Anda di halaman 1dari 9

18 September 2012 Comments Off

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataannya tindak pidana korupsi meningkat dari tahun ke tahun, baik peningkatan kuantitas maupun peningkatan kualitas. Peningkatan kuantitas dapat dilihat misalnya pada angka pelaku dan jumlah uang yang dikorupsi yang dapat diketahui, tidak termasuk korupsi yang banyak terjadi tetapi tidak terungkap (hidden crime). Tepat sekali gambaran yang dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosiswono (1984:27) yang mengumpamakan kejahatan korupsi sebagai gunung es (the iceberg model) di tengah-tengah Samudera. Dari gambaran korupsi sebagai gunung es di samudera ini dapat dimengerti bahwa pelaku kejahatan korupsi yang dapat diketahui dan dituntut serta diadili bahkan dipidana jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan pelaku korupsi yang tidak dapat terungkap atau tidak dapat diketahui apalagi dituntut atau diadili.Peningkatan kualitas (tentu dalam arti negatif) dapat dilihat pada cara-cara dan bentukbentuk korupsi yang juga terus berkembang dibarengi dengan keberanian pelakunya yang terus menerus mencari cara baru melakukan korupsi (Agus Salim, 2010:2). Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-

praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat. Indonesia, sebagai salah satu Negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Begitu meluasnya tindakan korupsi, sehingga korupsi itu bukan lagi dilihat sebagai kejahatan biasa, tetapi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu, dalam upaya pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi diperlukan atau dibutuhkan cara-cara yang luar biasa pula untuk penindakan dan upaya pemberantasannya. Untuk maksud itulah, maka dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dicantumkan hal baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang meliputi : dibentuknya komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, peran serta masyarakat untuk menanggulangi korupsi, adanya pembuktian terbalik, korupsi sebagai delik formil, koorporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, hak negara untuk mengajukan gugatan perdata. Dalam kaitannya dengan bentuk korupsi dewasa ini, Soedjono Dirdjosiswono (1984:77) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk korupsi dewasa ini sudah sedemikian rupa sehingga ia bukan lagi dapat diklasifikasikan sebagai White CollarCrime, melainkan lebih dari itu sudah mengambil bentuk-bentuk embrio semacamorganized crime. Apa yang dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosiswono di atas, sangat benar dan khususnya organized crime. Hal ini telah menjadi kenyataan di Indonesia seperti yang belakangan ini banyak ungkapan tentang itu yang menyebutkan adanya korupsi berjemaah yang antara lain terjadi dalam kasus BLBI dan kasus komisi pemilihan umum (Agus Salim, 2010:2). Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil , makmur dan sejahtra berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Repoblik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak

pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara oftimal . oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif , dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara , perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional (UU Komisi Kemberantasan Korupsi , 2002:1). Keadaan yang memprihatinkan dan membahayakan serta merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pertumbuhan serta pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi perlu ditanggulangi. Guna mencari butir-butir norma Hukum Hindu yang terpendam untuk menanggulangi korupsi yang kian merajalela di bumi nusantara. Untuk itu perlu adanya konsep yang jelas tentang tindak pidana korupsi persfektif hukum hindu. Atas dasar tersebut penulis ingin mengetahui lebih dalam aturan hukum tindak pidana korupsi persefektif Hukum Hindu dengan pendekatan konseptual, dan pendekatan perundang-undangan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan tindak pidana korupsi di dalam undang-undang? Bagaimana pandangan Hukum Hindu terhadap tindak pidana korupsi? Bagaimana sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi persefektif Hukum Hindu?

Teologi (Baru) Antikorupsi Koruptor bertopeng dermawan dan religius menjadi ''kontradiksi'' permanen, yang harus disingkap. Suatu keadaan yang membingungkan masyarakat awam. Hal ini perlu menjadi pencermatan serius oleh para pemuka agama dan adat. Sampai hari ini belum menjadi perhatian serius, sehingga memunculkan pernyataan dan pertanyaan, misalnya, tidakkah telah terjadi ''kerja sama'' yang saling menguntungkan tentunya, antara koruptor dengan oknum pemuka agama dan adat? Bukankah banyak sarana dan prasarana agama, adat serta budaya dibiayai dari hasil korupsi -bahkan ada korupsi dalam pelaksanaan proyek tersebut?

