Anda di halaman 1dari 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Auditor dan Kantor Akuntan Publik Pengertian Auditor Auditor dengan kata lain disebut juga Akuntan Publik, menurut Standar

Profesional Akuntan Publik tahun 2001 dalam Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik, pengertian Akuntan Publik yaitu : Akuntan Publik adalah akuntan yang memiliki izin dari Menteri Keuangan untuk menjalankan praktik akuntan publik. Mulyadi dalam bukunya berjudul Auditing 2002 mendefinisikan akuntan publik sebagai berikut : Akuntan profesional yang menjual jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Pemeriksaan tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para kreditur, calon kreditur, investor, calon investor, dan instansi pemerintah. Sedangkan menurut kamus Istilah Akuntansi tahun 2002, akuntan publik adalah : Akuntan yang memberikan jasa-jasanya untuk suatu pembayaran tertentu. Ia merupakan akuntan profesional yang diberi izin oleh negara untuk berpraktik sebagai akuntan swasta.

16

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akuntan publik adalah akuntan profesional yang memiliki izin dari Menteri Keuangan untuk menjalankan praktik akuntan publik yang menjual jasanya kepada masyarakat umum khususnya para pemakai informasi keuangan.

2.1.2

Jenis Auditor Menurut Arens dan Loebecke terjemahan Amir Abadi Yusuf dalam buku

Auditing Pendekatan Terpadu (2003:6), terdapat empat jenis auditor yang paling umum dikenal, yaitu : Akuntan Publik, Auditor Pemerintah, Auditor Pajak dan Auditor Internal. Adapun uraiannya sebagai berikut: 1. Akuntan Publik Kantor Akuntan Publik sebagai auditor independen bertanggung jawab atas audit laporan keuangan historis dari seluruh perusahaan publik dan perusahaan besar lainnya. Penggunaan laporan keuangan yang diaudit semakin banyak digunakan di Indonesia sejalan dengan semakin

berkembangnya dunia usaha dan pasar modal. Masyarakat pada umumnya menyebut kantor akuntan publik sebagai auditor independen meskipun masih banyak auditor-auditor di luar akuntan publik terdaftar. Di Indonesia, penggunaan gelar akuntan terdaftar diatur oleh undang-undang No.34 tahun 1954. Persyaratan menjadi seoarang akuntan publik terdaftar

17

diatur oleh Menteri Keuangan, terakhir dengan keputusan No.43/KMK. 017/1997 pasal 17. 2. Auditor Pemerintah Di Indonesia terdapat berbagai lembaga atau badan yang bertanggungjawab secara fungsional terhadap kelayakan atau keuangan Negara. Pada tingkat tertinggi terdapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kemudian terdapat Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat Jenderal (Itjen) pada departemen-departemen pemerintah. Di amerika Serikat terdapat General Accounting Office (GAO). 3. Auditor Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah Departemen Keuangan RI, bertanggungjawab atas penerimaan Negara dari sektor perpajakan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan. Aparat pelaksanaan DJP di lapangan adalah KPP (Kantor Pelayanan Pajak) dan Kantor Pemeriksaan dan Penyelidikan Pajak (KARIKPA). KARIKPA mempunyai auditor-auditor khusus dan tanggung jawabnya adalah melakukan audit terhadap para wajib pajak tertentu untuk menilai para wajib pajak dalam memenuhi ketentuan perundangan perpajakan. 4. Auditor Internal Auditor Internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan, baik Negara maupun swasta, yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi,
18

menentukan baik tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

2.1.3

Organisasi dan Hirarki Kantor Akuntan Publik Menurut Mulyadi (2002:33), umumnya hirarki auditor dalam perikatan audit

dalam kantor akuntan publik dibagi menjadi berikut ini : 1. Partner (rekan) 2. Manajer 3. Auditor Senior 4. Auditor Yunior. Adapun uraiannya sebagai berikut : Partner (rekan) Partner menduduki jabatan tertinggi dalam perikatan audit; bertanggung jawab atas hubungan dalam klien; bertanggung jawab secara menyeluruh mengenai auditing. Partner menandatangani laporan audit dan management letter, dan bertanggung jawab terhadap penagihan fee audit dari klien.

19

Manajer Manajer bertindak sebagai pengawas audit; bertugas untuk membantu auditor senior dalam merencanakan program audit dan waktu audit; mereview kertas kerja, laporan audit, dan management letter. Biasanya manajer melakukan pengawasan terhadap pekerjaan beberapa auditor senior. Pekerjaan manajer tidak berada di kantor klien, melainkan di kantor auditor, dalam bentuk pengawasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan para auditor senior. Auditor senior Auditor senior bertugas untuk melaksanakan audit; bertanggung jawab untuk mengusahakan biaya audit dan waktu audit sesuai dengan rencana; bertugas untuk mengarahkan dan mereview pekerjaan auditor junior. Auditor senior biasanya akan menetap di kantor klien sepanjang prosedur audit dilaksanakan. Umumnya auditor senior melakukan audit terhadap satu objek pada saat tertentu. Auditor junior Auditor junior melaksanakan prosedur audit secara rinci; membuat kertas kerja untuk mendokumentasikan pekerjaan audit yang telah dilaksanakan. Pekerjaan ini biasanya dipegang oleh auditor yang baru saja menyelesaikan pendidikan formalnya di sekolah. Dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai auditor junior, seorang auditor harus belajar secara rinci mengenai pekerjaan audit. Biasanya ia melaksanakan audit di berbagai jenis perusahaan. Ia harus banyak melakukan

20

audit di lapangan dan di berbagai kota, sehingga ia dapat memperoleh pengalaman dalam berbagai masalah audit. Auditor junior sering juga disebut asisten auditor.

2.1.4

Jasa Kantor Akuntan Publik Menurut Arens dan Loebecke terjemahan Amir Abadi Yusuf dalam buku

Auditing Pendekatan Terpadu (2003:12), Kantor akuntan publik melaksanakan empat jenis jasa utama, yaitu : Atestasi, Perpajakan, Konsultasi Manajemen, serta Jasa Akuntansi dan Pembukuan. Aapun uraiannya sebagai berikut : Jasa Atestasi Jasa atestasi meliputi semua jenis kegiatan di mana kantor akuntan publik mengeluarkan laporan tertulis yang menyatakan kesimpulan atas keandalan asersi tertulis yang dibuat dan ditanggungjawabi pihak lain. Terdapat tiga jenis jasa atestasi: audit laporan keuangan historis, review laporan keuangan historis, dan jasa atestasi lainnya.

