Anda di halaman 1dari 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KAJIAN KONSEPTUAL 1. Pendidikan Seks Persoalan seks sudah banyak dikenal oleh masyarakat namun masih sedikit yang memahami apa itu seks hal ini dapat dipahami karena nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang di masyarakat kita belum

memungkinkan untuk membicarakannya secara terbuka, dengan kata lain persoalan seks belum memungkinkan untuk dibicarakan secara terbuka karena masih dianggap tabu oleh masyarakat. Persoalan seks hanya diperuntukkan bagi orang dewasa dan orang tua.1 Ini merupakan warisan dari budaya masa lampau tatanan nilai dan adat diperlakukan secara ketat, ditambah lagi informasi mengenai seputar persoalan seks dan seksualitas sangat terbatas. Saat ini dengan begitu canggihnya teknologi informasi apa pun bisa didapat dengan mudah, sayangnya informasi tentang seks itu tidak diimbangi dengan filter yang memadai sehingga anak-anak dan remaja bisa dengan mudah mendapat informasi tentang seks inilah yang akhirnya menggeser nilai-nilai moral. Pendidikan seks seharusnya dimulai dengan melatih orang tua anak yang

Guno Asmoro, Sex Education For Kids (Jogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), p.2.

berumur satu sampai delapan tahun (1 tahun sampai 8 tahun) tentang bagaimana caranya berbicara tentang seks kepada anak-anaknya. Sampai saat ini belum ada pengertian yang jelas tentang apa itu pendidikan seks, namun menurut Prendergast pendidikan seks adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya dan ini dimulai dari rumah, ketika anak mulai bertanya kenapa alat kelaminnya berbeda dengan saudaranya dan orang tua menjelaskan dengan penjelasan yang bisa diterima seusia anak tersebut.2 Menurut McCary pendidikan seks adalah informasi yang harus diberikan pada setiap anak agar mereka bisa tumbuh secara sehat lebih memahami dirinya dan bertanggungjawab atas dirinya. Pendidikan seks ini dimulai sejak sang anak melakukan kontak dengan tubuh ibunya.3 Dilain pihak Blackburn mengatakan pendidikan seks harus diberikan pada anak cacat maupun normal kerena mereka akan sama-sama tumbuh lebih percaya diri dengan pengetahuan yang baik tentang seksualitas mereka dan melalui pendidikan seks anak akan lebih hati-hati dalam mengambil keputusan dan membina hubungan dengan lawan jenis.4 Pendidikan seks untuk anak cacat dibutuhkan apabila masyarakat menginginkan mereka untuk hidup sehat ditengah-tengah masyarakat.
2

William E. Prendergast, Treating Sex Offenders: Aguide To Clinical Practice With Adults. USA: The Haword Press.2004. (http://books.google.co.id/books). 3 James Leslie McCary, Sex Education For Parents, Teenagers, And Young Adults (New York: Van Nostrand Reinhold Company.1973), p. 3-13. 4 Maddie Blackburn, Sexuality and Disability (British: Plant a Tree. 2002), p.30

Pendidikan seks secara nyata menunjukkan bahwa mereka memiliki hasrat seperti anak-anak lainnya, dan tugas orang tua, guru, untuk mengajarkan mereka bagaimana membina hubungan yang sehat dengan lawan jenis. Ini membuktikan bahwa anak cacat dan normal harus diajarkan pendidikan seks agar mereka mengetahui tentang seksualitas mereka dan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan seksualnya.5 Sementara itu teori Bruni mengatakan, bahwa self-help kemampuan yang harus diberikan meliputi membersihkan badan termasuk alat genital, makan dan minum, berpakaian, dan menjaga keselamatan diri.6 Harus diberikan kepada anak-anak tunagrahita sedini mungkin. Departemen Kesehatan (DepKes) menyatakan bahwa anak dengan kebutuhan khusus hendaknya diberikan penyuluhan yang meliputi : Penyuluhan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), kesehatan reproduksi, gizi, kesehatan, lingkungan dan pencegahan penularan penyakit dengan menggunakan media yang dapat dimengerti anak Imunisasi Pengobatan

