Anda di halaman 1dari 24

ANALISIS IMPLEMENTASI PSAK 13 (PASCA ADOPSI IFRS) DAN

PENGARUHNYA TERHADAP LABA PERUSAHAAN




Oleh:

Yunni Angela Yustisia
NPM : 0811031061
Telepon : 089631566577
Email : yunniangela@yahoo.com
Pembimbing I : Susi, S.E., Akt., M.B.A., Ph.D.
Pembimbing II : Liza Alvia, S.E.,M.Sc. Akt.



ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan nilai properti investasi dan
laba perusahaan sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
Penelitian ini juga menganalisis perlakuan akuntansi properti investasi sebelum
dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang sudah menerapkan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) pada tahun 2009 dan memilih model nilai wajar untuk
menilai properti investasinya. Pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan uji-t, dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Terdapat perbedaan signifikan antara nilai
properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS),
tentang properti investasi, (2) Terdapat perbedaan signifikan antara jumlah total
aset sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), tentang
properti investasi, (3) Terdapat perbedaan signifikan antara laba perusahaan
sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti
investasi, dan (4) Perbedaan perlakuan akuntansi properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) adalah sebelum penerapan
PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan tidak diperbolehkan menilai properti
investasi dengan model nilai wajar sementara setelah penerapan perusahaan dapat
memilih menggunakan model biaya atau model nilai wajar yang akan diterapkan
secara konsisten.
Kata kunci : properti investasi, model biaya, model nilai wajar, perlakuan
akuntansi, dan laba perusahaan.

ANALYSIS ON IMPLEMENTATION OF PSAK 13 (POST-ADOPTION
IFRS) AND ITS INFLUENCE ON COMPANY PROFIT

Oleh:

Yunni Angela Yustisia
NPM : 0811031061
Telepon : 089631566577
Email : yunniangela@yahoo.com
Pembimbing I : Susi, S.E., Akt., M.B.A., Ph.D.
Pembimbing II : Liza Alvia, S.E.,M.Sc. Akt.


ABSTRAK


This study aims to analyze the difference in values of investment property and
profit before and after the implementation of PSAK 13 (post-adoption of IFRS).
The study also analyzes the accounting treatments of investment properties before
and after implementation of PSAK 13 (post-adoption of IFRS).
This study uses samples of selected companies that have applied PSAK 13 (post-
adoption of IFRS) in 2009 and choose fair value model to measure their
investment properties. Hypotheses are tested by using t-tes two related sample test
Wilcoxon at degree of significant 95% .
The results shows that: (1) There is a significant difference between the value of
investment properties before and after implementation of PSAK 13 (post-
adoption of IFRS) , (2) There is a significant difference between the total assets
before and after implementation of PSAK 13 (post- adoption of IFRS), (3) There
is a significant difference between net income before and after implementation of
PSAK 13 (post-adoption of IFRS), and (4) the difference of accounting treatment
of investment properties before and after implementation of PSAK 13 (after the
adoption of IFRS) is after implementation companies can choose to use the cost
model or fair value model to be applied consistently.
Key words: investment property, the cost model, fair value model, accounting
treatment, and company profits.




1. Latar Belakang

Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen di dalam
mengelola sumber daya perusahaan kepada para stakeholder-nya. Para
stakeholder yang terdiri atas investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan
kreditor usaha lainnya, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat menggunakan
laporan keuangan untuk berbagai pengambilan keputusan ekonomi mereka.

Akuntansi sebagai penyedia informasi bagi pengambil keputusan yang bersifat
ekonomi dipengaruhi oleh lingkungan bisnis yang terus menerus berubah karena
adanya globalisasi, baik lingkungan bisnis yang bertumbuh bagus, dalam keadaan
stagnasi maupun depresi. Kondisi ini menyebabkan perbedaan standar akuntansi
di berbagai negara.

