Anda di halaman 1dari 25

DIAGNOSA DAN PENILAIAN CACAT PENYAKIT AKIBAT KERJA

Oleh: DR. Sumamur PK MSc.

I. PENDAHULUAN

Makalah dengan topik tersebut disampaikan pada Lokakarya Nasional Dokter Penasehat. Dokter Penasehat mempunyai fungsi memberikan pertimbangan medis dalam menyelesaikan kasus jaminan kecelakaan kerja yang antara lain masalah medis yang paling penting dan terhadapnya pertimbangan medis diminta pertimbangannya adalah tentang diagnosa dan penilaian cacat penyakit akibat kerja. Sehubungan dengan fungsi tersebut, Dokter Penasehat wajib memiliki ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang lebih dibanding Dokter Pemeriksa serta tentunya kompetensi dalam kedokteran kerja/okupasi. Selain substansi mengenai diagnosa dan penilaian cacat penyakit akibat kerja, waktu ini fakta menunjukkan demikian timpangnya prevalensi penyakit akibat kerja atas dasar penelitian atau survei dengan data yang dikumpulkan dari pelaporan penyakit tersebut. Keadaan demikian menuntut uapaya alternatif sehingga kejadian dan juga tingkat keparahan penyakit akibat kerja mencerminkan keadaan yang mendekati kebenaran. Suatu langkah maju telah dicapai yaitu kesimpang-siuran penggunaan istilah bagi penyakit yang penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja telah dapat diatasi. Berkaitan dengan hal tersebut, penyakit akibat kerja yang dimaksudkan dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja adalah sama dengan penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Keduanya adalah identik yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja dan penyebab demikian bersifat tunggal. Atas dasar sifat tunggalnya faktor penyebab tersebut, maka penyakit akibat kerja dengan tegas dapat dibedakan dari penyakit yang penyebabnya jamak dan pekerjaan atau lingkungan kerja hanyalah salah satu penyebab dari padanya. Penyakit yang faktor penyebabnya jamak demikian adalah penyakit yang ada kaitannya dengan pekerjaan (work related diseases), sedangkan penyakit akikbat kerja adalah occupational disease.

II. DOKTER PENASEHAT DITUNTUT PENGUASAAN LEBIH MENGENAI DIAGNOSA PENYAKIT AKIBAT KERJA

A. Metoda Diagnosa Penyakit Akibat Kerja Salah satu aspek medis yang diminta pertimbangannya kepada Dokter Penasehat adalah diagnosa penyakit akibat kerja. Permintaan dimaksud tentunya ada kaitannya dengan ada atau timbulnya ketidakyakinan atas suatu diagnosa Dokter Pemeriksa baik dokter perusahaan, maupun dokter yang ditunjuk oleh perusahaan atau dokter pemerintah yang memeriksa dan merawat tenaga kerja. Untuk melaksanakan fungsi itu, Dokter Penasehat melakukan pemeriksaan rekam medis dan bila dipandang perlu melakukan pemeriksaan ulang kepada tenaga kerja. Dengan memeriksa rekam medis dan bila perlu pemeriksaan ulang, Dokter Penasehat menetapkan tepat tidaknya penyakit akibat kerja yang bersangkutan. Dokter Penasehat dapat mengadakan konsultasi dengan Dokter Pemeriksa dan atau dokter spesialis bila terdapat keraguan dalam menetapkan penyakit akibat kerja. Dokter Penasehat juga memberikan pertimbangan medis kepada Menteri Tenaga Kerja RI untuk menetapkan penyakit akibat kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan fungsi memberikan pertimbangan medis mengenai diagnosa penmyakit akibat kerja, Dokter Penasehat harus menguasai benar metoda diagnosa penyakit akibat kerja serta juga mengetahui dan mendalami semua jenis dan macam penyakit akibat kerja beserta pekerjaan/perusahaan/tempat kerja yang padanya tenaga kerja dapat dikenai suatu penyakit akibat kerja; cara melakukan pemeriksaan kesehatan yang meliputi pengambilan anamnesa/riwayat penyakit dan pekerjaan, pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang; gejala/sidrom dan tanda penyakit akibat kerja; dll. Dokter Penasehat juga harus tahu benar indikator paparan dan biologis yang bersangkutan dengan suatu penyakit akibat kerja tertentu serta kondisi tempat kerja yang berhubungan dengan penyakit akibat kerja dimaksud. Pemeriksaan rekam medis dan juga pemeiksaan ulang kesehatan hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila persyaratan penguasaan metoda diagnosa penyakit akibat kerja dipenuhi. Metodologi baku diagnosa penyakit akibat kerja atau pun gangguan kesehatan akibat kerja mencakup hal-hal berikut:

1.

Anamnesis tentang riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan dimaksudkan

untuk mengetahui kemungkinan salah satu faktor di tempat kerja, pada pekerjaan dan atau lingkungan kerja menjadi penyebab penyakit akibat kerja. Riwayat penyakit meliputi antara lain awal-mula timbul gejala atau tanda sakit, gejala atau tanda sakit pada tingkat dini penyakit, perkembangan penyakit, dan terutama penting hubungan antara gejala serta tanda sakit dengan pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Riwayat pekerjaan harus ditanyakan kepada penderita dengan seteliti telitinya dari permulaan sekali sampai dengan waktu terakhir bekerja. Jangan sekali-kali hanya mencurahkan perhatian pada pekerjaan yang dilakukan waktu sekarang, namun harus dikumpulkan informasi tentang pekerjaan sebelumnya, sebab selalu mungkin bahwa penyakit akibat kerja yang diderita waktu ini penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja dari pekerjaan terdahulu. Hal ini lebih penting lagi jika tenaga kerja gemar pindah kerja dari satu ke pekerjaan lainnya. Buatlah tabel yang secara kronologis memuat waktu, perusahaan tempat bekerja, jenis pekerjaan, aktivitas pekerjaan, faktor dalam pekerjaan atau lingkungan kerja yang mungkin menyebabkan penyakit akibat kerja. Penggunaan kuestioner yang direncanakan dengan tepat sangat membantu. Perhatian juga diberikan kepada hubungan antara bekerja dan tidak bekerja dengan gejala dan tanda penyakit. Pada umumnya gejala dan tanda penyakit akibat kerja berkurang, bahkan kadang-kadang hilang sama sekali, apabila penderita tidak masuk bekerja; gejala dan tanda itu timbul lagi atau menjadi lebih berat, apabila tenaga kerja kembali bekerja. Fenomin seperti itu sangat jelas misalnya pada penyakit dermatosis akibat kerja atau pada penyakit bissinosis atau asma bronkhiale akibat kerja atau lainnya. Informasi dan data hasil pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan kerja, pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan kesehatan khusus sangat penting artinya bagi keperluan menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja. Akan lebih mudah lagi menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, jika tersedia data kualitatif dan kuantitatif faktor-faktor dalam pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja. Data tentang identifikasi, pengukuran, evaluasi dan upaya pengendalian tentang faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja sangat besar manfaatnya.