21

1. Audit Audit atas laporan keuangan historis merupakan jenis jasa atestasi yang paling dominan dari kantor akuntan publik. Pada kantor akuntan publik besar, audit bisa mencapai 50 persen dari semua kegiatan yang dilakukan. Dalam audit laporan keuangan historis, pihak lain yang bertanggung jawab adalah klien yang membuat berbagai asersi di dalam bentuk laporan keuangan yang diterbitkan. Laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pemakai eksternal laporan keuangan menggunakan laporan auditor sebagai petunjuk keandalan laporan keuangan dalam rangka pengambilan keputusan. 2. Review Banyak perusahaan non publik menerbitkan laporan keuangan kepada berbagai pemakai tetapi tidak bersedia membiayai audit atas laporan tersebut. Dalam kondisi seperti itu, akuntan publik dapat membantu mengadakan jasa review (review service). Audit dan review berbeda dalam hal luasnya pemeriksaan dan jaminan keakuratan yang diberikan. Audit dilaksanakan dengan pemeriksaan skala luas untuk mengumpulkan bahan bukti yang memadai dalam rangka memberikan jaminan yang tinggi atas keakuratan laporan keuangan, sementara dalam review hal tersebut berlangsung dalam skala lebih kecil. Hasil

22

review auditor sering cukup memadai untuk melaksanakan review lebih rendah daripada jasa audit. 3. Jasa atestasi lainnya Banyak jenis jasa atestasi lain yang dilaksanakan auditor. Sekarang ini, KAP yang lebih agresif telah mengembangkan jasa-jasa baru semacam ini secara besar-besaran. Beberapa contoh jasa dimaksud misalnya atestasi atas laporan keuangan prospektif (prakiraan dan proyeksi), data staristik atas hasil-hasil investasi untuk organisasi seperti reksa dana, serta karakteristik perangkat lunak computer. Jasa Perpajakan Kantor akuntan publik menyusun surat pemberitahuan pajak (SPT) pajak penghasilan dari perusahaan dan perseorangan, baik yang merupakan klien audit maupun yang bukan. Disamping itu, kantor akuntan publik juga memberikan jasa yang berhubungan dengan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn-BM), perencanaan perpajakan, dan jasa perpajakan lainnya. Sekarang ini

hampir semua kantor akuntan publik dapat memberikan jasa perpajakan, dan bagi kantor akuntan publik kecil pelayanan semacam itu jauh lebih berperan daripada jasa audit. Belakangan ini malah sejumlah kantor akuntan publik dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan verifikasi lapangan atas PPN dan PPn-Bm.

23

Konsultasi Manajemen Sebagian besar akuntan publik memberikan jasa tertentu yang memberi kemungkinan pada kliennya untuk meningkatkan efektifitas operasinya. Jasa ini mencakup mulai dari pemberian rekomendasi sederhana mengenai pembenahan sistem akuntansi sampai keikutsertaan dalam menyusun strategi pemasaran, pemanfaatan instalasi komputer, dan konsultasi manfaat aktuaria. Sekarang ini banyak kantor akuntan publik besar yang memiliki departemen khusus untuk melayani konsultasi manajemen yang interaksinya kecil terhadap jasa audit maupun konsultasi pajak. Jasa Akuntansi dan Pembukuan Banyak klien kecil dengan staf akuntansi yang terbatas menyerahkan pembuatan laporan keuangannya kepada kantor akuntan publik. Sebagian klien kecil bahkan tidak mempunyai cukup karyawan untuk mengerjakan buku besar dan ayat jurnalnya. Banyak kantor akuntan publik kecil yang bersedia melakukan tugas-tugas pembukuan guna memenuhi kebutuhan klien. Dalam banyak kasus di mana laporan keuangan akan diberikan kepada pihak ketiga, review dan bahkan juga audit harus dilakukan. Dalam hal tugasnya hanya terbatas pada penyusunan laporan keuangan saja, KAP mengeluarkan laporan kompilasi yang tidak memberikan jaminan apapun pada pihak ketiga.

24

2.2 2.2.1

Pengalaman Auditor Pengertian Pengalaman Auditor Nico Syukur mengemukakan pengertian pengalaman dalam bukunya

Pengalaman dan Motivasi Beragama (1988;21) sebagai berikut : Pengalaman ialah suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama pertama dari pemikiran, melainkan terutama dari pergaulan praktis dengan dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif, dan afektif. Istilah dunia mencakup orang maupun barang.

Dengan demikian kepribadian manusia pada saat tertentu merupakan hasil dari proses interaksi dari bagian-bagian yang begitu intensif, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan merupakan suatu objek dari pengalaman. Tetapi kepribadian terbentuk setiap saat, sehingga di dalam perjalanan hidupnya pengalaman manusia akan selalu bertambah. Pengertian pengalaman juga dikemukakan oleh Ida Suraida dalam jurnal Sosiohumaniora yang berjudul Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit dan Risiko Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik (2005;190) sebagai berikut : Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani.

25

Lorens dalam bukunya Metafisika (1991;11) mengemukakan bahwa : Struktur dasar pengalaman memang hanya satu, yaitu kesadaran akan adanya kesatuan antara yang mengalami dengan yang dialami (kesatuan subjek dengan objek). Tetapi dalam struktur yang satu itu terdapat dua segi, yaitu segi konatif dan segi kognitif. Pengalaman kognitif adalah keadaan pengalaman yang sudah dirumuskan dalam pola-pola data inderawi sepeti bunyi, tulisan atau tanda-tanda. Sedangkan pengalaman konatif berarti segi pengalaman yang dilihat sebagai sesuatu yang langsung, sesuatu keadaan di mana ada kontak langsung antara subjek dengan objek.

Oleh karena itu, seorang auditor dituntut untuk memiliki banyak pengalaman di dalam bidang auditnya. Dengan banyaknya pengalaman yang dimiliki, auditor akan dapat memenuhi tuntutan pekerjaannya, karena memiliki pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang dituntut dari pekerjaan tersebut. Pengalaman yang dimiliki auditor akan memberikan kontribusi yang tinggi bagi pengembangan tugas auditnya.

2.2.2

Standar Auditing Standar auditing merupakan panduan umum bagi auditor dalam memenuhi

tanggung jawab profesinya untuk melakukan audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan Ikatan Akuntan Indonesia adalah sebagai berikut :

26

1. Standar Umum a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesioanalnya dengan cermat dan seksama. 2. Standar Pekerjaan Lapangan a. Pekerjaan harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan mestinya. b. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bukti audit kompeten yang memadai harus diperoleh malalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan hasil audit. 3. Standar Pelaporan a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. b. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan

27

keuangan periode berjalan yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapann informasi dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit. d. Laporan audit harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalama semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab auditor yang bersangkutan.

2.2.3

Unsur-unsur yang Melatarbelakangi Pengalaman Auditor

2.2.3.1 Lamanya Waktu Menekuni Bidang Audit Hughes di dalam bukunya Leadership : Enchancing The Lesson of Experience (1996;34) mengemukakan bahwa : Experience is not just matter of what events happen to you, it also depends on how you perceive those events. Berdasarkan pendapat tersebut, pengalaman tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada kita, tetapi dipengaruhi pula oleh bagaimana kita menanggapinya, termasuk juga bagaimana cara auditor dalam menanggapi tugas auditnya.

