Anda di halaman 1dari 10

PENCEMARAN PERAIRAN TELUK BUYAT, SULAWESI UTARA

INDONESIA

Kasus Buyat mendapatkan rating tertinggi dalam kasus pencemaran


lingkungan hidup di dunia di tahun 2004. Jika itu adalah album lagu,
barangkali sudah mendapatkan hadiah “piringan emas" akibat
menjadi “the best seller in the world 2004”.

Kasus pencemaran lingkungan di dunia yang nyaris mampu


menyamakan rekor kasus “Minamata Deases” di Teluk Minamata
Jepang dimasa itu. Bumi Sulawesi Utara (Sulut) yang menjadi lokasi
terciptanya kasus menghebohkan dunia yang sebetulnya sejak tahun
2001 sudah sangat menghebohkan dunia internasional, sehingga
tercipta suatu kerjasama internasional untuk mengadakan suatu
“International Conference” tentang “System Tailing Displacement
(STD)” di Kota Manado (ibukota Sulut). Tak kurang dari 10 negara
hadir di acara tersebut dan sempat menerbitkan “deklarasi Manado”.
Kerjasama Jaringan Tambang Indonesia (JATAM), Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Pusat maupun daerah Sulut
serta berbagai organisasi internasional yang menghadirkan negara-
negara yang menjadi korban perusahaan-perusahaan tambang emas
skala besar dan kecil seperti Papua Nugini, Pilipina.

Hanya saja, kegiatan ini tidak digubris oleh pemerintah pusat


maupun daerah, sambutan dingin dan tidak bersahabat cenderung
tercipta antara para masyarakat (nasional & internasional) terhadap
kegiatan tambang yang cenderung merampas hak hidup (termasuk
hak mendapatkan lingkungan hidup bersih) orang-orang kecil (local
community). Sudahlah, semuanya juga sudah tahu bahwa, investasi
skala besar akan lebih diperhatikan di negara ini dibandingkan
dengan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal, dalih meningkatkan
kesejahteraan masyarakat selalu menjadi kata-kata pembuka bagi
rangkaian pidato-pidato saat indstri skala besar beroperasi, urusan
benar-benar masyarakat benar sejahtera atau tidak, urusan lain.

Karena urusan sejahtera atau tidak inilah yang menjadi problem di


setiap negara yang menduduki suatu wilayah, dimana selalu saja
masyarakatnya hidup di bawa garis kemiskinan, termasuk yang
terjadi di daerah kita Teluk Buyat Sulawesi Utara. Akibat kegiatan
pertambangan skala besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR),
ekosistem perairan laut di teluk Buyat rusak parah akibat buangan
2000 ton tailing setiap hari. Bukan saja itu, kondisi masyarakat di
sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan hidupnya dari hasil laut
dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan
kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan
ekosistem Perairan Teluk Buyat. Terkontaminasi logam berat arsen,
lahan tangkapan ikan berpindah jauh ketengah laut, yang semuanya
itu menurunkan kualitas hidup sebagian masyarakat Desa Buyat
tepatnya masyarakat di dusun V Desa Buyat Pante.

Limbah yang akan mengakibatkan biaya tambahan bagi masyarakat


akibat kegiatan perusahaan yang seharusnya tidak keluar ke alam
bebas, justru sengaja dikeluarkan melalui pipa sepanjang 900 meter
dari tepi pantai Teluk Buyat. Akibatnya menimbulkan biaya
pencemaran bagi masyarakat sekitar Teluk Buyat atau eksternal cost.
Seharusnya ini menjadi biaya internal bagi perusahaan tersebut.
Laut? ya, itulah pilihan PT. NMR untuk membuang sampahnya,
dengan harapan eksternal costnya hilang. Lucu dan sungguh sangat
tolol, bahwa memikirkan laut adalah lahan bebas yang tidak akan
berhubungan dengan kehidupan manusia. Coba, kita pikirkan secara
teologis, apakah Tuhan menciptakan laut untuk tempat buang
sampah? Bukankah di setiap kitab suci agama yang menceritakan
penciptaan bumi ini, dikatakan bahwa laut adalah tempat ikan-ikan
dan makhluk hidup lainnya. Yang secara rantai makanan akan
berhubungan dengan manusia.
Dalih 82 meter sebagai zona termoklin, sungguh sangat tidak masuk
akal, coba saja bapak-bapak yang mengatakan itu, menyelam dan
masuk ke kedalaman tersebut, apakah tailing (sludge dan air) tidak
bercampur dengan air laut atau tidak naik ke permukaan? Tahun
2001, Walhi Sulut sudah melakukan penyelaman dan terlihat
sungguh sangat keruh air dikedalaman itu, di mana menandakan
bahwa sedimen betul-betul naik ke permukaan. Jadi, teori termoklin
yang selalu digunakansebagai pelindung bagi buangan PT. NMR
perlu direvisi, apakah zona termoklin indikatornya karena kedalaman
ataukah kondisi suhu tertentu suatu perairan yang permanen dan
bukan temporer (seperti yang terjadi di daerah tropis).

