Anda di halaman 1dari 7

TERKAIT:

Bank Sperma di Indonesia, Mungkinkah? Fatwa Kedokteran untuk Panduan Umat Bank Sperma Haram, Bank ASI Boleh Jumlah Sperma Kurang dari 2 Juta, Sulit Hamil? Waspadai Donor Sperma

JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran bank sperma di Indonesia memang masih belum memungkinkan. Tetapi kalau pun bank sperma dibangun, tujuannya hanyalah untuk mempertahankan garis keturunan dari suatu keluarga. "Pembangunan bank sperma tergantung tujuan dan niatnya," ungkap pengamat kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Prof. Does Sampoerno dr MPH, kepada Kompas.com, Kamis (29/07/10) di Jakarta. Dijelaskan Prof Does, "Pembanguan bank sperma bisa dilakukan misalkan ada keluarga yang sudah menjadi dinasti, agar keturuan keluarga itu tidak lenyap ingin mereka menggunakan bank sperma tapi tujuannya untuk keluarga. Itu bisa dilakukan." Bank sperma diperbolehkan hanya untuk menyimpan sperma dari suaminya yang sah. "Hal tersebut bisa dilakukan untuk bersiap-siap apabila sang suami akan meninggal. Sperma yang ada bisa digunakan untuk menggantikan anak yang meninggal," kata Ketua Kolegium Keilmuan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indoensia (IAKMI) itu. Namun penyimpanan sperma di bank juga seharusnya diatur batas waktu atau masa kedaluwarsanya. "Batasnya, sperma suami hanya bisa disimpan sampai istri berumur 45 tahun. Karena di atas umur 45 tahun istri sudah tidak bisa melahirkan, maka sperma itu harus dimusnahkan," kata Prof Does. Bank sperma komersil Selain bank sperma suami, lanjut Prof Does, ada juga bank sperma komersial. "Mereka menyelenggarakan bank sperma komersial untuk yang ingin punya anak tapi tidak bisa punya anak, atau tidak punya suami tapi ingin punya anak. Melalui bank sperma, mereka akan menentukan ingin punya anak warna kulitnya apa,warna matanya apa, itu semua bisa dipilih," kata Prof Does. Dipandang dari sisi kesehatan, adanya bank sperma dapat membantu sebagian orang. Tetapi implementasinya harus disesuaikan dengan norma, nilai-nilai agama dan budaya di negeri itu. Di Indonesia, bank sperma untuk tujuan komersil bertentangan dengan undang-undang. Pemerintah telah mengaturnya dalam pasal 16 UU No.23/1992 tentang kesehatan dan Peraturan menteri Kesehatan No.73 tahun 1992. Peraturan itu menetapkan bahwa inseminasi buatan hanya diperbolehkan pada suami istri yang sah secara hukum. Sel sperma dan sel telur dari pasangan itulah yang kemudian ditanam dalam rahim istri.

"Oleh karena itu, di Indonesia unsur menggunakkan sperma yang bukan muhrim nya adalah haram," kata P

ebagaimana kami pernah bahas dalam artikel Surrogate Mother (Ibu Pengganti), sewa rahim atau sering juga dikenal dengan istilah surrogate mother sebenarnya belum ada pengaturannya dalam hukum Indonesia. Hukum di Indonesia hanya mengatur mengenai upaya kehamilan di luar cara alamiah yang mana hasil pembuahan dari suami isteri tersebut ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum berasal. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Dalam Pasal 127 UU Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung.

Sementara itu, Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes dalam bukunya Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia? antara lain menulis bahwa surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement (hal. 3). Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ibu pengganti atau ibu wali (hal. 35). Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap menyewakan rahimnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat kita lihat bahwa surrogate mother ini dikenal juga dengan istilah sewa rahim dikarenakan metodenya, yang mana hasil pembuahan suami isteri ditampung dalam rahim perempuan lain yang dianggap menyewakan rahimnya.

Dalam artikel Perlu Payung Hukum Sewa Rahim yang dimuat suaramerdeka.com, pakar hukum kesehatan Undip, dokter Sofwan Dahlan mengatakan praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan mengingat prosesnya secara garis besar sama dengan bayi tabung. Hanya saja, menurutnya, rahim inang yang digunakan berbeda. Dalam artikel tersebut juga ditulis pernyataan dari Prof Dr Agnes Widanti yang mengatakan bahwa kasus sewa rahim memang menjadi satu dilema. Dia mengatakan, di satu sisi masyarakat membutuhkan, namun di sisi hukum belum ada aturan yang mengatur sewa menyewa rahim sehingga bisa menimbulkan suatu masalah di kemudian hari yang penyelesaiannya sangat sulit. Prof Agens juga mengatakan bahwa kenyataan di Indonesia, surrogate mother ini dibutuhkan dan sudah dilakukan oleh masyarakat dengan diam-diam atau secara kekeluargaan.

Status dan Hak waris anak hasil sewa rahim Mengenai status anak yang lahir dari sewa rahim, pertama-tama kita harus melihat terlebih dahulu pengertian mengenai anak yang sah Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam Pasal 42 UU Perkawinan dikatakan bahwa yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Sedangkan dalam hukum Islam, berdasarkan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) , yang dimaksud dengan anak sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Sebenarnya secara biologis, anak yang dilahirkan oleh si ibu pengganti dari adanya sewa rahim tersebut, adalah anak dari si pasangan suami dan istri tersebut, hanya saja dilahirkan melalui perempuan lain.

