Minggu, 15/07/2012 - 21:18 JAKARTA, (PRLM).- Bangsa Indonesia saat ini dinilai memerlukan pemimpin yang ideologis. Bukan berarti bebas ideologi tetapi tetap harus ada pilihan, yakni keberpihakannya pada rakyat jelata. Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan menyatakan hal itu di Jakarta, Minggu (15/7), pada Dialog Kebangsaan "Keteladanan Pemimpin Menuju Kemakmuran Rakyat". Acara yang diselenggarakan Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) itu juga menghadirkan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto, politisi Partai Hanura Fuad Bawazier, dan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi. Mantan Wakil Ketua MPR AM Fatwa yang menjadi peserta itu pada sesi tanya jawab sempat menyerukan agar seluruh komponen bangsa melahirkan "Reformasi Jilid II". Seruan itu disambut baik oleh Fuad Bawazier dan pembicara lain. Syahganda menyayangkan pernyatan salah seorang petinggi negara menyatakan ideologi komunis dan atheis bisa hidup di Indonesia. "Bagaimana mungkin bisa menyatakan hal itu. Komunis dan atheis sudah pasti anti-Pancasila dan anti-Islam," katanya. Burhanuddin Muhtadi menyatakan saat ini memang perlu pemimpin ideologis dan terlepas dari kepentingan partai yang jumlahnya banyak seperti saat ini. "Sekarang banyak partai tetapi tidak jelas ideologinya, banci, kalau banyak partai yang terjadi semua ingin 'to the center', ke tengah sehingga semua menyebut partai terbuka, nasionalis religius. Ini kan nggak jelas," katanya. Lantaran tidak jelas, ujar Burhanudin, maka soal kapital menjadi penting, sehingga poltitik tak lagi diperjuangkan dengan ideologi yang kuat melainkan secara transaksional. Sedangkan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto menyatakan, pemimpin pada hakikatnya pribadi yang dikorbankan untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya. "Pemimpin bukan mengorbankan kepentingan rakyat untuk dirinya," katanya. Endriartono pada dialog itu membacakan makalah bertajuk "Keteladanan adalah Kunci Pemimpin yang Amanah". "Keteladanan tak ada yang buruk, keteladanan selalu yang baik dan positif. Manusia diciptakan sebagi kalifah, tinggal seberapa perannya," katanya. Pemimpin yang baik memiliki pandangan ke depan, jiwa besar dan rendah hati dan mawas diri apakah yang telah dilakukan bermanfaat, berani bertindak tegas dan peduli bagi masyarakatnya. Endrianrono menguraikan kondisi negeri ini yang dibilang memiliki keberhasilan ekonomi tetapi sesungguhnya sebagian besar belum dinikmati oleh sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hukum juga belum dapat ditegakkan terlebih ada kelompok ekstrem dan negara tak mampu mencegah hal itu terjadi. "Padahal negara tak boleh didikte," katanya seraya mencontohkan keteladanan kepemimpinan Rasulullah sebagai model ideal. Fuad Bawazier menyatakan saat ini ada paradoks di mana akyat dicekoki dengan berbagai klaim keberhasilan pembangunan dan kemajuan bangsa. Padahal kondisi saat ini masih terbelit masalah dan belum mewujudkan kemakmuran rakyat.
"Truk macet berkilo-kilo meter saja di Pelabuhan Merak saja hingga kini belum bisa diatasi. Bagaimana mau dibilang maju dan makmur," kata mantan Menteri Keuangan ini. Ia berharap para pemimpin negeri ini bersikap jujur kepada rakyatnya dan benar-benar mau mengabdi bagi kepentingan kemakmuran rakyat. (A-78/A-89)***
dalam membaca tesk Pancasila di hari besar dan istimewa kenegaraan. Dengan membaca 5 kalimat saja sudah mengalami kesulitan, apalagi ditambah dengan 45 butir nilai luhur Pancasila yang patut dihayati dan diamalkan. Alasan yang selama ini digunakan adalah karena sakit. Kata sakit ini perlu dikritisi lebih lanjut, apanya yang sakit? kalau fisik yang sakit seharusnya dapat diwakilkan dalam pembacaan. Tetapi bisa dilihat selama ini tidak ada yang mencirikan pejabat sakit secara fisik ketika membaca tesk Pancasila. Sebenarnya kesiapan para pejabat dalam membaca teks Pancasila merupakan hal yang disepelekan sehingga sering terjadi kesulitan bahkan sampai salah dan lupa membaca sila-sila dalam teks Pancasila. Sesuatu yang ironis, seorang yang sering berhadapan dengan masyarakat umum, bertemu dengan para pembesar Negara dan pemerintahan mengalami kesulitan dalam membaca teks Pancasila. Sepatutnya pula mereka adalah pemberi contoh tentang bagaimana kita menghayati dan mengamalkan Pancasila. Tetapi fakta yang terjadi belakangan ini