Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Laporan
Tutorial Kelima sebagai suatu laporan atas hasil diskusi kami yang
berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok 14 semester 5 ini.
Pada tutorial ini kami membahas masalah yang berkaitan
dengan Trauma pada Abdomen yang mengakibatkan perdarahan.
Adapun dalam diskusi kali ini kami juga membahas dari masingmasing organ yang kemungkinan terkena trauma tumpul dan
bagaimana

maninestasi

masing-masing
laporan

ini

klinis

serta

organ yang terkena.

kami

membahas

cara

mendiagnosis

dari

Selain itu juga, dalam

mengenai

syok

yang

dapat

disebabkan oleh trauma itu. Trauma yang kami bahas dalam


scenario ini adalah trauma pada Lien, Hepar, Pankreas, Gaster,
Intestine,

Aorta

dan

Diafragma,

yang

ditambahkan

dengan

penjelasan mengenai trauma tajam.


Kami

mohon

maaf

jika

dalam

laporan

ini

terdapat

banyak

kekurangan dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal


yang berhubungan dengan skenario kelima serta Learning Objective yang
kami cari. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai
manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan
serta manfaat kapada para pembaca.

Mataram, September 2009

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Kelompok 4

DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................... 1
Daftar Isi ..................................................................................................................... 2
Skenario III.................................................................................................................. 3
Concept Map............................................................................................................... 4
Learning Objective..................................................................................................... 5
Pendekatan diagnosis ................................................................................................ 6
Trauma Tembus.......................................................................................................... 13
Trauma Tumpul ......................................................................................................... 16
Overview penyakit...................................................................................................... 20
Trauma Lien.......................................................................................................... 20
Trauma Hepar....................................................................................................... 25
Trauma Pankreas.................................................................................................. 29
Trauma Gaster...................................................................................................... 31
Trauma Intestine................................................................................................... 39
Trauma Diafragma............................................................................................... 43
Trauma Aorta Abdominalis................................................................................. 47
Indikasi LAparotomi................................................................................................. 49
Tatalaksana Syok....................................................................................................... 50
Daftar Pustaka............................................................................................................ 53

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Scenario 8
Trauma Abdomen
Seorang wanita, 40 th dibawa ke UGD RSU Provinsi NTB setelah
mengalami
tabrakan sepeda motor. Pasien dibawa dalam keadaan mengerang
dengan kesadaran
menurun, GCS E3V4M4, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 86 X/menit
dan
respiratory rate 18 x/menit. Pada pemeriksaan ditemukan luka lecet di
kepala dan
lengan atas, terlihat memar kebiruan pada perut bagian atas. Setelah
diobservasi
selama 3 jam ditemukan tekanan darah menurun menjadi 80
mmHg/palpasi, nadi 120
x/menit, lemah, RR 28x/menit, dinding abdomen menegang, bising usus
menurun.
Selanjutnya dokter memutuskan untuk melakukan pemeriksaan
penunjang
laboraturium dan radiologi. Pada laboraturium didapatkan Hb 7 gr% dan
pada rontgen
ditemukan air fluid level. Dokter menemukan peritoneal lavage positif (+)
darah.

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

MAPPING CONCEPT

Trauma :
Blunt &
Penetrating

Trauma
Abdominal

Primary
Survey

Secondary
Survey,
Observasi
(Radiologi, DPL,
Laboratorium)

Lokasi

Tanda-Tanda
MRS: Memar
(perut bagian
atas),Kesadaran
menurun Vital
Sign Normal.

Kondisi Tidak
Stabil:
TD : 80 mmHg
Nadi : 120
x/menit
RR : 28
x/menit
Syok
Hipovolemik

Perdarahan

Organ-organ
kemungkinan
terkena:
Spleen
Liver
Pancreas
Gaster
Intestine
Aorta
Abdominal

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

LEARNING OBJECTIVE

1. Penjelasan Diferensial Diagnosis


a. Lien
b. Hepar
c. Pancreas
d. Gaster
e. Intestinal
f. Aorta Abdominalis
g. Diafragma
2. Tatalaksana Syok
3. Alur Tatalaksana Trauma Abdomen
4. Pembedaan Trauma Tajam & Tumpul
5. Indikasi Laparotomi

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Pendekatan Diagnosis
Dari scenario didapatkan pasien datang setelah mengalami kecelakaan
motor. Pasien dalam keadaan mengerang dengan kesadaran pasien
menurun. Dan berdasarkan pemeriksaan didapatkan luka memar atau
kebiruan didaerah perut bagian atas. Berdasarkan hal-hal tersebut jelas
pasien mengalami trauma yang menimbulkan beberapa hal yaitu:
1. GCS E3V4M4
GCS merupakan skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran seseorang. Selain itu GCS juga digunakan dalam menilai
secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum
dalam

deskripsi

beratnya

penderita

cedera

kepala.

Nilai

maksimum/total terbesar adalah 15 dengan arti pasien yang


mampu membuka kedua matanya secara spontan, dan mematuhi
perintah. Nilai minimal 3 dengan arti yang keseluruhan otot
ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali.
Interpretasinya jika GCS 8 maka pasien dapat dikatakan jatuh
dalam keadaan koma, sedangkan bila GCS > 9 maka pasien
dikatakan belum jatuh dalam keadaan koma.
Jenis Pemeriksaan
Respon Buka Mata (Eye Opening)

Nilai

Spontan

Terhadap suara

Terhadap nyeri

Tidak ada
Respon Motorik Terbaik (M)

Ikuti perintah

Melokalisir nyeri

5
6

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Fleksi

December
7, 2009

(menarik 4

normal

anggota yang dirangsang)


abnormal 3

Fleksi

(dekortikasi)

abdominal 1

Ekstensi
(deserebrasi)
Tidak ada (Flasid)
Respon Verbal (V)

Berorientasi baik
Berbicara
(Bingung)

mengacau 4
3

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tidak ada
Berdasarkan penjelasan diatas, maka arti GCS pasien adalah:
E3 terhadap suara
V4 berbicara mengigau
M4 fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
Maka, pasien masih tidak jatuh dalam keadaan syok.
2. Memar kebiruan pada perut bagian atas
Hal ini dimungkinkan terjadi karena benturan yang keras dengan
benda tumpul sehingga mengakibatkan kebiruan, dan dengan
adanya warna kebiruan tersebut menandakan bahwa terjadinya
proses

perdarahan

dibawah

kulit,

dan

kemungkinan

dapat

ditimbulkan oleh kerusakan organ didalam rongga perut bagian atas


seperti Lien, Hepar, Pankreas, Gaster, Intestine, Aorta Abdominalis
atau diafragma.
3. Vital Sign yang Berubah setelah 3 jam
7

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Perubahan

vital

sign

yang

sangat

cepat

ini

December
7, 2009

kemungkinan

diakibatkan terjadinya perdarahan massif, sehingga menimbulkan


perubahan vital sign. Dari perubahan vital sign tersebut dengan
tekanan darah menurun menjadi 80 mmHg/palpasi, nadi 120
x/menit,

lemah,

dan

RR

28

x/menit,

maka

menandakan

kemungkinan besar pasien telah jatuh dalam keadaan Syok


Hemoragik.
Beberapa Klasifikasi Syok Hemoragik yaitu:

Perdarahan Klas I kehilangan darah sampai 15%. Gejala


klinisnya minimal, dan tidak ada perubahan yang berarti dari
TD, N atau RR.