28

Restu Agusti dalam artikelnya yang dimuat dalam Media Akuntansi (2000) mengutip pernyataan beberapa peneliti lainnya, menyatakan bahwa lamanya bekerja sebagai auditor menghasilkan struktur dalam proses penilaian auditor. Strukturstuktur ini adalah dasar dari pengambilan keputusan dengan menginterpretasikan arti dan implikasi informasi-informasi spesifik (Gibbins.1984). Struktur-struktur ini menentukan seleksi auditor, memahami dan bereaksi terhadap ruang lingkup tugas (Waller& Felix,1994). Disamping itu, lamanya bekerja juga mempengaruhi penyeleksian dan pembobotan nilai petunjuk-petunjuk informasi yang ada (Bonner 1990). Saat auditor junior mengerjakan suatu tugas audit, ia belum memiliki struktur memori yang relevan untuk dapat memeriksa dan memilah dengan memadai informasi-informasi yang relevan dengan tugas yang dikerjakannya. Selain itu, ia juga belum dapat menganalisa dan mengintegrasikan informasi pada suatu tingkatan yang lebih dari hanya sekedar fitur-fitur permukaan tugasnya saja (Scheonfeld & Hermann 1982). Akibatnya muncul hasil-hasil penilaian yang kontradiktif. Sebaliknya, auditor berpengalaman memiliki struktur memori yang sangat berguna membantu mereka dalam mengolah informasi pada tingkat yang lebih abstrak (Scheonfeld&Hermann 1982). Sehingga dapat meminimalkan hasil-hasil yang kontradiktif tersebut. Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik, sehingga pengalaman dimasukkan sebagai salah

29

satu persyaratan dalam memperoleh izin menjadi akuntan publik (SK MenKeu No17/PMK.01/2008) tentang Jasa Akuntan Publik menyebutkan bahwa : Seorang akuntan publik harus memiliki pengalaman praktik di bidang audit umum atas laporan keuangan paling sedikit 1000 (seribu) jam dalam 5 (lima) tahun terakhir dan paling sedikit 500 (lima ratus) jam diantaranya memimpin dan/atau mensupervisi perikatan audit umum yang disahkan oleh Pemimpin/Pemimpin Rekan KAP. Berdasarkan ketentuan di atas, maka menjadi seorang auditor yang berpengalaman harus memiliki pengalaman minimal 5 (lima) tahun dan sekurangkurangnya 500 jam. Dengan struktur pengetahuan yang dimiliki, auditor berpengalaman dapat mengidentifikasikan petunjuk-petunjuk informasi tertentu mana yang harus dipilih untuk menyimpulkan penilaian-penilaian mereka (Bonner 1990). Konsekuensi dari kemampuan ini adalah ketepatan dalam mengumpulkan bahan bukti audit, sehingga bukti audit yang dikumpulkan akan kompeten. Penelitian Moh. Mansur (2006) yang melakukan penelitian yang berjudul The impact of Experience and Consideration of Auditor Toward Sufficiency of Competence Audit Evidence. Penelitian tersebut menggunakan 40 orang auditor diantaranya 31 orang yang telah bekerja selama minimal lima (5) tahun dan 9 orang auditor yang telah bekerja minimal satu (1) tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan subjek yang mempunyai pengalaman audit lebih banyak akan menemukan kesalahan lebih banyak dan item-item kesalahan yang dilakukan lebih kecil dibandingkan auditor yang mempunyai pengalamannya lebih sedikit. Selain itu auditor yang lebih berpengalaman akan mempertimbangakan pelanggaran tujuan pengendalian dan

30

departemen yang melakukan pelanggaran. Pada penelitian tersebut pengalaman yang diteliti adalah pengalaman auditor dari lamanya bekerja.

2.2.3.2 Frekuensi Melakukan Tugas Audit Brouwer dalam bukunya Psikologi Fenomenologis (1984;12)

mengemukakan bahwa : Hal yang baru, yang mengherankan, akan menjadi biasa dan hilang dalam kontinuitas dengan adanya pengalaman, sebagai contoh waktu kita belajar naik sepeda tidak disadari lagi kalau kita sudah pandai. Hal asing yang disadari akan menjadi biasa dengan pengalaman. Dengan semakin seringnya auditor melaksanakan tugas audit, pengalaman dan pengetahuannya akan semakin bertambah, sehingga kepercayaan diri auditor akan bertambah besar. Fazio & Zanna (1978) serta Regan & Fazio (1997) dalam jurnal Moh Mansur, 2006 yang berjudul The Impact of Experience and Consideration of Auditor toward Sufficiency of Competence Audit Evidence, merumuskan bahwa auditor yang kurang berpengalaman memiliki tingkat kepercayaan diri lebih rendah dibandingkan auditor berpengalaman. Fazio & Zanna menyebutkan dua alasan mengapa pengalaman menghasilkan tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi. Pertama, pengalaman menghasilkan banyak simpanan informasi dalam memori jangka panjang. Bila auditor menghadapi tugas yang sama, selain mereka dapat dengan mudah mengakses informasi yang tersimpan dalam memori, mereka juga dapat mengakses lebih banyak informasi. Dengan dukungan banyak informasi,

31

auditor dapat mengerjakan tugasnya dengan lebih percaya diri. Kedua, saat auditor menjalankan suatu tugas, maka perilakunya akan berfokus pada tugas tersebut. Dengan memfokuskan perilaku pada tugas, auditor dapat lebih cepat membiasakan diri dengan tugas tersebut dan mereka juga akan memperoleh lebih banyak pengetahuan yang berkaitan dengan tugas tersebut. Yudhi Herliansyah dalam Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang berjudul Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Penggunaan Bukti Tidak Relevan Dalam Auditor Judgment, menyebutkan dalam literatur psikologis dan auditing

menunjukkan bahwa efek dilusi dalam auditing bisa berkurang oleh auditor yang berpengalaman karena struktur pengetahuan yang baik dari auditor yang berpengalaman menyebabkan mereka mengabaikan informasi yang tidak relevan (Sandra,1999). Dengan kata lain kompleksitas tugas yang dihadapi sebelumnya oleh seorang auditor akan menambah pengalaman serta pengetahuannya. Pendapat ini didukung oleh Abdolmohammadi dan Wright (1987) yang menunjukkan bahwa auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih

signifikan dibandingkan dengan auditor yang lebih berpengalaman. Pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih (Christ, 1993). Seseorang yang melakukan pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki akan memberikan hasil yang lebih daripada mereka yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup dalam tugasnya.

32

2.2.3.3 Pendidikan yang Berkelanjutan Dalam standar umum SA seksi 210 tentang pelatihan dan keahlian Auditor Independen yang terdiri atas paragraph 03-05, menyebutkan secara jelas tentang keahlian auditor disebutkan dalam paragraf pertama sebagai berikut Audit harus dilakukan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan yang cukup sebagai auditor (SPAP, 2001). Standar Umum pertama tersebut menegaskan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan untuk melaksanakan audit adalah harus memiliki pendidikan serta pengalaman yang memadai dalam bidang auditing. Pengalaman seorang auditor sangat berperan penting dalam meningkatkan keahlian sebagai perluasan dari pendidikan formal yang telah diperoleh auditor. Sebagaimana yang telah diatur dalam paragraf ketiga SA seksi 210 tentang pelatihan dan keahlian independen disebutkan: Dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyatan pendapatan, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang yang ahli dalam bidang akuntan dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit..(SPAP, 2001). Hughes di dalam bukunya Leadership : Enchancing the Lesson of Experience (1996;41) mengemukakan bahwa : Working with other who have different backgrounds, perspectives, or agends can often be a growth experiences. Berdasarkan pendapat tersebut dan seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, keterampilan auditor dituntut untuk berkembang. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya agar tidak tertinggal oleh berbagai kemajuan teknologi
33