Indonesia sendiri telah memiliki standar akuntansi yang berlaku di Indonesia.
Prinsip atau standar akuntansi yang secara umum dipakai di Indonesia tersebut
lebih dikenal dengan nama Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).
PSAK disusun dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Ikatan Akuntan
Indonesia adalah organisasi profesi akuntan yang ada di Indonesia. Seiring
dengan perkembangan bisnis dalam skala nasional dan internasional, Ikatan
Akuntansi Indonesia telah mencanangkan dilaksanakannya program konvergensi
International Financial Reporting Standards (IFRS) yang akan diberlakukan
secara penuh pada 1 Januari 2012. Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan
IAI Wibisana menyatakan dampak dari konvergensi IFRS ini yaitu relevansi
laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak menggunakan nilai wajar.

Salah satu penggunaan nilai wajar yang diadopsi oleh Ikatan Akuntan Indonesia
yaitu mengenai properti investasi yang diatur dalam PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS). Berbeda dengan PSAK 13 (1994) yang tidak mengizinkan menggunakan
metode nilai wajar dalam mengukur properti investasi, PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS) yang mulai efektif diberlakukan pada 1 Januari 2008 ini memberikan dua
alternatif pengukuran properti investasi yaitu dengan menggunakan model biaya
dan model nilai wajar yang harus diterapkan secara konsisten.

Penggunaan nilai wajar dianggap memberikan informasi yang lebih relevan dalam
pengambilan keputusan. Akibat dari adanya revaluasi aset menyebabkan nilai
aset tersebut bisa naik maupun turun. Selisih yang timbul akibat dari revaluasi
aset yang mengalami kenaikan nilai aset diakui sebagai surplus revaluasi yang
merupakan keuntungan bagi perusahaan, keuntungan yang diperoleh diakui di
laporan laba rugi, sehingga dapat menambah laba bagi perusahaan. Sedangkan
selisih penurunan revaluasi aset merupakan kerugian bagi perusahaan tersebut.
Penurunan nilai aset diakui sebagai rugi, sehingga kerugian dari penurunan nilai
aset dapat mengurangi laba yang diperoleh.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : (1) Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai
properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS),
(2) Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah total aset sebelum
dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), (3) Apakah terdapat
perbedaan yang signifikan pada laba perusahaan sebelum dan sesudah penerapan
PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), (4) Bagaimana perlakuan akuntansi properti
investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).

2. Landasan Teori
2.1 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 13 tentang Properti
Investasi
Di dalam International Financial Reporting Standards (IFRS) properti investasi
diatur dan diungkapkan dalam IAS 40 tentang investment property. Kemudian
IAS 40 tersebut diadopsi ke dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
No.13 (PSAK 13) tentang properti investasi yang direvisi pada tahun 2007 dan
disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia
(DSAK IAI).

Sebelum menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), Indonesia menggunakan
PSAK 13 tentang akuntansi untuk investasi yang dikeluarkan oleh DSAK sejak 7
september 1994. Dalam PSAK 13 (1994) investasi diklasifikasikan kedalam dua
kelompok, yaitu investasi lancar dan investasi jangka panjang. Tidak ada
pengaturan secara khusus dan tegas mengenai properti investasi karena PSAK 13
(1994) mengatur akuntansi untuk investasi secara umum dan properti investasi
termasuk di dalamnya. PSAK 13 (1994) tidak mengizinkan penggunaan model
nilai wajar dalam pengukuran properti investasi sehingga pengukuran dilakukan
dengan model biaya. Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) yang direvisi
pada tahun 2007 dan berlaku efektif untuk penyusunan laporan keuangan untuk
periode yang dimulai atau setelah 1 Januari 2008, properti investasi sudah diatur
secara khusus.

PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) membedakan antara properti investasi dan properti
yang digunakan sendiri. Properti yang digunakan sendiri (owner occupied
property) adalah properti yang dikuasai (oleh pemilik atau lessee melalui sewa
pembiayaan) untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa
atau untuk tujuan administratif.