Akan tetapi, mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat. Menurut Desriza Ratman (hal. 120), untuk melihat golongan anak dari kasus surrogate mother, harus dilihat dulu status perkawinan dari wanita surrogate. Menurutnya, anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah anak di luar perkawinan yang tidak diakui, yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau is teri dengan laki-laki atau perempuan lain.

Akan tetapi, lanjut Desriza, anak tersebut dapat menjadi anak sah jika status wanita surrogate-nya terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami isteri yang disewa rahimnya, sampai si bapak (suami dari wanita surrogate) mengatakan Tidak berdasarkan Pasal 251, Pasal 252, dan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dengan pemeriksaan darah atau DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan atas UU Perkawinan Pasal 44: Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Mengenai hak waris anak yang dilahirkan dari sewa rahim, menurut Desriza, hak waris anak akan ditentukan dari status anak tersebut, apakah anak tersebut adalah anak di luar perkawinan yang tidak diakui atau anak sah.

Sewa rahim menurut Hukum Islam Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya (hal. 660). Menurutnya, para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi tabung (hal. 659). Demikian tulis Qaradhawi.

Selanjutnya, Qaradhawi menulis, jika sperma berasal dari laki-laki lain baik diketahui maupun tidak, maka ini diharamkan. Begitupula jika sel telur berasal dari wanita lain, atau sel telur milik sang istri, tapi rahimnya milik wanita lain, inipun tidak diperbolehkan. Ketidakbolehan ini, menurut Qaradhawi, dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan membingungkan, Siapakah sang ibu bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan? Padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri. Demikian Qaradhawi menjelaskan.

Lebih jauh Qaradhawi menulis:

Bahkan, jika wanita tersebut adalah istri lain dari suaminya sendiri, maka ini tidak diperbolehkan juga. Pasalnya, dengan cara ini, tidak diketahui siapakah sebenarnya dari kedua istri ini yang merupakan ibu dari bayi akan dilahirkan kelak. Juga, kepada siapakah nasab (keturunan) sang bayi akan disandarkan, pemilik sel telur atau si pemilik rahim?

Para ahli fiqih sendiri berbeda pendapat jika hal ini benar-benar terjadi. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ibu sang bayi tersebut adalah si pemilik sel telur, dan saya lebih condong kepada pendapat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa ibunya adalah wanita yang mengandung dan melahirkannya. Makna lahiriah dari ayat Al-Quran, sejalan dengan pendapat ini, yaitu dalam firman Allah swt,

Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (al-Mujaadilah: 2)

Demikian kami telah sajikan penjelasan berikut berbagai pendapat mengenai hukum sewa rahim, dan status anak yang dilahirkan dari sewa rahim. Dari berbagai macam pendapat yang kami sajikan tersebut dapat terlihat bahwa pada dasarnya mengenai praktik sewa rahim maupun status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim, masih terdapat pro kontra. Pada akhirnya, jika terjadi sengketa sehubungan hal ini, Hakim di pengadilan lah yang akan memutuskan penyelesaiannya.

melakukan penelitian, seperti kloning setelah masa pre-embrio ( 14 hari setelah fertilisasi) mendapatkan hybrid dengan fertilisasi inter-spesies implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies lain manipulasi genome pre-embrio, kecuali untuk tujuan pengobatan suatu penyakit

Hukum Dan Etika Reproduksi Buatan Di Indonesia Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik reproduksi buatan diatur dalam: 1. UU Kesehatan no. 23 tahun 1992, pasal 16 menyebutkan antara lain: 1. Kehamilan diluar cara alami dapat dilakukan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami-istri mendapatkan keturunan 2. Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang syah dengan ketentuan 1. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-istri yang bersangkutan, ditanam dalam rahim istri, darimana ovum itu berasal 2. dilakukan oleh ahli kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu 3. pada sarana kesehatan tertentu

3. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah 2. Keputusan Menteri Kesehatan no 72/Menkes / Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan: ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa: 1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan 2. Pelayanan reproduksi buatan menrupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan 3. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan: 4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun 5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio 6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian, Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas 7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi 8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu impan beku) 9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal. 10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel. Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya: menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri dst; menghimbau ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia; mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada : 1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoclonal. 2. sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri sendiri. Dilema Etik Dan Hukum, Sikap Profesi Dalam Teknik Reproduksi Buatan

Semakin berkembangnya teknologi Reproduksi Buatan dan dan semakin berkembangnya dinamika pemikiran masyarakat mengenai etika, norma, nilai dan keyakinan yang dianut. Dalam satu sisi perkembangan teknologi tidak dapat dibendung sedangkan perangkat yang mengatur etika dan hukum belum dapat mengikuti. Sebagai hasilnya, penilaian benar atau tidak hanya didasarkan pada sisi kepentingan saja. Gap yang terjadi ini memerlukan diskusi dan pemikiran dari para ahli dari lintas disiplin sehingga hal-hal yang dapat menurunkan derajat dan martabat manusia yang mungkin terjadi dalam penyelenggaraan teknik reproduksi buatan dapat dihindari.

Anda mungkin juga menyukai