David Compos, Contemporary Education Issue. Sex, Youth, and Sex Education. A Reference Handbook (California: ABC CLIO Inc. 2002), p.201. 6 Maryanne Bruni, Fine Motor Skill In Children With Down Syndrome. A Guide For Parents And Professional, (New York, USA, 2000), p. 34

10

Rehabilitasi7 Selanjutnya Kim dan Lian mengemukakan bahwa dalam

mengembangkan kemampuan sosial dan kepribadian anak tunagrahita meliputi beberapa bidang yang harus dikembangkan agar anak tunagrahita mampu mandiri salah satunya adalah growth and sex education. Anak tunagrahita perlu diajarkan tentang pertumbuhan fisik adanya perubahan dalam masa pubertas, menjaga kesehatan secara pribadi, kebersihan lingkungan, pendidikan seks, sikap yang baik dalam kehidupan keluarga.8 Sehingga penulis dapat menyimpulkan, pendidikan seks adalah suatu cara yang ditempuh oleh seseorang ataupun pendidik tentang seksualitas anak, cara anak beradaptasi dengan lingkungan, lawan jenisnya dan cara merawat tubuh serta mempergunakan hak seksualitas mereka dengan benar.

2. Perkembangan Seks Anak Usia Dini Masalah seks sesungguhnya sangat penting dan perlu untuk dketahui bukan hanya untuk orang dewasa, anak usia dini pun perlu memahaminya. Freud menyebutkan setiap anak akan megalami empat tahapan

psikoseksual, dimana 3 diantaranya dialami anak usia dini:9


7

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Umum Perlindungan Kesehatan Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat), p. 29. 8 Kim Fong Pooh McBrayer GON John Lian, Special Need Education (Children With Exceptionalities) (The Chinese University: Press hongkong. 2002), p.82. 9 John W Santrock, Life Span Development, Alih bahasa: Ahmad Chusari, Juda Damanik. (Jakata: Erlangga, 1995), p.38.

11

1. Tahap mulut (Oral stage) berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupanya, kenikmatan berpusat pada di sekitar mulut. Contohnya mengunyah, menghisap, menggigit, adalah sumber kenikmatan utama. Tindakan ini mengurangi tekanan pada bayi. 2. Tahap anal (Anal Stage) berlangsung antar usia 1 sampai 3 tahun, kenikmatan terbesar meliputi lubang anus atau fungsi

pengeluaran/pembersihan yang diasosiasikan dengannya. 3. Tahap phallic (Phallic Stage) berlangsung antara usia 3 sampai 6 tahun. Selama fase phallic kenikmatan berfokus pada alat kelamin, ketika anak menemukan bahwa manipulasi diri (self-manipulation) dapat memberi kenikmatan. Senada dengan Freud menurut Kohlberg ada 3 tahapan yang harus

dilalui anak dalam perkembangan seksualitasnya antara lain:


1. Gender Initially, during the early preschool years (ages 3 to 4 years), young children engage in gender labeling. Young children can tell the difference between boys and girls, and will label people accordingly. 2. Gender Identity. Children understand that gender is stable over time; however, they often think that changing physical appearance or activities can change them into the other sex. 3. Gender consistency, during the early school years (ages 6 to 7), the idea that they are one gender and will remain that gender for life. However, a small number of young children struggle with their gender identity, and continue to struggle with their true identity through adulthood. 10

Gender initially, selama tahun-tahun prasekolah dini (usia 3 sampai 4 tahun), anak-anak terlibat dalam pelabelan gender. Anak-anak kecil bisa
D.A Louw, Human Development. 2nd Edition, (South Africa: ABC Press, 2007), p.294. http://books.google.co.id/books
10