Properti investasi dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk mendapatkan
kenaikan nilai atau keduanya. Dengan demikian properti investasi dapat
menghasilkan kas secara mandiri tanpa tergantung dengan aset lain yang dikuasai
entitas. Hal ini yang membedakan properti investasi dengan properti yang
digunakan sendiri. Properti yang digunakan sendiri menghasilkan kas dengan
besinergi dengan aset lain. Misalnya, tanah, bangunan, peralatan dan persediaan
digunakan secara bersama-sama untuk menghasilkan produk untuk dijual.

Pengertian Nilai Wajar (Fair Value)
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:13.1), nilai wajar adalah suatu jumlah
yang digunakan untuk mengukur aset yang dapat dipertukarkan melalui suatu
transaksi yang wajar (arms length transaction) yang melibatkan pihak-pihak
yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai.
Nilai wajar (fair value) dari suatu aset dapat ditentukan sesuai dengan nilai pasar.
Karena di dalam IFRS banyak menggunakan basis mark-to-market sebagai dasar
penilaian. Apabila tidak terdapat nilai pasar yang dapat dijadikan nilai wajar maka
dasar penilaian dapat menggunakan basis mark-to-model atau dengan
menggunakan teknik dengan bantuan jasa penilai independen.

Sedangkan menurut Greuning yang diterjemahkan oleh Tanujaya (2005:295)
nilai wajar adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran
aset atau penyelesaian kewajiban antara pihak-pihak yang paham (knowledgeable)
dan berkeinginan untuk melakukan transaksi yang wajar (arms length
transaction).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa nilai wajar yaitu suatu jumlah yang
dapat digunakan untuk mengukur aset yang bisa dipertukarkan melalui transaksi
yang wajar antara pihak-pihak yang berkeinginan dan yang memahami.
Keunggulan nilai wajar (fair value) antara lain :
1. Laporan keuangan menjadi lebih relevan untuk dasar pengambilan
keputusan
2. Meningkatkan keterbandingan laporan keuangan.
3. Informasi lebih dekat dengan apa yang diinginkan oleh pemakai laporan
keuangan.

Di Indonesia pada praktiknya data pasar resmi belum tersedia secara memadai.
sehingga penggunaan basis nilai wajar sebagai basis penilaian akan banyak
menggunakan basis mark-to-model atau dengan menggunakan teknik bantuan jasa
penilai independen.

Pengaruh Implementasi PSAK 13 Sebelum dan Setelah Adopsi IFRS
terhadap Laba Perusahaan
Dalam PSAK 13 (1994) suatu entitas hanya diperkenankan menggunakan model
biaya dan tidak diperkenankan menggunakan model nilai wajar. Properti
investasi dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan
dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. perusahaan melakukan perhitungan
depresiasi atas aset yang bersangkutan selama masa manfaatnya. Depresiasi
itulah yang akan menjadi beban tiap periode dimana perusahaan menggunakan
properti investasi.
Depresiasi yang dihitung oleh perusahaan pada tiap periode akan diakumulasikan
(dikumpulkan) dalam akun khusus yang disebut dengan akumulasi depresiasi.
Jadi akumulasi depresiasi dapat dikatakan sebagai bagian dari nilai aset tetap yang
sudah memberikan aliran manfaat ekonomis dan tidak lagi bisa memberikan
tambahan aliran manfaat ekonomis.
Beban dari depresiasi akan dilaporkan sebagai beban operasi dalam laporan laba
rugi. Akumulasi depresiasi akan dilaporkan di dalam neraca, sebagai pengurang
nilai perolehan aset tetap. Nilai perolehan aset tetap dikurangi dengan akumulasi
depresiasinya merupakan nilai buku dari aset tetap tersebut. Perhitungan
depresiasi yang berhubungan dengan beban operasi perusahaan membuat
perlakuan terhadap depresiasi berimplikasi langsung dalam perhitungan laba atau
rugi perusahaan.
Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan berhak memilih model
biaya atau model nilai wajar untuk menilai suatu aset properti investasi. Dengan
penggunaan nilai wajar maka perusahaan akan mendapatkan nilai yang realistis
dari sebuah aset properti investasi mereka, selisih yang terjadi dari penilaian
metode nilai wajar tersebut baik surplus ataupun defisit akan diakui sebagai
pendapatan / beban lain lain perusahaan, seperti yang juga dinyatakan oleh
PSAK 13 (2007) bahwa laba atau rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar atas
properti investasi harus diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.

