Anda di halaman 1dari 36

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Visus atau visual acuity (VA) merupakan salah satu ukuran dari ambang penglihatan yang akan dibicarakan pada makalah ini, oleh karena kaitannya yang erat dengan masalah refraksi. Kata acuity berasal dari bahasa Latin yaitu acuitas yang berarti ketajaman. Maka VA berkenaan dengan ketajaman atau kejelasan

penglihatan seseorang. VA menggambarkan kemampuan seseorang untuk melihat dan mengidentifikasi suatu objek. Oleh karena itu, pemeriksaan VA merupakan suatu pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk melihat fungsi penglihatan seseorang. VA seperti sudah dijelaskan di atas merupakan kemampuan mata untuk melihat hal-hal yang detil. Untuk mencapai hal ini, sistem optik dari mata harus memproyeksikan bayangan yang fokus pada fovea, sehingga memiliki resolusi dan warna terbaik. Namun tajam penglihatan seseorang dengan penglihatan warna seseorang merupakan dua hal yang berbeda. Masingmasing dapat dipengaruhi secara terpisah tanpa mempengaruhi fungsi yang lain. Korteks visual merupakan bagian dari korteks serebral pada bagian posterior dari otak yang bertanggung jawab dalam memproses suatu rangsang penglihatan. Sepuluh derajat lapang pandang di sekitar makula manusia diwakili oleh 60% dari korteks visual. Saraf-saraf di bagian tersebut diperkirakan terlibat dalam proses VA. Cahaya berjalan dari suatu objek ke fovea melalui suatu sumbu imajiner yang dinamakan aksis visual. Struktur-struktur yang terdapat pada aksis ini mempengaruhi kualitas penglihatan seseorang. Struktur ini antara lain lapisan air mata, kornea, humor akuous, pupil, lensa, humor vitreous dan terakhir adalah retina. Refraksi adalah perubahan arah dari suatu gelombang (cahaya atau suara) ketika melewati medium yang berbeda indeks refraksinya. Kesalahan refraksi akan mempengaruhi VA oleh karena bayangan tidak jatuh tepat pada retina. Hal ini akan

memburamkan gambaran detil dari suatu objek. Secara garis besar kelainan refraksi dibagi menjadi miopia, hipermetropia, pressbiopia dan

astigmatisme. Kelainan-kelainan ini akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah 1. Jelaskan konsep penyakit, penatalaksanaan, dan askep dari miopi? 2. Jelaskan konsep penyakit, hipermetropi? 3. Jelaskan konsep penyakit, penatalaksanaan astigmatisma? dan askep dari penatalaksanaan dan askep dari

1.3 Tujuan 1. Mampu menjelaskan konsep penyakit dan penatalaksanaan dari miopi. 2. Menjelaskan konsep penyakit dan penatalaksanaan dan askep dari hipermetropi. 3. Menjelaskan konsep penyakit dan penatalaksanaan dan askep dari astigmatisma.

1.4 Manfaat Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang penanganan dan penyakit miopi, hipermetropi, dan astigmatisma.

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 MIOPI 2.1.1 Definisi miopi Miopi adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan atau kerusakan refraksi mata sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina ( bintik kuning ) dimana sistem akomodasi berkurang. Pasien dengan myopi akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat sedangkan melihat jauh kabur atau pasien adalah rabun jauh. Pasien miopi mempunyai pungtum remotum ( titik terjauh yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia. Mata minus / myopi / short sighred eye adalah : keadaan pada mata dimana cahaya/benda yang jauh letaknya jatuh/difokuskan didepan retina/selpaut jala/bintik kuning. Myopi merupakan mata dengan daya lensa positif yang lebih kuat sehingga sinar yang sejajar atau datang dari tak terhingga difokuskan didepan retina. Kelainan ini diperbaiki dengan lensa negatif sehingga bayangan benda tergeser ke belakang dan diatur dan tepat jatuh diretina (Mansjoer, 2002). Myopi adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan tidak berakomodasi dibiaskan pada satu titik di depan retina. Terdapat dua teori utama tentang terjadinya pemanjangan sumbu bola mata pada myopia yaitu: 1. Teori biologik menganggap pemanjangan sumbu bola mata sebagai akibat kelainan pertumbuhan retina(overgrowth) 2. Teori mekanik mengemukakan penekanan (stress) sklera sebagai penyebab pemanjangan tersebut.

Pada rabun jauh (myopi) penderita selalu berusaha memicingkan matanya agar dapat melihat lebih jelas objek-objek yang jauh letaknya. Hal ini adalah ciri khas utama dari penderita myopi. Myopi paling banyak terjadi pada usia anak-anak dan ditemukan secara tak sengaja pada saat skrining pemeriksaan mata di sekolah. Pada umumnya memang hal ini disebabkan oleh keturunan. Selain karena faktor keturunan, myopi juga bisa disebabkan oleh faktor kelengkungan kornea maupun kelainan bentuk lensa mata. Ciri khas lain dari myopi ini adalah sifatnya yang progresif hingga pada usia remaja (hal ini dikarenakan faktor panjang sumbu bola mata yang bertambah seiring pertumbuhan anak) dan kemudian progresifitasnya menurun pada usia dewasa muda. Pertambahan derajat myopia

membutuhkan kaca mata yang makin berat kekuatannya, karena itu pada masa usia dini dianjurkan agar pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Tipe / Bentuk myopi yaitu: 1) Myopi Axial Dalam hal ini, terjadinya myopi akibat panjang sumbu bola mata (diameter Antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal, refraktif power normal dan tipe mata ini lebih besar dari normal. 2) Myopia Kurvatura Dalam hal ini terjadinya myopi diakibatkan oleh perubahan

darikelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan dari pada lensa seperti yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola mata normal. 3) Perubahan Index Refraksi Perubahan indeks refraksi atau myopi refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang terjadi pada penderita Diabetes Melitus sehingga pembiasan lebih kuat. 4) Perubahan Posisi Lensa Pergerakan lensa yang lebih ke anterior setelah operasi glaucoma berhubungan dengan terjadinya myopi.

Myopi

dikategorikan

berbahaya

apabila

berpotensi

untuk

menimbulkan kebutaan bagi penderitanya, karena tidak bisa diatasi dengan pemberian kacamata. Myopi berbahaya ini dibarengi dengan kerapuhan dari selaput jala (retina) yang makin lama makin menipis dari waktu ke waktu. Pada puncaknya proses penipisan ini menimbulkan perobekan pada selaput jala (retina), yang membutuhkan tindakan bedah sedini mungkin untuk pemulihannya. Tingkat keberhasilan pemulihan penglihatan akibat hal ini sangat tergantung pada kecepatan tindakan penanggulangannya.

