YENI ANGGRAINI
K E PA N I T E R A A N K L I N I K I L M U B E D A H RSUD DR. SOEDARSO P S P D U N TA N PONTIANAK 2013
PENDAHULUAN
Merupakan trauma fisik yang dapat mengenai
jaringan keras dan jaringan lunak wajah Terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma Penyebab pada orang dewasa :: kecelakaan lalu lintas (40-45%), penganiayaan atau berkelahi (1015%), olahraga (5-10%), jatuh (5%) dan lain-lain (510%) Pada anak-anak penyebab paling sering adalah olahraga seperti naik sepeda (50-65%), sedang yang lainnya adalah kecelakaan lalu lintas (10-15%), penganiayaan atau berkelahi (5-10%) dan jatuh ( 510 %).
ANATOMI WAJAH
Maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian Sepertiga atas wajah = tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Sepertiga tengah = maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer Sepertiga bawah = mandibula
DEFINISI
Fraktur maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang
mengenai wajah dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan hilangnya kontinuitas tulang-tulang wajah.
ETIOLOGI
KLASIFIKASI
Trauma jaringan lunak wajah
Trauma pada jaringan
lunak wajah diklasifikasikan berdasarkan jenis luka dan penyebab seperti ekskoriasi, luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka bacok (vulnus punctum), luka bakar (combustio) dan luka tembak (Vulnus
fraktur wajah perbandingan pria dan wanita, yaitu 3 : 1 7 : 1 Kegiatan olahraga penyebab paling umum fraktur mandibular (31,5%), diikuti oleh kecelakaan kendaraan bermotor (sejumlah 27,2%).9
terjadi di daerah kondilar-subkondilar, 1/3 terjadi di daerah angulus, dan 1/3 lainnya terjadi di daerah korpus, simfisis, dan parasimfisis. Fraktur subkondilar banyak ditemukan pada anak-anak, sedangkan fraktur angulus lebih sering pada remaja dan dewasa muda.
menggerakkan rahang untuk berbicara, mengunyah atau menelan. Perdarahan dari rongga mulut. Maloklusi. Keadaan dimana rahang tak dapat dikatupkan. Trismus. Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35 mm, batas terendah nilai normal adalah 40 mm. Pergerakan Abnormal Ketidakmampuan menutup rahang = menandakan fraktur pada prosessus alveolar, angulus, ramus dari simfisis. Krepitasi tulang. Mati rasa pada bibir dan pipi.
DIAGNOSIS
Anamnesis Keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur mandibula dicurigai dari adanya nyeri, oklusi abnormal, mati rasa pada distribusi saraf mentalis, pembengkakan, memar, perdarahan gigi, gigi yang fraktur atau tanggal, trismus, ketidakmampuan mengunyah. Riwayat trauma seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan, terjatuh, kecelakaan olah raga ataupun riwayat penyakit patologis.10
2. Pemeriksaan klinis intraoral Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan.. Sulkus bukal diperiksa adanya ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Dengan hati-hati dilakukan palpasi pada daerah dicurigai farktur, ibu jari serta telunjuk ditempatkan di kedua sisi dan ditekan untuk menunjukkan mobilitas yang tidak wajar pada daerah fraktur.
and preauricular areas (B). Irregularities or tenderness indicate the possibility of fractures.
The method of
bimanual palpation of the mandible to detect fractures through the tooth-bearing region.
Patient showing
deviation of the mandible to the right side when attempting to open the mouth (A). This patient has a right condylar fracture (arrow) that is seen on panoramic radiography (B).
mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan ini memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan pada pasien trauma, selain itu kurang memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial dan fraktur prosessus alveolar. Pemeriksaan radiografik defenitif terdiri dari fotopolos mandibula PA, oblik lateral. CT Scan baik untuk fraktur kondilar yang sulit dilihat dengan panoramic
Normal PA mandibula
There is a mildly
(arrow).
mandibular condyle.
Dislocated mandible.
Both mandibular condyles (labeled M) are dislocated anterior to their respective mandibular fossae (red and black arrows) in the temporal bones. The blue arrow points to the articular eminence which prevents the mandibular condyle (black M) from relocating in the mandibular fossa (black arrow).