Properti investasi yang diukur menggunakan nilai wajar tidak perlu disusutkan,
karena entitas selalu menyajikan nilai wajarnya setiap tanggal akhir periode
pelaporan keuangan, sehingga penyusutan yang dilakukan tidak akan memberikan
pengaruh apa pun terhadap nilai yang akan disajikan di laporan keuangan.

Berbagai penelitian tentang IFRS telah banyak dilakukan, namun fokus penelitian
tentang adopsi IFRS pada PSAK 13 tentang properti investasi di Indonesia dapat
dikatakan masih terbatas. Penelitian Ilham (2010) menyatakan bahwa penerapan
PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi yang mengizinkan
perusahaan menggunakan nilai wajar pada penilaian properti investasi berdampak
signifikan terhadap laba perusahaan.

2.2 Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Salah satu adopsi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap IFRS yaitu tentang
Investment Property (IAS 40) dengan merevisi PSAK 13 pada tahun 2007. PSAK
13 (revisi 2007) memberikan dua alternatif pengukuran properti investasi, yaitu
dengan menggunakan model biaya dan model nilai wajar yang harus diterapkan
oleh secara konsisten. Sebelum pengadopsian IFRS, PSAK 13 (1994) yang
diterapkan di Indonesia hanya mengizinkan penilaian properti investasi dengan
model biaya. Model biaya yang dimaksud di sini adalah model biaya yang sama
dengan yang diatur dalam standar akuntansi untuk aset tetap (PSAK No. 16
tentang Aset Tetap). Penerapan model biaya mensyaratkan entitas menyajikan
properti investasi pada biaya perolehan dikurangi akumulasi depresiasi.

Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan dapat memilih
menggunakan model biaya atau model nilai wajar Jika perusahaan memilih
pengukuran menggunakan nilai wajar, maka untuk setiap tanggal neraca,
perusahaan harus menghitung nilai wajar dari properti investasi. Dengan
penggunaan nilai wajar tersebut maka perusahaan akan mendapatkan nilai yang
realistis dari sebuah aset properti investasi mereka, selisih yang terjadi dari
penilaian metode nilai wajar tersebut baik surplus ataupun defisit akan diakui
sebagai pendapatan / beban lain lain perusahaan, hal ini tercermin pernyataan
pada pada PSAK 13 revisi 2007 par. 38 bahwa :
Laba atau rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar atas properti investasi
harus diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.

Dari penjelasan dan konsep yang telah dijelaskan diatas, peneliti merumuskan
hipotesis sebagai berikut:
1. Setelah menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan diperbolehkan
menggunakan model nilai wajar untuk menilai properti investasi. Sementara
PSAK 13 (1994) hanya memperbolehkan model biaya untuk menilai properti
investasi. Maka hipotesisnya adalah:
Ha
1
=

Ada perbedaan signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).

2. Setelah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), naik dan turunnya nilai
properti investasi akibat penerapan model nilai wajar oleh perusahaan akan
berpengaruh terhadap jumlah total aset. Maka hipotesisnya adalah:
Ha
2
=

Ada perbedaan signifikan antara total aset perusahaan sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).

3. Dalam PSAK 13 (1994) oerusahaan mencatat properti investasi sebesar biaya
perolehan dikurangi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan aset.
Depresiasi tersebut akan menjadi beban tiap periode dimana perusahaan
menggunakan properti investasi. Perhitungan depresiasi yang berhubungan
dengan beban operasi perusahaan akan berimplikasi langsung terhadap
perhitungan laba atau rugi perusahaan. Sementara penerapan PSAK 13(pasca
adopsi IFRS) yang membolehkan penggunaan nilai wajar dalam menilai
properti investasi menyebabkan nilai aset tersebut bisa naik maupun turun.
Selisih yang timbul akibat revaluasi aset akan diakui di laporan labarugi
perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesisnya adalah:
Ha
2
= Ada perbedaan signifikan antara laba sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).