2.1.2 Etiologi Etiologi miopia dipengaruhi berbagai faktor, antara lain : 1. Genetika (Herediter) Penelitian genetika menunjukkan bahwa miopia ringan dan sedang biasanya bersifat poligenik, sedangkan miopi berat bersifat monogenik. Penelitian pada pasangan kembar monozigot menunjukkan bahwa jika salah satu dari pasangan kembar ini menderita miopia, terdapat risiko sebesar 74 % pada pasangannya untuk menderita miopi juga dengan perbedaan kekuatan lensa di bawah 0,5 D. 2. Nutrisi Nutrisi diduga terlibat pada perkembangan kelainan-kelainan refraksi. Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan malnutrisi yang berat terdapat prevalensi kelainan refraksi (ametropia, astigmatisma, anisometropia) yang tinggi. 3. Tekanan Intraokuler Peningkatan tekanan intraokuler atau peningkatan tekanan vena diduga dapat menyebabkan jaringan sklera teregang. Hal ini ditunjang oleh penelitian pada monyet, yang mana ekornya digantung sehingga kepalanya terletak di bawah. Pada monyet-monyet tersebut ternyata timbul miopi.

2.1.3 Patofisiologi

KELAINAN REFRAKSI

MIOPIA

HIPERMETROP I

PRESBIOPIA

ASTIGMATISM US

M. Aksial

M. Refraktif

H. Aksial

H. Refraktif

Meningkatnya Umur

Kelainan Kornea

Sumbu mata lebih panjang

Indeks bias media optik meningkat

Sumbu mata lebih pendek

Indeks bias media optik berkurang

Otot akomodas i lemah

Lensa mengeras

Perubahan lengkung kornea

Sinar sejajar dibias di depan retina

Sinar sejajar dibias di belakang retina

Kehilangan elastisitas untuk menjadi cembung

Berkas cahaya masuk pada berbagai bidang

Kabur melihat dekat

Kabur melihat jauh

Sinar masuk dibiaskan pada tempat yang berbeda

Perubahan sensori perseptual (visual)

Diplopia

Resiko Cidera

Gangguan Aktivitas

Usaha Pemfokusan Pandangan

Pusing

2.1.4 Manifestasi klinik Penglihatan kabur atau mata berkedip ketika mata mencoba melihat suatu objek dengan jarak jauh ( anak-anak sering tidak dapat membaca tulisan di papan tulis tetapi mereka dapat dengan mudah membaca tulisan dalam sebuah buku. Penglihatan untuk jauh kabur, sedangkan untuk dekat jelas. Jika derajat miopianya terlalu tinggi, sehingga letak pungtum remotum kedua mata terlalu dekat, maka kedua mata selalu harus melihat dalam posisi kovergensi, dan hal ini mungkin menimbulkan keluhan (astenovergen) . Mungkin juga posisi konvergensi itu menetap, sehingga terjadi strabismus konvergen (estropia). Apabila terdapat myopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata yang lain dapat terjadi ambliopia pada mata yang myopianya lebih tinggi. Mata ambliopia akan bergulir ke temporal yang disebut strabismus divergen (eksotropia) (Illyas,2005). Pasien dengan myopi akan memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang penderita myopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien myopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi.bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau esoptropia (Sidarta, 2005).

2.1.5 Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan proses yang mendasarinya: 1. Miopia aksial Miopia tipe ini disebabkan oleh karena diameter anteroposterior dari bola mata bertambah panjang. Komponen refraktif lainnya berada dalam batas normal.

2. Miopia refraksional Miopia ini disebabkan kelainan pada komponen-komponen refraktif pada mata seperti : a. Lensa terlalu cembung, misalnya akibat cairan mata masuk ke lensa pada katarak intumesen. b. Lengkung kornea terlalu cembung, misalnya pada keratokonus. c. Indek bias lensa yang meninggi, seperti pada diabetes mellitus. Klasifikasi berdasarkan Onset terjadinya a. Juvenile-Onset Myopia (JOM) JOM didefinisikan sebagai miopia dengan onset antara 7-16 tahun yang disebabkan terutama oleh karena pertumbuhan sumbu aksial dari bola mata yang fisiologis. Esophoria, astigmatisma, prematuritas, riwayat keluarga dan kerja berlebihan yang menggunakan penglihatan dekat merupakan faktor-faktor risiko yang dilaporkan oleh berbagai penelitian. Pada wanita, peningkatan prevalensi miopia terbesar terjadi pada usia 910 tahun, sementara pada laki-laki terjadi pada usia 11-12 tahun. Semakin dini onset dari miopia, semakin besar progresi dari miopianya. Miopia yang mulai terjadi pada usia 16 tahun biasanya lebih ringan dan lebih jarang ditemukan. Progresi dari miopia biasanya berhenti pada usia remaja ( pada usia 16 tahun, pada usia 15 tahun) b. Adult-Onset Myopia (AOM) AOM dimulai pada usia 20 tahun. Kerja mata yang berlebihan pada penglihatan dekat merupakan faktor risiko dari perkembangan miopia. Klasifikasi Miopia berdasarkan beratnya 1. Miopia ringan < -3,00 D 2. Miopia sedang -3,00 s/d -6,00 D 3. Miopia berat -6,00 s/d -9,00 D 4. Miopia sangat berat >-9,00 D

2.1.6 Gejala Gejala-gejala dari miopia adalah penglihatan yang buram jika melihat jauh. Banyak penderita, terutama anak-anak yang tidak sadar akan

kelainannya. Kelainan tersebut baru terdeteksi ketika sekolah mengadakan pemeriksaan mata. Keluhan lain yang sering dirasakan adalah mata lelah (astenopia). Namun keluhan sakit kepala lebih jarang dibandingkan dengan hipermetropia. Penderita miopia juga sering memicingkan matanya agar penglihatannya lebih jelas. Mekanismenya serupa dengan mekanisme Pin Hole Test yaitu mengurangi aberasi cahaya yang terjadi. Seseorang dengan miopia juga selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang akan dilihatnya. Penderita miopia biasanya senang membaca, apakah hal ini disebabkan kemudahan untuk membaca dekat, belum diketahui dengan pasti. Gejala-gejala myopi juga terdiri dari: 1) Gejala subjektif : a. Kabur bila melihat jauh. b. Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat. c. Lekas lelah bila membaca ( karena konvergensi yang tidak sesuai dengan akomodasi ). d. Astenovergens. 2) Gejala objektif : a) Myopi simpleks : Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relative lebar. Kadang-kadang ditemukan bola mata yang agak menonjol. Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal atau dapat disertai kresen myopia ( myopic cresent ) yang ringan di sekitar papil saraf optik. b) Myopi patologik : Gambaran pada segmen anterior serupa dengan myopia simpleks. Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa kelainan-kelainan pada: Badan kaca : dapat ditemukan kekeruhan berupa pendarahan atau degenarasi yang terlihat sebagai floaters, atau bendabenda yang mengapung dalam badan kaca. Kadang-kadang

ditemukan ablasi badan kaca yang dianggap belum jelas hubungannya dengan keadaan myopia. Papil saraf optic : terlihat pigmentasi peripapil, kresen myopia, papil terlihat lebih pucat yang meluas terutama ke bagian temporal. Kresen myopia dapat ke seluruh lingkaran papil sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid yang atrofi dan pigmentasi yang tidak teratur. Makula: Berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang ditemukan pendarahan subretina pada daerah macula. Retina bagian perifer: Berupa degenersi kista retina bagian perifer Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid dan retina. Akibat penipisan ini maka bayangan koroid tampak lebih jelas dan disebut sebagai fundus tigroid (Illyas,2005).