Perdarahan Klas II kehilangan volume darah 15-30%.


Gejala-gejala klinisnya adalah takikardi (denyt jabtung > 100
x/menit

pada

orang

dewasa),

tekanan

nadi

(berhubungan

takipneu

dengan

dan

penurunan

peningkatan

dalam

komponen diastolic karena bertambahnya katekolamin yang


beredar => menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi
pembuluh darah perifer). Tekanan sistolik hanya berubah
sedikit pada syok yang dini => karena itu penting untuk lebih
mengandalkan evaluasi tekanan nadi dari pada tekanan
sistolik. Temuan klinis lainnya adalah perubahan SSP yang
tidak jelas seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan.

Perdarahan Klas III kehilangan volume darah 30-40%.


Penderita hampir selalu menunjukkan tanda klasik perfusi
yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipneu yang
jelas, perubahan penting pada status mental dan penurunan
tekanan darah sistol.

Perdarahan Klas IV kehilangan volume darah > 40%.


Gejala-gejalanya meliputi takikardi yang jelas, penurunan
tekanan darah sistolik yang cukup besar, tekanan nadi yang
8

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

sangat sempit (tekanan diastolic yang tidak teraba), produksi


urine hampir tidak ada, kesadaran menurun jelas dan kulit
dingin disertai pucat.
Jadi berdasarkan yang terjadi pada scenario, pasien mengalami
Syok hemoragik Klas II.

4. Dinding Abdomen menegang


Karena sebelumnya pasien dijelaskan mengalami perdarahan, maka
yang mengakibatkan terjadi penegangan pada Abdomen adalah
perdarahan

itu

sendiri

yang

berkumpul

didaerah

abdomen,

sehingga mengakibatkan distensi abdomen.


5. Penurunan Bising Usus
Hal ini dapat dikarenakan pada syok hemoragik darah dialirkan ke
organ yang lebih Vital, sehingga sirkulasi kedaerah GI sedikit, dan
terjadi penurunan perfusi pada saluran GI, yang nantinya akan
mengakibatkan penurunan gerakan peristaltic, dan akhirnya terjadi
penurunan

bising

usus.

Namun

dapat

juga

dikarenakan

penumpukan cairan pada intraabdominal yang mengakibatkan


penegangan dinding abdomen, sehingga terjadilah peritonitis yang
akhirnya akan mengakibatkan penurunan penghantaran gelombang
suara peristaltic usus.
6. Air Fluid Level
Adanya Air Fluid level kemungkinan terjadinya perforasi pada
saluran

cerna

yang

berongga,

sehingga

akan

memberikan

tampakan seperti tangga yang member batasan antara gambaran


cairan dan udara pada foto Rontgen.
7. Peritoneal Lavase Positif (+)

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Didapatkan hasil positif pada DPL dikarenakan adanya timbunan


cairan atau darah pada Intraperitoneum. Pemeriksaan ini berperan
dalam menentukan pemeriksaan berikut yang perlu dilakukan pada
penderita dan dianggap 98% sensitive untuk perdarahan intraperitoneum. Ada beberapa Indikasi dan Kontra Indikasi penggunaan
DPL ini.
Kontra Indikasi:
Absolute: indikasi yang jelas untuk tindakan laparotomi
Relative:

secara

teknik

sulit

dilakukan

seperti

kegemukan,

pembedahan abdominal sebelumnya, kehamilan lanjut


Indikasi :
gejala klinik yang meragukan
kesadaran pasien menurun setelah trauma kepala atau intoksikasi
penderita dengan hemodinamik abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa jika terdapat hal-hal berikut, yaitu:

perubahan

sensoris-cedera

kepala,

intoksikasi

alcohol,

penggunaan obat terlarang.

Perubahan perasaan-cedera jaringan syaraf tulang belakang

Cedera pada struktur berdekatan-tulang iga bawah, panggul,


tulang belakang dari pinggang ke bawah (lumbal spine).

Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan penderitaanastesi umum untuk cedera yang lain dari abdomen, study
pemeriksaan rontgen yang lama waktunya, seperti angiografi
(penderita hemodinamis noemal atau abnormal)

Dalam scenario ini membahas mengenai trauma. Trauma itu ada 3


macam yaitu trauma tumpul yang ada pada kasus, trauma tembus dan
trauma tembak. Dan masing-masing trauma tersebut dapat membuat
seseorang yang mengalaminya jatuh kedalam keadaan syok, dikarenakan
perdarahan. Jadi dalam mengatasi trauma ini dilakukan beberapa hal
10

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

ketika

bertemu

pertamakali

dengan

seseorang

yang

December
7, 2009

mengalami

kecelakaan dengan adanyanya trauma. Maka tatalaksana pertama atau


penanganan awal pada pasien dengan trauma dilakukan beberapa hal
dibawah ini, yaitu:

11

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

1. In addition to hypotension: pallor, tachycardia or diaphoresis may be


early signs of hypovolemia
2. Tachypnia (hyperventilation) alone will not necessarily initiate this
level of response.
3. Altered sensorium secondary to sedative-hypnotic will not necessarily
initiate this level of response.
4. High Energy Event signifies a large release of uncontrolled energy.
Patient is assumed injured until proven otherwise, and multisystem
injuries may exist. Determinants to be considered by medical
professionals are direction and velocity of inpact, use of personal
protection devices, patient kinematics and physical size and the
residual signature of energy release (e.g. Major vehicle damage).
Motor vehicle crashes when occupants are using personal safety
restraint devices man not be considered a high energy event because
the personal safety restraint will often protect the occupant from
absorbing high amounts of energy.
5. Clinical judgment must be exercised and may upgrade to a high level
of response and activation. Age and co-morbid conditions should be
considered in the decision.

Dari penjabaran di atas, menjelaskan penanganan awal pada pasien


dengan trauma. Dalam kehidupan sehari-hari yang paling banyak terjadi
adalah trauma tumpul dan trauma tembus. Dan untuk penanganan awal
dari masing-masing trauma berbeda.

12

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Trauma tembus
Luka tusuk dan luka tembak kecepatan rendah menyebabkan
kerusakan

jaringan

karena

laserasi

atau

terpotong.