12

membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Gender identity, anakanak memahami gender yang stabil dari waktu ke waktu, namun mereka sering berpikir bahwa perubahan penampilan fisik atau kegiatan dapat mengubah mereka ke jenis kelamin lainnya. Gender consistency, selama tahun-tahun awal sekolah (usia 6 sampai 7), gagasan bahwa mereka adalah salah satu jenis kelamin akan menetap. Namun, mereka akan terus berjuang untuk mengetahui jenis kelaminnya sampai usia dewasa. Sementara itu Piaget yakin bahwa anak menyesuaikan diri dalam 2 cara yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika individu

memasukkan pengetahuan baru terhadap pengetahuan mereka yang lama. Akomodasi individu menyesuaikan diri dengan informasi baru.11 Anak-anak pada usia 5 tahun sudah mulai bermain berdasarkan jenis kelamin misalnya anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki dan anak perempuan bermain dengan anak perempuan. Selama usia ini, anak-anak menjadi menyadari kegiatan yang berkaitan dengan gender dan stereotip perilaku contohnya anak perempuan akan mengikuti kebiasaan ibunya memasak karena itu adalah pekerjaan perempuan. Anak laki-laki akan melihat ayahnya memperbaiki sesuatu. Anak laki-laki mungkin mulai

percaya bahwa perbaikan adalah pekerjaan laki-laki dan mulai "membantu" Ayah atau berpura-pura untuk memperbaiki hal-hal di sekitar rumah.

11

John W Santrock, op.cit., p.44.

13

Keyakinan awal tentang peran jender akan mencerminkan pengamatan anakanak dari apa yang mereka lihat di sekitar mereka.12 Tubuh adalah ciptaan yang luar biasa, banyak sel-sel yang saling terhubung dan memiliki fungsi masing-masing untuk membangun seluruh sistem dalam tubuh misalnya rambut, organ seks, jantung, darah, pembuluh darah, mata, liver dan lain sebagainya, setiap manusia memiliki sistem yang sama.13 Menurut Simone De Beauvoir, bagi anak laki-laki maupun perempuan tubuh adalah yang pertama kali menyebarkan subjektivitas, suatu alat yang memungkinkan pamahaman akan dunia, lewat mata, tangan seorang anak memahami dunia, bukan lewat organ-organ seksual.14 Drama kelahiran dan penyapihan berkembang dalam bentuk yang sama baik anak laki-laki maupun perempuan, mereka memiliki keinginan dan kesenangan yang sama, menyusui merupakan sumber sensasi pertama yang paling menyenangkan, selanjutnya fase anal di mana mereka mengalami kepuasaan dari saluran pembuangan. Perkembangan genital mereka analog, mereka menjelahi tubuh dengan rasa keingintahuan dan ketidakpedulian yang sama, dari klitoris dan penis mereka memperoleh kesenangan

12

Trisha Maynard and Nigel Thomas (ed) An Introduction to Early Childhood Studies (London: SAGE Publication Inc, 2004), p.233. 13 Grace Kettermen, Teaching Your Child About Sex (USA: Fleming H. Revel, 2007), p.99 14 Simone De Beauvoir, Second Sex. Kehidupan Perempuan, Alih bahasa: Toni B. Febrianto, Nuraini Juliastuti (Jakarta: Pustaka Promethea, 2003), p.3.

14

tersembunyi.15 Masa ini adalah masa dimana anak menyenangi apa yang mereka lakukan pada tubuhnya.
Selanjutnya Broderick dan Rowe suggest that children typically pass through a series of stage in the course of heterosexual social development: first, preschool children acquire an awareness of marriage as involving a relationship between man and women who are attracted to each other. Second, somewhat later, children come to view marriage as an attractive and desirable prospect in their own image future. Third, children single out some member of the opposite sex as being especially attractive to them and then place this person in the social category of boyfriend and girlfriend. 16

Anak-anak melewati serangkaian tahap dalam proses pembangunan sosial heteroseksual: pertama, anak-anak prasekolah memperoleh

kesadaran tentang pernikahan melibatkan hubungan antara pria dan wanita yang saling tertarik. Kedua kemudian, anak-anak melihat pernikahan sebagai prospek yang menarik dan diinginkan di masa depan sesuai citra mereka sendiri. Ketiga, anak-anak mulai tertarik dengan lawan jenisnya yang kemudian masuk dalam kategori sosial "boyfriend" dan grilfriend". Berdasarkan pendapat para ahli di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa perkembangan seks anak usia dini adalah tahapan kenikmatan atas tubuhnya melalui mulut, anus, kelamin, dan harus dilalui sampai akhirnya sang anak akan kembali mengalami kenikmatan atas tubuhnya serta mulai memahami hak sekualitasnya.