2.

Pemeriksaan klinis dimaksudkan untuk menemukan gejala dan tanda yang

sesuai untuk suatu sindrom, yang sering-sering khas untuk suatu penyakit akibat kerja. Sebagai misal, pada keracunan kronis timah hitam (Pb; timbal) terdapat gejala dan tanda penyakit seperti garis timah hitam di gusi, anemia, kolik usus, wrist drop (kelumpuhan saraf lengan nervus ulnaris dan atau nervus radialis), dllnya. Atau gejala dan tanda cepat terganggu emosi, hipersalivasi dan tremor pada keracunan oleh merkuri (air raksa atau Hg). Atau keracunan metanol yang menyebabkan kebutaan selain gejala-gejala umum akibat keracunan kelompok senyawa organis. 3. Pemeriksaan laboratoris dimaksudkan untuk mencocokkan benar tidaknya

penyebab penyakit akibat kerja yang bersangkutan atau produk mertabolisme dari padanya ada dalam tubuh tenaga kerja yang menderita penyakit tersebut. Guna menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, biasanya tidak cukup sekadar pembuktian secara kualitatif yaitu tentang adanya faktor penyebab penyakit, melainkan harus ditunjukkan juga banyaknya atau pembuktian secara kuantitatif. Sebagai ilustrasi, adanya timah hitam dalam darah tenaga kerja tidak cukup menunjukkan yang bersangkutan keracunan timah hitam; namun kadar timah hitam darah yang tinggi misalnya di atas 0,8 mg per 100 cc darah lengkap merupakan indikasi sangat kuat bahwa tenaga kerja dimaksud menderita keracunan timah hitam. Selain kadarnya dalam darah, kadar faktor kimiawi dalam urin atau bahan lainnya dapat membantu dalam upaya menegakkan suatu diagnosa penyakit akibat kerja. 4. Pemeriksaan rontgen (sinar tembus) sering sangat membantu dalam menegak-

kan diagnosa penyakit akibat kerja, terutama untuk penyakit yang disebabkan penimbunan debu dalam paru dan reaksi jaringan paru terhadapnya yaitu yang dikenal dengan nama pnemokoniosis. Hasil pemeriksaan sinar tembus baru ada maknanya jika dinilai dengan riwayat penyakit dan pekerjaan serta hasil pemeriksaan lainnya dan juga data lingkungan kerja. Pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan kemajuan teknik-teknologi kedokteran/kesehatan lain dapat sangat berguna bagi upaya menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan. 5. Pemeriksaan tempat dan ruang kerja yang dimaksudkan untuk memastikan

adanya dan mengukur kadar faktor penyebab penyakit di tempat atau ruang kerja. Hasil pengukuran kuantitatif di tempat atau ruang kerja sangat perlu untuk melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan, apakah kadar zat sebagai penyebab penyakit akibat kerja cukup dosisnya atau tidak untuk menyebabkan sakit. Sebagai misal,

kandungan udara 0,05 mg timah hitam per meter kubik udara ruang kerja tidaklah menyebabkan keracunan Pb, kecuali jika terdapat absorpsi timah hitam dari sumber lain atau jam kerja per hari dan minggunya sangat jauh melebihi batas waktu 8 (delapan) jam sehari dan 40 jam seminggunya. Kelima unsur dari metoda diagnosa tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan dengan muaranya kepada kesimpulan profesional medis yaitu diagnosa penyakit atau gangguan kesehatan akibat kerja. Pada akhirnya keputusan tentang diagnosa penyakit akibat kerja berada di tangan dokter apakah Dokter Pemeriksa ataukah Dokter Penasehat yang dengan segala latar ilmu pengetahuan dan kompetensi medisnya serta juga etika profesi yang dimilikinya; Dokter Pemeriksa dan Dokter Penasehat memiliki kewenangan legal, profesional dan sosio-kultural untuk menetapkan diagnosa penyakit akibat kerja serta memikul tanggung jawab penuh atas keputusan penetapannya. Dengan melaksanakan kelima unsur metoda diagnosa atau menelaah laporan pelaksanaan kelima unsur tersebut dan hasilnya, maka diagnosa penyakit akibat kerja pasti dapat ditegakkan dengan baik. Metoda diagnosa penyakit akibat kerja bukan masalah yang rumit lebih-lebih lagi bukan metoda yang tidak dapat dilaksanakan. Metoda dimaksud tidak menuntut prosedur teknis-teknologis yang mahal biayanya sehingga tidak mungkin diterapkan. Acapkali suatu penyakit akibat kerja sangat mudah diperkirakan sekalipun segenap unsur belum selesai dilakukan. Dari riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan saja sungguh sangat banyak informasi yang membawa dokter ke arah suatu diagnosa penyakit akibat kerja. Dengan menemukan simptom/sindrom dan tanda penyakit, diagnosa sudah mulai terarah kepada suatu atau beberapa penyakit spesifik yang penyebabnya adalah pekerjaan atau lingkungan kerja. Data lingkungan akan sangat memperkuat keputusan dokter dalam menetapkan diagnosa penyakit akibat kerja. Suatu hal yang sangat mengganggu adalah pendapat bahwa diagnosa penyakit akibat kerja tidak dapat ditegakkan jika tidak ada data awal pemeriksaan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja. Hal ini tidak benar dan pandangan seperti itu harus segera dihilangkan. Penyakit akibat kerja pasti dapat dibuat diagnosanya tanpa adanya data awal kesehatan tenaga kerja yang bersangkutan, asalkan kelima unsur metoda diagnosa penyakit akibat kerja dilaksanakan dengan memadai. Jika riwayat penyakit dan pekerjaan, temuan pemeriksaan kesehatan, hasil pemeriksaan penunjang, data dan informasi pekerjaan dan tempat kerja dengan jelas mengarah ke suatu penyakit akibat kerja, maka dokter pada tempatnya

menetapkan diagnosa penyakit akibat kerja. Sekali lagi tidaklah benar apabila diagnosa penyakit akibat kerja hanya dapat dibuat apabila data awal kesehatan tersedia.