Kita suku dan masyarakat yang diberikan kesempatan untuk lahir di


bumi Sulawesi Utara (Sulut), tidak hanya dititipkan begitu saja, tetapi
diberikan tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara tanah dan
sumberdaya alam lainnya di negeri ini, karena itu pula kita harus
bijak dan pinter memilih kegiatan apa saja yang boleh dan dapat
dilaksanakan di negeri ini.

Pencemaran Teluk Buyat adalah bentuk bencana ekologis yang


merupakan suatu bukti tidak bertanggungjawabnya kita melindungi
bumi Sulut sebagai tempat tinggal dan hidup. Perusakan ekosistem
laut akibat timbunan “tailing” yang mengandung logam-logam berat
yang mengkontaminasi biota dan bahkan meracuni masyarakat
sekitar yang bermukim di sekitar “point source” yang sangat
mengantungkan hidupnya dari hasil laut perairan tersebut.
Barangkali kontaminasi itupun telah tersebar di sebagian masyarakat
Sulawesi Utara melalui ikan-ikan yang telah dikonsumsikan karena
dampak pencemaran ini secara ekologi akan melintasi wilayah
administrasi suatu wilayah.

Pencemaran logam berat terutama logam arsen dan logam merkuri


oleh PT. NMR sudah jelas-jelas terbaca pada laporan-laporan
RKL/RPL dan sejak tahun 2000 semua itu sudah terlihat, namun
masih saja dianggap perusahaan raksasa ini tidak melakukan
pencemaran di perairan Teluk Buyat.

CElakanya, hampir ahli-ahli dari seluruh Indonesia bahkan luar


negeri melalui pernyataan-pernyataan yang di up-load di media
internet menyatakan paham bagaimana PT. NMR melakukan
pencemaran, malahan penyelenggara pemerintahan dan sebagian
dokter dan akademisi dari Sulut masih menyangsikan bahwa PT.
NMR melakukan pencemaran. Sudah jelas-jelas ada masyarakat yang
memiliki banyak benjolan di sekujur tubuhnya dan ikan karangpun
demikian, masih saja kepala Bapedal Sulut mengatakan bahwa
mereka bukan orang-orang asli dari dusun V Desa Buyat Pantai.
Padahal sejak tahun 1999-2000 masyarakat Buyat sudah di pantau.
Dan masih saja dikatakan itu adalah penyakit biasa menimpa
masyarakat pesisir, padahal dimana-mana benjolan tidak ditemukan
di masyarakat pesisir Pantai lainnya seperti di Teluk Jakarta,
masyarakat Bajo sebagian masyarakat kota Manado yang tinggal di
pesisir.