2.1.7 Pencegahan Pencegahan miopi salah satunya dengan cara tidak membaca dalam keadaan gelap dan menonton TV dengan jarak yang dekat. Pada beberapa tahun lalu, penurunan pelebaran mata dimaksudkan untuk salah satu pengobatan yang telah dikembangkan untuk anak-anak, tetapi ternyata terapi tersebut tidak efektif. Penggunaan kacamata dan kontak lensa mempengaruhi perkembangan myopia dalam akhir tahun ini. Beberapa dokter yang menggunakan pengobatan klinik dan para peneliti merekomendasikan kekuatan lebih ( konvex ) pada lensa kacamata yang dapat dipakai untuk melihat jauh dan dekat. Para pelajar Malaysia juga baru-baru ini melaporkan bahwa ahli ilmu pengetahuan yang baru menyatakan bahwa pembentukan atau perbaikan pada penderita myopia disebabkan karena melajunya pertumbuhan myopi, ini juga terdapat dalam pertanyaan-pertanyaan klinis. Banyak pengobatan myopi mengalami kesulitan dan juga terdapat banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, beberapa grup kontrol cukup menutupi kekurangan tersebut.

10

Sampai sejauh ini yang dilakukan adalah mencoba mencari bagaimana mencegah kelainan refraksi pada anak atau mencegah jangan sampai menjadi parah. Biasanya dokter akan melakukan beberapa tindakan seperti pengobatan laser, obat tetes tertentu untuk membantu penglihatan, operasi, penggunaan lensa kontak dan penggunaan kacamata. Pencegahan lainnya adalah dengan melakukan visual hygiene berikut ini: a. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk. Hal yang perlu diperhatikan adalah sejak kecil anak dibiasakan duduk dengan posisi tegak, dan memegang alat tulis dengan benar. Lakukan istirahat tiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau melihat TV. b. Batasi jam membaca. Aturlah jarak baca yang tepat (30 centimeter), dan gunakanlah penerangan yang cukup. Kalau memungkinkan untuk anakanak diberikan kursi yang bisa diatur tingginya sehingga jarak bacanya selalu 30 cm. Membaca dengan posisi tidur atau tengkurap bukanlah kebiasaan yang baik. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau bergantian melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah myopi (Curtin, 2002).

2.1.8 Penatalaksanaan 1) Penatalaksanaan Nonfarmakologi Kacamata, kontak lensa, dan operasi refraksi adalah beberapa pilihan untuk mengobati gejala-gejala visual pada pada penderita myopia. Dalam ilmu keratotology kontak lensa yang digunakan adalah adalah kontak lensa yang keras atau kaku untuk pemerataan kornea yang berfungsi untuk mengurangi miopia. Latihan pergerakan mata dan teknik relaksasi. Para pelaksana dan penganjur terapi alternatif ini sering

merekomendasikan latihan pergerakan mata dan teknik relaksasi seperti cara menahan (pencegahan). Akan tetapi, kemanjuran dari latihan ini dibantah oleh para ahli pengetahuan dan para praktisi peduli mata. Pada tahun 2005, dilakukan peninjauan ilmiah pada beberapa subjek. Dari peninjauan tersebut disimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti (fakta) ilmiah yang menyatakan

11

bahwa

latihan

pergerakan

mata

adalah

pengobatan

myopi

yang

efektif. Terapi dengan menggunakan laser dengan bantuan keratomilesis (LASIK) atau operasi lasik mata, yang telah populer dan banyak digunakan para ahli bedah untuk mengobati miopi. Dalam prosedurnya dilakukan pergantian ukuran kornea mata dan dirubahnya tingkat miopia dengan menggunakan sebuah laser. Selain lasik digunakan juga terapi lain yaitu Photorefractive Keratotomy (PRK) untuk jangka pendek, tetapi ini menggunakan konsep yang sama yaitu dengan pergantian kembali kornea mata tetapi menggunakan prosedur yang berbeda. Selain itu ada juga pengobatan yang dilakukan tanpa operasi yaitu orthokeratologi dan pemotongan jaringan kornea mata. Orang-orang dengan miopi rendah akan lebih baik bila menggunakan teknik ini. Orthokeratologi menggunakan kontak lensa secara berangsurangsur dan pergantian sementara lekukan kornea. Pemotongan jaringan kornea mata menggunakan bahan-bahan plastik yang ditanamkan ke dalam kornea mata untuk mengganti kornea yang rusak. 2) Penatalaksanaan Farmakologi Obat yang digunakan untuk penderita miopi adalah obat tetes mata untuk mensterilisasi kotoran yang masuk ke dalam mata. Obat-obat tradisionalpun banyak digunakan ada penderita myopi.

2.1.9 Diagnosis dan koreksi Tes Pin Hole dilakukan untuk mengetahui apakah penglihatan yang buram disebabkan oleh kelainan refraksi atau bukan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan refraksi untuk menentukan kelainannya dan juga besar koreksi yang diperlukan, seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Koreksi pada mata dengan miopia dilakukan dengan memberi lensa minus atau negatif yang ukurannya teringan dengan tajam penglihatan terbaik. Koreksi dapat dilakukan dengan pemberian kacamata atau lensa kontak. Selain itu bisa juga dilakukan tindakan operasi dengan metodemetode berikut: a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)

12

b. Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK) c. Photorefractive keratectomy (PRK) d. Conductive keratoplasty (CK)

2.1.10 Pemeriksaan penunjang a. Foto fundus / retina. b. Pemeriksaan lapang pandang / campimetri / perimetri. c. Pemeriksaan kwalitas retina ( E.R.G = electro retino gram). d. Pemeriksaan kelainan otak / brain berkaitan dengan kelainan mata (E.E.G = electro ence falogram) e. EVP (evoked potential examination) f. USG ( ultra sono grafi ) bola mata dan keliling organ mata missal pada tumor,panjang bola mata , kekentalan benda kaca (vitreous) g. Retinometri ( maksimal kemungkinan tajam penglihatan mata yang tersisa) h. CT scan dengan kontras / MRI.

2.1.11 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Miopi a. Pengkajian 1. Pengkajian Ketajaman Penglihatan a) Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan kartu Snellen. b) Pasien duduk dengan dengan jarak 6 meter dari kartu Snellen dengan satu mata ditutup. c) Pasien diminta membaca huruf yang tertulis pada kartu, mulai dari baris paling atas kebawah,dan tentukan baris terakhir yang masih dapat dibaca seluruhnya dengan benar. d) Bila pasien tidak dapat membaca baris paling atas (terbesar) maka dilakuan uji hitung jari dari jarak 6 meter. e) Jika pasien tidak dapat menghitung jari dari jarak 6 meter, maka jarak dapat dikurangi satu meter, sampai maksimal jarak penguji dengan pasien 1 meter.