B. Jenis dan Macam Penyakit Akibat Kerja Dokter Penasehat dituntut untuk benar-benar mengetahui semua jenis dan macam penyakit akibat kerja. Jenis penyakit akibat kerja dimaksud adalah jenis penyakit akibat kerja yang ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yaitu: 1. Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat dan kematian; 2. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras; 3. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis); 4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan; 5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu organis; 6. Penyakit yang disebabkan oleh berillium atau persenyawaannya yang beracun; 7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun; 8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun; 9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun; 10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun; 11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun; 12. Penyakit yang disebabkan oleh air raksa atau persenyawaannya yang beracun. 13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal (Pb,timah hitam)atau persenyawaannya yang beracun; 14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun; 15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida; 16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatis atau aromatis yang beracun; 17. Penyakit yang disebabkan oleh benzen atau homolognya yang beracun;

18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzen dan homolognya yang beracun; 19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya; 20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton; 21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel; 22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan; 23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanis (kelainan-kelainan otot, urat, tulang, persendian, pembuluh darah tepi atau saraf tepi); 24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih; 25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetis dan radiasi yang mengion; 26. Penyakit kulit(dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisis, kimiawi atau biologis; 27. Penyakit kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasen atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tsb.; 28. Kangker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes; 29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus; 30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau kelembaban udara tinggi; 31. Penyakit yang disebabkan oleh kimia lainnya termasuk bahan obat. Selain jenis penyakit akibat kerja tersebut, jenis penyakit akibat kerja lainnya dapat memenuhi ketentuan penyakit akibat kerja asalkan ditempuh mekanisme yang berlaku yaitu penetapan oleh Menteri Tenaga Kerja RI melalui pertimbangan dari Dokter Penasehat. Jenis penyakit akibat kerja lainnya adalah: 1. Penyakit muskuloskeletal akibat kerja Tiga-puluh-satu jenis penyakit akibat kerja sebagaimana telah diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku telah demikian banyak meliputi jenis penyakit akibat kerja yang faktor penyebabnya yaitu faktor fisis, kimia atau biologis, namun masih belum cukup mencakup penyakit yang dikarenakan oleh faktor fisiologis/ergonomis. Jenis penyakit akibat kerja yang mengenai sistem muskulo-skeletal hanyalah penyakit muskuloskeletal yang penyebabnya adalah getaran mekanis.

Adapun lainnya seperti penyakit akibat kerja muskuloskeletal yang tergolong kepada penyakit dengan Sindrom Penggunaan Berlebihan Akibat Kerja (Overuse Syndrome) dan juga Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) atau disingkat NPB dapat menjadi 2(dua) jenis penyakit akibat kerja, jika penyakit tersebut dengan jelas disebabkan oleh cara bekerja yang tidak fisiologis/ergonomis. Kecacatan sangat mungkin pula terjadi pada kedua jenis penyakit tersebut. 2. Tabakosis akibat kerja Tabakosis adalah penyakit bronkhopulmoner yang penyebabnya debu tembakau. Debu dari daun tembakau dapat bebas ke udara pada waktu pengeringan daun tembakau, pengolahan daun tembakau kering dengan pemotongan, pencampuran tembakau yang telah dirajang dan juga pada pekerjaan pelintingan apabila kondisi lingkungan kerja demikian berdebu. Debu tembakau mengandung zat kimia iritan kepada saluran bronkhopulmoner antara lain nikotin; faktor biologis antara lain jamur serta komponen lainnya. Mekanisme terjadinya penyakit adalah iritasi kimiawi antara lain oleh nikotin, infeksi oleh jamur dan bakteri, dan alergi terhadap zat kimia dari debu tembakau dan mikro-organisme. Gejala tabakosis akut adalah demam, batuk, sesak, dan kelainan asmatis. Lebih lanjut penyakit berkembang sehingga pekerja yang dihinggapi penyakit tersebut menderita bronkhitis semula akut kemudian kronis serta pnemonia atau menjadi aktifnya proses spesifik TBC paru. Foto rontgen paru pada stadium dini penyakit tidak memperlihatkan kelainan. Uji fungsi paru khususnya kapasitas vital paksa (FEV) dan lebih karakteristik lagi volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) menunjukkan penurunan nilainya sesuai dengan semakin memburuknya keadaan sakit penderita. Hampir seluruh jenis penyakit akibat kerja terdiri atas lebih dari satu macam penyakit akibat kerja. Para Dokter Penasehat dituntut menguasai macam-macam penyakit akibat kerja pada setiap jenis penyakit akibat kerja dan mengetahui betul karakteristika setiap macam penyakit. Sehubungan dengan macam penyakit akibat kerja tersebut, pertama-tama belum tentu rincian macam penyakit pada suatu jenis penyakit akibat kerja telah benar-benar lengkap/komprehensif. Ambil misal pnemokoniosis baru mencakup penyakit yang penyebabnya debu mineral yaitu silikosis, antrakosilikosis, asbestosis dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat dan kematian. Padahal macam penyakit akibat kerja yang tergolong ke dalam pnemokoniosis meliputi berilliosis, stannosis, siderosis, talkosis atau banyak macam lainnya. Demikian pula keracunan akibat kerja yang

disebabkan oleh aneka zat kimia anorganis atau organis; keracunan oleh suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan atau penyakit pada berbagai organ tubuh. Dengan menghirup debu kadmium dari udara, terjadi iritasi kepada saluran pernafasan; kelainan ginjal terjadi oleh karena efek kadmium kepada organ tersebut ketika dikeluarkan dari tubuh; kadmium dalam tulang menyebabkan rapuh dan retaknya tulang; juga kadmium diperkirakan suatu karsinogen bagi manusia. Karbon tetraklorida yang masuk ke dalam tubuh melalui penghirupan dapat menyebabkan kelainan ginjal, sedangkan yang tertelan dapat merusak hati. Para Dokter Penasehat dituntut untuk menguasai informasi tentang macam-macam penyakit akibat kerja dimaksud. C. Kesenjangan antara Data Statistik dan Temuan Penelitian/Survei Temuan penelitian/survei mengenai penyakit akibat kerja cukup menunjukkan bahwa prevalensi penyakit cukup banyak. Prevalensi penyakit bissinosis pada pabrik tekstil mencapai 24,8%; kadar timah hitam darah > 800 mikrogram/L ditemukan pada populasi tenaga keja pabrik aki yang diteliti; penelitian pada petani penyemprot hama pernah menunjukkan 35,7% keracunan ringan, 20,2% keracunan sedang dan 3,4% keracunan berat; dermatosis akibat kerja ditemukan sampai dengan 16,7% dari populasi tenaga kerja yang diteliti; dsbnya. Penelitian/ survei terhadap penyakit akibat kerja telah berlangsung sejak tahun 1964 sampai dengan sekarang ini. Adapun data statistik penyakit akibat kerja yang merupakan kumpulan dari laporan penyakit akibat kerja luar biasa minim yaitu sekitar 1% dari laporan kasus kecelakaan kerja. Penyebab kesenjangan dapat dicari pada berbagai faktor seperti: 1. Penolakan/keberatan dari tenaga kerja untuk dilaporkan bahwa yang bersangkutan penderita penyakit akibat kerja dengan alasan takut diputuskan hubungan kerjanya; 2. Dokter Pemeriksa tidak mengetahui bagaimana melaporkan penyakit akibat kerja; 3. Pengusaha tidak mau melaporkan penyakit akibat kerja takut oleh konsekuensi pelaporan yang dibuatnya; 4. Dokter Penasehat tidak menyetujui diagnosa yang dibuat oleh Dokter Pemeriksa; 5. Dsbnya.