15

Ibid. James W and Vander Zanden, Human Development 5th Edition (New York: McGraw- Hill, Inc. 1993), p.333.
16

15

3. Seksualitas Anak Tunagrahita Banyak kesalahpahaman tentang seksualitas17 anak-anak cacat.

Mitos yang paling umum adalah bahwa anak-anak dan remaja penyandang catat secara seksual juga cacat oleh sebab itu tidak memerlukan pendidikan seksual. Yang benar adalah bahwa semua anak adalah mahluk sosial dan seksual sejak mereka dilahirkan.18 Anak berhak mendapat pendidikan seks agar mereka bisa mempersipakan dirinya untuk hidup dalam masyarakatnya atau komunitasnya. Setiap anak memiliki keinginan untuk dekat dan memiliki hubungan dengan lawan jenis, bahkan anak catat. Cacat secara fisik maupun kejiwaan, begitu juga anak-anak tunagrahita, mereka memiliki keinginan untuk disayang, diperhatikan oleh orang lain maupun lawan jenis oleh sebab itu dibutuhkan pendidikan seks sedini mungkin agar mereka mengerti kebutuhan seksual mereka dan bagaimana cara menggunakan hak seksualnya. Gunn dan Carson mengatakan bahwa pendidikan seks yang terbaik diberikan di sekolah terutama bagi anak-anak yang memiliki

keterbelakangan. Pendidikan seks tidak hanya mengajarkan apa itu AIDS, HIV dan penyakit kelamin lainnya namun juga karena pendidikan seks
17

Seksualitas adalah (1) Bagaimana laki-laki dan perempuan berbeda dan mirip satu sama lain secara fisik, psikologis dan dalam istilah-istilah perilaku, (2) Aktivitas perasaan dan sikap yang dihubungkan dengan reproduksi, (3) Bagaimana laki-laki dan perempuan berinteraksi dalam berpasangan dan di dalam kelompok. Robert P Masland, Its all About Sex A-Z Tentang Sex (Jakarta: Bumi Aksara, 2010). 18 David Archard. Children Rights and Childhood. Second Edition (London: Routledge, 2004,p.106.

16

dimasukkan dalam silabus sehingga pendidikan seks tidak hanya bisa diberikan pada mata pelajaran Science namun juga dapat dimasukkan dalam mata pelajaran Biologi.19 Sekolah tidak bisa dipungkiri adalah sebuah lembaga yang memiliki peran yang sangat vital untuk tumbuh kembangan anak, terutama anak usia dini, Menurut Gutama pendidikan bagi anak usia dini sangat penting dilakukan sebab merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh, yaitu ditandai dengan karakter, budi pekerti luhur, pandai, dan terampil. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli pendidikan anak bahwa pendidikan yang diberikan pada usia di bawah 8 tahun, bahkan sejak anak dalam kandungan adalah penting sekali.20 Begitu juga anak usia dini yang divonis sebagai anak tunagrahita mereka perlu mendapatkan pendidikan21 terbaik dan fasilitas terbaik di sekolah, karena anak tunagrahita juga adalah anak-anak bangsa ini. Apa pun keadaan keadaannya mereka juga berhak mendapat pendidikan, begitu pula pendidikan seks. Anak-anak tunagrahita akan megalami kebutuhan pendidikan seks yang berbeda: 1) Pada saat mulai berjalan, anak-anak belajar bagaimana berperilaku di depan umum, termasuk dalam hubungannya dengan tubuh
19 20

Maddie Blackburn, Sexuality and Disability (British: Plant a Tree, 2002), p.85. Dini Kasdu, Anak Cerdas. A-Z Panduan Mencetak Kecerdasan Buah Hati Sejak Keamilan Sampai Balita ( Jakarta: Puspa Sehat), p.143. (http://books.google.co.id/books) 21 Pasal 31 ayat 1 : Setiap warga Negara berrhak mendapat pengajaran. _____________, Undang-Undang 1945 (Amandemen). (Jogyakarta: Pustaka Grhatama, 2009), p.47.