Oleh

Ngurah

Karyadi

Sudah sejak lama kita saksikan di sekitar kita, agama dan upacara adat sering menjadi ''topeng'' dalam menutupi tindakan korupsi. Kalangan yang diduga melakukan korupsi justru paling rajin beramal pada organisasi agama, atau secara langsung memberi sumbangan penyelengaraan upacara. Agama dan upacaranya sudah menjadi arena pencucian, atau mesin cuci ''uang dosa''? Sehingga berkembang pertanyaan mendasar, kenapa seseorang melakukan korupsi sekaligus menjadi paling taat sembahyang dan berderma? Bagaimana hubungan antara agama dan korupsi?

Sepertinya ada yang salah dengan kontruksi sistem agama kita hari ini, sehingga sudah saatnya mendorong ''teologi atau spiritualitas (baru) antikorupsi''. Koruptor dermawan dan relegius bagi kalangan moralis mungkin dipandang sebagai pelecehan terhadap nilai-nilai agama. Para koruptor sengaja memfungsikan agama dan kedermawanan sebagai topeng dalam menutupi perilakunya. Memang dilema ini bukan sesuatu yang baru, dan dapat dilihat dalam sejarah agama-agama dunia. Seperti dalam Hindu, sejak kitab suci Veda dituliskan, cap ''keraksasaan'' atau bhuta kala telah ditetapkan bagi segala macam perbuatan buruk yang merugikan mahkluk lain. Bhuta kala, atau masa kegelapan, yang jahat itu diberikan situasi, di mana manusia yang sengaja memfungsikan agama (Hindu) hanya sebagai topeng. Dalam Hindu, orang yang dianggap titisan bhuta kala ditetapkan sebagai musuh yang paling berbahaya, karena ada di sekitar. Ibarat musuh dalam selimut, yang selalu siap mencelakakan orang lain di setiap waktu, tempat dan keadaan. Dengan demikian dalam Veda, atau pun Purana banyak disebutkan bahwa bhuta kala merupakan kaum terkutuk, yang harus di-somnya. Beberapa waktu lalu Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menyelenggarakan Pesamuan Agung di Balikpapan, muncul usulan ''Bhisama Antikorupsi''. Pasalnya, korupsi sama dengan semangat bhuta kala, yang merugikan atau membahayakan manusia dan makhluk lainnya. Namun, sampai kini tidak jelas sampai di mana usulan itu ditetapkan sebagai bhisama, atau

keputusan

tertinggi.

Koruptor bertopeng dermawan dan religius menjadi ''kontradiksi'' permanen, yang harus disingkap. Suatu keadaan yang membingungkan masyarakat awam. Hal ini perlu menjadi pencermatan serius oleh para pemuka agama dan adat. Sampai hari ini belum menjadi perhatian serius, sehingga memunculkan pernyataan dan pertanyaan, misalnya, tidakkah telah terjadi ''kerja sama'' yang saling menguntungkan tentunya, antara koruptor dengan oknum pemuka agama dan adat? Bukankah banyak sarana dan prasarana agama, adat serta budaya dibiayai dari hasil korupsi -- bahkan ada korupsi dalam pelaksanaan proyek tersebut? Sehingga, dengan adanya bhisama antikorupsi maka akan ada pegangan, atau setidaknya sebagai otokritik dalam hubungan dharma agama, dharma negara, atau kesesuaian moralitas agama dan negara, yang baik dan bertanggung jawab. Mengingat, selama ini banyak elite politik yang diduga korupsi gemar mendatangi pemuka atau tokoh agama dan adat, dengan memberikan sumbangan perbaikan pura, ataupun upacara agama dan adat. Mereka bermaksud cuci ''uang dosa'' dan sekaligus mendapat dukungan politik tokoh agama dan adat, serta pendukungnya. Adanya bhisama dan perilaku tokoh, atau pemuka masyarakat yang bertanggung jawab merupakan syarat mutlak dalam melawan korupsi. Sekaligus tidak menimbulkan kebingungan di kalangan umat, serta mendapatkan dukungan mereka. Sangat aneh bila pemuka agama dan adat bisa seiring sejalan dengan para koruptor, seperti dipertontonkan selama ini. Sudah saatnya kita membuka ''topeng'' para koruptor, perilaku yang menjadi akar semua masalah di negeri ini.