Jalan keluar dari kenyataan ini adalah turunnya Dokter Pengawas Kesehatan Kerja dengan melakukan pemeriksaan kesehatan khusus kepada tenaga kerja yang menurut pihak berwenang pada pekerjaan dan tempat kerja dimaksud besar kemungkinan tenaga kerja mengalami penyakit akibat kerja. Sebaiknya pemeriksaan kesehatan khusus demikian dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari Dokter Pengawas dan Dokter serta Teknisi Hiperkes/K3 sesuai dengan keperluan. Selain itu, sosialisasi tentang penyakit akibat kerja sudah sepatutnya diselenggarakan sehingga semua pihak memahami hal-ihwal yang berlaku mengenai penyakit akibat kerja. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaporan dan pengkajian penyakit akibat kerja beserta sanksi atas dasar ketidaktaatan terhadap ketentuan dimaksud sudah cukup baik; yang perlu adalah aktualisasi pengoperasiannya.

III. PENILAIAN CACAT PENYAKIT AKIBAT KERJA A. Pengertian Penilaian cacat penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun apa yang dilakukan oleh Dokter Penasehat adalah cara penilaian dalam rangka Jamsostek cq. Jaminan Kecelakaan Kerja. Oleh karena itu, cara penilaian dan segala sesuatu pengertian atau definisi yang dipergunakan wajib berdasarkan ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek). Sebagaimana berlaku untuk kecelakaan kerja, maka cacat karena penyakit akibat kerja adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. Sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku, penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Untuk penyelenggaran Jamsostek, penyakit ini termasuk dalam kecelakaan kerja (UU Jamsostek). Tidak semua atau hanya sebagian penyakit akibat kerja menyebabkan cacat. Oleh karena penyebabnya penyakit akibat kerja, maka cacat karena penyakit akibat kerja hanya ada bila ada penyakit akibat kerja yang menjadi penyebabnya. Dengan kata lain, cacat penyakit akibat kerja wajib disertai adanya diagnosa penyakit akibat kerja.

Dua jenis kecacatan adalah cacat anantomis (keadaan hilang anggota badan) dan cacat fungsi (keadaan berkurangnya fungsi anggota badan). Anggota badan adalah bagian/organ tubuh seperti tangan, kaki, hidung, telinga, mata, alat kelamin, paru, jantung, usus, otak, dsbnya. Baik cacat anatomis maupun cacat fungsi secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. Menurut derajat kecacatan, dibedakan cacat tetap sebagian (cacat sebagian untuk selama-lamanya) dan cacat tetap total (cacat total untuk selama-lamanya). Yang disebut terdahulu adalah cacat yang keadaannya menetap untuk selama-lamanya yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. Adapun yang disebut terakhir adalah cacat yang keadaannya menetap untuk selama-lamanya yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan hilangnya secara total kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. Cacat karena penyakit akibat kerja dapat merupakan cacat anatomis dan atau cacat fungsi yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya secara total kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.

B. Jenis dan Macam Cacat Penyakit Akibat Kerja Jenis kecacatan penyakit akibat kerja adalah cacat anatomis dan cacat fungsi. Adapun macam cacatnya tergantung dari hilangnya anatomis atau berkurangnya fungsi anggota badan yang meliputi bagian/organ tubuh seperti tangan, kaki, hidung, telinga, mata, alat kelamin, paru, jantung, usus, otak, dsbnya. Macam-macam cacat tetap sebagian penyakit akibat kerja dan macam-macam cacat lainnya diatur menurut ketentuan yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disingkat PP No. 14 Tahun 1993). Cacat tetap sebagian dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 adalah cacat tetap sebagian yang telah dicakup oleh UU Kecelakaan sebelum keluarnya UU No. 3 Tahun 1992 (dengan tambahan rincian untuk jari). Dalam UU Kecelakaan, cacat tetap sebagian demikian adalah cacat anatomis. Dengan UU No. 3 Tahun 1992, cacat tetap sebagian demikian dapat merupakan cacat anatomis atau cacat fungsi. Cacat-cacat lainnya dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 adalah macam-

macam cacat anatomis atau cacat fungsi tambahan kepada macam cacat yang dimuat dalam UU Kecelakaan Tahun 1947 sebelum diundangkannya UU No. 3 Tahun 1992. Macam cacat tetap sebagian yang dapat berupa cacat anatomis atau cacat fungsi yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 adalah:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah; Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah; Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah; Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah; Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah; Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah; Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah; Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah; Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah; Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah; Kedua belah mata; Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat; Pendengaran pada kedua belah telinga; Pendengaran pada sebelah telinga; Ibu jari tangan kanan; Ibu jari tangan kiri; Telunjuk tangan kanan; Telunjuk tangan kiri; Salah satu jari lain tangan kanan; Salah satu jari lain tangan kiri; Ruas pertama telunjuk kanan; Ruas pertama telunjuk kiri; Ruas pertama jari lain tangan kanan; Ruas pertama jari lain tangan kiri; Salah satu ibu jari kaki; Salah satu jari telunjuk kaki; Salah satu jari kaki lain.

Termasuk macam cacat-cacat tetap sebagian lainnya yang dapat berupa cacat anatomis atau cacat fungsi yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 adalah:
1. Terkelupasnya kulit kepala (cacat anatomis); 2. Impotensi (cacat anatomis atau cacat fungsi); 3. Kaki memendek sebelah: kurang dari 5 cm; 5 - 7,5 cm; 7,5 cm atau lebih (cacat anatomis); 4. Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi); 5. Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi); 6. Kehilangan daun telinga sebelah (cacat anatomis); 7. Kehilangan kedua belah daun telinga (cacat anatomis); 8. Cacat hilangnya cuping hidung (cacat anatomis); 9. Perforasi sekat rongga hidung (cacat anatomis); 10. Kehilangan daya penciuman (cacat fungsi); 11. Hilangnya kemampuan kerja fisik (cacat fungsi); 12. Hilangnya kemampuan kerja mental tetap (cacat fungsi);

13. Kehilangan sebagian fungsi penglihatan; kehilangan efisiensi tajam penglihatan; kehilangan penglihatan warna; kehilangan lapangan pandang(cacat fungsi).