adalah melalui program pendidikan dan pelatihan berkesinambungan. Tidak dapat dipungkiri auditor memerlukan pelatihan dalam bidang akuntansi dan auditing, serta bidang-bidang operasional lain yang dibutuhkan oleh auditor dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, kemampuan auditor harus ditingkatkan untuk mengantisipasi semua keadaan yang mungkin dihadapi akibat kemajuan yang begitu pesat. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (SK MenKeu No.17/PMK.01/2008) tentang jasa Akuntan Publik menyebutkan bahwa : Pasal 5 poin b : Seorang akuntan publik harus memiliki Sertifikat Tanda Lulus Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) yang diselenggarakan oleh IAPI. Pasal 5 poin c : Dalam hal tanggal kelulusan USAP sebagaimana dimaksud pada poin b telah melewati masa 2 (dua) tahun, maka wajib menyerahkan bukti telah mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) paling sedikit 60 (enam puluh) Satuan Kredit PPL (SKP) dalam 2 (dua) tahun terakhir. Secara formal, memang para auditor ini bisa mengikuti pendidikan berkelanjutan yang diadakan di berbagai instansi atau lembaga pendidikan yang telah terukur kualitasnya, seperti pendidikan profesi akuntansi dan magister akuntansi. Pengetahuan auditor bisa diperoleh dari berbagai pelatihan formal maupun dari pengalaman khusus, berupa kegiatan seminar, lokakarya serta pengarahan dari auditor senior kepada auditor juniornya. Pengetahuan juga bisa diperoleh dari frekuensi

34

seorang akuntan publik melakukan pekerjaan dalam proses audit laporan keuangan (Bonner dan Waller 1994). Seseoarang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai akan tugasnya. Auditor diharuskan mengikuti pendidikan berkelanjutan dengan tujuan meningkatkan keahliannya. Auditor harus berusaha memperoleh informasi tentang kemajuan dan perkembangan baru dalam standar, prosedur, dan teknik-teknik audit. Diharapkan dengan mengikuti pendidikan berkelanjutan, auditor dapat meningkatkan keahliannya, termasuk dalam hal mengumpulkan bahan bukti audit yang kompeten.

2.3

Profesionalisme Auditor Asal-usul profesional berasal dari bahasa Yunani, yaitu Prophaiano, yang

berarti menyatakan secara publik, dan dalam bahasa latin disebut profession, dimana kedua kata ini mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan pekerjaannya seseorang harus memenuhi persyaratan tertentu yang dapat dinilai oleh masyarakat umum (publik) atas suatu pekerjaan tertentu.

35

Arens (2003,78) memberikan definisi profesional sebagai berikut : Profesional berarti tanggung jawab untuk berperilaku yang lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan lebih dari sekedar memenuhi undang-undang dan peraturan masyarakat.

Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan Profesionalisme sebagai berikut : Profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang professional. Dapat disimpulkan dari kutipan di atas bahwa seorang auditor yang profesional harus memiliki mutu,dan kualitas yang baik dalam memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesinya untuk berperilaku semestinya.

2.3.1

Dasar-dasar yang Melatarbelakangi Profesionalisme Auditor

2.3.1.1Kode Etik Profesional Auditor Profesionalisme dalam konteks akuntan publik berarti integritas dan objektivitas, yang berarti mengacu pada standar profesional dan hukum serta perundangan yang berlaku. Seorang akuntan publik yang profesional diharapkan dapat menunjukkan peningkatan kualitas pelayanan dengan tetap memegang teguh

36

prinsip, standar, dan kualitasnya. Seorang auditor pun harus tetap menjunjung tinggi independensinya, apalagi bila menyangkut kepentingan masyarakat. Skeptisisme professional auditor atau keraguan auditor terhadap pernyataan klien baik secara lisan maupun tertulis merupakan bagian dari proses audit. Dalam SPAP, 2001 (SA seksi 230 hal 230.2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan skeptisisme professional auditor adalah: Suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Standar Umum Ketiga menyatakan Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Secara sederhana, ini berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugas-tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama berarti penggunaan pertimbangan sehat dalam penetapan lingkup, dalam pemilihan metodologi, dan dalam pemilihan pengujian dan prosedur untuk mengaudit. Pertimbangan sehat juga harus diterapkan dalam pelaksanaan pengujian dan serta dalam mengevaluasi dan melaporkan hasil audit. Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat harus memiliki kode etik, yang merupakan seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional (Agoes 2004). Diperlukannya perilaku profesi yang

37

tinggi pada setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan profesi terlepas dari yang dilakukan secara perorangan. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa profesional akan meningkat jika profesi mewujudkan standar yang tinggi dan memenuhi semua kebutuhannya. Kode Etik mempengaruhi profesi, ketentuan ini dikenakan oleh organisasi profesi terhadap para anggotanya yang secara sukarelawan telah menerimanya lebih keras dari hukum atau undang-undang. Seseorang masuk profesi akuntan harus menerima kewajiban bahwa ia akan memegang teguh prinsip-prinsip, bekerja dengan selalu berusaha untuk meningkatkan pengetahuan sesuai dengan profesinya dan akan mematuhi Kode Etik Profesi, serta norma-norma auditing. Kode Etik Akuntan merupakan bagian yang penting dari peraturan disiplin yang menyeluruh agar semua pihak yang berkepentingan pada jasa akuntan dapat dilindungi.

2.3.1.2 Standar Profesional Auditor Menurut Arens, Elder, dan Beasley yang diterjemahkan oleh Tim Dejacarta (2003;45-48) standar professional akuntan publik terdapat tiga kategori yaitu: standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan. 1. Standar Umum menekankan pada pentingnya kualitas diri yang harus dimiliki oleh auditor. Kualitas yang harus dimiliki oleh akuntan publik

38

yaitu: keahlian dan pelatihan teknis yang memadai, independensi sikap mental, dan kehati-hatian profesional dengan cermat dan seksama. Keahlian dan Pelatihan Teknis yang Memadai Standar pertama umumnya diinterpretasikan bahwa auditor harus menjalani pendidikan formal di bidang auditing dan akuntansi, pengalaman praktis yang cukup banyak dalam bidang kerja yang dilakukannya, serta pendidikan profesi yang berkelanjutan. Kasuskasus pengadilan yang baru-baru ini terjadi secara jelas menunjukkan bahwa para auditor harus memiliki kualifikasi teknis serta berpengalaman dalam industri-industri yang mereka audit. Independensi Sikap Mental Kantor akuntan publik diminta untuk mematuhi beberapa praktek untuk meningkatkan sikap independensi dari semua personilnya. Sebagai contoh, terdapat sejumlah prosedur yang dibuat dalam audit yang berskala besar saat terdapat suatu persengketaan antara manajemen dan auditor. Kehati-hatian Profesional dengan Cermat dan Seksama Standar umum yang ketiga melibatkan perhatian mendalam pada pelaksanaan dari semua aspek audit. Secara sederhana dapat dinyatakan, hal tersebut berarti bahwa auditor harus bertanggung jawab secara profesional dalam pelaksanaan tugasnya untuk