Luka

tembak

kecepatan tinggi mengalihkan lebih banyak energi kepada organ-organ


abdomen, mempunyai efek perlubangan tambahan sementara, dan peluu
mungkin

berguling atau pecah, sehingga menyebabkan banyak cedera

lagi.
Luka tusuk melintas struktur abdomen di dekatnya dan paling
umum mengenai hati (40%), usus kecil (30%), diafragma (20%) dan usus
besar (15%). Luka tembak menyebabkan lebih banyak cedera dalam
abdomen karena perjalanannya yang lebih panjang di dalam tubuh dan
juga berdasarkan energi kinetis yang lebih besar dan dapat mengenai
usus kecil (50%), usus besar (40%), hepar (30%) dan struktur vaskuler
abdomen (25%).
Semua penderita dengan luka tembus dekat perut dan disertai
hipotensi, peritonitis, atau eviserasi memerlukan laparotomi segera.
Penderita dengan luka tembak yang jelas melintas rongga peritoneum
atau

daerah

visceral/vascular

dari

retroperitoneum

pada

watu

pemeriksaan fisik atau pemeriksaan rontgen rutin juga memerlukan


laparotomi gawat darurat. Penderita tanpa symptom dengan luka tusuk
perut anterior yang menembus fasia atau peritoneum waktu pemeriksaan
luka local dievaluasi melalui serial pemeriksaan fisik atau DPL. Penderita
tanpa symptom dengan luka tusuk di pinggang atau punggung dievaluasi
melalui serial pemeriksaan fisik atau CT kontras. Lebih aman melakukan
laparotomi pada penderita dengan luka tembak di pinggang dan
punggung.
13

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Evaluasi luka tembus


Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang
ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksakan lukanya secara local
untuk menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila
ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. Prosedur ini tidak
digunakan untuk luka di atas tulang iga karena resiko akan menyebabkan
pneumotoraks.
Pemeriksaan lokal luka tusuk
Pada penderita tanpa peritonitis atau hipotensi maka pemeriksaan
lokal pada luka tusuk yang dilakukan ahli bedah akan bermanfaat karena
25%-33% dari luka tusuk di perut depan tidak menembus peritoneum.
Dengan kondisi steril, dan anestesi lokal, jalan luka diikuti melalui lapis
dinding abdomen. Bila ditemukan penetrasi melalui fasia depan maka
kemungkinan adanya cedera intraperitoneum akan lebih tinggi. Setiap
penderita dimana jalan luka tidak dapat diikuti karena kegemukan, kurang
kerjasama, atau perdarahan soft tissue atau ditorsi, harus diadakan
evaluasi lanjutan.

Skrining

pemeriksaan

rontgen

untuk

trauma

untuk

trauma

tembus
Penderita yang hemodinamis abnormal dengan luka tembus di
abdomen tidak memerlukan pemeriksaan rontgen di bagian gawat
darurat. Kalau penderita hemodinamis normal dan mempunyai trauma
tembus di atas pusar atau diduga cedera torakoabdominal, foto rontgen
toraks

tegak

berguna

untuk

menyingkirkan

adanya

udara

intraperitoneum. Setelah cincin atau clip penanda dipasang pada semua


tempat luka keluar masuk toraks, abdomen dan panggul pada penderita
yang normal hemodinamis, dapat dibuat pemeriksaan rontgen abdomen
14

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

sambil

tidur

untuk

menentukan

jalan

peluru

atau

December
7, 2009

adanya

udara

retroperitoneum.

Pemeriksaan fisik ditambah ekspolarasi lokal dari luka versus DPL


pada luka tusuk abdomen depan.
Kira-kira 55%-60% dari semua penderita dengan luka tusuk yang
menembus peritoneum depan menderita hipotensi, peritonitis, atau
sebagian

omentum

atau

usus

halus

keluar,

hal

mana

menuntut

laparotomi segera. Pada 40%-45% penderita lainnya, dimana dapat


dikonfirmasikan atau diduga keras penetrasi peritoneum depan dengan
eksplorasi luka secara lokal, kira-kira setengah memerlukan operasi.DPL
diagnostik memberikan diagnosis cedera lebih dini pada penderita yang
relatif asimptomatis dan punya rata-rata ketelitian kira-kira 90% kalau
menggunakan hitungan sel.

15

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Trauma Tumpul (Blunt Trauma)


Pukulan langsung, misalnya kena pingggir bawah stir mobil atau
pintu

yang

masuk

pada

tabrakan

kendaraan

bermotor

dapat
16

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

mengakibatkan
Kekuatan

cedera

tekanan

atau

tindasan

pada

isi

December
7, 2009

abdomen.

ini merusak bentuk organ berongga atau padat dan dapat

mengakibatkan ruptur, khususnya pada organ yang menggembung


(uterus yang hamil), dengan perdarahan sekunder dan peritonitis.
Shearing injuries pada organ isi abdomen merupakan bentuk trauma yang
dapat terjadi bila suatu alat penahan (sabuk pengaman) diapaki dengan
cara yang salah. Penderita yang cedera dalam 6tabrakan kendaraan
bermotor juga dapat menderita cedera deselerasi karena gerakan yang
berbeda dari bagian badan yang bergerak dan yang tidak bergerak, pada
hati dan limpa yang sering terjadi (organ bergerak) di tempat jaringan
pendukung (struktur tetap) pada tabrakan tersebut. Pada penderita yang
dilakukan laparotomi oleh karena blunt trauma organ yang paling sering
cedera

adalah

limpa

(40-55%),

hati

(35-45%),

dan

hematoma

dapat ditanyakan riwayat trauma yang msialnya meliputi

kecepatan

retroperitoneum (15%).

Penilaian :
A. Riwayat Trauma

kendaraan, jenis tabrakan, posis penderita dalam kendaraan, dan


sebagainya.

Keterangan

mengenai

tanda-tanda

vital,

cedera

yang

kelihatan, dan besar dan lokas rasa sakit di abdomen, serta respon
terhadap terapi.
B. Pemeriksaan Fisik
Untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma, lalu menetapkan
derajat cedera.
Pengambilan contoh darah dan urine :
darah diambil dari salah satu vena permukaan dan dikirm untuk golongan
darah

dan

pemeriksaan

laboratorium

rutin

pada

penderita

yang
17

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

hemodinamiknya normal atau golongan darah crossmatch pada penderita


hemodinamiknya abnormaldan juga untuk pemeriksaan laboratorium
khusus seperti pemeriksaan DL, potasium, glukosa, amilase (trauma
tumpul), tingkat alkohol, dan tingkat HCG untuk menentukan kehamilan.
Contoh urine dikirim untuk analisis urine, kadar obat (drug) di urine.

Pemeriksaan Rontgen

untuk penderita dengan multitrauma, harus dilakukan pemeriksaan


rontgen servikal lateral, toraks AP, dan pelvis

18

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka kemungkinan besar korban


pada scenario mengalami cedera tumpul. Dan untuk cedera tumpul yang
19

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

bermanifestasi timbulnya memar pada daerah perut atas, maka ada


beberapa

kemungkinan

organ

abdomen

yang

terkena,

sehingga

mengakibatkan perdarahan yang akhirnya menyebabkan pasien jatuh


dalam keadaan syok, yaitu:
Trauma Lien
Trauma Hepar
Trauma Pankreas
Trauma Gaster (Peforasi Gaster)
Trauma Intestine
Trauma Aorta Abdominalis
Trauma Diafragma.
Kesemua dari trauma tersebut akan dibahas satu per satu dalam laporan
ini.