13

f) Jika pasien tetap tidak bisa melihat,dilakukan uji lambaian tangan,dilakukan uji dengan arah sinar. g) Jika pengelihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar,maka dikatakan pengelihatanya adalah 0 (nol) atau buta total. Penilaian : Tajam pengelihatan normal adalah 6/6. Berarti pasien dapat membaca seluruh huruf dalam kartu Snellen dengan benar. Bila baris yang dapat dibaca selurunya bertanda 30 maka dikatakan tajam pengelihatan 6/30. Berarti ia hanya dapat melihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 30 meter. Bila dalam uji hitung jari pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pad jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam pengelihatan 3/60. Jari terpisah dapat dilihat orang normal pada jarak 60 meter. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti tajam pengelihatan adalah 1/300. Bila mata hanya mengenal adanya sinar saja,tidak dapat melihat lambaian tangan, maka dikatakan sebagai satu per minus. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak terhingga.

2. Pengkajian Gerakan Mata Uji Menutup, salah satu mata pasien di tutup dengan karton atau tangan pemeriksa, dan pasien di minta memfokuskan mata yang tidak tertutup pada satu benda diam sementara mata yang di tutup karton/tangan tetap terbuka. Kemudian karton atau tangan tiba-tiba di singkirkan, dan akan nampak gerakan abnormal mata. Bila mata, saat di tutup bergeser ke sisi temporal, akan kembali ke titik semula ketika penutup di buka. Sebaliknya, bila bergeser ke sisi nasal, fenomena sebaliknya akan terjadi. Kecenderungan mata untuk bergeser, ketika di tutup, ke sisi temporal, dinamakan eksoforia; kecenderungan mata untuk bergeser ke sisi nasal disebut esoforia. Lirikan Terkoordinasi, benda di gerakkan ke lateral ke kedua sisi sepanjang sumbu horizontal dan kemudian sepanjang sumbu oblik. Masing-

14

masing membentuk sumbu 60 derajat dengan sumbu horizontal. Tiap posisi cardinal lirikan menggambarkan fungsi salah satu dari keenam otot ekstraokuler yang melekat pada tiap mata. Bila terjadi diplopia (pandangan ganda), selama transisi dari salah satu posisi cardinal lirikan, pemeriksa dapat mengetahui adanya salah satu atau lebih otot ekstraokuler yang gagal untuk berfungsi dengan benar. Keadaan ini bias juga terjadi bila salah satu mata gagal bergerak bersama dengan yang lain.

3. Pengkajian Lapang Pandang Pemeriksa dan pasien duduk dengan jarak 1 sampai 2 kaki, saling berhadapan. Pasien di minta menutup salah satu mata dengan karton, tanpa menekan, sementara ia harus memandang hidung pemeriksa. Sebaliknya pemeriksa juga menutup salah satu matanya sebagai pembanding. Bila pasien menutup mata kirinya, misalnya, pemeriksa menutup mata kanannya. Pasien di minta tetap melirik pada hidung pemeriksa dan menghitung jumlah jari yang ada di medan superior dan inferior lirikan temporal dan nasal. Jari pemeriksa di gerakkan dari posisi luar terjauh ke tengah dalam bidang vertical, horizontal dan oblik. Medan nasal, temporal, superior dan inferior di kaji dengan memasukkan benda dalam penglihatan dari berbagai titik perifer. Pada setiap manuver, pasien memberi informasi kepada pemeriksa saat ketika benda mulai dapat terlihat sementara mempertahankan arah lirikannya ke depan.

b. Pemeriksaan fisik mata 1. Kelopak Mata, harus terletak merata pada permukaan mata 2. Buku Mata, posisi dan distribusinya 3. Sistem lakrimal, struktur dan fungsi pembentukan dan drainase air mata. 4. Pemeriksaan Mata Anterior, sclera dan konjungtiva bulbaris diinspeksi secara bersama. 5. Pemeriksaan Kornea, normalnya kornea tampak halus dengan pantulan cahaya seperti cermin, terang, simetris dan tunggal.

15

c. Diagnosa 1. Gangguan persepsi diri berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/gangguan status organ indera 2. Ansietas/ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan (nyeri pada kepala, kelelahan pada mata) 3. Kurang pengetahuan/informasi tentang kondisi, prognosis dan pengobatan.

d. Intervensi 1. DX I : Gangguan persepsi diri berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/perubahan status organ indera a) Kaji derajat dan durasi gangguan visual Rasional: Meningkatkan pemahaman perawat tentang kondisi klien b) Orientasikan klien pada lingkungan yang baru Rasional: Memberikan peningkatan kenyamanan, kekeluargaan serta kepercayaan klien-perawat c) Dorong klien mengekspresikan perasaan tentang gangguan penglihatan Rasional: meningkatkan kepercayaan klien-perawat dan

penerimaan diri d) Lakukan tindakan untuk membantu klien menangani gangguan penglihatannya Rasional: Menurunkan kemungkinan bahaya yang akan tejadi sehubungan dengan gangguan penglihatan

2. DX II : Ansietas/ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan (nyeri pada kepala, kelelahan pada mata) a) Orientasikan klien pada lingkungan yang baru Rasional: Membantu mengurangi ansietas dan meningkatkan keamanan b) Beritahu klien tentang perjalanan penyakitnya

16

Rasional:

Memberikan

informasi

kepada

klien

tentang

penyakitnya dan mengurangi ansietas c) Beritahu klien tentang tindakan pengobatan yang akan dilakukan. Rasional: Mengurangi ansietas klien

3. DX III: Kurang pengetahuan/informasi tentang kondisi, prognosis dan pengobatan a) Kaji informasi tentang kondisi individu, prognosis dan pengobatan Rasional: Meningkatkan pemahaman perawat tentang kondisi klien. b) Beritahu klien tentang perjalanan penyakitnya serta pengobatan yang akan dilakukan Rasional: Memberikan informasi kepada klien tentang

penyakitnya. c) Anjurkan klien menghindari membaca terlalu lama dan membaca dengan posisi tidur, menonton TV dengan jarak terlalu dekat. Rasional: Membaca terlalu lama dan membaca dengan posisi tidur, menonton TV dengan jarak terlalu dekat dapat mengakibatkan kelelahan pada mata.

e. Evaluasi 1. Menyatakan penerimaan diri sehubungan dengan perubahan sensori 2. Mampu memakai metode koping untuk menghilang ansietas 3. Menyatakan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan pengobatan

17

2.2 HIPERMETROPI / HIPEROPIA 2.2.1 Definisi hiperopia Hiperopia adalah anomali refraksi yang mana tanpa akomodasi, sinar sejajar akan terfokus di belakang retina. Sinar divergen dari objek dekat, akan difokuskan lebih jauh di belakang retina. Hiperopia atau juga dikenali sebagai rabun dekat (farsightedness dalam Bahasa Ingris) pertama kali diidentifikasi dan dideskripsikan oleh Kastner pada tahun 1855. Pada tahun 1858, Donders menyarankan penggunaan terminologi hipermetropia, namun Helmoltz pada tahun 1859 tetap menyarankan penggunaan kata hiperopia. Menurut sebabnya dikenal : 1. Hipermetrop aksialis : sumbu mata terlalu pendek. Ada yang kongenita : mikroftalmi Akwisita : jarak lensa keretina terlalu pendek seperti pada : a. Retinitis sentralis b. Ablasi retina 2. Hipermetropi pembiasan : aksis normal, tetapi daya biasnya berkurang. Sebabnya dapat terletak pada : a. Kornea : lengkung kornea kurang dari normal, aplanatio corneae. b. Lensa : - Tidak secembung semula, karena sklerosis (40 th / lebih). - Tak mempunyai lensa = afakia. c. Cairan mata : pada penderita diabetes militus, mungkin dengan pengobatan yang hebat, sehinga humor akueus yang mengisi bilik mata, mengandung kadar gula yang rendah, menyebabkan daya biasnya berkurang.