Jadi, jelas sekali PT NMR masih lebih diuntungkan dibandingkan


dengan masyarakatnya sendiri, padahal dengan adanya atau tanpa
perusahaan semacam ini kesejahteraan masyarakat Sulut tidak
berubah atau tidak ada perubahan positif yang siknifikan
dibandingkan jika harga cengkih dan kopra naik. Malahan,
sebetulnya kita mengeluarkan biaya atau “cost” tambahan akibat kita
harus menanggung “external cost” perusahaan ini akibat
pencemaran dan perusakan lingkungan alam. Artinya, terjadi
penurunan kualitas hidup dalam waktu yang panjang, apalagi ketika
2 perusahaan semacam ini akan beroperasi di Likupang dan di
Bolaang Mongondow, pastilah kualitas hidup masyarakat Sulut akan
menurun dengan tajam di masa datang.
Jadi untuk kesejahteraan masyarakat yang mana jika ada
perusahaan raksasa beroperasi di Sulut? Untuk seluruh
masyarakatkah atau untuk sebagian masyarakat yang dipilih oleh
investor? Apakah negeri ini harus mengorbankan sebagian besar
masyarakatnya untuk memberikan keuntungan pada sebagian
masyarakat Sulut yang terpilih itu? Nah inilah yang menjadi
persoalan yang banyak terjadi dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Kasus Buyat, menjadi salah salah satu model pengelolaan


lingkungan hidup yang harus mengorbankan masyarakat yang hidup
di garis kemiskinan (yang terlihat) dan mengorbankan seluruh
masyarakat Sulut sebetulnya (bencana ekologis) di masa datang.
Inilah kenyataan yang mesti masyarakat Sulut hadapi, terpilihnya
daerah kita sebagai lahan eksploitasi emas dan terpilihnya tanah kita
sebagai ajang buang sampah beracun akibat kegiatan pengelolaan
emas yang bakal mengancam keberadaan masyarakat Sulut dimasa
datang.

Tahap-tahap dalam pengelolaan lingkungan hidup masih tidak


terlaksana dengan baik di bumi Sulut. Jika ada perencanaan, sering
kali tidak didasari oleh hasil evaluasi dari kegiatan yang sudah
berjalan. Pelaksanaan suatu kegiatan seringkali tidak sesuai dengan
rencana, selalu disesuaikan dengan budget yang ada, dan seringkali
kenyataannya biaya kegiatan yang dikeluarkan lebih kecil dari biaya
yang sudah diajukan, dalihnya ada pemotongan dimana-mana
(korupsi?), yang sudah menjadi lazim dilaksanakan pabila berurusan
dengan pemerintah. Demikian pula dengan pengawasan terhadap
suatu kegiatan, apakah merusak lingkungan atau tidak, selalu juga
terbentur pada biaya pengawasan atau lebih tepat sesuai saja
dengan biaya pengawasan sehingga pengawasan hanya dilakukan
sepanjang mata memandang. Padahal kegiatan pengawasan adalah
kegiatan yang amat penting untuk tetap membuat rencana dan
pelaksanaan konsisten dengan komitmen mensejahterakan
masyarakat Sulut. Akhirnya, kegiatan evaluasi tidak dapat dilakukan
dengan baik, padahal hasil evaluasi merupakan data yang akan
dimasukkan (input) kembali pada suatu proses perencanaan. Tahap-
tahap inilah dalam pengelolaan yang semestinya sangat diperhatikan
tapi justru inilah tahap yang rawan dan seringkali terjadi manipulasi
(data maupun uang).

Terlepas era kapan PT. NMR diijinkan untuk beroperasi di bumi Sulut,
tetap saja saat kini yang menentukan apakah perlu dipertahankan
atau ditutup sama sekali dan jika ada kegiatan yang serupa yang
akan beroperasi di Sulut, tidak diperbolehkan sama sekali untuk
membuang tailing di dasar laut. Perencanaan investasi di era
Presiden Suharto, bukan tidak bisa dievaluasi di era Presiden Susilo
Bambang Yodoyono kini, itulah yang disebut dengan evaluasi dalam
suatu pengelolaan lingkungan hidup. Hasil evaluasi tersebut akan
menjadi suatu perencanaan baru. Jika kegiatan tersebut hanya untuk
menyengsarakan masyarakat Sulut saat ini dan di masa datang (10-
20 tahun), lebih baik tidak diperbolehkan lagi berkegiatan di bumi
Sulut dan tentunya harus melakukan kegiatan perbaikan (rehabilitasi)
akibat pengrusakan yang telah dilakukan pada seluruh komponen
alam dan manusia. (Veronica Kumurur)

PENTINGNYA EKOSISTEM HUTAN BAGI KEHIDUPAN MANUSIA:


Suatu pandangan terhadap kegiatan penebangan hutan di Minahasa

Hutan merupakan satu ekosistem yang sangat penting di muka bumi


ini, dan sangat mempengaruhi proses alam yang berlangsung di
bumi kita ini. Ada 7 fungsi hutan yang sangat membantu kebutuhan
dasar “basic needs” kehidupan manusia, yaitu:
Hidrologis, hutan merupakan gudang penyimpan air dan tempat
menyerapnya air hujan maupun embun yang pada khirnya akan
mengalirkannya ke sungai-sungai melalui mata air-mata air yang
berada di hutan. Dengan adanya hutan, air hujan yang berlimpah
dapat diserap dan diimpan di dalam tanah dan tidak terbuang
percuma.