Pengalaman menunjukkan bahwa masih ada macam cacat tetap sebagian yang belum diatur/belum masuk dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 yakni: cacat tetap sebagian untuk kulit muka dan leher; rahang; trakea; dan esofagus. Macam cacat tetap sebagian demikian memerlukan adanya pengaturan seperti halnya telah dilakukan terhadap macam cacat tetap sebagian yang telah masuk dalam PP. No. 14 Tahun 1993. Baik cacat anatomis maupun cacat fungsi atau semua macam cacat karena penyakit akibat kerja secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. Dalam Tabel Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 hilang/berkurangnya kemampuan kerja fisik (cacat fungsi) merupakan suatu macam cacat tetap sebagian yang dapat digunakan untuk menilai hilang atau berkurangnya fungsi suatu organ tubuh seperti paru, jantung, ginjal, dll. Suatu jenis penyakit akibat kerja dapat menyebabkan beberapa jenis cacat; hal ini tergantung dari penyebab penyakit, cara dan keadaan pemaparan, interaksi antar faktor penyebab, dll. Sebagai contoh keracunan akibat kerja oleh timbal mungkin menyebabkan cacat dalam arti berkurang atau tidak mampu bekerja sebagai akibat yang bersangkutan menderita anemia, tetapi mungkin pula menyebabkan cacat oleh karena kelumpuhan otot lengan dan tangan. Keracunan kadmium dapat menyebabkan kelainan paru atau ginjal; sebagai akibatnya cacat yang terjadi mungkin cacat paru atau cacat ginjal. Jika suatu jenis penyakit akibat kerja menyebabkan cacat yang berlainan, maka cacat yang ditimbulkan oleh jenis penyakit yang berbeda sangat berlainan pula. Dermatosis akibat kerja dapat mengakibatkan cacat kulit, sedangkan asbestosis dapat mengakibatkan cacat paru.

C. Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja Penilaian cacat penyakit akibat kerja didasarkan kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Tabel, Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993. Tabel Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993 yang menetapkan nilai cacat tetap sebagian dan cacat-cacat lainnya sebagai padanan terhadap persentase santunan tunjangan jaminan kecelakaan kerja (penyakit akibat kerja). Nilai persentase untuk cacat tetap sebagian dinyatakan

dalam %-ase terhadap upah. Jika nilai persentase mencapai 70% maka persentase santunan tunjangan sama dengan nilai persentase untuk cacat tetap total. Penilaian cacat didasarkan kepada ketentuan normatif sebagaimana diatur dalam PP No. 14 Tahun 1993; penilaian cacat demikian berlaku bagi semua penyakit akibat kerja. Suatu penyakit akibat kerja dapat mengakibatkan cacat anatomis dan atau cacat fungsi. Penilaian kecacatan penyakit akibat kerja wajib mengikuti ketentuan PP. No. 14 Tahun 1993; jika suatu penyakit akibat kerja menyebabkan cacat anatomis, maka harus ditetapkan cacat anatomisnya; juga jika suatu penyakit akibat kerja menyebabkan hilang atau berkurangnya fungsi, maka harus ditetapkan organ atau bagian tubuh yang fungsinya hilang atau berkurang. Apabila cacat anatomis atau hilang/berkurangnya fungsi organ/bagian tubuh tidak dapat dirujukkan kepada ketentuan cacat anatomis atau hilang/berkurangnya fungsi organ/tubuh, maka penilaian cacat didasarkan kepada hilang/berkurangnya kemampuan kerja fisik sebagaimana telah ada pengaturannya dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993. Penilaian cacat atas dasar hilang/berkurangnya kemampuan kerja terutama sangat berguna untuk penyakit paru akibat kerja; penyakit kardiovaskuler akibat kerja; penyakit akibat kerja yang mengakibatkan kerusakan organ tubuh penting lainnya seperti hati, ginjal, dll. yang dapat mengalami kerusakan oleh karena zat/bahan kimia yang beracun pada pekerjaan atau lingkungan kerja; dsbnya. Dalam pelaksanaannya, hilang/berkurangnya kemampuan kerja fisik yang disebabkan oleh hilang/berkurangnya fungsi organ/bagian tubuh demikian dinilai dari kemampuan kerja fisik yang bersangkutan. Persentase hilangnya kemampuan kerja fisik dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu 10% - 25%; 25 - 50%; dan 50 - 70%. Persentase santunan tunjangan untuk masing-masing golongan adalah 5, 20 dan 40% x upah. Nilai cacat tetap sebagian yang dapat berupa cacat anatomis atau cacat fungsi yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 adalah: Macam cacat tetap sebagian
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Nilai dalam % x upah


40 35 35 30 32 28 70

Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah

8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah Kedua belah mata Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat Pendengaran pada kedua belah telinga Pendengaran pada sebelah telinga Ibu jari tangan kanan Ibu jari tangan kiri Telunjuk tangan kanan Telunjuk tangan kiri Salah satu jari lain tangan kanan Salah satu jari lain tangan kiri Ruas pertama telunjuk kanan Ruas pertama telunjuk kiri Ruas pertama jari lain tangan kanan Ruas pertama jari lain tangan kiri Salah satu ibu jari kaki Salah satu jari telunjuk kaki Salah satu jari kaki lain

35 50 25 70 35 40 20 15 12 9 7 4 3 4,5 3,5 2 1,5 5 3 1

Nilai macam cacat tetap sebagian lainnya yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No.14 Tahun 1993 adalah: Macam cacat tetap sebagian Nilai dalam % x upah
10 - 30 30 10 20 30 6 3 5 10 30 15 10 40 20 5 70 7

1. Terkelupasnya kulit kepala (cacat anatomis) 2. Impotensi (cacat anatomis atau cacat fungsi) 3. Kaki memendek sebelah: kurang dari 5 cm; 5 7,5 cm; 7,5 cm atau lebih (cacat anatomis) 4. Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) 5. Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) 6. Kehilangan daun telinga sebelah (cacat anatomis) 7. Kehilangan kedua belah daun telinga (cacat anatomis) 8. Cacat hilangnya cuping hidung (cacat anatomis) 9. Perforasi sekat rongga hidung (cacat anatomis) 10. Kehilangan daya penciuman (cacat fungsi) 11. Hilangnya kemampuan kerja fisik (cacat fungsi) 50 70 % 25 - 50 % 10 - 25 % 12. Hilangnya kemampuan kerja mental tetap (cacat fungsi) 13. Kehilangan sebagian fungsi penglihatan: Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10%. Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) + efisiensi penglihatan terburuk Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10%

Kehilangan penglihatan warna Setiap kehilangan lapangan pandang 10% (cacat fungsi)

10 7

Pada penggunaan cara penilaian kecacatan menurut ketentuan sebagaimana diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku perlu diperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Dengan dilakukannya penilaian cacat penyakit akibat kerja dengan memakai macam cacat dan nilainya sebagaimana dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 tersebut; hampir seluruh atau bagian terbesar cacat karena penyakit akibat kerja dapat dilakukan penilaian terhadapnya tanpa kesulitan; namun masih terdapat hal-hal khusus yang perlu perhatian. Agar penilaian cacat penyakit akibat kerja terselenggara dengan sebaik-baiknya, perlu pemahaman secara benar mengenai nilai kecacatan sebagaimana terdapat dalam Tabel, misalnya %-ase yang dimaksud adalah %-ase terhadap upah dan bukan %-ase medis; juga perlu adanya penjelasan tambahan; serta pengaturan tentang nilai kecacatan untuk anggota badan/organ tubuh yang belum tercakup. 2. Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 belum mencakup cacat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja semua anggota badan dan nilai cacatnya yaitu untuk kulit muka dan leher, rahang, trakea, dan esofagus. Oleh karena itu,

dengan pendekatan analogis dapat digunakan macam cacat tetap sebagian dan nilai cacatnya sbb.: Macam cacat tetap sebagian
-Kulit muka dan leher -Rahang -Trakea -Esofagus