Overview Penyakit
Trauma Lien
20

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Epidemiologi
Trauma pada liver sangat umum ditemukan pada cedera abdomen
dikarenakan benda tumpul, tajam maupun luka tembak.
Etiologi
Blunt trauma: bias terjadi secara langsung (dipukul pada bagian perut kiri
atas) atau tidak langsung.
Trauma tajam: transabdominal atau transtorakal
Iatrogenic

Patofisiologi

21

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Spleen adalah organ lymfatik yang terletak intraperitoneal di


kuadran superior dektra. Organ ini sepenuhnya dikelilingi peritoneum,
kecuali pada bagian hilus dimana arteri, vena, pembuluh limfe dan
persarafan keluar. divaskularisasi oleh areri dan vena spleenika. Lien
terhubung dengan bagian kurvatura mayor gaster melalui ligamentum
gastrosplenic dan dengan ginjal terhungung oleh splenorenal ligament.
Bagian hilus dari lien seringkali terhubung dengan bagian distal dari
pancreas dan merupaka batas dari omentum bursa sinistra. Arteri
splenika merupakan cabang trunkus soeliacus, dimana arteri ini berjalan
pada bagian posterior omentum lalu kesebelah anterior ren sinistra dan
sepnajang tepi superior dari pancreas. Pada ligamentum splenorenal,
arteri ini bercabang menjadi 2-3 segment.
22

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Akibat

posisinya

yang

cenderung

tidak

December
7, 2009

terlindungi,

dan

vaskularisasinya yang cukup kaya seringkali cedera lien bisa berakibat


fatal. Hal yang paling perlu perhatian pada cedera lien adalah perdarahan
yang seringkali massif dan tidak terdeteksi. Hal ini karena perdarahan
dapat berkumpul pada ruang subkapsular (tamponade sementara)
sehingga tidak menimbulkan gejala hingga terjadi rupture/pecah. Pada
kondisi ini, gejala syok dapat muncul setelah berhari-hari pasca trauma,
akibat kehilangan darah massif.
Derajat kerusakan lien:
Injury Grade

Injury Type

Hematoma
Laceration

II

Hematoma
Laceration

III

Hematoma

Laceration
IV

Laceration

Laceration
Vascular

Description of Injury

Subcapsular, <10% surface area


Capsular tear <1 cm parenchymal
depth
Subcapsular, 10%-50% of surface
area
Intraparenchymal, <5 cm in
diameter
Capsular tear 1-3 cm parenchymal
depth not involving a trabecular
vessel; subcapsular >50% of
surface area or expanding;
ruptured subcapsular or
parenchymal hematoma;
intraparenchymal hematoma >5
cm or expanding
>3 cm parenchymal depth or
involving trabecular vessels
Laceration involving segmental or
hilar vessels producing major
devascularization (>25% of
spleen)
Completely shattered spleen
Hilar vascular injury which
devascularizes spleen

Diagnosis
23

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Manifestasi cedera lien berfariasi dari mulai asimptomatik hingga


dapat menunjukkan tanda-tanda syok yang parah. Selain itu dapat
ditemukan nyeri pada abdomen bagian kuadran superion sinistra dan
dapat menjalar hingga punggung kiri. Dapat teraba massa di perut bagian
kiri atas dan hasil perkusi menunukan suara pekak akibat banyaknya
darah/cairan.Tetapi umumnya gejala-gejala ini tidak terlalu spesifik. Untuk
itu pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk mendiagnosis rupture
lien. Pemilihan pemeriksaan yang dilakukan sangat tergantung dari
kondisi pasien, untuk itu assessment awal berdasarkan Advanced Trauma
Life Support. Pada pasien dengan perdarahan intraabdominal massif
dengan hemodinamik tidak stabil seringkali laparotomi menjadi pilihan
untuk

diagnosis

dan

terapi

pasien.

Sedang

pada

pasien

dengan

hemodinamik stabil, observasi tetap diperlukan untuk memastika cedera


lien dan penanganan yang sesuai. Pemeriksaan yang dapat membantu
menegakan diagnosis adalah foto Rotgen yang dapat memperlihatkan
perbesaran

limpa

dan

desakan

terhadap

lambung

kearah

media.

Pemeriksaan yang paling baik untuk diagnosis cedera lien adalah dengan
CT scan.
Treatment
Pilihan terapi untuk cedera lien dapat dilakukan dengan teknik nonoperatif dan operatif.

Umumnya kebanyakan cedera lien merupakan

indikasi laparatomy, tetapi beberapa decade belakangan terapi cedera


lien dengan teknik non-operatif semakin berkembang dan menunjukkan
keberhasilan yang signofikan. Pemilihan tipe terapi dengan teknik nonoperatif didasari pada keadaan pasien, seperti kondisi hemodinamik,
kondisi pasien (misalnya pasien dengan penyakit kronis/usia tua), adanya
cedera organ lain yang menyertai dan luasnya/keparahan cedera pada
spleen. Keberhasilan dari tatalaksana non-operatif sangat terkait dengan
derajat cedera, yaitu sebesar 80-90% pada grade 1 dan 2. Pada pasien
24

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

grade 3, kemungkinan dilakukan terapi non-operatif sangat terkait dengan


kestabilan kondisi pasien dan hasil dari pemeriksaan fisiknya. Tatalaksana
dengan tidakan non-operatif ini meliputi menjaga hemodinamik tetap
stabil (resusitasi yang adekuat), meghentikan perdarahan, dan monitoring
pasien untuk mengobservasi perkembangan keadaannya.
Adapun pada pasien dengan trauma derataj 3 keatas disertai
dengan hemodinamik yang tidak stabil dapat dilakukan tindakan operatif
melalui laparatomi. Adapun perbaikan lien yang dilakukan dapat berupa
splenorafi, yaitu operasi yang bertujuan untuk mempertahankan limpa
yang fungsional dengan teknik bedah. Tekniknya dengan membuang
jaringan non-vital, mengikat pembuluh darah yang terbuka dan menjahit
kapsul limpa yang terluka. Selain itu dapat dilakukan splenektomi bila
spenorafi tidak dapat memperbaiki limpa.

25

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Trauma hepar
Epidemiologi

Lebih kurang 80% cedera hepar disebabkan trauma tembus

15-20% terjadi karena trauma tumpul

10-15% kematian akibat trauma hepar

Luka bacok angka kematiannya hanya 1%

Laki-laki lebih sering terjadi dari pada perempuan

Usia lebih sering 14-30 tahun

50% pasien meninggal

Etiologi
o Bisa diakibatkan karena fraktur costa yang mengenai liver
o Paling

sering

karena

kecelakaan

motor

dan

mengakibatkan

kematian yang lebih sering.