Melihat topografi Minahasa, bergunung-gunung dan terjal, sehingga


banyak lahan-lahan kritis yang mudah tererosi apabila datang hujan.
Keberadaan hutan sangat berperan melindungi tanah dari erosi dan
longsor.

Hutan pula merupakan tempat memasaknya makanan bagi tanaman-


tanaman, dimana di dalam hutan ini terjadi daur unsur haranya
(nutrien, makanan bagi tanaman) dan melalui aliran permukaan
tanahnya, dapat mengalirkan makanannya ke area sekitarnya.
Bayangkan jika kita tak punya lagi dapur alami bagi tanaman-
tanaman sekitarnya ataupun bagi tanaman-tanaman air yaang ada di
sungai-sungai, maka bumi Minahasa akan merana.

Fungsi penting hutan lainnya adalah sebagai pengatur iklim, melalui


kumpulan pohon-pohonnya dapat memprduksi Oksigen (O2) yang
diperlukan bagi kehidupan manusia dan dapat pula menjadi
penyerap carbondioksida (CO2) sisa hasil kegiatan manusia, atau
menjadi paru-paru wilayah setempat bahkan jika dikumpulkan areal
hutan yang ada di daerah tropis ini, dapat menjadi paru-paru dunia.
Siklus yang terjadi di hutan, dapat mempengaruhi iklim suatu
wilayah.
Hutan memiliki jenis kekayaan dari berbagai flora dan fauna
sehingga fungsi hutan yang penting lagi adalah sebagai area yang
memproduksi embrio-embrio flora dan fauna yang bakal menembah
keanegaragaman hayati. Dengan salah satu fungsi hutan ini, dapat
mempertahankan kondisi ketahanan ekosistem di satu wilayah.
Hutan mampu memberikan sumbangan hail alam yang cukup besar
bagi devisa negara, terutama di bidang industri, selain kayu hutan
juga menghasilkan bahan-bahan lain seperti damar, kopal,
terpentein, kayu putih, rotan serta tanaman-tanaman obat.

Hutan juga mampu memberikan devisa bagi kegiatan turismenya,


sebagai penambah estetika alam bagi bentang alam yang kita miliki.

Dari 7 fungsi penting hutan bagi kehidupan manusia, bagaimana


nasibnya dengan hutan di Minahasa (khususnya di Liandok) yang
semakin hari ditebang saja tanpa ada pengelolaan benar. Padahal
areal ini berada pada area “watershed” di Minahasa bagian selatan.
Berada pada posisi awal yang menangkap air hujan, berada pada
area yang kritis yang sulit dijangkau oleh manusia. Dengan posisi
demikian sangat pentinglah fungsi hutan ini bagi keberadaan sungai-
sungai dan kehidupan manusia di wilayah ini. Karena, jika dibiarkan
ditebang dan dimusnahkan dan bahkan dialihfungsikan, maka bakal
terjadi erosi (pengikisan lahan) yang tinggi oleh hujan dan bakal
terjadi kerusakan lahan (seperti longsor) dan bakal mengikis humus
(makanan) yang berada di permukaan tanah sehingga lahan menjadi
tandus (miskin makanan). Hujan yang tak tertampung lagi menjadi
penyebab banjir bagi sungai-sungai sekitarnya.