Nilai dalam % x upah


3 10 10 10 30 30 30 30

3. Menurut Tabel, Lampiran II PP. No.14 Tahun 1993, apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik + efisiensi penglihatan terburuk). Terhadap pernyataan ini, perlu ada penjelasan yaitu bahwa efisiensi binokuler adalah x (3 x % efisiensi penglihatan terbaik + efisiensi penglihatan terburuk). Dengan memeriksa tajam penglihatan jauh dan juga dekat baik mata kanan maupun kiri, dapat dilakukan penilaian kecacatan kehilangan efisiensi tajam penglihatan binokuler yang terhadapnya dilakukan pula koreksi kecacatan mata

jika terjadi kehilangan fungsi penglihatan warna dan atau kehilangan lapangan pandang serta juga jika terdapat diplopia. 4. Sesuai dengan Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 nilai cacat

penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) adalah 6% x upah; penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) adalah 3% x upah. Juga dinyatakan dalam Tabel dimaksud bahwa nilai cacat hilangnya pendengaran pada kedua belah telinga adalah 40 % x upah dan nilai cacat hilangnya pendengaran pada sebelah telinga adalah 20 % x upah. Sehubungan dengan nilai cacat penurunan daya dengar tsb., sangat perlu diketahui tingkat cacat penurunan daya dengar yang ditentukan dengan mengukur nilai ambang dengar (Hearing Threshhold Level), yaitu angka rata-rata penurunan ambang dengar dengan satuan desibel (dB) pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Penilaian penurunan ambang dengar dilakukan pada kedua telinga (ketulian biaural). Ketulian satu telinga (kanan atau kiri) disebut ketulian monoaural). Cara penilaian ketulian dilakukan tanpa koreksi untuk tenaga kerja yang usianya sampai dengan 40 tahun. Dengan pertambahan usia di atas 40 tahun, terjadi penurunan daya dengar sebesar 0,5 dB untuk setiap tahunnya. Dengan demikian, untuk tenaga kerja yang berumur di atas 40 tahun, kehilangan daya dengar dikurangi 0,5 dB per tahun tetapi pengurangan tsb. tidak melebihi 12,5 dB. Terhadap kehilangan daya dengar sebagaimana telah diuraikan, masih perlu diberikan perhatian masalah medis/klinis yaitu kemungkinan adanya tuli hantaran udara dan hantaran tulang; tuli yang disebut terakhir ini bukan tuli akibat kebisingan; tuli akibat kebisingan adalah tuli akibat kerusakan saraf oleh intensitas kebisingan yang lebih dari intensitas aman bagi alat pendengaran. 5. Cacat kulit karena penyakit akibat kerja dirujuk kepada cacat anatomis atau fungsi dari anggota badan yang bersangkutan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993. Sebagai contoh, seorang tenaga kerja menderita cacat tetap pada kulit yang menyebabkan hilangnya seluruh fungsi lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah, maka nilai kecacatannya adalah 35 % x upah. Contoh lain adalah

tenaga kerja yang menderita cacat tetap pada kulit yang menyebabkan hilangnya fungsi telunjuk tangan kanannya, maka nilai kecacatannya adalah 9 % x upah. 6. Aspek nerologis dan ortopedis hilang atau berkurangnya fungsi otot dirujuk kepada cacat fungsi anggota badan yang bertalian dengan saraf dan otot yang bersangkutan. Adalah ideal, namun jangan menjadi hambatan apabila untuk menilai hilang atau berkurangnya fungsi saraf dan otot dapat digunakan metoda Uji Otot Manual (Manual Muscle Test). Dengan uji demikian, dapat diketahui kelumpuhan (plegia) atau kelemahan (paresis) otot. 7. Apabila untuk suatu cacat karena penyakit akibat kerja tidak dapat dirujukkan kepada cacat anatomis atau cacat fungsi suatu anggota badan yaitu (bagian atau organ tubuh) dalam Tabel II PP. No. 14 Tahun 1993, penilaian cacat dapat didasarkan kepada persentase hilangnya kemampuan kerja fisik yang dibagi menjadi 3(tiga) kategori yaitu 10 - 25%; 25 - 50%; dan 50 - 70% dengan nilai kecacatan masing-masing golongan adalah 5, 20 dan 40% x upah. Sekalipun dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 tidak dinyatakan secara lengkap menurut 4(empat) kategori, tetapi hilangnya kemampuan kerja fisik terdiri atas 4(empat) kategori yaitu 10 - 25%; 25 - 50%; 50 - 75%; dan 75 - 100% dengan nilai kecacatan masing-masing kategori adalah 5, 20, 40 dan 70% x upah. Terhadap nilai kecacatan demikian mungkin pula dilakukan koreksi yakni dengan penggantian nilai 40 % x upah oleh 50 % x upah. Namun perlu diperhatikan bahwa nilai kecacatan 40 % x upah untuk hilangnya kemampuan kerja 50-75% merupakan ketentuan normatif yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Penilaian cacat atas dasar hilang/berkurangnya kemampuan kerja sangat tepat dipergunakan untuk menilai cacat pada sistem kardiovaskuler yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja; cacat paru karena penyakit akibat kerja; cacat hati (hepar) yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja; cacat ginjal karena penyakit akibat kerja; dsbnya. Untuk sistem kardiovaskuler (khususnya jantung), paru, hati dan ginjal, kategori berat ringannya tingkat cacat penyakit kronis yang mengenai organ tubuh yang bersangkutan dibuat berdasarkan derajat hilang/berkurangnya fungsi organ dimaksud yang sangat erat kaitannya atau paling tidak dapat digunakan untuk menetap-

kan hilang/berkurangnya kemampuan kerja tenaga kerja yang mengalami cacat organ karena penyakit akibat kerja.