Manifestasi klinis
o Loss blood, gejala peritonitis, kuadran kanan atas tegang
o Ada

kalanya

orang

dengan

trauma

abdomen

tumpul

akan

mengalami abses hati


o Peritonitis
o Tanda blood loss yaitu: syok, hipotensi, penurunan hct.
o Nyeri abdomen, mual muntah.

26

December
7, 2009

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Liver injury
Grade

type

Description

hematom

Subscapular 10%
permukaan

II

Laserasi

Capsular fear

Hematom

Subscapular 10-15%
permukaan
intraparenkimal <10
cm(diawetes)

Laserasi

Capsular fear 1-3 cm


parenchymal

dept

<10 cm lebar
III

hematom

Subscapular 50%
permukaan

ruptur

intraparenkimal > 10
cm melebar
Laserasi

cm

laserasi

parenkim
IV

Laserasi

Disrepasi
25-75%
atau

Parenkim
dari

1-3

lobus
cocnaid

segment
V

laserasi

Disrepsi parenkim
75% lobus atau 3
couirawd

segment

pada single lobus


vaskular

Juxta hepatic venous


injury

seperti

retra

hepatic vena cava


VI

vaskular

Hepatic avulsion
27

December
7, 2009

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Patofisiologi
o 85% injury hepar melibatkan segmen 6,7, dan 8 pada liver
o Kemungkinan terjadi karena kompresi pada costa, vertebra, atau
posterior dinding abdomen
o Ligamentum

liver

menepel

pada

diafragma

dan

menempel

diposterior dinding abdomen dan terjadi shear force pada salama


trauma deselarisasi.
o Trauma liver sering terjadi karena mengkompres kosta. Hal ini
sering terjadi pada anak karena pada anak kosta fleksibel dan
mempermudah kontak pada liver. Selain itu, hepar anak lebih lemah
conective tissuenya dibanding dewasa
o Trauma juga bisa karena prosedur radiologi intervensional bisa
menyebabkan robekan hepar.

Komplikasi
Trauma hepar dapat mengakibatkan:
o Hematoma subscapular
o Laserasi
o Kontusi
o Distrupsi vaskular hepar
o Injury pada bile duct

Penatalaksanaan ruptur hepar


-

Tindakan pringle dan kompresi: dilakukan pada pasien dengan


cedera hepar yang besar.

28

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Drainase dengan drain suction tertutup: digunakan pada pasien


yang perdarahan heparnya secara spontan berhenti ketika abdomen
dibuks. Drain penrose dibiarkan pada tempatnya selama 5-10 hari
lalu perlahan-lahan dikeluarkan dalam waktu 3 hari.

Penjahitan, tehnik hemostasis dan drainase. Luka yang melibatkan


parenkim 2-3 cm dari sisi luar bisa ditutup dengan jahitan terputus
dengan benang kromikv 2-0 atau 0 pada jarum hepar yang tumpul
dikedua sisinya. Jahitan ini ditempatkan 2 cm di belakang tepi dari
pada luka. Jika jahitan robek melalui tempat pengikat, maka dipilih
tindakan penyokong dari omentum yang divaskularisasi. Pada
pasien tertentu dengan luka lebih superfisial dapat digunakan bubuk
mikrokristal kolagen atau avitene. Perdarahan parenkim dapat
dikendalikan dengan koagulator argon. Penjahitan hepar ditujukan
untuk mndapatkan hemostasis pada pintu masuk dan keluar dari
saluran luka tembak yang panjang pada hepar saat ini masih
kontroversial.

Ligasi ekstra hepatik digunakan jika tindakan pringle mengontrol


perdarahan intra hepatik, tetapi pencarian langsung laserasi hepar
secara cermat, menghilangkan kemungkinan adanya perdarahan
arterial yang nyata.

Reseksi debridemen dikerjakan untuk cedera hepar yang tidak rata


yang disebabkan luka tembak senjata angin, senjata api atau
trauma tumpul yang hebat. Tepi debridemen harus 2-3 cm melewati
pusat luka, dan perdarahan selama debridemen dikontrol dengan
penekanan jari pada parenkim dan atau sementara dengan tindakan
pringle. Perdarahan kecil saat

Lobektomi anatomis hepar untuk mengontrol perdarahan disiapkan


untuk pasien yang penjahitan heparnya tidak berhasil, debridemen
reseksi atau hepatomi dengan hemostasis intraparekimal tidak
mungkin oleh karena lokasi anatomis luka, atau jika oklusi arteri
hepatika gagal mengontrol perdarahan.

Trauma Pankreas
29

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Lebih kurang 70% cedera pankreas umumnya disebabkan oleh


trauma tembus, sisanya 30% karena trauma tumpul.
Diagnosis
Diagnosis dibuat setelah melakukan pembedahan pada pasien dimana
biasanya cedera pancreas merupakan bagian cedera kompleks akibat
trauma tembus.
Pada pasien dengan trauma tumpul, cedera ini bisa tersamar karena
tidak ada tanda-tanda nyeri abdomen, kenaikan kadar serum amylase
yang tidak spesifik. Hanya 65% pasien yang memperlihatkan kenaikan
kadar serum amylase, walaupun dengan transeksi yang lengkap. Tanpa
tanda rangsang peritoneum, kenaikan serum amylase bukan merupakan
indikasi laparotomi eksplorasi. Kenaikan serum amylase pada bilasan
peritoneum lebih sering dihubungkan dengan cedera usus halus dari pada
cedera pancreas. Kira-kira sepertiga pasien dengan hiperamilase tidak
menunjukkan tanda-tannda cedera pancreas yang signifikan.

Foto

roentgen abdomen rutin akan memperlihatkan tepi otot psoas yang


buram atau perpindahan letak lambung, tapi biasanya tidak begitu
membantu. Akhir-akhir ini CT Scan membantu menegakkan diagnosis
yang tersamar. Pilihan lain adalah melakukan endoskopi retrograde
kolangiopankreatogram ketika dicurigai ada kelainan tersebut sedangkan
gambaran roentgen tidak tampak apa-apa.
Pembedahan. Kontusio simple pada pankreas tanpa robekan kapsul
pembungkus

dan

duktus

serta

tanpa

perdarahan

persisten

tidak

membutuhkan penjahitan atau debridemen. Cedera ini didrainase dengan


pompa drain yang diletakkan langsung pada tempat memar dan diangkat
melalui traktus yang pendek.
Pankreatektomi distal dengan atau tanpa splenektomi merupakan
pilihan,

jika

pankreas

di

transeksi

sampai

ke

pembuluh

darah

mesenteriumkiri. Dalam mereseksi pankreas distal, ujung potongannya

30

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

dibentuk seperti mulut ikan. Transeksi pankreas sebaiknya dilakukan di


sebelah kanan dari pembuluh darah.
Pankreatik duodenektomi jarang diindikasikan kecuali jika kaput
pankreas

rusak

dan

seluruh

segmen

duodenum

mengalami

devaskularisasi.
Komplikasi
Komplikasi yang paling umum adalah fistula pankreas dan hampir semua
menutup dalam 1 bulan. Hiperalimentasi secara intravena berguna untuk
mempertahankan nutrisi dan keseimbangan nitrogen tanpa merangssang
pankreas. Fistula pankreas bida menimbulkan terjadinya abses pada
sakus-sakus dibawahnya dan daerah subfrenikus. Pada kebanyakan
pasien, timbulnya abses ini, mempunyai hubungan dengan cedera
gastrointestinal dan limpa.
Mortalitas
Angka mortalitas setelah luka tembus pada pankreas adalah 5%, luka
tembak 22%, dan trauma tumpul 19%.