2.2.2 Epidemiologi Hiperopia merupakan anomali perkembangan dan secara praktis semua mata adalah hiperopik pada saat lahir. 80% hingga 90% mata didapati hiperopia pada 5 tahun pertama kehidupan. Pada usia 16 tahun, sekitar 48% mata didapati tetap hiperopik. Pada masa remaja, derajat hiperopia akan berkurang karena panjang axial mata bertambah sehingga

18

periode pertumbuhan berhenti. Pada masa itu, hiperopia yang menetap akan menjadi relatif konstan sehingga munculnya presbiopia. Pada studi yang dilakukan di Amerika, 1 dari 8 anak (12,8%) antara usia 5 hingga 17 tahun hiperopia, studi yang dilakukan di Polandia mendapati 1 dari 5 anak (21%) antara usia 6 hingga 18 tahun hiperopia, studi di Australi mendapati 4 dari 10 anak (38,4%) antara usia 4 hingga 12 tahun hiperopia, studi di Brazil mendapati 7 dari 10 anak (71%) dalam satu kota hiperopia.

2.2.3 Etiologi 1. Panjang axial (diameter bola mata) mata hiperopia lebih kurang dari panjang axial mata normal. 2. Berkurangnya konveksitas dari kornea atau kurvatura lensa 3. Berkurangnya indeks refraktif 4. Perubahan posisi lensa

2.2.4 Klasifikasi Klasifikasi hiperopia berdasarkan gejala klinis, derajat beratnya hiperopia, dan status akomodasi mata. Berdasarkan gejala klinis, hiperopia dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Hiperopia simpleks yang disebabkan oleh variasi biologi normal, etiologinya bisa axial atau refraktif 2. Hiperopia patologik disebabkan oleh anatomi okular yang abnormal karena maldevelopment, penyakit okular, atau trauma 3. Hiperopia fungsional disebabkan oleh paralisis dari proses akomodasi Berdasarkan derajat beratnya, hiperopia juga dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Hiperopia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang 2. Hiperopia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00 D 3. Hiperopia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi

19

Berdasarkan status akomodasi mata, hiperopia dibagi menjadi empat yaitu: 1. Hiperopia Laten a. Sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata hiperopia yang dikoreksi secara lengkap oleh proses akomodasi mata b. Hanya bisa dideteksi dengan menggunakan sikloplegia c. Lebih muda seseorang yang hiperopia, lebih laten hiperopia yang dimilikinya 2. Hiperopia Manifes a. Hiperopia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa menggunakan sikloplegia b. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa positif yang digunakan dalam pemeriksaan subjektif 3. Hiperopia Fakultatif a. Hiperopia yang bisa diukur dan dikoreksi dengan menggunakan lensa positif, tapi bisa juga dikoreksi oleh proses akomodasi pasien tanpa menggunakan lensa b. Semua hiperopia laten adalah hiperopia fakultatif c. Akan tetapi, pasien dengan hiperopia laten akan menolak pemakaian lensa positif karena akan mengaburkan penglihatannya. d. Pasien dengan hiperopia fakultatif bisa melihat dengan jelas tanpa lensa positif tapi juga bisa melihat dengan jelas dengan menggunakan lensa positif 4. Hiperopia Absolut a. Tidak bisa dikoreksi dengan proses akomodasi b. Penglihatan subnormal c. Penglihatan jarak jauh juga bisa menjadi kabur terutama pada usia lanjut d. Hiperopia Total bisa dideteksi setelah proses akomodasi diparalisis dengan agen sikloplegia.

20

Hiperopia

Hiperopia Laten

Hiperopia Manifes

Gambar Klasifikasi Hiperopia berdasarkan status akomodasi mata

2.2.5 Gejala dan tanda hiperopia 1. Penglihatan dekat kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur 2. Asthenopia akomodatif (sakit kepala, lakrimasi, fotofobia, kelelahan mata) 3. Strabismus pada anak-anak yang mengalami hiperopia berat 4. Gejala biasanya berhubungan dengan penggunaan mata untuk

penglihatan dekat (contoh : membaca, menulis, melukis), dan biasanya hilang jika kerjaan itu dihindari. 5. Mata dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara kronis 6. Mata terasa berat bila ingin mulai membaca, dan biasanya tertidur beberapa saat setelah mulai membaca walaupun tidak lelah. 7. Bisa terjadi ambliopia

2.2.6 Diagnosis hiperopia 1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda hiperopia 2. Pemeriksaan Oftalmologi a. Visus tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan Snellen Chart

21

b. Refraksi retinoskopi merupakan alat yang paling banyak digunakan untuk pengukuran objektif hiperopia. Prosedurnya termasuk statik retinoskopi, refraksi subjektif, dan autorefraksi c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi termasuk pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum untuk mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan hiperopia. Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi, penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan

menyeluruh tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior

2.2.7 Penatalaksanaan hiperopia 1. Sejak usia 5 atau 6 tahun, koreksi tidak dilakukan terutama tidak munculnya gejala-gejala dan penglihatan normal pada setiap mata. 2. Dari usia 6 atau 7 tahun hingga remaja dan berlanjut hingga waktu presbiopia, hiperopia dikoreksi dengan lensa positif yang terkuat. Bisa memakai kaca mata atau lensa kontak. Cacat mata hipermetropi dapat diperbaiki dengan menggunakan lensa konvergen yang bersifat mengumpulkan sinar. Lensa konvergen atau lensa cembung atau lensa positif dapat membantu lensa mata agar dapat memfokuskan bayangan tepat di retina. Jarak fokus lensa dan kuat lensa yang digunakan untuk memperbaiki mata yang mengalami hipermetropi dapat ditentukan berdasarkan persamaan lensa tipis dan rumus kuat lensa.