Kerangka pemikiran penelitian ini akan dideskripsikan pada gambar berikut:
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran



















Sebelum adopsi
IFRS
Properti Investasi
PSAK 13
Setelah adopsi
IFRS
Nilai wajar
Model biaya
Model biaya

LABA PERUSAHAAN
Biaya
depresiasi
Surplus/ Defisit
Nilai wajar
3. Metode Penelitian
3.1 Sampel
Dalam penelitian ini populasi yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007
2009. Untuk menentukan sampel digunakan metode purposive sampling.
Berdasarkan populasi yang diambil penulis, berikut adalah kriteria pengambilan
sampel yang digunakan penulis :
a. Sampel yang diambil adalah sampel yang sesuai dengan judul penelitian, yaitu
laporan keuangan yang belum menggunakan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
pada tahun 2007 dan laporan keuangan yang sudah menggunakan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) pada tahun 2009.
b. Laporan keuangan yang sudah menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
pada tahun 2009 menilai properti investasi dengan model nilai wajar.
c. Tidak ada penambahan nilai properti investasi yang disebabkan oleh
pembelian aset selama tahun 2007-2009. Hal ini untuk mengontrol bahwa
kenaikan nilai properti investasi adalah disebabkan oleh perubahan nilai wajar.

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah laba. Sedangkan variabel
independennya adalah nilai properti investasi yang diukur dengan model nilai
wajar dan nilai properti investasi yang diukur dengan model biaya historis.






Tabel 3.1
Operasional Variabel

Variabel Konsep Variabel Indikator Skala
Model
nilai wajar
Jumlah yang dipakai untuk
mempertukarkan suatu aset antara
pihak pihak yang berkeinginan
dan memiliki pengetahuan
memadai dalam suatu transaksi
dengan wajar
PSAK 13 (revisi 2007)
Nilai wajar properti
dan total aset
investasi pada tahun
2009
Rasio
Model
biaya
historis
setelah diakui sebagai aset,
suatu aset tetap dicatat sebesar
biaya perolehan dikurangi
akumulasi penyusutan dan rugi
penurunan nilai aset
PSAK 16 (revisi 2007)

Nilai properti
investasi dan total
aset dihitung
dengan model biaya
historis
rasio
Laba
(Y)

Laba (income) adalah selisih
lebih pendapatan atas beban
sehubungan dengan usaha untuk
memperoleh pendapatan tersebut
selama periode tertentu.
(Soemarso S.R. 2005 ;245)
Laba bersih =
Penjualan HPP
Beban Operasi +
Pendapatan lain-lain
beban kerugian
lain-lain beban
pajak.
(Jerry J. Weygand.
2008;200)
Rasio


3.3 Metode Analisis Data
A. Analisis Deskriptif
Menurut Sugiyono (2008), analisis deskriptif adalah statistik yang digunakan
untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data
yang telah terkumpul sebagimana adanya tanpa bermaksud mebuat kesimpulan
yang berlaku untuk umum atau generalisasi


B. Uji Beda Dua Rata-Rata Berpasangan (t-test)
Dalam penelitian ini, akan di uji dengan uji t. Menurut Kuncoro (2004), uji t
digunakan untuk mengetahui apakah suatu peristiwa tersebut berpengaruh
signnifikan atau tidak.
H
1
=

Ada perbedaan signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
H
2
=

Ada perbedaan signifikan antara nilai total aset sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
H
3
= Ada perbedaan signifikan antara laba perusahaan sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).

C. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t pada tingkat keyakinan
95% dengan tingkat kesalahan analisi ( ) 5%. Kriteria penerimaan atau
penolakan hipotesis akan didasarkan pada nilai p-value. Keputusan bedasarkan
probabilitas sebagai berikut.
Jika p-value > 0,05 maka hipotesis ditolak (tidak signifikan)
Jika p-value < 0,05 maka hipotesis diterima (signifikan).