Hutan Liandok seluas 1600 ha, memang bukan saja milik masyarakat
sekitarnya, tetapi milik semua manusia yang tinggal di Minahasa, di
Manado, di Sulawesi Utara, sehingga semua masyarakat semestinya
menjaga dan peduli dengan cara-cara pengeksploitasiannya
(pembabatan yang semena-mena) dengan dalih dan tameng
kebutuhan masyarakat. Karena akibat dari pembabatan yang tak
terkendali ini, akan memberikan dampak langsung bagi semua orang
di Minahasa bagian selatan dan bahkan semua yang tinggal di
Minahasa, tidak memberikan dampak langsung bagi pengusaha-
pengusaha yang hanya datang dan melakukan ekploitasi. Hanya
sesaat kita akan menikmati kekayaan itu yang selanjutnya adalah
“badai’.
Hutan Liandok adalah bagian hutan tropis yang sangat penting yang
masih kita miliki dan tak dimiliki oleh dunia belahan barat. Di hutan
ini kita memiliki keanegaraman hayati yang tinggi yang artinya, kita
memiliki jenis-jenis tanaman dan hewan yang banyak jenisnya
namun sedikit jumlahnya, akibatnya jika hutan ini berkurang maka
akan sangat mempengaruhi jumlah jenis flora dan fauna dan akibat
lainnya adalah membuat kondisi ekosistem tidak seimbang. Jika
dibandingkan dengan hutan yang dimiliki daerah benua bagian barat,
yang dikenal dengan hutan “temperate”, dimana jumlah jenis
tanaman dan hewan tidak beraneka ragam dan jumlah setiap jenis
banyak jumlahnya sehingga apabila hutan ini terganggu maka tidak
akan mempengaruhi jumlah jenis (spesies) tanaman dan hewan di
hutan itu.

Tanaman-tanaman dan hewan-hewan di hutan tropis seperti di hutan


Liandok sangat penting fungsinya bagi ketahanan Ekosistem di
wilayah Minahasa dan seluruh wilayah Sulawesi Utara, tidak hanya
sekarang ini tetapi di masa datang.

Jika dalih, masyarakat sangat membutuhkan pemenuhuan ekonomi


sehingga harus membabat hutan di wilayah ini, rasanya tidak benar.
Karena dari hasil hutan saja sudah dapat kita olah untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kita yang ada di Minahasa
dengan luas wilayah yang kita miliki, dibandingkan dengan saudara-
saudara kita di P. Jawa, kita masih memiliki areal yang sangat luas
untuk berusaha dan mnegelola hutan kita. Kita belum pada posisi
wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan belum pada
tidak memiliki lahan lagi, jadi kita masih punya kesempatan untuk
mengelola hutan kita, untuk tetap ada dan tetap berfungsi
memberikan keuntungan ekologis bagi kehidupan kita saat ini dan
untuk dimasa datang. Sudah terlihat contohnya, jika satu wilayah tak
memiliki hutan lagi seperti P. Jawa, yang kini tak bisa membendung
atau menanggulangi amukan alam. Tak ada lagi tempat menyimpan
air bagi daratan P. Jawa. Semua hutan mereka telah berubah menjadi
lahan budidaya dan lahan permukiman. Itu adalah contoh yang bisa
kita lihat saat ini dan kita di Sulawesi Utara, di Minahasa, kini telah di
“warning” melalui kejadian banjir bandang di akhir tahun 2000, untuk
tidak melakukan hal yang sama. Cobalah masyarakat memahami
untuk melindungi lingkungan hidupnya sendiri, janganlah
meninggalkan “badai” bagi anak cucu di masa datang. Yang saya
tahu dan membaca dari sejarah Minahasa, kita masyarakat Minahasa
memiliki etika yang tinggi terhadap lingkungan hidup kita. Coba lihat,
kita selalu meminta pertolongan dan petunjuk “Opo Wananatas” di
dalam melakukan kegiatan. Jangan sampai kebiasaan ini menjadi
hilang akibat ulah investor besar yang melumpuhkan kebiasaan atau
“etika lingkungan” kita. Opo Wananatas akan sedih dan murka
akibatnya. (Veronica A. Kumurur)

SANGAT DISAYANGKAN SEKALI... kepedulian kita akan lingkungan


masih minim... padahal alam sangat bersahabat ketika kita mengerti
alam.... jika kita mengerti... takkan ada bencana yg sangat besar...
yang menimpa bumi Indonesia ini... ayo mulai sekarang tanya pada
diri anda sendiri apa yang telah pebuat untuk mempertahankan alam
Indonesia kita tercinta ini......

Anda mungkin juga menyukai