Fractures) merupakan tipe fraktur tulang-tulang wajah yang adalah hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada wajah. Fraktur Le Fort diambil dari nama seorang ahli bedah Perancis Ren Le Fort (18691951) yang mendeskripsikannya pertama kali di awal abab 20.9
yang paling sering terjadi, Fraktur Le Fort I meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maxilla dan palatum/arkus alveolar kompleks. menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa
pergerakan yang disebut floating jaw. Pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas. Edema pada wajah hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
Hal ini dievaluasi dengan memegang gigi seri
dan palatum durum dan mendorong masuk dan keluar secara lembut.
fraktur piramidal. Berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke arah fossa pterigopalatina.
dapat merusak sistem lakrimalis. Karena sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai floating maxilla (maksila yang melayang) . Le Fort II :
Edema pada wajah, edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Perdarahan subkonjungtiva dan hipoesthesia di nervus infraorbital, dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.
sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fissure orbitalis superior melintang kearah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatico-frontal dan sutura temporozigomatikum. Disebut juga sebagai cranio-facial disjunction. Merupakan fraktur yang memisahkan secara lengkap sutura tulang dan
ekimosis periorbital,
remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang
zygomatikomaksila, pergerakan gigi, palatum durum, epistaksis, keluar cairan serebrospinal pada hidung. Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini yaitu keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.
(fractured: Le Fort II is likely present), and left zygomatic arch (fractured: Le Fort III is likely present). Coronal CT image shows fracture of lateral orbital rim (frontal process of zygoma) on left (solid arrow); Le Fort III fracture is present on left, because lateral rim is also a unique feature of Le Fort III fractures. Left orbital floor on left (open arrow) is fractured, as is expected in Le Fort II fractures. Right orbital floor is intact.
The anterior teeth are grasped and the maxilla manipulated to determine whether it moves. If motion is palpated at the nasal bridge (A), a Le Fort II or III fracture is present. If motion is also detected at the zygoma (B), a Le Fort III fracture is present. If motion is not detected at either point but the maxilla is loose, a Le Fort I fracture is likely.
FRAKTUR ZIGOMA
insiden dari fraktur zigoma (27,64%)
perbandingan 4:1 dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi, hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus
Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus : fraktur stable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke medial), (b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral. Fraktur unstable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke medial); (b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral; (c) dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral; (d) comminuted fracture.
Normal lines of
fracture in a zygomaticomaxillary compound fracture. Note the fracture extending through the infraorbital foramen, commonly resulting in numbness to the upper lip, side of the nose, and lower eyelid.
Penemuan klinis yang bisa ditemukan: Pasien mungkin mengeluhkan rasa sakit di pipi atas pergerakan rahang. tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi. Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan. Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan kelainan pada nervus infraorbital. diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus rektus inferior. Trismus bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di mandibula. ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.
zygomaticomaxillary complex fracture. Note the loss of cheek contour on the left. Palpation of the zygoma externally (A) and in the maxillary vesibule (B) for osseous irregularities.
FRAKTUR NASAL
Patah tulang hidung didiagnosis oleh riwayat trauma dengan bengkak, dan krepitus pada jembatan hidung. Pasien mungkin mengalami epistaksis, namun tidak harus selalu bercampur dengan CSF. Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena adanya pergeseran septum dan fraktur septum. Fraktur NOE dicurigai jika pasien memiliki bukti patah hidung dengan telecanthus, pelebaran jembatan hidung dengan canthus medial terpisah, dan epistaksis atau rhinorrhea CSF.
complex for fractures. The nasal pyramid should be moved right and left to detect mobility. Patient with naso-orbitoethmoid fracture and cerebrospinal fluid rhinorrhea (A). The fluid leaves a double ring where it drips onto fabric (B).
fracture in a patient who sustained this injury because of a punch to the face during a hockey game.
orbitoethmoid fracture. Note the increase in the intercanthal distance and the rounded shape of the medial palpebral fissure on the right. The normal palpebral fissure on the patient's left has an angular relationship between the upper and lower eyelids.
frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain. Ditandai dengan destruksi atau krepitasi pada supraorbital rims, emfisema subkutan, dan parestesi pada supraorbital nerve.
fracture. A, Note the swelling on the patients left side (arrows). B, CT scan showing the fractures through the anterior and posterior tables of the frontal sinus and resulting pneumocephalus.
Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. b. luka tembus. c. Asimetris atau tidak. d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. e. Otorrhea / Rhinorrhea f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. g. Cedera kelopak mata. h. Ecchymosis, epistaksis i. defisit pendengaran. j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa
resulting from bleeding from a fracture site in the anterior portion of the skull base. This finding may also be caused by facial fractures.
Palpasi
Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet,
bengkak, ecchymosis, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. Palpasi zygoma sepanjang lengkungan serta artikulasi dengan tulang frontal, tulang temporal, dan maxillae Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan langit-langit secara keras dan lembut dengan mendorong maju dan mundur, lalu naik dan turun
atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan Krepitasi. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea cairan cerebrospinal.
serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis daerah mastoid (Battle sign). Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tandatanda Krepitasi atau mobilitas. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. Periksa paresthesia atau anestesi saraf. Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II VIII
Pemeriksaan Radiologis
untuk memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk
mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda. panoramic view, postero-anterior view, lateral oblique view. Computed Tomography (CT) scans Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Waters view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dan submental vertex view.
control/ protection B : Breathing and adequate ventilation C : Circulation with control of hemorrhage D : Disability neurologic examination E: Exposure/ enviromental control
sehingga lidahnya, saliva dan darah mengalir keluar. Jika pasien tidak sadar Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recovery, hati hati bila ada cedera lain yang membahayakan. Diberikan oksigen dan cairan kristaloid isotonik. Mengadministrasikan Packed Red Cell (PRC) jika pasien mengalami pendarahan masif. Diindikasikan tetanus profilaksis. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 10 menit. Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur kumur dengan :
Cairan kumur clorheksidin 0,5 % larutan garam 2 % jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.
Obat-obatan Antibiotika, diberikan golongan penisillin selama seminggu, harus diberikan segera. Untuk luka wajah, gunakan Cefazolin (Sefalosporin). Untuk luka rongga mulut, gunakan klindamisin. Untuk patah tulang sinus, gunakan amoksisilin. Untuk patah tulang dengan robeknya duramater atau kebocoran cairan serebrospinal, gunakan vankomisin dan ceftazidime.
ringan dan obat parenteral jika pasien tidak dapat mengambil obat oral (yaitu, tidak melalui mulut). Untuk obat anti-inflamasi, gunakan ibuprofen, naproxen, atau ketorolac.Untuk kontrol pusat, gunakan narkotika (misalnya, kodein, oxycodone, xanax, meperidin, morfin).
PEMBEDAHAN
Prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan
sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur.
intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar.
perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen proksimal mandibula.
FRAKTUR MANDIBULA
IDW IMW
Arch Bar
Miniplate dan screw
FITTING AN ARCH BAR. A, bending it to shape. B, fitting it round the maxilla. C, wiring it to the maxilla. D, passing a win round a tooth. E, fixing the rubber bands. After R.O. Dingman and P. Navig Surgery of Facial Fractures W.B. Saunders Co. Publishers, permission requested
temporary stabilization of a fractured segment. This provides some patient comfort by minimizing mobility of the fracture segments
Le Fort I
: Reposisi dan arch bar maxilla digantung dengan snar wire pada tepi bawah orbita atau IMW. Le Fort II : Reposisi dengan Rowe Forceps Fiksasi : IDW + IMW / arch bar + suspense Miniplate Fiksasi wire/arch bar dipertahankan selama 5 6 minggu. Le Fort III : Open reduction internal fixation Fiksasi dengan miniplate dan wire
FRAKTUR ZYGOMATICUM
FRAKTUR NASAL
KONSERVATIF Pasien dengan perdarahan hebat, dikontrol dengan vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien. OPERATIF Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
FRAKTUR NASAL
ELEVATING A
FRACTURE OF THE NOSE. A, inflitrating the site of the fracture. B, raising the depressed bones with curved artery forceps. Always suspect a fracture after any blow on the nose. Swelling of the soft tissues can easily hide it.
exhibit features surgical images for stabilization of fractures to the maxilla and mandible (involving the upper and lower jaw and teeth). Images include: 1. Tooth extraction, 2. Stabilization wire placement, and finally 3. Immobilization of the jaws with Erich arch bars.