Prinsip dasarnya adalah lensa positif digunakan untuk memindahkan (memundurkan) objek pada jarak baca normal menjadi bayangan di titik dekat mata tersebut sehingga mata dapat melihat objek dengan jelas. 3. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki hiperopia dengan membentuk semula kurvatura kornea. Metode pembedahan refraktif termasuk

22

a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK) b. Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK) c. Photorefractive keratectomy (PRK) d. Conductive keratoplasty (CK)

2.2.8 Komplikasi hiperopia 1. Strabismus 2. Mengurangi kualitas hidup 3. Kelelahan mata dan sakit kepala

2.2.9 Asuhan keperawatan pada pasien dengan hipermetropi a. Pengkajian 1. Aktivitas / istirahat. Gejala : Merasa malas beraktifitas karena matanya mengalami gangguan. Tanda : Lebih sering barada di dalam ruangan atau rumah atau kamar. 2. Integritas Ego. Gejala : Perasaan tak berdaya Tanda : Menyangkal. (khususnya selama tahap dini). 3. Makanan / cairan. Tidak ada masalah untuk makanan dan cairan pada klien ini,klien dapat mencerna makanan secara normal. 4. Nyeri / kenyamanan Umumnya klien hipermetropi tidak merasa nyeri,tetapi hanya merasa tidak nyaman karena penglihatannya terganggu. 5. Pernafasan. Pernafasan pada klien ini normal saja. 6. Keamanan. Klien harus diawasi karena untuk mencegah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikarenakan klien stress dengan penyakit yang dideritanya. 7. Interaksi sosial. Tanda: sedikit merasa tidak percaya diri

23

8. Penyuluhan / pembelajaran. Gejala : Riwayat keluarga. Gagal untuk membaik.

b. Diagnosa Keperawatan yang Muncul Ketidaknyamanan memandang berhubungan dengan ketidak dapatan melihat pada jarak dekat.

c. Intervensi Diagnosis keperawatan : Ketidaknyamanan memandang berhubungan dengan ketidakdapatan melihat pada jarak dekat. Tujuan : Klien dapat melihat dengan normal Kriteria hasil : memakai kacamata lasik Intervensi: 1. Jelaskan kepada klien kenapa dia bisa mengalami hipermetropi. 2. Ajarkan klien untuk dapat mengontrol dan mengistirahatkan matanya.

2.3 ASTIGMATISMA 2.3.1 Definisi astigmatisma Terminologi astigmatisme berasal dari Bahasa Yunani yang

bermaksud tanpa satu titik. Astigmatisme merupakan kondisi dimana sinar cahaya tidak direfraksikan dengan sama pada semua meridian. Jika mata astigmatism melihat gambaran palang, garis vertikal dan horizontalnya akan tampak terfokus tajam pada dua jarak pandang yang berbeda. Mata astigmatisme bisa dianggap berbentuk seperti bola sepak yang tidak memfokuskan sinar pada satu titik tapi banyak titik. Astigmatisma adalah sebuah gejala penyimpangan dalam pembentukkan bayangan pada lensa, hal ini disebabkan oleh cacat lensa yang tidak dapat memberikan gambaran/ bayangan garis vertikal dengan horizotal secara bersamaan. Cacat mata ini dering di sebut juga mata silinder. Mata astigmat atau mata silindris adalah suatu keadaan dimana sinar yang masuk ke dalam mata tidak terpusat pada satu titik saja tetapi sinar tersebut tersebar menjadi sebuah garis. Astigmatisma merupakan kelainan

24

pembiasan mata yang menyebabkan bayangan penglihatan pada satu bidang fokus pada jarak yang berbeda dari bidang sudut. Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan ke retina di dua garis titik api yang saling tegak lurus.

2.3.2 Epidemiologi Astigmatisme merupakan kelainan refraksi yang sering terjadi. 5% dari pasien yang memakai kaca mata mempunyai kelainan astigmatisme. Sebanyak 3% dari populasi mempunyai kelainan astigmatisme yang melebihi 3.00 D. Di Indonesia, diperkirakan sebanyak 40 juta populasinya mempunyai kelainan astigmatisme. Tidak ada perbedaan frekuensi terjadinya astigmatisme pada lelaki dan perempuan. Prevalensi astigmatisme meningkat dengan usia.

2.3.3 Etiologi Mata mempunyai 2 bagian untuk memfokuskan bayangan kornea dan lensa. Pada mata yang bentuknya sempurna, setiap elemen untuk memfokus mempunyai kurvatura yang rata seperti permukaan bola karet. Kornea atau lensa dengan permukaan demikian merefraksikan semua sinar yang masuk dengan cara yang sama dan menghasilkan bayangan yang tajam terfokus pada retina. Jika permukaan kornea atau lensa tidak rata, sinar tidak direfraksikan dengan cara yang sama dan menghasilkan bayangan-bayangan kabur yang tidak terfokus pada retina. Astigmatisme bisa terjadi dengan kombinasi kelainan refraksi yang lain, termasuk: 1. Miopia. Ini terjadi bila kurvatura kornea terlalu melengkung atau jika aksis mata lebih panjang dari normal. Bayangan terfokus di depan retina dan menyebabkan objek dari jauh terlihat kabur. 2. Hiperopia. Ini terjadi jika kurvatura kornea terlalu sedikit atau aksis mata lebih pendek dari normal. Bayangan terfokus di belakang retina dan menyebabkan objek dekat terlihat kabur.

25

Biasanya astigmatisme terjadi sejak lahir. Astigmatisme dipercayai diturunkan dengan cara autosomal dominan. Astigmatisme juga bisa terjadi setelah trauma atau jaringan parut pada kornea, penyakit mata yang termasuk tumor pada kelopak mata, insisi pada kornea atau karena faktor perkembangan. Astigmatisme tidak menjadi lebih parah dengan membaca di tempat yang kurang pencahayaan, duduk terlalu dekat dengan layar televisi atau menjadi juling. Jika distorsi terjadi pada kornea, disebut astigmatisme kornea, sedangkan jika distorsi terjadi pada lensa, disebut astigmatisme lentikular. Astigmatisme juga bisa terjadi karena traksi pada bola mata oleh otot-otot mata eksternal yang merubah bentuk sklera menjadi bentuk astigma, perubahan indeks refraksi pada vitreous, dan permukaan yang tidak rata pada retina.

2.3.4 Klasifikasi Ada banyak tipe astigmatisme, tergantung dari kondisi optik. 1. Simple hyperopic astigmatism Satu meridian prinsipal adalah emmetropik; yang satu lagi hiperopik 2. Simple miopic astigmatism Satu meridian prinsipal adalah emmetropik; yang satu lagi miopik 3. Compound hyperopic astigmatism Kedua meridian prinsipal hiperopik pada derajat yang berbeda 4. Compound miopic astigmatism Kedua meridian prinsipal miopik pada derajat yang berbeda 5. Mixed astigmatism Satu meridian prinsipal adalah hiperopik, yang satu lagi miopik

26

compound hypermetropic astigmastism

compound myopic astigmatism

mixed astigmatism

simple hypermetropic astigmatism

simple myopic astigmatism

Gambar. Tipe-tipe Astigmatisme

Terdapat beberapa bentuk dari astigmatisme. 1. Regular Meridian-meridian prinsipal bersudut tegak antara satu dengan yang lainnya. Kondisi ini bisa dikoreksi dengan lensa silinder 2. Irregular Meridian-meridian prinsipal tidak bersudut tegak antara satu dengan yang lainnya, biasanya disebabkan oleh ketidakrataan kurvatura kornea. Tidak bisa dikoreksi dengan sempurna dengan lensa silinder 3. Oblique Meridian-meridian prinsipal berada antara sudut 30o hingga 60o atau antara sudut 150o hingga 180o. 4. Symmetrical Meridian-meridian prinsipal setiap mata berada pada posisi simetris dari deviasi garis median. Jika aksis dari setiap mata dikoreksi dengan lensa silinder dengan tanda yang sama dan jumlah sudutnya 180o, astigmatisme itu simetris. Variasi maksimum yang bisa ditoleransi sebesar 15o. Contoh symmetrical astigmatism: O.D. : -cx. 600, O.S. : -cx. 120o 5. Asymmetrical Tidak ada hubungan simetris dari meridian-meridian prinsipal dari garis median. Kepala yang dimiringkan seringkali disebabkan oleh asymmetrical astigmatism ataupun oblique. Ini adalah salah satu jenis tortikolis tipe okular, yang akan hilang jika astigmatismenya dikoreksi dengan benar. Asymmetrical lebih jarang dibandingkan dengan symmetrical. Contoh asymmetrical astigmatism: O.D. : -cx. 120o, O.S. : -cx. 180o 6. With-the-rule astigmatism Meridian vertikal dari mata mempunyai kurvatura yang terbesar antara sudut 60o hingga 120o. Kondisi ini dikoreksi dengan cx. 180o atau +cx. 90o