Apabila hipotesis diterima, hal itu menunjukkan bahwa variabel tersebut memang
berpengaruh terhadap nilai properti investasi dan laba perusahaan. Namun jika
ditolak, berarti variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap nilai properti
investasi dan laba perusahaan.

4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Statistik Deskriptif Sebelum dan Setelah Penerapan PSAK 13 (Pasca
Adosi IFRS)
Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan SPSS 18.0.0 for
Windows, diperoleh statistik deskriptif yang memberikan penjelasan mengenai
nilai minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata (mean) dan nilai standar deviasi
dari variabel-variabel penelitian. Berikut ini merupakan gambaran atas statistik
deskriptif masing-masing variabel :
1. Nilai Properti Investasi
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif
Tahun
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
2007 7 Rp655.467.186 Rp62.000.000.000 Rp29.572.694.119,71 Rp18.914.195.981,893
2009 7 Rp27.944.000.000 Rp217.000.000.000 Rp81.288.744.368,43 Rp78.461.680.588,061




Sumber: Data diolah (lampiran 2)


Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa setelah penerapan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) terdapat kenaikan nilai properti Investasi sebesar 174,88%
ata sebesar Rp 51.716.050.248,72 yaitu naik dari Rp 29.572.694.119,71 menjadi
Rp 81.288.744.368.
Dapat kita lihat nilai minimum properti investasi sebelum diterapkannya PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) terdapat pada PT Garuda Indonesia Tbk dan nilai maksimum
terdapat pada PT Astra Internasional Tbk Sedangkan setelah penerapan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) nilai minimum properti investasi terdapat pada PT Asuransi
Bina Dana Arta Tbk, sementara nilai maksimum terdapat pada PT Astra
Internasional Tbk.

2. Total Aset
Tabel 4.2
Statistik Deskriptif

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
2007 7 Rp181.709.227.000 Rp63.250.000.000.000 Rp11.178.323.978.895 Rp23.249.207.023.756
2009 7 Rp186.853.913.000 Rp88.938.000.000.000 Rp15.720.652.897.464 Rp32.714.624.531.000


Sumber: Data diolah (lampiran 2)


Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa setelah penerapan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) terdapat kenaikan total aset sebesar 8p4.342.328.918.369
atau 40,63% dari Rp11.178.323.978.895 menjadi Rp15.720.652.897.464. Dapat
kita lihat nilai minimum total aset sebelum diterapkannya PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS) terdapat pada PT Asuransi Bintang Tbk dan nilai maksimum terdapat pada
PT Astra Internasional Tbk. Sedangkan setelah penerapan PSAK 13 (pasca
adopsi IFRS) nilai minimum laba bersih terdapat pada PT Asuransi Bintang Tbk,
sementara nilai maksimum terdapat pada PT Astra Internasional Tbk.




3. Laba Bersih
Tabel 4.3
Statistik Deskriptif

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
2007 7 (Rp12.295.709.000) Rp6.519.000.000.000 Rp1.012.041.372.242,00 Rp2.433.754.874.343,498
2009 7 Rp3.636.627.000 Rp10.040.000.000.000 Rp1.700.121.569.525,00 Rp3.701.310.362.724,221


Sumber: Data diolah (lampiran 2)

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa setelah penerapan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) terdapat kenaikan laba bersih sebesar Rp 688.080.197.283
atau 67,99% dari Rp 1.012.041.372.242 menjadi Rp 1.700.121.569.525. Dapat
kita lihat nilai minimum laba bersih sebelum diterapkannya PSAK 13 (pasca
adopsi IFRS) terdapat pada PT Asuransi Bintang Tbk dan nilai maksimum
terdapat pada PT Astra Internasional Tbk Sedangkan setelah penerapan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS) nilai minimum laba bersih terdapat pada PT Asuransi
Bintang Tbk, sementara nilai maksimum terdapat pada PT Astra Internasional
Tbk.