39

bersikap tekun dan penuh kehati-hatian. Sebagai ilustrasi, perhatian mendalam termasuk pertimbangan akan kelengkapan kertas kerja, kecukupan bukti audit, serta ketepatan laporan audit. Sebagai seorang profesional, auditor harus menghindarkan terjadinya kecerobohan serta sikap asal percaya, tetapi auditor tidak diharapkan untuk membuat suatu pertimbangan yang sempurna dalam setiap kesempatan. 2. Standar Pekerjaan Lapangan menekankan pada pengumpulan bukti-bukti serta aktivitas lainnya selama pelaksanaan audit. Dalam hal ini auditor harus memperhatikan perencanaan dan supervisi audit, pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern klien, dan bukti audit yang cukup dan kompeten. Perencanaan dan Supervisi Audit Standar Pekerjaan Lapangan Pertama berkaitan dengan usahausaha untuk memastikan bahwa penugasan audit telah

direncanakan dengan sebaik-baiknya sehingga dipastikan akan terdapat suatu proses audit yang baik dan supervisi yang tepat terhadap para auditor pemula. Supervisi merupakan hal yang esensial dalam penugasan audit karena sebagian besar pekerjaan lapangan dilaksanakan oleh para anggota yang kurang

berpengalaman.

40

Pemahaman yang Memadai atas Struktur Pengendalian Intern Salah satu dari konsep-konsep yang diterima secara luas baik dalam teori maupun praktek audit adalah betapa pentingnya fungsi sistem pengendalian intern yang dimiliki klien untuk menghasilkan informasi keuangan yang dapat diandalkan. Jika seorang auditor dapat diyakinkan bahwa klien memiliki suatu sistem pengendalian intern yang sangat baik, di mana hal tersebut mencakup pengendalian intern yang memadai dalam penyediaan data serta dalam usaha pengamanan aktiva dan catatan-catatan perusahaan, maka jumlah bukti audit yang harus dikumpulkan dapat berkurang secara signifikan dibandingkan bila pengendalian-pengendalian di perusahaan klien tersebut kurang memadai. Dalam banyak kasus, pengendalian intern dapat saja sangat tidak memadai sehingga menghambat pelaksanaan yang efektif dari suatu audit.

Bukti Audit yang Cukup dan Kompeten Keputusan-keputusan tentang seberapa banyak serta tipe bukti audit seperti apa yang harus dikumpulkan pada serangkaian kondisi tertentu adalah hal-hal yang membutuhkan pertimbangan profesional seorang auditor.

41

3. Standar Pelaporan Keempat standar pelaporan menghendaki agar seorang auditor

mempersiapkan suatu laporan atas keseluruhan laporan keuangan, termasuk pengungkapan informatif. Standar pelaporan menghendaki bahwa laporan auditor menyatakan apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi diantaranya : 1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secar konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya. 3. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit. 4. Laporan audit harus memuat pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab auditor yang bersangkutan.

42

2.3.1.3 Prinsip Perilaku Profesioanal Prinsip perilaku profesional ini tidak secara khusus dirumuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tetapi dapat dianggap menjiwai kode perilaku IAI, berkaitan dengan karakteristik tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan. Menurut Arens and Loebbeck yang diterjemahkan oleh Drs. Ilham Tjakrakusuma (1997;79-80) terdapat enam prinsip yaitu: 1. Tanggung jawab Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, anggota harus menjalankan kepekaan profesional dan pertimbangan moral dalam semua aktivitaas mereka. 2. Kepentingan Masyarakat Anggota harus menerima kewajiban untuk bertindak yang mendahulukan kepentingan masyarakat, menghormati kepercayaan masyarakat, dan

menunjukkan komitmen pada profesionalisme. 3. Integritas Untuk mempertahankan dan memperluas kepercayaan masyarakat, anggota harus melaksanakan semua tanggung jawab profesional dengan kepekatan integritas yang paling tinggi.

43

4. Objektivitas dan Independensi Anggota harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari pertentangan dalam melaksanakan tanggung jawab profesioanal. Anggota dalam praktek publik harus independen dalam kenyataan dan penampilan pada waktu melaksanakan pemeriksaan dan jasa pembuktian lainnya. 5. Kemahiran Anggota harus mematuhi standar teknis dan etis profesi, berusaha kerja untuk terus meningkatkan kompetensi dan mutu jasa, dan melaksanakan tanggung jawab profesional sesuai dengan kemampuan yang terbaik. 6. Lingkup dan Sifat Jasa Dalam menjalankan praktek dalam masyarakat, anggota harus mematuhi Prinsip-prinsip Kode Perilaku Profesional untuk menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan diberikan.

2.4 2.4.1

Kompetensi Bukti Audit Pengertian Kompetensi Bukti Audit Menurut Arens, Elder dan Beasley dalam buku Auditing dan Pelayanan

Verifikasi (2003;246) mendefinisikan kompetensi bukti audit sebagai berikut: Kompetensi bukti merujuk pada tingkat di mana bukti tersebut dianggap dapat dipercaya atau diyakini kebenarannya.

44

Dalam

e-Library UT (Pustaka.ut.ac.id/pustaka/online.php) mendefinisikan

kompetensi bukti audit sebagai berikut : Kompetensi bukti audit merupakan menyangkut kualitas atau keandalan bukti yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : sumber bukti, pengendalian intern, dan cara untuk memperoleh bukti. Standar Pekerjaan Lapangan Ketiga (SPAP,2001:326-1) berbunyi: Bukti audit yang kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditor. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa jika bukti audit dianggap memiliki kompetensi yang tinggi maka bukti audit tersebut dapat diyakini dan dipercaya kebenarannya. Setiap bukti audit yang kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditor, dan setiap informasi yang diaudit telah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Menurut Arens (2003;246) ada tujuh karakteristik kompetensi bukti audit yaitu; 1. Relevansi Bukti audit harus selaras atau relevan dengan tujuan audit yang akan diuji oleh auditor sebelum bukti tersebut dapat dipercaya. Sebagai contoh, anggaplah bahwa auditor memperhatikan bahwa