27

7. Against-the-rule astigmatism Meridian horizontal dari mata mempunyai kurvatura yang terbesar antara sudut 0o hingga 30o dan 150o hingga 180o. Kondisi ini dikoreksi dengan cx. 90o atau dengan +cx. 180o. Ini lebih jarang dibandingkan dengan with-the-rule astigmatism.

2.3.5 Gejala dan tanda Pada astigmatisma rendah : 1. Mata cepat terasa lelah, terutama pada saat melakukan pekerjaan yang teliti pada jarak fiksasi. 2. Terasa kabur sementara pada saat melihat dekat. Biasanya dikurangi dengan menutup mata atau mengucek ucek mata seperti pada hypermetropia. Gejala seperti ini mungkin juga terjadi pada hypermetropia tingkat rendah. Penderita astigmatism rendah biasanya tidak menunjukkan keluhan/gejala jika mereka tidak bekerja dengan keletihan yang tinggi. 3. Sakit kepala bagian frontal. Pada astigmatisma tinggi : 1. Penglihatan kabur, sedikit atau jarang ada keluhan sakit kepala maupun asthenopia, tapi dapat terjadi setelah memakai lensa yang kurang lebih/mendekati koreksi astigmatsm tingginya. Keluhan ini mungkin ditimbulkan oleh akomodasi, karena akomodasi tidak dapat memberi power cylinder sehingga tidak dapat membantu astigmatism tinggi dalam mengkoreksi kekaburan penglihatannya. Adalah tidak selalu mungkin untuk menetralisir astigmatism sepenuhnya, sehingga astigmatism yang tersisa dapat menimbulkan ketidaknyamanan, paling tidak di tahap awal pemakaian lensa koreksi. 2. Memiringkan kepala adalah keluhan kedua yang paling sering pada astigmatism oblik yang tinggi. 3. Memutar mutar kepala agar melihat lebih jelas, kadang juga pertanda akan adanya astigmatism tinggi.

28

4. Menyipitkan mata seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan efek pinhole atau stenopaic. Namun, penderita astigmatism juga menyipitkan mata pada saat melihat dekat, tidak hanya pada waktu melihat jauh. 5. Memegang bacaan lebih mendekati mata, seperti pada myopia.

2.3.6 Diagnosis astigmatisme 1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda astigmatisme 2. Pemeriksaan Oftalmologi a. Visus tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan Snellen Chart b. Refraksi Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan. Pasien diminta untuk memperhatikan kartu tes astigmatisme dan menentukan garis yang mana yang tampak lebih gelap dari yang lain. Contohnya, pasien yang miopia pada meridian vertikal dan emmetropia pada meridian horizontal akan melihat garis-garis vertikal tampak distorsi, sedangkan garis-garis horizontal tetap tajam dan tidak berubah. Sebelum pemeriksaan subjektif ini, disarankan menjadikan penglihatan pasien miopia untuk menghindari bayangan difokuskan lebih jauh ke belakang retina. Selain itu, untuk pemeriksaan objektif, bisa digunakan keratometer, keratoskop, dan videokeratoskop c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi termasuk pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum untuk mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan astigmatisme. Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi, penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior

29

2.3.7 Penatalaksanaan astigmatisme 1. Astigmatisme bisa dikoreksi dengan menggunakan lensa silinder tergantung gejala dan jumlah astigmatismenya 2. Untuk astigmatisme yang kecil, tidak perlu dikoreksi dengan silinder 3. Untuk astigmatisme yang gejalanya timbul, pemakaian lensa silender bertujuan untuk mengurangkan gejalanya walaupun kadang-kadang tidak memperbaiki tajam penglihatan 4. Aturan koreksi dengan lensa silinder adalah dengan meletakkannya pada aksis 90o dari garis tergelap yang dilihat pasien pada kartu tes astigmatisme. Untuk astigmatisme miopia, digunakan silinder negatif, untuk astigmatisme hiperopia, digunakan silinder positif 5. Untuk astigmatisme irregular, lensa kontak bisa digunakan untuk meneutralisasi permukaan kornea yang tidak rata 6. Selain itu, astigmatisme juga bisa dikoreksi dengan pembedahan LASIK, keratektomi fotorefraktif dan LASEK.

2.3.8 Asuhan keperawatan pada klien dengan astigmatisma a. Pengkajian 1. Riwayat Kesehatan a) Riwayat oftalmik Sebelum melakukan pengkajian fisik mata, perawat harus mendapatkan riwayat oftalmik, medis, dan terapi pasien, dimana semuanya dapat saja berperan dalam kondisi oftalmik tajam penglihatan dan upaya keamanan dan tergantung pada alasan melakukan pemeriksaan oftalmik. Riwayat keadaan oftalmik sangat penting saat mengumpulkan data dasar. Kita harus menyelidiki setiap riwayat kelainan mata, seperti pandangan kabur, objek tidak begitu jelas, pandangan

berbayang, baik pada saat untuk melihat jarak jauh maupun dekat. Ringkasan riwayat oftalmik bagi setiap pasien harus meliputi pertanyaan berikut: 1. Kapan sakit mata mulai dirasakan

30

2. Apakah gangguan penglihatan ini mempengaruhi ketajaman penglihatan. 3. Bagaimana gangguan penglihatan terjadi ( perlahan/tiba-tiba ). 4. Apakah pasien merasakan ada perubahan dalam matanya ( kemerahan, bengkak, berair ). 5. Apakah perubahan yang terjadi sama pada kedua matanya . 6. Apakah pasien sedang berobat tertentu ( sebutkan ) dan sudah berapa lama menggunakannya. 7. Apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit serupa . 8. Apakah pasien menderita : Hipertensi, DM 9. Apakah ada kerusakan melihat waktu senja. b) Riwayat psikososial Daerah pengkajian penting lainnya meliputi psikologis, demografis, dan keprihatinan lingkungan rumah

b. Pemeriksaan Astigmatisma bisa diperiksa dengan cara pengaburan (fogging technique of refraction) yang menggunakan kartu snellen, bingkai percobaan, sebuah set lensa coba, dan kipas astigmat. Pemeriksaan astigmat ini menggunakan teknik sebagai berikut yaitu: 1. Pasien duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter, 2. Pada mata dipasang bingkai percobaan, 3. Satu mata ditutup, 4. Dengan mata yang terbuka pada pasien dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan dengan lensa (+) atau (-) sampai tercapai ketajaman penglihatan terbaik, 5. Pada mata tersebut dipasang lensa (+) yang cukup besar (misal S + 3.00) untuk membuat pasien mempunyai kelainan refreksi astigmat miopikus, 6. Pasien diminta melihat kartu kipas astigmat, 7. Pasien ditanya tentang garis pada kipas yang paling jelas terlihat,