4.2 Uji Hipotesis
4.2.1 Perbedaan Nilai Properti Investasi Sebelum dan Sesudah Penerapan
PSAK 13 (Pasca Adopsi IFRS)
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 ( pasca adopsi IFRS) sebagaimana dihipotesiskan
dalam Ha
1
berikut:
Ha
1
: Ada perbedaan signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
Pengujian hipotesis menggunakan alat analisis two related sample test Wilcoxon.
Hasil pengujian hipotesis disajikan pada tabel 4.4:
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Hipotesis Nilai Properti Investasi
Nilai Properti Investasi Sig. (2-tailed) Keterangan
Pasca adopsi IFRS 0,018 Ha diterima
Sumber: Data diolah (lampiran 3)

Dalam hipotesis ini peneliti menguji nilai properti investasi setahun setelah
menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) yang dibandingkan dengan nilai
properti investasi setahun sebelum PSAK 13 (pasca adopsi IFRS). Kriteria
penerimaan atau penolakan hipotesis akan didasarkan pada nilai p-value dengan
tingkat signifikan = 0,05.Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan p
(0,018) < . Berdasarkan hasil tersebut maka Ha diterima dan Ho ditolak.

4.2.2 Perbedaan Jumlah Total Aset Sebelum dan Sesudah Penerapan PSAK
13 (Pasca Adopsi IFRS)
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan total aset sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 ( pasca adopsi IFRS) sebagaimana dihipotesiskan dalam Ha
2
berikut:
Ha
2
: Ada perbedaan signifikan antara total aset sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
Pengujian hipotesis menggunakan alat analisis two related sample test Wilcoxon.
Hasil pengujian hipotesis disajikan pada tabel 4.5:
Tabel 4.5 Hasil Pengujian Hipotesis Total Aset
Total Aset Sig. (2-tailed) Keterangan
Pasca adopsi IFRS 0,043 Ha diterima
Sumber: Data diolah (lampiran 3)

Dalam hipotesis ini peneliti menguji jumlah total aset setahun setelah menerapkan
PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) yang dibandingkan dengan jumlah total aset
setahun sebelum PSAK 13 (pasca adopsi IFRS). Kriteria penerimaan atau
penolakan hipotesis akan didasarkan pada nilai p-value dengan tingkat signifikan
= 0,05.Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan p (0,043) < .
Berdasarkan hasil tersebut maka Ha diterima dan Ho ditolak.

4.2.3 Perbedaan Laba Perusahaan Sebelum dan Sesudah Penerapan PSAK
13 (Pasca Adopsi IFRS)
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan laba bersih sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 ( pasca adopsi IFRS) sebagaimana dihipotesiskan dalam Ha
2
berikut:
Ha
2
: Ada perbedaan signifikan antara laba bersih sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
Pengujian hipotesis menggunakan alat analisis two related sample test Wilcoxon.
Hasil pengujian hipotesis disajikan pada tabel 4.6:
Tabel 4.6 Hasil Pengujian Hipotesis Laba bersih
Laba bersih Sig. (2-tailed) Keterangan
Pasca adopsi IFRS 0,018 Ha diterima
Sumber: Data diolah (lampiran 3)
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan p (0,018) < . Berdasarkan hasil
tersebut maka Ha diterima dan Ho ditolak.

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
4.3.1 Hipotesis 1
Hasil penelitian yang dilakukan menggambarkan adanya perbedaan signifikan
antara nilai properti investasi sebelum dan setelah penerapan PSAK 13 (pasca
adopsi IFRS). Adanya revaluasi aset menyebabkan nilai properti investasi bisa
naik maupun turun. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, p (0,018) <
menunjukkan adanya peningkatan nilai properti investasi setelah perusahaan
menerapkan model nilai wajar untuk menilai properti investasinya. Hal ini bisa
disebabkan oleh meningkatnya harga pasar properti. Dengan ini hasil pengujian
hipotesis pertama diterima.