45

seorang klien belum membuatkan kuitansi penagihan kepada pelanggan atas barang yang telah dikapalkannya (tujuan kelengkapan). Jika auditor memilih suatu sampel atas salinan faktur penjualan dan menelusuri kembali setiap salinan faktur penjualan tersebut pada dokumen-dokumen pengiriman barang yang terkait, maka bukti audit tersebut tidak relevan dengan tujuan kelengkapan, serta dianggap bukan merupakan bukti audit yang meyakinkan bagi tujuan tersebut. Suatu prosedur yang relevan adalah prosedur yang dapat menelusuri sutau sampel dokumen pengiriman pada salinan faktur penjualannya untuk menentukan apakah masing-masing pengiriman barang tersebut telah ditagihkan. 2. Independensi Penyedia Bukti Bukti audit yang diperoleh dari sumber di luar entitas akan lebih dapat dipercaya daripada bukti audit yang diperoleh dari dalam entitas. Sebagai contoh, bukti-bukti eksternal seperti sejumlah komunikasi dengan bank, pengacara, atau para pelanggan umumnya dianggap lebih terpercaya daripada jawaban-jawaban yang diperoleh dari wawancara dengan klien Serupa hal itu, berbagai dokumen yang berasal dari luar organisasi klien akan dianggap lebih terpercaya daripada dokumen yang berasal dari intern perusahaan serta tidak penah dikirim ke luar organisasi. Suatu contoh dari dokumen pertama adalah selembar polis asuransi. 3. Efektivitas Pengendalian Intern Klien Jika pengendalian intern klien berjalan secara efektif, maka bukti audit yang diperoleh akan lebih dapat dipercaya daripada jika pengendalian intern itu lemah. Sebagai contoh, jika pengendalian intern atas penjualan dan penagihan berjalan efektif, auditor dapat memperoleh lebih banyak bukti yang kompeten dari faktur penjualan dan dokumen pengiriman daripada jika pengendalian intern yang ada tidak memadai. 4. Pemahaman Langsung Auditor Bukti audit yang diperoleh langsung oleh auditor melalui pengujian fisik, observasi, perhitungan, dan inspeksi akan lebih kompeten daripada informasi yang diperoleh secara tidak langsung. Sebagai contoh, jika auditor menghitung pendapatan kotor sebagai suatu persentase dari penjualan dan membandingkannya dengan periode sebelumnya, bukti audit tersebut akan lebih dapat dipercaya daripada jika auditor menyandarkan diri pada perhitungan dari controller perusahaan. 5. Berbagai Kualifikasi Individu yang Menyediakan Informasi Walaupun jika sumber informasi itu bersifat independen, bukti audit tidak akan dapat dipercaya kecuali jika individu yang menyediakan informasi tersebut memiliki kualifikasi untuk melakukan hal itu.
46

Selanjutnya, berbagai komunikasi dari para pengacara dan konfirmasi-konfirmasi bank umumnya memilki tingkatan yang lebih tinggi daripada berbagai konfirmasi piutang dagang dari orangorang yang tidak berpengalaman dalam dunia bisnis. Selain itu, bukti-bukti yang diperoleh langsung oleh auditor pun tidak akan terpercaya jika ia sendiri kurang memiliki kualifikasi untuk mengevaluasi bukti itu. Sebagai contoh, pengujian atas suatu persediaan permata oleh seorang auditor yang tidak terlatih dalam membedakan antara permata dan kaca tidak akan dapat menyediakan bukti audit yang terpercaya akan keberadaan dari permata itu. 6. Tingkat Obyektivitas observasi atas persediaan yang usang selama dilakukannya pengujian fisik, serta berbagai informasi yang didapat dari manajer kredit tentang kolektibilitas dari piutang dagang yang belum dibayar oleh pelanggan. Ketika mengevaluasi reliabilitas dari bukti yang subyektif, maka sangat penting untuk memperhatikan berbagai kualifikasi dari pribadi yang menyediakan bukti tersebut. Bukti yang obyektif akan lebih dapat dipercaya daripada bukti yang membutuhkan pertimbangan tertentu untuk menentukan apakah bukti tersebut memang benar. Berbagai contoh bukti yang obyektif termasuk konfirmasi atas piutang dagang dan saldo-saldo bank, perhitungan fisik surat berharga dan kas, serta perhitungan ulang saldo dalam daftar utang dagang untuk menentukan apakah datadata tersebut sesuai dengan saldo pada buku besar. Sedangkan contoh-contoh dari bukti-bukti yang subyektif termasuk selembar surat yang ditulis oleh pengacara klien yang membahas mengenai kemungkinan hasil yang akan diperoleh dari berbagai gugatan hukum yang sedang dihadapi oleh klien, 7. Ketepatan Waktu Ketepatan waktu atas bukti audit dapat merujuk baik ke kapan bukti itu dikumpulkan atau kapan periode waktu yang tercover oleh proses audit itu. Umumnya bukti audit untuk mendukung akun-akun neraca akan lebih tepat untuk dikumpulkan pada masa-masa yang dekat dengan tanggal neraca. Sebagai contoh, perhitungan yang dilakukan auditor atas surat berharga pada tanggal neraca akan lebih terpercaya daripada jika perhitungan itu dilakukan 2 bulan sebelumnya. Sedangkan untuk akun-akun dalam laporan laba rugi, bukti yang diperoleh akan lebih terpercaya jika terdapat suatu sampel dari keseluruhan periode yang diaudit daripada hanya untuk sebagian periode saja. Sebagai contoh, suatu sampel acak dari berbagai transaksi penjualan dari seluruh tahun akan lebih

47

terpercaya daripada suatu sampel yang diambil dalam jangka waktu 6 bulan pertama saja.

2.4.2

Berbagai Keputusan Bukti Audit Menurut Arens (2003) berbagai keputusan audit dalam pengumpulan bukti

audit dapat dipilah dalam empat sub keputusan yaitu sebagai berikut: 1. Prosedur Audit Prosedur audit adalah rincian instruksi untuk pengumpulan jenis bukti audit yang diperoleh pada suatu waktu tertentu saat berlangsungnya proses audit. Dalam merancang berbagai prosedur audit, merupakan hal yang umum untuk menerjemahkannya ke dalam barbagai istilah yang cukup spesifik agar dapat digunakan sebagai instruksi-instruksi selama pelaksanaan audit. Contohnya; Ambillah buku jurnal pengeluaran kas dan bandingkanlah nama si pembayar, nilai uang, dan tanggal pada berbagai cek yang ditangguhkan dengan data yang terdapat dalam buku jurnal pengeluaran kas. 2. Ukuran Sampel Setelah memilih prosedur audit, mungkin sekali memilih beragam ukuran sampel dari hanya satu sampel hingga semua item yang terdapat dalam populasi yang sedang diuji. Dalam prosedur audit yang telah dibahas di atas, anggaplah bahwa terdapat 6.600 cek yang tercatat dalam buku jurnal pengeluara kas. Auditor barangkali akan memilih ukuran sampel sebesar 50

48

cek sebagai perbandingan dengan buku jurnal pengeluaran kas. Keputusan untuk memilih seberapa benyak item yang akan diuji haruslah dibuat oleh auditor untuk masing-masing prosedur audit yang ada. Ukuran sampel bagi setiap prosedur tersebut kemungkinan besar akan berbeda antara satu penugasan audit dengan penugasan audit lainnya. 3. Item-item yang terpilih Setelah penentuan ukuran sampel untuk prosedur audit yang dilakukan, haruslah ditentukan item-item mana dari populasi yang akan diuji. Jika auditor memutuskan, umpamanya, untuk memilih 50 cek yang ditangguhkan dari populasi sebesar 6.600 cek sebagai item-item yang akan dibandingkan dengan data pada buku jurnal pengeluaran kas, maka dapat digunakan berbagai metoda yang berbeda untuk memilih cek-cek manakah yang akan diuji. Auditor dapat (1) memilih 50 cek pertama yang tercatat dalam periode satu minggu, (2) memilih 50 cek bernilai terbesar, (3) memilih cek-cek tersebut secara acak, atau (4) memilih cek-cek yang menurut auditor memiliki kemungkinan kandungan kekeliruan yang besar. Atau suatu kombinasi dari berbagai metode tersebut. 4. Pemilihan Waktu yang Tepat Audit atas laporan keuangan umumnya mencakup periode waktu tertentu seperti satu tahun, dan umumnya proses auditnya baru selesai dilaksanakan setelah beberapa minggu atau beberapa bulan setelah berakhirnya suatu periode waktu. Waktu pelaksanaan berbagai prosedur audit beragam mulai
49