Kesadaran

Religius

Makin merajalelanya korupsi, atau cenderung adanya pembiaran dan bahkan diterima dengan lapang dada oleh para pemuka agama dan adat, menjadikan masalah korupsi seakan sebagai sesuatu yang wajar, bukan sesuatu yang luar biasa dan membahayakan keberlanjutan bangsa. Ditambah lagi dengan adanya kenyataan bahwa sistem hukum sudah terkontaminasi virus korupsi, sepertinya memerlukan upaya alternatiif, atau pilihan lain. Sehingga perlu semacam kesadaran religius, atau teologi baru antikorupsi di kalangan pemikir, pemuka, serta tokoh agama dan adat. Pertama, mengembangkan sikap kritis masyarakat terhadap modus dan pola ''cuci dosa'', serta tidak memberikan toleransi dan dukungan politik pada siapa pun yang diduga korupsi. Suatu hal yang mungkin paling mendasar dan sulit, di tengah dominasi pragmatisme budaya upah melawan lebih dominan dari nilai pahlawan? Kedua, memandirikan serta memperkuat organisasi agama dan adat, dengan menerapkan sikap

tanpa kompromi, atau tidak mau bekerja sama dan menerima sumbangan dari pihak-pihak yang terindikasi korupsi. Membangun garis demarkasi ini penting, sehingga mampu menyentuh akar masalah korupsi, serta dampaknya secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Ketiga, para pemuka agama dan adat tidak terlibat dalam politik praktis. Baik dengan cara tidak menjadi anggota, atau sekadar menjadi pendukung kekuatan politik yang korup. Dalam hal ini, pada saat proses politik, pemuka adat dan agama harus tidak berpihak, atau setidaknya tidak memberikan dukungan terbuka pada partai dan calon yang berpotensi menguntungkan para koruptor. Keempat, memberikan sanksi adat atau agama, serta memutuskan hubungan dengan para pejabat dan mantan pejabat yang diduga korupsi. Segaligus menolak untuk terlibat dalam pembangunan atau penyelenggaraan upacara ritual yang dibiayai dari dana hasil korupsi.

Korupsi Itu Disebut Maling Matimpuh

Dharma Wacana Balipost, Minggu 13 Desember 2009. Korupsi Itu Disebut Maling Matimpuh Oleh: Drs. I Ketut Wiana, MAg Api sakya gatir jnatum Patatah khe patatrinam Na tu pracchannabhavanam Yuktanam caratan gatih (Kutipan Athasastra) Artinya: Lebih mudah mendapatkan jejak kaki burung terbang di angkasa daripada mengikuti gerak gerik para pegawai negara yang secara sembunyi-sembunyi mengkorupsi uang negara. Dharma Wacana Balipost, Minggu 13 Desember 2009. Korupsi Itu Disebut Maling Matimpuh Oleh: Drs. I Ketut Wiana, MAg Api sakya gatir jnatum Patatah khe patatrinam Na tu pracchannabhavanam Yuktanam caratan gatih (Kutipan Athasastra) Artinya: Lebih mudah mendapatkan jejak kaki burung terbang di angkasa daripada mengikuti gerak gerik para pegawai negara yang secara sembunyi-sembunyi mengkorupsi uang negara.

HARI Anti Korupsi Sedunia hendaknya dijadikan suatu momentum tahunan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual ke dalam lubuk hati sanubari masyarakat luas untuk meningkatkan semangat menghilangkan niat dan kesempatan korupsi dalam semua lini kehidupan bermasyaakat dan bernegara. Menghilangkan penyakit korupsi dalam masyarakat tentunya tidak mungkin hanya dengan demonstrasi, apalagi dengan cara-cara yang brutal menghujat kiri kanan. Dmontrasi itu sebagai proses untuk mengingatkan dan membangun semangat antikorupsi. Demonstrasi mestinya sopan dan damai, namun penuh dmamika bersistem untuk menanamkan jiwa antikorupsi pada masyarakat di semua tingkatan. Demonstrasi barulah sebagai salah satu proses membangun semangat antikorupsi. Pernyataan Arthasastra yang dikutip di awal tulisan mi menandakan bahwa korupsi di kalangan sejumlah oknum pegawai atau oknum pejabat memang sudah menjadi kebiasaan dari zaman dulu. Manajmen pengawasan yang bersifat ilmiah sudah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia. Namun, korupsi selalu ada. Korupsi dapat memporakporandakan perekonomian. suatu