31

8. Bila belum terlihat perbedaan tebal garis kipas astigmat maka lensa S(+ 3.00) diperlemah sedikit demi sedikit hingga pasien dapat menentukan garis mana yang terjelas dan terkabur, 9. Lensa silinder (-) diperkuat sedikit demi sedikit dengan sumbu tersebut hingga tampak garis yang tadi mula-mula terkabur menjadi sama jelasnya dengan garis yang terjelas sebelumnya, 10. Bila sudah dapat melihat garis-garis pada kipas astigmat dengan jelas,lakukan tes dengan kartu Snellen, 11. Bila penglihatan belum 6/6 sesuai kartu Snellen, maka mungkin lensa (+) yang diberikan terlalu berat,sehingga perlu mengurangi lensa (+) atau menambah lensa (-), Pasien diminta membaca kartu Snellen pada saat lensa (-) ditambah perlahan-lahan hingga ketajaman penglihatan menjadi 6/6. 12. Sedangkan nilainya : Derajat astigmat sama dengan ukuran lensa silinder (-) yang dipakai sehingga gambar kipas astigmat tampak sama jelas.

c. Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan sensori-persepsi (visual) yang berhubungan dengan perubahan kemampuan memfokuskan sinar pada retina. 2. Gangguan rasa nyaman (pusing) yang berhubungan dengan usaha memfokuskan mata 3. Resiko cedera yang berhubungan dengan keterbatasan penglihatan

d. Intervensi 1. Perubahan sensori-persepsi (visual) yang berhubungan dengan perubahan kemampuan memfokuskan sinar pada retinsa. Tujuan : a. Ketajaman Penglihatan klien meningkat dengan bantuan alat. b. Klien mengenal gangguan sensori yang terjadi dan melakukan kompensasi terhadap perubahan.

32

Intervensi : a. Jelaskan penyebab terjadinya gangguan penglihatan. Rasional : Pengetahuan tentang penyebab dalam tindakan keperawatan. b. Lakukan uji ketajaman penglihatan. Rasional : mengetahui visus dasar klien dan perkembangannya setelah diberikan tindakan. c. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian lensa kontak / kacamata bantu atau operasi (keratotomi radikal), epikeratofakia, atau foto refraktif keratektomi (FRK) untuk miopia. Pada FRK, laser digunakan untuk mengangkat lapisan tipis dari kornea, sehingga dapat mengoreksi lingkungan kornea yang berlebihan yang mengganggu pemfokusan cahaya yang tepat melalui lensa. Prosedur ini dilakukan kurang dari satu menit. Perbaikan visual tampak dalam 3-5 hari. mengurangi kecemasan dan

2. Gangguan rasa nyaman (pusing) yang berhubungan dengan usaha memfokuskan mata Tujuan : Rasa nyaman klien terpenuhi. Kriteria hasil : a. Keluhan klien (pusing, mata lelah, berair, fotofobia,) berkurang / hilang. b. Klien mengenal gejala gangguan sensori dan dapat

berkompensasi terhadap perubahan yang terjadi. Intervensi : a. Jelaskan penyebab pusing, mata lelah, berair, fotofobia. Rasional : mengurangi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien kooperatif dalam tindakan keperawatan. b. Anjurkan agar klien cukup istirahat dan tidak melakukan aktivitas membaca terus menerus. Rasional : mengurangi kelelahan mata sehingga pusing berkurang.

33

c. Gunakan lampu/ penerangan yang cukup (dari atas dan belakang) saat membaca. Mengurangi silau dan akomodasi mata yang berlebihan. d. Kolaborasi : pemberian kacamata untuk meningkatkan tajam penglihatan klien.

3. Resiko cedera yang berhubungan dengan keterbatasan penglihatan. Tujuan : tidak terjadi cedera Kriteria Hasil : a. Klien dapat melakukan aktivitas tanpa mengalami cedera. b. Klien dapat mengidentifikasi potensial bahaya dalam

lingkungan. Intervensi : a. Jelaskan tentang kemungkinan yang terjadi akibat penurunan tajam penglihatan. Rasional : perubahan ketajaman penglihatan dan kedalaman persepsi dapat meningkatkan resiko cedera sampai klien belajar untuk mengompensasi. b. Beritahu klien agar lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas. c. Batasi aktivitas seperti mengendarai kendaraan pada malam hari. Rasional : mengurangi potensial bahaya karena penglihatan kabur. d. Gunakan kacamata koreksi / pertahankan perlindungan mata sesuai indikasi untuk menghindari cedera.

34

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan Miopia disebut juga sebagai rabun jauh, yang disebabkan bayangan dari benda yang jauh letaknya difokuskan tidak pada retina tetapi jatuh di depan dari retina. Hiperopia adalah anomali refraksi yang mana tanpa akomodasi, sinar sejajar akan terfokus di belakang retina. Sinar divergen dari objek dekat, akan difokuskan lebih jauh di belakang retina. Astigmatisma adalah sebuah gejala penyimpangan dalam

pembentukkan bayangan pada lensa, hal ini disebabkan oleh cacat lensa yang tidak dapat memberikan gambaran/ bayangan garis vertikal dengan horizotal secara bersamaan. Cacat mata ini dering di sebut juga mata silinder.

3.2 Saran Kami yakin makalah ini banyak kekurangannya maka dari itu kami sangat mengharapkan saran dari teman-teman dalam penambahan untuk kelengkapan makalah ini, karena dari saran yang kami terima dapat mengkoreksi makalah yang kami buat ini.atas saran dari teman-teman kami ucapkan terima kasih. Adapun saran yang ingin penulis sampaikan pada mahasiswa. 1. Dalam membuat makalah ,kelompok diharapkan dapat

memahami dan menguasai teori tentang askep kelainan mata miopi, hipermetropi, dan astigmatisma. 2. Mahasiswa dapat melakukan tindakan keperawatan secara benar dan terampil. 3. Mahasiswa perlu ditingkatkan keaktifannya dalam bertanya kepada pembimbing. 4. Mahasiswa diharapkan dapat lebih teliti dalam membuat Asuhan Keperawatan.

35

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas S. Kelainan Refraksi dan Kacamata. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997 James,Bruce., Chew, Chris., Brown, Anthony., 2003. Lecture Note Oftalmologi. Edisi kesembilan. Jakarta: Erlangga.hal 34-36 Ilyas,Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hal 81-83 Ilyas Sidarta. 2003. Dasar-Dasar Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi kedua.Cetakan pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hal 3439 Hall,N Guyton . 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.hal 786-790 Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

36

Anda mungkin juga menyukai