dari awal suatu periode akuntansi atau lama setelah periode akuntansi itu berakhir. Selain itu, keputusan untuk pemilihan waktu audit pun dipengaruhi oleh kapan audit tersebut harus diselesaikan agar sesuai dengan kebutuhan klien. Pemilihan waktu yang tepat pun dipengaruhi oleh keyakinan auditor tentang kapan bukti audit akan memberikan hasil yang paling efektif dan kapan staf audit dapat melaksanakan proses audit itu. Sebagai contoh, para auditor bila memungkinkan, seringkali lebih suka untuk melakukan pengujian fisik persediaan pada waktu-waktu di sekitar tanggal neraca.

2.4.3

Jenis Bukti Audit Dalam memutuskan prosedur-prosedur audit manakah yang akan digunakan,

auditor dapat memilihnya dari ketujuh kategori umum bukti audit. Menurut Arens (2003;250) kategori-kategori ini, dikenal sebagai jenis-jenis bukti yaitu sebagai berikut: 1. Pengujian Fisik (Physical Examination) Pengujian fisik adalah inspeksi atau perhitungan yang dilakukan oleh auditor atas aktiva yang berwujud (tangible asset). Jenis bukti ini sering berkaitan dengan persediaan dan kas, tetapi dapat pula diterapkan untuk berbagai verifikasi atas surat berharga, surat piutang, serta aktiva tetap yang berwujud. Perbedaan antara pengujian fisik atas aktiva, seperti surat berharga yang

50

diperdagangkan dan kas, serta pengujian atas berbagai dokumen, seperti cekcek yang dibatalkan dan berbagai dokumen penjualan, sangatlah penting bagi berbagai tujuan audit. Jika obyek yang diuji, seperti selembar faktur penjualan umpamanya, tidak memiliki nilai inheren, maka bukti audit itu disebut sebagai dokumentasi. 2. Konfirmasi (Confirmation) Konfirmasi menggambarkan penerimaan tanggapan baik secara tertulis maupun lisan dari pihak ketiga yang independen yang memverifikasikan keakuratan informasi sebagaimana yang diminta oleh auditor. Permintaan ini ditujukan bagi klien, dan k lien meminta pihak ketiga yang independen untuk memberikan tanggapannya secara langsung kepada auditor. Karena

konfirmasi-konfirmasi ini datang dari berbagai sumber yang independen terhadap klien, maka jenis bukti audit ini sangatlah dihargai dan merupakan jenis bukti yang paling sering digunakan. SAS 67 (AU 330)

mengidentifikasikan dua jenis permintaan konfirmasi-konfirmasi positif dan negatif. Konfirmasi positif meminta penerima untuk merespon dalam semua keadaan. Sebaliknya, dengan konfirmasi negatif penerima diminta untuk merespon hanya saat tidak benar. Karena konfirmasi dianggap bukti penting hanya saat dikembalikan, konfirmasi negatif adalah kurang kompeten daripada konfirmasi positif.

51

3. Dokumentasi (Documentation) Dokumentasi adalah pengujian auditor atas berbagai dokumen dan catatan klien untuk mendukung informasi yang tersaji atau seharusnya tersaji dalam laporan keuangan. Berbagai dokumen yang diuji oleh auditor adalah catatancatatan yang dipergunakan oleh klien untuk menyediakan informasi bagi pelaksanaan bisnis yang terorganisasi. Karena pada umumnya setiap transaksi dalam organisasi klien ini minimal didukung oleh selembar dokumen, maka jenis bukti audit ini tersedia dalam jumlah besar. Dokumen-dokumen secara sederhana dapat diklasifikasikan sebagi dokumen internal dan eksternal. Dokumen internal adalah dokumen yang dipersiapkan dan dipergunakan dalam organisasi klien sendiri serta tidak pernah disampaikan kepada pihakpihak di luar organisasi seperti pelanggan atau pemasok klien. Contohnya: salinan faktur penjualan. laporan waktu kerja karyawan, serta laporan penerimaan persediaan. Dokumentasi eksternal adalah dokumen yang pernah berada dalam genggaman seseorang di luar organisasi yang mewakili pihak yang menjadi klien dalam melakukan transaksi, tetapi dokumen tersebut saat ini berada di tangan klien atau dengan segera dapat diakses oleh klien. Dalam beberapa kasus, dokumen-dokumen eksternal berasal dari luar organisasi klien dan berakhir di tangan klien. Contohnya: faktur-faktur dari pemasok, surat utang yang dibatalkan, serta polis-polis asuransi. Dokumen lainnya seperti cek-cek yang ditangguhkan, diterbitkan oleh klien, dikirimkan ke pihak luar, dan akhirnya kembali lagi ke tangan klien.
52

4. Prosedur Analitis (Analytical Procedures) Prosedur analitis menggunakan berbagai perbandingan dan hubunganhubungan untuk menilai apakah saldo-saldo akun atau data lainnya nampak wajar. Contoh atas hal ini adalah perbandingan persentase antara laba kotor yang diperoleh selama tahun berjalan terhadap laba kotor yang diperoleh pada tahun sebelumnya. Prosedur analitis digunakan secara luas dalam praktek dan penggunaan prosedur tersebut telah meningkat dengan tersedianya komputer untuk melakukan perhitungan. Dewan Standar Audit telah menyimpulkan bahwa prosedur analitis adalah begitu penting sehingga mereka dibutuhkan selama fase perencanaan dan penyelesaian atas semua audit. 5. Wawancara kepada Klien (Inquiris of The Client) Wawancara adalah upaya untuk memperoleh informasi baik secara lisan maupun tertulis dari klien sebagai tanggapannya atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh auditor. Walaupun banyak bukti yang diperoleh dari klien berasal dari hasil wawancara ini, bukti tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai bukti yang meyakinkan karena tidak diperoleh dari sumber yang independen dan barangkali cenderung mendukung pihak klien. Oleh karena itu, saat auditor memperoleh bukti dari hasil wawancara ini, maka pada umumya merupakan suatu keharusan bagi auditor untuk memperoleh bukti audit lainnya yang lebih meyakinkan melalui berbagai prosedur lainnya.