Hilang/berkurangnya kemampuan kerja berkorelasi dengan derajat sesak yang ditunjukkan oleh penderita; dalam hubungan itu gejala sesak berkaitan dengan kemampuan sistem kardiovaskuler atau pernafasan. Hilang/berkurangnya kemampuan kerja atas dasar derajat sesak adalah sbb.: Derajat 0 adalah tidak sesak; Derajat I adalah sesak ringan, mampu berjalan dengan orang normal kecuali mendaki atau naik tangga; Derajat II adalah sesak sedang, mampu berjalan sampai dengan 1,5 km di tempat datar; Derajat III adalah sesak berat hanya mampu berjalan tanpa istirahat sejauh 100 meter; dan Derajat IV adalah sangat sesak, sesak pada waktu berpakaian atau berbicara. Untuk menilai kecacatan paru yang dikarenkan penyakit paru akibat kerja, dapat digunakan parameter hasil uji fungsi paru. Atas dasar berkurangnya fungsi paru volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP 1), maka derajat sesak 0 jika nilainya > 2,5 liter; derajat sesak ringan nilainya 1,6 - 2,5 liter dengan cacat berkurangnya fungsi paru 25%; derajat sesak sedang nilainya 1,1-1,5 liter dengan cacat berkurangnya fungsi paru 50%; derajat sesak berat nilainya 0,5-1 liter dengan cacat berkurangnya fungsi paru 75%; dan derajat sesak sangat berat nilainya < 0,5 liter dengan cacat berkurangnya fungsi paru 100%. Gambaran rontgen paru seperti yang ditampilkan dalam klasifikasi radiograf pnemokoniosis dipakai sebagai tambahan masukan untuk menentukan hilang atau berkurangnya fungsi paru yang disebabkan oleh penyakit paru akibat kerja. 8. Cacat karena penyakit akibat kerja dapat berupa gangguan saraf autonom seperti sangat banyak atau terus menerus mengeluarkan keringat atau buang air kecil (miksi) yang tidak terkendali atau juga buang air besar yang tidak terkendali atau lainnya. Gangguan saraf autonom demikian menyebabkan kecacatan hilangnya kemampuan kerja fisik yang nilainya ditentukan oleh sejauh mana kemampuan kerja fisik tenaga kerja yang bersangkutan hilang atau berkurang sebagai akibat dari cacat yang disandangnya. 9. Penjelasan UU No. 3 Tahun 1992 menegaskan bahwa mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan

derajat cacatnya maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadinya cacat mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi. Prinsip ini berlaku pula untuk penyakit akibat kerja yang menyebabkan cacat mental. Hanya cacat mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi yang mendapat jaminan kecelakaan kerja. Persentase santunan tunjangan hilangnya kemampuan kerja mental tetap adalah 70% x upah.

IV. PRAKTEK KEDOKTERAN KERJA/OKUPASI Perkembangan mutakhir dunia kedokteran telah melahirkan kedokteran kerja dengan spesialisasi kedokteran okupasi. Kedokteran kerja adalah kedokteran yang menangani aspek medis interaksi antara tenaga kerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya, yang aspek-aspeknya meliputi penyakit akibat kerja dan cacat yang diakibatkannya. Jalur pendidikan keilmuan dan spesialisasi kedokteran kerja telah ada dan terbuka untuk dokter umum yang ingin mengembangkan keilmuan dan spesialisasinya dalam kedokteran kerja. Sebagaimana ditegaskan dalam Kompendium Kedokteran Kerja/Okupasi, kedokteran kerja memiliki 18 kompetensi yang dua di antaranya adalah: 1. Membuat diagnosa penyakit akibat kerja (penyakit yang timbul karena hubungan

kerja) dan atau penyakit lain yang berkaitan dengan pekerjaan serta mengobati dan atau melakukan tindakan-tindakan lain dalam keselamatan dan kesehatan kerja(K3) yang pelaksanaannya mungkin dilakukan bekerja sama dengan spesialis lain dan atau pihak lain; 2. Membuat diagnosa dan menilai kecacatan akibat kecelakaan kerja dan atau

penyakit akibat kerja yang pelaksanaannya mungkin dilakukan bekerja sama dengan spesialis dan atau pihak lain. Membuat diagnosa penyakit akibat kerja atau menilai kecacatan penyakit akibat kerja adalah praktek kedokteran dan oleh karenanya dokter praktek harus memiliki kompetensi dalam profesi kedokteran sesuai dengan spesialisasi dalam bidang kedokteran dhi kedokteran kerja/okupasi. Hal ini dapat dipenuhi apabila Dokter Penasehat adalah spesialis kedokteran okupasi atau magister sains dalam kedokteran kerja atau memiliki sertifikat kompetensi dalam diagnosa dan atau penilaian cacat penyakit akibat kerja. Dengan kata lain, waktu ini Dokter Penasehat

telah memenuhi syarat legal peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, tetapi masih belum memenuhi persyaratan kompetensi profesi kedokteran sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran. Tentunya problema ini tidak mungkin diatasi waktu sekarang ini, oleh karena spesialisasi dan kompetensi merupakan proses yang perlu waktu, sedangkan peran Dokter Penasehat dalam mensukseskan pelaksanaan jaminan kecelakaan kerja untuk penyakit akibat kerja tidak boleh terganggu atau terhambat. Oleh karena diagnosa dan penilaian cacat penyakit akibat kerja adalah aktivitas profesi dokter, maka Dokter Penasehat wajib sepenuhnya memperhatikan dengan seksama Etika Kedokteran pada umumnya dan Etika Kedokteran Kerja pada khususnya. Antara lain, Kode Etik menegaskan bahwa dalam praktek kedokteran kerja dokter melaksanakan tugas sebagai suatu amal ilmiah yang obyektif dan terpadu; doktera secara terus menerus berusaha agar pengetahuan Kedokteran Kedokeran Kerja (Kedokteran Okupasi) baik mengenai tenaga kerja perorangan maupun pada kelompok tenaga kerja dapat ditingkatkan dan dikembangkan; menghindari adanya tekanan dan atau pengaruh yang berasal dari perbedaan kepentingan terhadap keputusan medis; dsbnya.

IV. PENUTUP Dari seluruh uraian yang telah disampaikan tentang diagnosa dan penilaian cacat penyakit akibat kerja dapat dikemukakan pokok-pokok pikiran berikut ini: 1. Penyakit akibat kerja sama dengan penyakit yang timbul karena hubungan kerja; keduanya merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja; dan penyakit dimaksud adalah occupational diseases. 2. Dokter Penasehat harus menguasai benar metoda diagnosa penyakit akibat kerja serta juga mengetahui dan mendalami semua jenis dan macam penyakit akibat kerja beserta pekerjaan/perusahaan/tempat kerja yang padanya tenaga kerja dapat dikenai suatu penyakit akibat kerja. 3. Kelima unsur dari metoda diagnosa penyakit akibat kerja (anamnesis riwayat penyakit dan riwayat pekerjaan; pemeriksaan klinis; pemeriksaan laboratoris; pemeriksaan penunjang lainnya; dan pemeriksaan tempat dan ruang kerja) merupakan satu kesatuan utuh yang tidak terpisahkan dengan muaranya kepada

