif. Merupakan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab dari masalah yang dihadapi atau dalam pemecahan masalah. 5. Kreatifitas. Merupakan kemampuan yang melibatkan pemikiran dalam berbagai pilihan, konsekuensi dan jalan lain dalam menghadapi tantangan hidup. 6. Humor. Suatu kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. 7. Moralitas. Moralitas adalah kemampuan berprilaku atas dasar hati nurani. Menurut Connor dan Davidson (2003:77) karakteristik orang yang resilien adalah: melihat perubahan atau stres sebagai sebuah tantangan, memiliki komitmen, dapat mengontrol diri, mampu memberikan rasa nyaman dengan orang-orang sekitar, collective goal, efikasi diri, kuat menghadapi stres, past successes, mampu mengambil keputusan,

memiliki humor, mampu berorientasi dengan keadaan, sabar, memiliki toleransi terhadap efek negatif, mampu beradaptasi terhadap perubahan, optimis, dan memiliki keyakinan. Individu dengan resiliensi tinggi akan mampu keluar dari masalah dengan cepat dan tidak merasa terbebani dengan perasaan sebagai korban lingkungan atau keadaan dan mampu mengambil keputusan saat berada dalam situasi sulit. Individu yang memiliki resiliensi tinggi mampu mempertahankan perasaan positif, optimis, pemahaman akan kontrol diri, dan keyakinan diri berhubungan dengan usaha pemecaha masalah secara aktif yang memunkinkan individu untuk berhati-hati atau mengimbangi peristiwa yang menekan untuk menghindari akibat yang akan terjadi. Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup. Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan.

Anda mungkin juga menyukai