mencerminkan ada rasa gugup dan beban psikologi dalam membaca tesk Pancasila. Memang aneh dan sulit diterima akal sehat kalau para pejabat masih mengalami hal demikian. Menghadapi para pendengar yang hadir memang perlu kesiapan fisik dan mental. Kalau masalah gugup dan beban psikologi lainnya menjadi kendala berarti secara mental pula para pemimpin yang diberikan kesempatan membaca teks Pancasila tersebut belum siap atau (sebenarnya) diragukan jiwa kepemimpinannya dalam memimpin suatu pemerintahan. Hal ini merupakan landasan bagi masyarakat untuk menilai pemimpinnya mengenai kepantasan dalam memegang suatu kekuasaan. Sebab membaca teks yang sakral sebaiknya dilakukan oleh pemimpin yang berjiwa besar bukan bermental lemah. Yang paling patut dipertanyakan atas fenomena salah baca teks Pancasila adalah seberapa besar rasa nasionalisme para pemimpin bangsa ini dalam mengemban kewajibannya yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Membaca tesk Pancasila yang merupakan landasan ia memimpin saja kesulitan apalagi memegang kekuasaan. Dapat dipastikan kalau hampir seluruh kebijakan yang dibuat tidak berlandaskan Pancasila. Kasus korupsi, penggelapan pajak, money loundering, dan kasus lainnya yang sering dilakukan oleh pejabat adalah bukti kalau mereka tidak Pancasilais, dan tidak nasionalis. Jika sudah jiwa nasionalisme dan nilai-nilai pancasila sudah terkikis maka jangan harap kebijakan yang berkeadilan ditemui di negeri ini. Ambilah bukti betapa Pancasila ditinggalkan oleh pemimpin bangsa ini. Agama dijadikan kedok bagi pemimpin yang ingin mencari popularitas, dan bersama-sama membangun tirani mayoritas, apakah bisa dikatakan berketuhanan jika demikian? Bencana dimana-mana, di Mentawai ada tsunami, di Wasior ada banjir bandang, di Yogyakarta ada letusan merapi, di kota-kota besar ada banjir, di gunung-gunung ada longsor. Ungkapan bahwa bencana adalah resiko hidup bagi manusia merupakan bukti nyata kalau pejabat tersebut tidak berperi-kemanusiaan ditengah derita para korban bencana. Di negeri permai Indosesia terdapat perang antar etnis, agama, suku dan ras memecah integrasi Indonesia, dan adanya kelompok separatis yang ingin memerdekakan diri namun malah masih saja terdapat pejabat yang korupsi dan tidak peduli sehingga saat ini disintegrasi bangsa terjadi di depan mata, inilah bentuk bahwa persatuan Indonesia menjadi masalah besar. Kalau masalah musyawarah untuk mufakat, secara nyata saat ini sudah jarang ditemui dalam pengambilan keputusan. Lebih banyak voting yang digunakan sehingga kepentingan golongan yang memiliki suara terbanyaklah yang terwakili. Apalagi masalah
keadilan sosial, kemiskinan dimana-mana, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Semua masalah tersebut adalah bukti nyata kalau Pancasila ditinggalkan oleh pemimpin kita. Pengamalan dan penghayatan nilai-nilai luhur Pancasila adalah hal yang sangat penting. Memang tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan apabila ada kesalahan dalam membaca teks Pancasila. Tetapi dengan adanya kesalahan dalam pemcaan teks Pancasila, tanggung jawab moral para pemimpin sebagai pengemban terdepan ideologi Pancasila dapat dinilai sangat buruk. Sehingga sakaralnya Pancasila sebagai ideologi bangsa dari waktu ke waktu akan ditinggalkan. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh komponen pemerintahan kembali pada landasan ideologi Pancasila tanpa ada terkecuali. Demi memupuk rasa nasionalisme dan menumbuhkan kembali kesakralan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pendidikan pancasila wajib diberikan sebagai pelajaran yang berkelanjutan dari tingkat bawah sampai tingkat paling atas, termasuk pendidikan pedoman, penghayatan dan pengamalan Pancasila kepada para pejabat Negara atau para pemegang kekuasaan demi tercapainya cita-cita nasional.
Model kepemimpinan dalam Perjanjian Baru didasarkan pada bagian Perjanjian Baru di Alkitab Kristen. Dalam Perjanjian Baru model kepemimpinan tidak hanya dominan ditampakkan oleh pelayan Tuhan (misalnya para rasul) tetapi juga ditampakkan oleh orang-orang yang memiliki status dalam masyarakat (misalnya raja, orang-orang Farisi dan Saduki). [1]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Kepemimpinan yang otoriter 2 Kepemimpinan Ideologis 3 Kepemimpinan Eksemplaris 4 Kepemimpinan sebagai hamba 5 Kepemimpinan sebagai gembala 6 Referensi 7 Lihat pula