keputusan profesional medis yaitu diagnosa penyakit atau gangguan kesehatan akibat kerja. 4. Dokter Penasehat memiliki kewenangan legal, profesional dan sosio-kultural untuk menetapkan penyakit akibat kerja serta memikul tanggung jawab penuh atas keputusan medis yang ditetapkannya. 5. Suatu hal yang sangat mengganggu adalah pendapat bahwa diagnosa penyakit akibat kerja tidak dapat ditegakkan jika tidak ada data awal pemeriksaan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja. 6. Metoda diagnosa penyakit akibat kerja bukan masalah yang rumit lebih-lebih lagi bukan metoda yang tidak dapat dilaksanakan. Metoda dimaksud tidak menuntut prosedur teknis-teknologis yang mahal biayanya sehingga tidak mungkin diterapkan. 7. Dokter Penasehat dituntut untuk benar-benar mendalami semua jenis dan macam penyakit akibat kerja yang ditegaskan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 8. Tiga-puluh-satu jenis penyakit akibat kerja yang telah diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku telah demikian banyak meliputi jenis penyakit akibat kerja yang faktor penyebabnya adalah faktor fisis, kimia, dan biologis, namun masih belum cukup mencakup penyakit yang dikarenakan oleh faktor fisiologis/ergonomis. 9. Jenis penyakit akibat kerja yang mengenai sistem muskulo-skeletal hanyalah penyakit muskuloskeletal yang penyebabnya adalah getaran mekanis, tetapi belum meliputi yang lainnya. 10. Tabakosis yaitu penyakit bronkhopulmoner yang penyebabnya debu tembakau merupakan jenis penyakit akibat kerja yang penting untuk ditambahkan kepada daftar penyakit akibat kerja. 11. Hampir seluruh jenis penyakit akibat kerja terdiri atas lebih dari satu macam penyakit akibat kerja. Para Dokter Penasehat dituntut menguasai macam-macam penyakit akibat kerja pada setiap jenis penyakit akibat kerja dan mengetahui betul karakteristika setiap macam penyakit. 12. Terdapat kesenjangan yang sangat mencolok antara temuan penelitian/survei dan data statistik. Temuan penelitian/survei mengenai penyakit akibat kerja cukup menunjukkan bahwa prevalensi penyakit cukup banyak, sedangkan data statistik

penyakit akibat kerja yang merupakan kumpulan dari laporan penyakit akibat kerja luar biasa minim yaitu sekitar 1% dari laporan kasus kecelakaan kerja. 13. Sesuai dengan perannya, Dokter Penasehat dituntut untuk membantu mengurangi kesenjangan tersebut. 14. Penilaian cacat penyakit akibat kerja didasarkan kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Tabel, Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993. Tabel Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993 menetapkan nilai cacat tetap sebagian dan cacat-cacat lainnya sebagai padanan terhadap persentase santunan tunjangan jaminan kecelakaan kerja (penyakit akibat kerja). 15. Cacat karena penyakit akibat kerja adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan karena penyakit akibat kerja yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. 16. Dua jenis kecacatan adalah cacat anantomis (keadaan hilang anggota badan) dan cacat fungsi (keadaan berkurangnya fungsi anggota badan). Anggota badan adalah bagian/organ tubuh seperti tangan, kaki, hidung, telinga, mata, alat kelamin, paru, jantung, usus, otak, dsbnya. 17. Macam cacat tetap sebagian yang dapat berupa cacat anatomis atau cacat fungsi dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993. 18. Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 belum mencakup cacat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja semua anggota badan dan nilai cacatnya yaitu untuk kulit muka dan leher, rahang, trakea, dan esofagus. Secara analogis nilai cacat untuk kulit muka dan leher 3-10% x upah; rahang 10-30% x upah; trakea 10-30% x upah dan esofagus 10-30% x uipah. 19. Dengan dilakukannya penilaian cacat penyakit akibat kerja dengan memakai macam cacat dan nilainya sebagaimana dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 tersebut; hampir seluruh atau bagian terbesar cacat karena penyakit akibat kerja dapat dilakukan penilaian terhadapnya tanpa kesulitan; namun masih terdapat hal-hal khusus yang perlu perhatian. 20. Agar penilaian cacat penyakit akibat kerja terselenggara dengan sebaik-baiknya, perlu pemahaman secara benar mengenai nilai kecacatan sebagaimana terdapat dalam Tabel, misalnya %-ase yang dimaksud adalah %-ase terhadap upah dan bukan %-ase cacat anatomis atau berkurangnya fungsi dalam pengertian medis; juga perlu adanya penjelasan tambahan; pengaturan tentang nilai kecacatan untuk

anggota badan/organ tubuh yang belum tercakup serta aplikasi khusus untuk hal-ihwal tertentu. 21. Penjelasan tambahan dan pengaturan tentang nilai kecacatan untuk anggota badan yang belum tercakup serta aplikasi khusus untuk hal-ihwal tertentu diuraikan dengan rinci. 22. Penilaian cacat atas dasar hilang/berkurangnya kemampuan kerja sangat tepat dipergunakan untuk menilai cacat pada sistem kardiovaskuler yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja; cacat paru karena penyakit akibat kerja; cacat hati (hepar) yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja; cacat ginjal karena penyakit akibat kerja; dsbnya. 23. Untuk sistem kardiovaskuler (khususnya jantung), paru, hati dan ginjal, kategori berat ringannya tingkat cacat penyakit kronis yang mengenai organ tubuh yang bersangkutan dibuat berdasarkan derajat hilang/berkurangnya fungsi organ dimaksud yang sangat erat kaitannya atau paling tidak dapat digunakan untuk menetapkan hilang/berkurangnya kemampuan kerja tenaga kerja yang mengalami cacat organ karena penyakit akibat kerja. 24. Penjelasan UU No.3 Tahun 1992 menegaskan bahwa mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacatnya maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadinya cacat mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi. Prinsip ini berlaku pula untuk penyakit akibat kerja. 25. Membuat diagnosa penyakit akibat kerja atau menilai kecacatan penyakit akibat kerja adalah praktek kedokteran dan oleh karenanya dokter praktek harus memiliki kompetensi dalam profesi kedokteran sesuai dengan spesialisasi dalam bidang kedokteran dhi kedokteran kerja/okupasi. 26. Tentunya prinsip keprofesian tersebut tidak mungkin dilaksanakan waktu sekarang ini, oleh karena penanganan masalah spesialisasi dan kompetensi merupakan proses yang perlu waktu, sedangkan peran Dokter Penasehat dalam mensukseskan pelaksanaan jaminan kecelakaan kerja untuk penyakit akibat kerja tidak boleh terganggu atau terhambat. 27. Oleh karena diagnosa dan penilaian cacat penyakit akibat kerja adalah aktivitas profesi dokter, maka Dokter Penasehat wajib sepenuhnya memperhatikan dengan seksama Etika Kedokteran pada umumnya dan Etika Kedokteran Kerja pada khususnya.
Jakarta, 4 Maret 2010

Anda mungkin juga menyukai