17

mereka. 2) Anak-anak yang mendekati masa puber perlu dipersiapkan untuk perubahan baik emosi dan sosial, memang beberapa kebudayaan memiliki ritual pubertas tertentu. 3) Mereka yang telah melewati pubertas perlu mempersiapkan hubungan seksual dan untuk menjadi orang dewasa.22 Para ahli mengatakan bahwa masalah pendidikan seks untuk anak tunagrahita sangat penting mengingat kekurangan yang mereka miliki, banyak faktor tentang bahan pengajaran untuk pendidikan seks ini menjadi pro dan kontra namun yang perlu dipahami adalah bahwa anak tunagrahita memiliki kebutuhan seks seperti anak-anak lainnya. Yang menjadi fokus pendidikan seks saat ini adalah mengembangkan pemahaman tentang perbedaan antara tubuh laki-laki dan menerapkan aturan masyarakat perempuan. Memahami dan

tentang perilaku yang berkaitan dengan

mana bagian tubuh yang harus ditutupi, apa yang boleh dan tidak boleh disentuh di tempat yang berbeda.23 Pada prinsipnya anak-anak tunagrahita sama dengan anak-anak normal lainnya mereka seksual sejak dilahirkan dan itu merupakan pemberian dari Tuhan

22

Rachel Balen and Marilyn Crawshaw (ed), Sexuality and fertility issues in ill health and disability : from early adolescence to adulthood (USA: Jessica Kingsley Publishers, 2006), p.26. 23 Ibid.p.27.

18

4. Tunagrahita Langdown Down seorang psikiater dari Inggris membuat sistem klasifikasi untuk individu dengan keterbelakangan mental, untuk pertama kali menggambarkan secara rinci karakteristik anak dengan keterbelakangan mental yang sekarang disebut sebagai Down Syndrome. Pada awal abad 20 pergeseran tentang pandangan tentang anak tungrahita mulai bergeser, dan ditandai dengan defenisi dari American Association on Mental Disorder. AmericanAassociation on Mental Disorder (AAMD) dari Grassman bergeser dan digantikan dengan defenisi American Asscociation of Mental Retardation dari Luck Asson. Defenisi AMMR pada tahun 1992 menyatakan:
Mental retardation refers to substantial limitations in present functioning it is characterized by significantly sub average intellectual functioning existing concurrently with related limitations in two or more of the following applicable adaptive areas: communications, self-care, home living, community use, self direction, health and safety, functional academic, leisure and work. Mental retardation manifest before age 18.24

Jelaslah bahwa disebut tunagrahita apabila memiliki 2 atau lebih kekurangan dan ini terjadi sebelum usia 18 tahun. Berikut adalah klasifikasi retardasi mental :

24

Clifford J. Drew., Donal R. Logan., and Micahel L. Hardman. Mental Retardation a life cyle approach. Third Edition (Columbus: Merrill Publishing Compony, 1986), p.5, Untuk diskusi yang lebih menarik baca Marilyn Friend. Special education contemporary Persepctives for school Professional. (New York: Person, 2005).

19

1. Retardasi mental ringan (IQ 50-55 sampai 70) Keterbelakangan mental yang terdiri dari sekitar 85 persen dari semua orang yang memiliki IQ kurang dari 70. Mereka tidak selalu dibedakan sampai mereka masuk sekolah. Pada IQ 50-70 ini anak mampu mengikuti pelajaran sampai kelas 6. 2. Retardasi mental sedang (35-40 ke 50-55 IQ) Sekitar 10 persen dari mereka dengan IQ kurang dari 70 ini cukup terbelakang. kerusakan otak dan patologi lainnya sering terjadi. 3. Retardasi mental parah (20-25 ke 35-40 IQ) Sekitar 3-4 persen orang dengan IQ kurang dari 70 yang sangat terbelakang. Mereka umumnya memiliki kelainan fisik bawaan dan kontrol motor sensorik terbatas. 4. Retardasi mental mendalam (di bawah 20-25 IQ) Satu sampai dua persen dari retardasi mental mendalam adalah sangat begitu, membutuhkan pengawasan total dan pengasuhan sepanjang hidup mereka.25 Konsep keterbelakangan mental menurut DSM - IV TR definisi dasar dari keterbelakangan mental dan kriteria diagnosis pada standar yang ditetapkan pada tahun 2002 oleh American Association of Mental Deficiency,