31

December
7, 2009

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Perforasi Gaster
Perforasi

gastrointestinal

adalah

penyebab

umum

dari

akut

abdomen. Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik,


inflamasi

divertikulum

kolon

sigmoid,

kerusakan

akibat

trauma,

perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di
sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik
lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen
(perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).
Etiologi
1. Perforasi non-trauma, misalnya :
o akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia
o spontan pasa bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer.
o Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid : terutama pada
pasien usia lanjut.
o Adanya faktor predisposisi : termasuk ulkus peptik
o Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
o Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi
esofagus, gaster, atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan
sepsis.
2. Perforasi trauma (tajam atau tumpul), misalnya :
o trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik saat endoskopi.
o Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan
pisau)
o Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih umum pada anak
daripada dewasa dan termasuk trauma yang berhubungan dengan
pemasangan alat, cedera gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk
pengaman.

32

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Dari hasil penelitian di RS Hasan Sadikin Bandung sejak akhir tahun


2006 terhadap 38 kasus perforasi gaster, 32 orang di antaranya adalah
pengonsumsi jamu (84,2 persen) dan dari jumlah itu, sebanyak 18 orang
mengonsumsi jamu lebih dari 1 tahun (56,25 persen). Pasien yang palin
lama mengonsumsi jamu adalah sekitar 5 tahun. Frekuensi tersering
mengonsumsi jamu adalah seminggu tiga kali. Namun jamu yang mereka
konsumsi adalah jamu plus obat kimia atau yang sering dikenal dengan
jamu oplosan. Dari uji laboratorium, ternyata jamu tersebut mengandung
bahan kimia. Sebagian besar zat kimia tersebut merupakan golongan obat
yang bersifat antiperadangan dan antinyeri (anti-inflamasi) nonsteroid
(NSAID) di antaranya fenilbutazon, antalgin, dan natrium diclofenac, serta
golongan obat anti-inflamasi steroid di antaranya deksametasone dan
pregnisone Ruptur lambung akan melepaskan udara dan kandungan
lambung ke dalam peritoneum. pasien akan menunjukkan rasa nyeri
hebat, akut, disertai peritonitis. Dari radiologis, sejumlah besar udara
bebas akan tampak di peritoneum dan ligamentum falsiparum tampak
dikelilingi udara.
Patofisiologi
Dalam

keadaan

normal,

lambung

relatif

bersih

dari

bakteri

dan

mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi.


Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi
gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah
perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki
masalah

gaster

beresiko

terhadap

kontaminasi

peritoneal

dengan

perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga peritoneal


sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup
dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia
bertahap menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas gejala untuk
beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis bakterial
kemudian.

33

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel


inflamasi akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi
tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi
usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan
bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari
granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit,
degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik,
mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses
abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi
organ, dan syok dapat terjadi.

Tanda dan Gejala


Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di
perut.

Nyeri

ini timbul

mendadak, terutama

dirasakan di daerah

epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu


dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok
parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian
menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis
kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
di permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran
zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk
sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskuler. Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah
diafragma.

Peristaltis

usus

menurun

sampai

menghilang

akibat

kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu


badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita
tampak

letargik

karena

syok

toksik.

Rangsangan

peritoneum

menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran


34

December
7, 2009

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita


bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan
mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti pada saat
palpasi, tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.
PemeriksaanPenunjang
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan
vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika
temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan
ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini
dapat mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun
yang tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan sebelumnya.
1. Radiologi
Perforasi

gastrointestinal

adalah

penyebab

umum

dari

akut

abdomen. Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara,


cairan lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri.
Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar
dari

sistem

gastrointestinal.

Hal

ini

terjadi

setelah

perforasi

lambung, bagian oral duodenum, dan usus besar. Pada kasus


perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung
udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara bebas
terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi.
Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat
penting, karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah.
Radiologis memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam
memilih prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien
perlu dioperasi. Deteksi pneumoperitoneum minimal pada pasien
dengan nyeri akut abdomen karena perforasi gaster adalah tugas
diagnostik yang paling penting dalam status kegawatdaruratan
abdomen.

Seorang

dokter

yang

berpengalaman,

dengan
35

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

menggunakan teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara


sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto
abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri.
Untuk

melihat

udara

bebas

dan

membuat

interpretasi

radiologi dapat dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang


benar sangat penting. Setiap pasien harus mengambil posisi
adekuat 10 menit sebelum pengambilan foto, maka, pada saat
pengambilan

udara

bebas

dapat

mencapai

titik

tertinggi

di

abdomen. Banyak peneliti menunjukkan kehadiran udara bebas


dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas tampak pada posisi
berdiri

atau

posisi

decubitus

lateral

kiri.

Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi


dan tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine
menunjukkan pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar
50% pasien menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan,
lainnya adalah subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat
terlihat gambaran oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk
segitiga kecil juga dapat tampak di antara lekukan usus. Meskipun,
paling sering terlihat dalam bentuk seperti kubah atau bentuk bulan
setengah di bawah diafragma pada posisi berdiri. Football sign
menggambarkan adanya udara bebas di atas kumpulan cairan di
bagian tengah abdomen.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas
dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak
homogen karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini
khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil
menggunakan

teknik

kandung

kemih

penuh.

Kebanyakan,

ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.

36

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

3. CTscan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak
seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan
negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini
perforasi

gaster.

Ketika

melakukan

pemeriksaan,

kita

perlu

menyetel jendelanya agar dapat membedakan antara lemak dengan


udara, karena keduanya tampak sebagai area hipodens dengan
densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru adalah yang terbaik
untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan dilakukan dalam posisi
supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan
bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika
pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh
lebih baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis
dan retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak
selalu diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek
radiasinya.
Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara
bebas

tidak

terlihat

pada

scan

murni

klasik,

kita

dapat

menggunakan substansi kontras nonionik untuk membuktikan


keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan
udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum scanning. Cara
kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut secara
oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu
untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen barium
tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat
menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum.
Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi
ketepatan sampai 95%.

37

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Penatalaksanaan
Penderita

yang

lambungnya

mengalami

perforasi

harus

diperbaiki

keadaan umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi


elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak
diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada,
kebijakan nonoperatif

mungkin digunakan dengan terapi antibiotik

langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.