4.3.2 Hipotesis 2
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara
jumlah total aset sebelum dan setelah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
Hal ini disebabkan oleh naiknya nilai properti investasi akibat revaluasi. Naik dan
turunnya nilai properti investasi berpengaruh terhadap jumlah total aset
perusahaan. Dengan hasil pengujian kedua yang menujukkan p (0,043) < maka
hipotesis kedua diterima.

4.3.3 Hipotesis 3
Hasil uji hipotesis ini menggambarkan adanya peningkatan Laba bersih pada
perusahaan setelah menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS). Hal ini bisa
disebabkan karena adanya kenaikan nilai wajar properti investasi dari tahun
sebelumnya, dimana surplus dari kenaikan nilai properti investasi tersebut di catat
dalam laporan laba rugi tahun berjalan sesuai dengan yang telah diatur dalam
PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Ilham (2010) yang menyatakan bahwa
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi yang
mengizinkan perusahaan menggunakan nilai wajar pada penilaian properti
investasi berdampak signifikan terhadap laba perusahaan. Dengan hasil pengujian
kedua yang menujukkan p (0,018) < maka hipotesis kedua diterima.

5. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan atas implementasi PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS) mengenai properti investasi dan pengaruhnya terhadap laba perusahaan,
maka penulis mengambil simpulan sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti
investasi.
2. Terdapat perbedaan signifikan antara jumlah total aset sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti
investasi
3. Terdapat perbedaan signifikan antara laba perusahaan sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti
investasi.
4. Perbedaan perlakuan akuntansi properti investasi sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) adalah sebelum penerapan
PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan tidak diperbolehkan menilai
properti investasi dengan model nilai wajar sementara setelah penerapan
perusahaan dapat memilih menggunakan model biaya atau model nilai
wajar yang akan diterapkan secara konsisten.

5.2 Saran
Dari kesimpulan yang diberikan, penulis memberikan beberapa saran yang
mungkin bisa dipertimbangkan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian
selanjutnya mengenai implementasi PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) dan penerapan
nilai wajar agar penelitian memperoleh hasil yang lebih baik antara lain :
1. Penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah sampel penelitian untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat secara statistik.
2. Penelitian selanjutnya dapat meneliti dampak penerapan nilai wajar
terhadap aspek lain dalam perusahaan selain laba rugi perusahaan.




















DAFTAR PUSTAKA



Fahmi ,Irham. 2006. Analisis Investasi dalam Perspetif Ekonomi dan Politik.
Bandung: Refika Aditama

Greuning, Hennie Van. 2005. International Financial Reporting Standards: A
Practical Guide. Jakarta : Salemba Empat. Penerjemah: Edward Tanujaya

Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi. Jakarta: Salemba Empat.

Harahap, Sofyan Syafri. 2007. Teori Akuntansi. Jakarta: Rajawali Pers.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009.
Jakarta : Salemba Empat.

Kieso, Donald E, Jerry J. Weygandt dan Terry D. Warfield. 2008. Akuntansi
Intermediate. Jakarta : Erlangga.

Kuncoro. 2004. Metode Penelitian. Jakarta : Prenhallindo.

Ilham, Panji(2010) : Penerapan International Financial Reporting Standarts
(IFRS) Mengenai Investment Property Pengaruhnya Terhadap Laba
Perusahaan. Skripsi. Dikutip dari Library Online Unikom.ac.id

Purwanti, Dyah. Bahan Ajar Akuntansi Keuangan Menengah I. Program Diploma
III Keuangan Spesialisasi Akuntansi Pemerintahan.

Soemarso, SR. 2005. Akuntansi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka Citra.
Taswan. 2008. Akuntansi Perbankan Transaksi dalam Valuta Rupiah edisi
ketiga.Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

http://asil4dworld.wordpress.com

http://finance.detik.com/read/2009/05/28/110140/1138564/5/konvergensi-ifrs-
berlaku-2012

http://www.iaiglobal.or.id/berita/detail.php?catid=&id=184

http://mappi.co.id

http://staff.blog.ui.ac.id/martani/

www.idx.co.id.

www.sai.ugm.ac.id/site/images/pdf/ifrs.pdf

Anda mungkin juga menyukai