25

William L. Heward and Michael D. Orlansky, Exceptional Children an Intoductory Survey of Special Education. Second Edition (Colombus: Charles E Merrill Publishing Company, 1984) untuk bacaan yang lebih menarik lihat Gerald C Davidson and John M Neale, Abnormal Psychology (New York : John Wiley and Son, 1987)

20

adalah bahwa retardasi mental secara signifikan rata-rata sub fungsi intelektual umum yang ada secara bersamaan dengan keterlambatan dalam perilaku adaptif dan tampak selama periode perkembangan.26 Retardasi mental berarti memiliki sub signifikan intelektual umum rata rata yang ada bersamaan dalam perilaku adaptif dan diwujudkan selama periode perkembangan. Fitur penting adalah: a. Secara signifikan rata-rata sub fungsi intelektual umum b. Mengakibatkan, atau berhubungan dengan defisit atau

gangguan dalam perilaku adaptif. c. Terjadi sebelum usia 18 tahun.27

Retardasi mental terlihat secara signifikan rata-rata sub fungsi intelektual umum yang ada bersamaan dengan defisit dalam perilaku adaptif, dan diwujudkan selama periode perkembangan. Karena harapan perilaku adaptif bervariasi untuk kelompok usia yang berbeda, defisit dalam perilaku adaptif akan bervariasi pada usia yang berbeda pula.28 Hal ini tercermin dalam bidang-bidang berikut: 1. Selama di masa kanak-kanak awal dan menegah Sensorik - motorik skils pengembangan Keterampilan komunikasi (termasuk berbicara dan bahasa)

26 27

Jeffrey J. Haugaard, Child Psychopathology (New York: McGraw-Hill, 2010), p.412. Donald R Logan, Michael L Hardman and Clifford J Drew, Mental Retardation a Life Cycle Approach (Colombus: Merril Publishing Company, 1984), p. 5. 28 Ibid, p.40

21

Keterampilan membantu diri Sosialisasi (pengembangan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain) 2. Selama masa kanak-kanak dan remaja awal: Penerapan keterampilan akademis dasar dalam kehidupan seharihari Penerapan penalaran yang tepat dan penilaian dalam penguasaan lingkungan Keterampilan sosial (partisipasi dalam kegiatan kelompok dan hubungan interpersonal)29 Menurut William dalam Tom Shakespeare disability is an emergent property, located temporary speaking in terms of interplay between the biological reality of physiological impairment structural conditioning (i.e.: enablements/constraints) and social cultural interaction/elaboration.30 Cacat adalah suatu keadaan yang muncul, hal ini dapat dilihat dalam hal saling mempengaruhi antara realitas biologis pengkondisian penurunan fisiologi secara terstruktur dan interaksi elaborasi sosial budaya.31 Dari pendapat para sarjana di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa tunagrahita adalah suatu keadaan yang dapat menghambat

29

Ibid, p.42. Tom Shakespeare, Disability Rights and Wrong (New York: Routledge, 2006), p.55. 31 Elaborasi adalah kemampuan untuk memperluas ide aspek-aspek yang mungkin tidak terpikrkan atau terlihat oleh orang lain.
30

22

perkembangan anak, baik

ketidakmampuan anak yang dikarakteristikkan

dengan sangat terbatasnya fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang tampak melalui kemampuan konseptual, sosial, dan kemampuan

beradaptasi.

B. PENELITIAN YANG RELEVAN Penelitian yang dilakukan oleh Kupper, Ambler and Valdivieso bahwa pendidikan seks juga harus diberikan pada anak-anak berkebutuhan khusus. Agar mereka bisa lebih mawas diri dan terhindar dari tindak perkosaan dan pelecehan seksual.32 Anak tunagrahita karena kekurangan yang mereka miliki membuat mereka rentan dengan tindak perkosaan dan biasanya pelakunya adalah orang yang telah dikenal, bagaimana caranya agar anak-anak ini dapat terhindar dari para predator Penelitian ini akan meneliti bagaimana caranya agar anak-anak tunagrahita ringan bisa terhindar dari tindak perkosaan dan pelecehan seksual salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan seks bagi ana-anak tunagrahita dengan berbagai cara yang bisa mereka mengerti. Dilain pihak penelitian yang dilakukan oleh McCabe kebutuhan anakanak penyandang cacat akan pengetahuan seksualnya masih belum
32

Lisa Kupper, Lana Amber and Carol Valdivieso, Sex Education for those with Disabilities; preventing sexual abuse: Sexulity Education for Children and Youth with Disabilities (http://www.cdadc.com/ds/sed.htm).