Tujuan dari terapi bedah adalah :
Koreksi masalah anatomi yang mendasari
Koreksi penyebab peritonitis
Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat
menghambat fungsi
leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah, makanan,
sekresi lambung)
Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan
saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit
primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik,
penderita usia lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan
memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan
untuk mencegah kekambuhan.
Prognosis
Prognosis sangat tergantung dari tindakan laparotomi dan pemberian
antibiotic

spectrum

luas

yang

cepat

dilakukan, untuk

mencegah

timbulnya sepsis yang cenderung menyebabkan kematian.


Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini.
Faktor-faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian :
Usia lanjut
Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya

38

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Malnutrisi
Timbulnya komplikasi
Komplikasi
Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan
bakteri pada gaster
Kegagalan luka operasi
Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan
luka operasi) dapat

terjadi segera atau lambat. Faktor-faktor berikut

ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi:


Malnutrisi
Sepsis
Uremia
Diabetes mellitus
Terapi kortikosteroid
Obesitas
Batuk yang berat
Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)
Abses abdominal terlokalisasi
Kegagalan multiorgan dan syok septik
Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada
septikemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau
leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler. Syok
septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut :
Hilangnya tonus vasomotor
Peningkatan permeabilitas kapiler
Depresi myokardial
Pemakaian leukosit dan trombosit
Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin, dan
39

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler


Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler
Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH
Perdarahan mukosa gaster.
Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan kegagalan sistem multipel
organ dan mungkin berhubungan dengan defek proteksi oleh mukosa
gaster
Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi
postoperative
Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan
predisposisi delirium postoperatif:
o Usia lanjut
o Ketergantungan obat
o Demensia
o Abnormalitan metabolik
o Infeksi
o Riwayat delirium sebelumnya
o Hipoksia
o Hipotensi Intraoperatif/postoperatif

Trauma Intestine
40

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Kausa major untuk terjadinya cedera duodenal adalah akibat


penetrating trauma, namun trauma tumpul juga dapat mengakibatkan
cedera duodenal dan sulit didiagnosis karena pasien memiliki tanda-tanda
uyag sulit diidentifikasikan sebagai cedera duodenuminsidengsi terjadinya
cedera duodenal bervariasi antara 3%-5% pada populasi. Kebanyakan
duodenal injuries terjadi bersamaan dengan organ intra abdomen lainnya
karena dekatnya struktur secara anatomis. Kecelakaan lalulintas, yang
menyebabkan trauma pada daerah the epigastrium adalah mekanisme
tersering pada duodenal injuries. Penyebab lainnya adalah, terjatuh.
Kompresi pada Closed-loop akibat dari benturan langsung pada usus yang
dalam keadaan penuh akan menyebabkan duodenal rupture.
Lokasi duodenum yang retroperitoneum (porsi kedua dan ketiga)
memberikan perlindungan dari trauma dan mempersulit diagnosis.trauma
duodenum yang terisolasi jarang ditemui dan tidak menyebabkan tanda
klinis yang signifikan. Hyperamylasemia terjadi pada 50% pasiendengan
blunt injury pada duodenum, dan hal ini bukan merupakan prosedur
diagnosis dari trauma duodenum, namun perlu dicurigai.
Foto polos abdomen dapat memperlihatkan duodenal injury dengan
menunjukkan mild scoliosis, hilangnya bayangan psoas kanan, hilangnya
udara didalam duodenal bulb, atau udara bebas didaerah retroperitoneum
menyelimuti ginjal. Diagnosis definitive dapat menggunakan diatrizoate
meglumine (Gastrografin) upper gastrointestinal series atau CT scan
abdomen

dengan

kontras

hemodinamiknya stabil.

peroral

dan

IV

pada

pasien

yang

Extravasasi kontras menunjukkan adanya

kebocoran dan merupakan indikasi laparotomi. tampakan duodenal


hematoma (coiled spring atau stacked coin sign) bukan merupakan
indikasi

eksplorasi.

Jika

hematom

menyebabkan

obstruksi

maka

diperlukan manajemen operatif.


Evaluasi

Intraoperative

duodenum

membutuhkan

mobilisasi

adequate dari duodenum menggunakan Kocher maneuver. Flexura


41

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

hepatica colon juga dimobilisasi untuk mendapatkan adequate exposure


pada porsi kedua duodenum,dan pemeriksaan pada porsi ketiga dan
keempat.

adanya

retroperitoneal

hematom

disekitar

duodenum

meningkatkan kecurigaan akan pancreatic injury.


Sekitar 80%-85% luka pada duodenal dapat diperbaiki secara
primer. Sedangkan sissanya 15%- 20% adalah luka berat dan perlu
prosedur lebih complex.

Duodenum Injury Scale


GRAD TYPE
OF
[*]
E
INJURY
DESCRIPTION OF INJURY
I

Hematoma Involving a single portion of the duodenum


Laceration Partial thickness, no perforation

II

Hematoma Involving more than one portion


Laceration Disruption <50% of the circumference

III

Laceration Disruption 50%-75% of the circumference of D2


Disruption 50%-100% of the circumference of D1, D3,
D4

IV

Laceration Disruption >75% of the circumference of D2 and


involving the ampulla or distal common bile duct

Laceration Massive disruption of the duodenopancreatic complex


Vascular

Devascularization of the duodenum

From Moore EE, Cogbill TH, Malangoni MA, et al: Organ injury scaling: II.
Pancreas, duodenum, small bowel, colon, and rectum. J Trauma 30:14271429, 1990, with permission.
D1, first portion of the duodenum; D2, second portion of the duodenum;
D3, third portion of the duodenum; D4, fourth portion of the duodenum.
Minor injuries (grade I dan II) didiagnosis dalam waktu 6 jam, simple
primary repair perlu dilakukan. Setelah 6 jam, resiko kebocoran akan
meningkat dan berbagai bentuk dekompresi pada duodenum (transpyloric

42

December
7, 2009

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

nasogastric tube, tube jejunostomy, atau tube duodenostomy) disarankan


penggunaannya.
Grade III disrupsi major dari duodenal circumference sebaiknya
diterapi dengan primary repair, pyloric exclusion, dan drainase atauby
Roux-en-Y duodenojejunostomy.
Grade IV sulit untuk diperbaiki.pada keadaan ini, primary repair
pada duodenum, perbaikan pada common bile duct, dan penempatan Ttube bersamaan dengan transpapillary limb atau choledochoenteric
anastomosis dapat dilakukan jika memungkinkan. Jika perbaikan dari
common bile duct tidak dapat dilakukan maka ligasi dan intervensi kedua
untuk biliary enterostomy dapat dilakukan. Pancreaticoduodenectomy,
jarang dilakukan, dilakukan untuk grade V.
Duodenal hematom diperkirakan sembuh dalam 10 -15 hari dengan
manajemen

suction

dengan

NGT

hingga

peristaltis

membaik

dan

pemberian makanan padat secara bertahap, eksplorasi diindikasikan jika


ada obstruksi persisiten. Insidensi komplikasi mulai dari 30%
100%.