negara. Bahkan dapat merembet ke berbagai nega-; ra sekitarnya dan dapat rner- embet ke aspek sosial .politik yang lebih serius. Pada zaman Majapahit ada juga tindakan menyeleweng atau korupsi dari para pegawai atau para pejabat negara. Korupsi pada zaman Majapahit disebut maling matimpuh. Artinya, mencuri uang negara dengan cara yang sangat mudah sambil bersimpuh di kantor. Matimpuh adalah sejenis duduk santai, tidak perlu repot-repot. Sambil duduk santai, mengkorupsi uang negara yang notabene adalah uang rakyat. Meskipun korupsi sudah menjadi kebiasaan yang sudah berumur sangat tua, namun semua pihak tidak boleh berhenti mengupayakan memberantas korupsi. Langkah-langkah manajemen pengawasan yang dilakukan di berbagai negara bukan tidak membawa hasil. Setidak-tidaknya, dapat mengurangi kuantitas dan kualitas tindakan korupsi. Faktor Luar Ada berapa kondisi yang memang menjadi pemicu kuat mendorong orang korupsi. Salah satunya, gaji pegawai yang sangat kecil yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Bahkan, kadang-kadang kebutuhan fisik minimum pun belum mampu terpenuhi. Sedangkan kebutuhan primer sangat mendesak Meskipun demikian, bukan berarti karena rendahnya gaji lalu korupsi dianggap sah dan wajar. Apalagi pada kenyataannya mereka yang korupsi adalah yang sudah mendapatkan penghasilan dari negara lebih dari cukup. Yang terungkap melakukan tindakan korupsi adalah mereka yang punya kekuasaan. Mereka umumnya sudah hidup berkecukupan. Ada oknum yang pejabat Gubernur, Bupati atau pejabat tinggi di lembaga pemerintahan atau lembaga negara. Yang banyak merisaukan adalah masa depan anak-anak mereka yang tidak jelas. Suatu hari saya ketemu dengan sepasang wisatawan dari Eropa yang sudah berumur cukup lanjut. Mereka datang ke berbagai negara untuk menghabiskan sisa tabungan hari tuanya untuk menikmati masa pensiunnya. Saya tanya, apa tidak sebaiknya tabungan itu diwariskan kepada anak cucunya. Dia menjawab bahwa anak cucunya sudah dijamin hidupnya oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka tidak perlu khawatir pada masa depan anak cucunya. Nah, agaknya tidak terjaminnya kehidupan anak cucu mendapat pendidikan dan pekerjaan untuk hidupnya inilah sebagai salah satu penyebab orang terdorong untuk korupsi terutama bagi yang tidak kuat moral dan mentalnya. Setiap orang ingin tenang meninggalkan dunia ini dengan meyakini anak cucunya mendapatkan hidup yang layak dan wajar setelah ditinggalkan ke dunia rohani. Hal itu salah satu di antara banyak faktor pendorong korupsi dari unsur luar. Faktor Dalam Yang paling memegang peranan munculnya korupsi adalah faktor dalam seperti lemahnya pertahanan mental para koruptor. Ada banyak oknum pegawai atau pejabat swasta maupun

pemerintah yang hidupnya mengejar jabatan untuk memperkaya diri dengan melanggar agama dan hukum. Banyak pihak yang memperjuangkan diri untuk menjadi pejabat meskipun tidak punya idealisme dan konsep untuk menjalankan jabatannya itu. Sesungguhnya orang yang diberikan jabatan adalah orang yang punya idealisme dan konsep yang jelas untuk mensukseskan fungsi jabatannya tersebut. Umumnya, orang memiliki idealisme dan konsep yang jelas jarang mau menjilat ke atas untuk mengejar jabatan. Jarang yang mau menyembah atasan untuk mempromosikan dirinya. Mereka umumnya aktif bekerja untuk mewujudkan idealisme dan konsepnya itu. Jarang yang mengupayakan saluran untuk mendapatkan akses ke atas. Untuk membangun jalur agar mempunyai akses ke atas mereka umumnya rela menyogok ke sana sini. Lika-liku seperti itulah yang sangat sulit dilacak. Semua rekayasa akan disahkan dengan aturan formal untuk menutupi segala kebobrokan. Merekalah yang dalam kearifan lokal Bali disebut pajeng tetaring. Artinya (dalam bahasa Bali) ne ngijeng memaling mereka yang wajib untuk menjaga aset negara atau kekayaan masyarakatlah sesungguhnya yang wajib menjaga keamanan kekayaan rakyat, namun sebaliknya mereka itulah yang justru mencurinya. Menghilangkan tradisi pajeng tetaring itulah yang wajib kita galang terus dalam memberantas korupsi. Di samping itu, cara memberantas korupsi dalam jangka panjang adalah dengan jalan membangun gaya hidup yang sederhana. Dengan kesederhanaan, kita mendapatkan rasa bahagia. Gaya hidup mewah mendorong orang melakukan tindakan korupsi. Dimensi Balipost Minggu, 13 Desember 2009.

Anda mungkin juga menyukai