23

terpenuhi, oleh sebab itu dibutuhkan suatu upaya agar anak-anak peyandang cacat bisa memahami tentang seksualitasnya dengan baik dan benar.33 Pandangan masyarakat tentang anak-anak cacat yang secara seksual juga cacat perlu dirubah karena anak-anak cacat sama dengan anak normal mereka seksual sejak dilahirkan. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu pendidikan seks yang benar agar mereka memahami tentang hak seksualitasnya dan ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan seks untuk anak tunagrahita.

C. KERANGKA TEORITIS Pada penelitian tindakan ini peneliti mengacu pada prosedur penelitian Model Kemmis dan McTaggart, yang terdiri dari empat langkah yaitu: 1) Perencanaan Tindakan (Planning) 1. Perencanaan umum Perencanaan umum berkaitan dengan keseluruhan siklus.

Perencanaan ini disusun berdasarkan hasil diskusi antara peneliti, guru dan kolaborator. 2. Pencanaan Khusus Perencanaan siklus penelitian ini dirumuskan sesuai dengan siklus perencanaan khusus penelitian ini terdiri dari:

33

McCabe, M.P, Sex Education Programs for People With Mental Retardation. Mental Retardation Journal. (1993) 31(6), p. 377-387. www.etr.org/recapp/index.cfm

24

a) Membuat satuan perencanaan tindakan yang akan diberikan kepada anak. b) Mempersiapkan media dan alat dokumentasi kegiatan yang akan digunakan seperti kamera.

2) Pelaksanaan (Action) Dalam tahapan ini peneliti dan guru kelas melaksanakan satuan perencanaan tindakan yang telah dibuat, yaitu penerapan indikator kemampuan memahami seksualitasnya yang dilakukan setiap proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar). 3) Pengamatan (Observing) Pada tahap ini pendekatan pengamatan (observing) yang digunakan adalah observasi peer (pengamatan sejawat), yakni yang dilakukan oleh guru kelas terhadap pembelajaran. Hasil dari temuan ini akan didiskusikan oleh peneliti dengan kolaborator. 4) Merefleksi Hasil Pengamatan (Reflecting) Refleksi merupakan upaya evaluasi yang dilakukan bersama guru kelas dan kolaborator. Maksud pelaksanaan refleksi ini adalah untuk menganalisis ketercapaian proses pemberian tindakan maupun untuk menganalisis faktor penyebab tidak tercapainya tindakan.

25

D. MODEL TINDAKAN Menurut Kemmis dan McTaggart penelitian tindakan adalah merupakan riset praktis yang dilakukan oleh para parktisi untuk praktisi. Dalam riset tindakan semua pelaku dilibatkan dalam proses penelitian sebagai partisipan dan harus terlipat tahapan riset ini. Tipe keterlibatan ini antara lain berupa kolaboratif.34 Penelitian ini akan menggunakan tindakan model Kemmis dan McTaggart (1998), model penelitian tindakan spiral ini bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan proses belajar mengajar. Desain dalam penelitian ini menggunakan desain action research yang disebut spiral model dari Stephen Kemmis dan Robbin McTaggart terlihat dalam gambar berikut:

34

Stephen Kemmis and Robin McTaggart, The action Research Planner, (Victoria: University, 1998), p.5.

26

REFLECT

OBSERVER

PLAN

Siklus 1
ACT

REFLECT

PLAN

Siklus 2

OBSERVER

ACT

Gambar 1: Siklus Action Research Model Kemmis and McTaggart (1998), p.11.

E. HIPOTESIS TINDAKAN Hipotesis tindakan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: terdapat

peningkatan pemahaman tentang seks, setelah diberikan pendidikan seks melalui model modifikasi perilaku.

27

Anda mungkin juga menyukai