53

6. Hitung Uji (Reperformance) Hitung uji melibatkan pengujian kembali berbagai perhitungan dan transfer informasi yang dibuat oleh klien pada suatu periode yang berada dalam periode audit pada sejumlah sampel yang diambil auditor. Pengujian kembali atas berbagai ini terdiri dari pengujian atas keakuratan aritmatis klien. Hal ini mencakup sejumlah prosedur seperti pengujian perkalian dalam faktur-faktur penjualan dan persediaan, penjumlahan dalam jurnal-jurnal dan catatancatatan pendukung, serta menguji perhitungan atas beban depresiasi dan beban dibayar di muka. Pengujian kembali atas berbaga transfer informasi mencakup penelusuran nilai-nilai untuk memperoleh keyakinan bahwa pada saat informasi tersebut dicantumkan pada lebih dari satu tempat, maka informasi tersebut dicantumkan pada lebih dari satu tempat, maka informasi tersebut selalu dicantumkan pada lebih dari satu tempat, maka informasi tersebut selalu dicatat dalam nilai yang sama pada setiap saat. 7. Observasi (Observation) Observasi adalah penggunaan indera perasa untuk menilai aktivitas-aktivitas tertentu. Sepanjang proses audit, terdapat banyak kesempatan bagi auditor untuk mempergunakan indera penglihatan, pendengaran, perasa, dan penciumannya dalam mengevaluasi berbagai item yang sangat beraneka ragam. Sebagai contoh, auditor dapat melakukan tur ke ruang pabrik untuk memperoleh suatu pandangan umum akan berbagai fasilitas yang dimiliki klien, mengamati apakah peralatan yang ada sudah banyak berkarat sehingga
54

ia dapat mengevaluasi apakah peralatan tersebut sudah usang atau belum, serta mengamati para individu yang melaksanakan tugas-tugas akuntansi untuk memperoleh keyakinan apakah individu yang diserahi tanggung jawablah yang melaksanakan tugas tersebut.

2.5

Pengaruh

Pengalaman

dan

Profesionalisme

Auditor

Terhadap

Kompetensi Bukti Audit. 2.5.1 Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Kompetensi Bukti Audit Menurut Bouwman dan Bradley (1997;3) dalam jurnal Gunasti Hudiwinarsih yang berjudul Pengaruh Pengalaman Auditor Intern Bank terhadap Profesionalisme dan Keterkaitannya Dengan Kinerja, Kepuasan Kerja, Komitmen dan Turn Over Intentions menyatakan bahwa: Pengalaman diartikan sebagai lamanya waktu dalam bekerja di bidangnya. Pengalaman ini seringkali digunakan oleh peneliti-peneliti sebagai alternatif dalam pengukuran keahlian seseorang. Karena pengalaman diasumsikan dengan mengerjakan sesuatu tugas berulangkali, maka akan memberikan kesempatan mengerjakannya dengan lebih baik. Moeckel (1990) meneliti bahwa peningkatan pengalaman yang dimulai dari staff, menghasilkan memory structure yang kaya dan lebih berkembang. Pengalaman bagi seorang auditor merupakan elemen penting dalam menjalankan profesinya selain dari pendidikan. Mengingat fungsinya sebagai

55

pemeriksa yang harus mampu memberikan masukan ataupun pendapat. Sebagaimana Tubs (1992) menunjukkan bahwa ketika akuntan pemeriksa menjadi lebih berpengalaman, maka auditor menjadi lebih sadar terhadap kekeliruan yang tidak lazim serta lebih menonjol dalam menganalisa yang berkaitan dengan kekeliruan tersebut. Menurut Jeffrey (dalam Sri Sularso dan Ainun Naim 1999;156). Memperlihatkan bahwa seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Menurut Butts (dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999:156), mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman membuat judgment lebih baik dalam tugastugas profesional ketimbang akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman. Hal ini dipertegas oleh Haynes et al (1998) yang menemukan bahwa pengalaman audit yang dimiliki auditor ikut berperan dalam menentukan perimbangan yang diambil. Disamping itu, pengalaman juga mempengaruhi penyeleksian dan pembobotan nilai petunjuk-petunjuk informasi yang ada (Bonner,1990), sehingga bukti audit yang dikumpulkan akan semakin kompeten.

56

2.5.2

Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Kompetensi Bukti Audit Pemberian opini akuntan harus didukung oleh bukti audit yang cukup

kompeten, di mana dalam mengumpulkan audit, auditor harus senantiasa menggunakan skeptisisme profesionalnya yaitu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (SPAP 2001;SA, seksi 230) agar diperoleh bukti-bukti yang meyakinkan sebagai dasar dalam pemberian opini akuntan. Jusuf (1997;78-79) dalam jurnal Profesionalisme, Pengetahuan Akuntan Publik Dalam Mendeteksi Kekeliruan, Etika Profesi dan Pertimbangan Tingkat Materialitas menyebutkan bahwa: Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional meningkat jika profesi menetapkan standar kerja dan perilaku yang dapat mengimplementasikan praktik bisnis yang efektif dan tetap mengupayakan profesionalisme yang tinggi. Konsep profesionalisme modern dalam melakukan suatu pekerjaan seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003), berkaitan dengan dua aspek penting, yaitu aspek struktural dan aspek sikap. Aspek struktural karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan tempat pelatihan, pembentukan asosiasi profesional dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme. Hastuti dkk. (2003) menyatakan bahwa profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai akuntan publik. Gambaran seseorang yang

57

profesional dalam profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu: pertama, pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Kedua, kewajiban sosial adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan tersebut. Ketiga, kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan bahwa seorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien dan mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. Keempat, keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa paling berwenang menilai pada suatu pekerjaan yang dilakukan profesional atau tidak adalah rekan sesama profesi, bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tersebut. Kelima, hubungan dengan sesama profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam melaksanakan pekerjaan. Dengan demikian, seorang auditor yang menerapkan profesionalisme dalam kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaannya maka akan semakin kompeten bukti audit yang didapat.

58

2.5.3

Pengaruh

Pengalaman

dan

Profesionalisme

Auditor

terhadap

Kompetensi Bukti Audit Pengalaman seorang auditor merupakan faktor yang penting dalam usaha profesionalisme auditornya. Pengalaman auditor akan menentukan keterampilannya dalam melakukan tugas audit. Keterampilan dapat dicapai melalui proses pelatihan yang panjang yang ditopang oleh pengalaman intelektual dan pengalaman praktis. Kompetensi dan pengalaman intelektual seorang auditor dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal serta pelatihan dan pendidikan berkelanjutan. Pengembangan pengetahuan akan sangat mempengaruhi kecerdasan dan intelektual seseorang. Melalui pendidikan tersebut, seorang auditor dapat mengembangkan pengetahuannya terhadap pengumpulan dan penilaian bahan bukti untuk menghasilkan keputusan yang tepat. Shelton (1999:219) dalam jurnalnya yang berjudul The Effect of Experience on the Use of Irrelevant evidence in Auditor Judgment mengatakan bahwa Experienced decision makers have higly developed knowledge structures and use directed strategies to focus on only relevant information. Pendapat tersebut menyatakan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai struktur pengetahuan yang tinggi dan menggunakan strategi yang terarah untuk memfokuskan pada informasi yang relevan. Oleh karena itu, pengalaman merupakan salah satu faktor yang berperan dalam meningkatkan profesionalisme auditor. Banyak pihak yang

59

beranggapan bahwa semakin lama seorang bekerja, maka ia semakin berpengalaman dan akhirnya profesionalisme auditor akan meningkat. Dengan meningkatnya profesionalisme auditor, hasil kerja mereka akan semakin meningkat dan tentunya terjamin pula memperoleh bukti audit yang kompeten.

60

Anda mungkin juga menyukai