Komplikasi yang paling

sering

terjadi

adalah

hingga

terbentuknya

duodenal fistula, pada 5% -15% pasien. Duodenal fistulas memerlukan


tatalkasana nonoperatif dengan menggunakan NGT, IV nutritional support,
dan perawatan lambung yang agresif. Biasanya penutupan fistula akan
terjadi setelah 6-8 minggu. Abses berkembang pada 10%-20% pasien dan
mungkin bersamaan dengan duodenal fistula. Abses diterapi dengan
menggunakan percutaneous drainage. Surgical drainage diindikasikan
pada pasien dengan multiple abses atau jka lokasinya diantara small
bowel loops.
Small Intestinal Injuries Palingsering akibat penetrating trauma.
Pada trauma tumpul terjadi sekitar 5%-20% pasien yang perlu operasi
eksplorasi. Mekanisme trauma yang menyebabkan cedera intestinal
diantaranya:
1. Benturan

keras

intestinal

antara

vertebral

bodies

dan

objek
43

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

benturan.
2. Deceleration

yang

merobek

tempat

fiksasi

intestinal

seperti,

ligament of Treitz dan ileocecal valve dan sekitar mesenteric artery


3. Closed-loop rupture disebabkan oleh penambahan yang tiba-tiba
tekanan intra-abdominal
Penggunaan seat belt meningkatkan kecurigaan pada cedera
enteric dan mesenteric. Mayoritas pasien cedera intestinal memilikitanda
adanya peritoneal irritation.namun laserasi yang kecil dapat dibarengi
dengan mild abdominal pain tanpa peritoneal signs. Jika peritoneal signs
atau hemodynamic tidak stabil pasien harus mendapatkan laparotomi
eksploarasi.
Diagnosis dilakukan engan serangkaian tes, untuk menenp\tukan
indikasi

eksplorasi

yang

jelas.

Foto

polos

abdomen

dapat

menunjukkanudara bebas,DPL tidak dapat dipercaya secara spesifik


terutama jika terdapat kebocoran minor. CT scan dengan kontras IV dan
oral dapat menunjukkancairan bebas didalam cavum peritoneum tanpa
kerusakan organ padat, udara bebas,dan penebalan dinding intestinal
atau mesentery. Hasil Negative abdominal CT tanda perforasi yang
inadequate. Kadang robekan besar pada mesentery akan terjadi tanpa
kerusakan usus. Pada kasus ini nekrosis dan perforasi subsekuen terjadi
beberapa

jam-hari

setelah

trauma

dan

pasien

dapat

merassakan

peritoneal signs, acidosis, dan sepsis.


Saat laparotomy, pemeriksaan menyeluruh dan control perdarahan
intestinal harus dilakukan secara menyeluruh untuk mencegah rupture
lebih lanjut. Penggunaan claps, ligasi dan jahitan dalam pengontrolan
perdarahan. Luka tusuk dan tembak sebaiknya dilakukan debridement
jaringan yang rusak. Jika ditemukan luka yang bersebrangan dapat di
tutup secara transversal dan mencegah terjadinya penyempitan lumen.
Tahap inisial dilakukan dengan penggunaan NGT untuk dekomprresi
dan memulihkan peristaltis usus. Komplikasi posoperaatif seperti intra44

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

abdominal abscess, sepsis, anastomotic leakage, infeksi luka, enteric


fistulas, dan intestinal obstruction.

Trauma Diafragma
Robekan tumpul dapat terjadi di setiap bagian diafragma, namun,
hemidiagfragma kiri lebih sering cedera. Cedera yang paling sering terjadi
adalah robekan sepanjang 5 sampai 10 cm dan meliputi hemidiafragma
kiri posterolateral. Pada saat pertama kali dilakukan rontgen thoraks,
maka yang mungkin nampak adalah terangkatnya atau blurring
(kaburnya) hemidiafragma, hemothoraks, bayangan gas abnormal yang
menyembunyikan hemidiafragma atau pipa gastric (nasogastrik tube)
yang tampak terletak di dada. Namun, perhatikan rontgen dada
permulaan bisa juga normal pada sebagian kecil penderita.
Diafragma merupakan otot utama pernafasan, yang turun saat
inspirasi

untuk

menghasilkan

tekanan

subatmosferik

yang

lebih

besardalam rongga pleura dan naik saat ekspirasi. Karena tubuh sangat
mengandalkan diafragma untuk fungsi respirasi, maka setiap saat
terjadipenurunan fungsi diafragma, secara bersamaan akan terjadi
disfungsi respirasi. Tubuh memiliki berbagai mekanisme kompensasi
terhadap penurunan fungsi diafragma, walau begitu, tidak ada satupun
proses yang dapat mencegah terjadinya bahaya terhadap respirasi jika
penyimpangan fungsi diafragma cukup besar atau bahkanfungsinya sama
sekali hilang.
Ruptur diafragma akibat trauma merupakankasus yang jarang
terjadi, dan biasanya terjadi pada trauma tumpul hebatataupun trauma
45

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

tusuk lainnya pada dada, abdomen atau pelvis. Delapan puluh sampai
sembilan puluh persendari ruptur diafragma akibat trauma tumpul
diakibatkan oleh kecelakaankendaraan bermotor. Jatuh, ataupun trauma
lainnya seperti akibat kekerasanjarang dilaporkan.
Ruptur pada diafragma kanan lebih jarang terjadi bila dibandingkan
dengan sisi kiri (sekitar 24,2% : 68,5%). Hal ini dimungkinkan berkat
adanya efek proteksi dari hepar yang dapatmenghantarkan tekanan ke
area yang luas. Herniasi organ intraabdomen ke dalam rongga pleura
pada ruptur diafragma kanan jarang terjadi,hanya terlihat pada 19%
kasus sementara herniasi pada ruptur diafragma kiriterdapat pada sekitar
58% kasus.
Mekanisme rupturdiafragma akibat trauma tumpul berkorelasi
dengan terjadinya peningkatanmendadak dari tekanan intraabdominal,
yang menciptakan beda tekanan yang besarantara rongga abdominal
dengan torakal. Benturan lateral darikecelakaan kendaraan bermotor
memungkinkan terjadinya

ruptur diafragma 3 kalilebih besar dari

benturan lainnya, karena benturan lateral dapat merusakdinding dada


dan merobek diafragma ipsilateral. Benturan frontal darikecelakaan
kendaraan

bermotor

dapat

menyebabkan

peningkatan

tekanan

intraabdomen, yang mengakibatkan robekan radial yang panjang pada


daerahposterolateral diafragma, yang merupakan titik lemah diafragma
secaraembriologik. Pada kasus ini terjadi benturan lateral, terlihat
dariadanya jejas pada regio dada kanan lateral bawah pasien.
Temuan klinis pada pasien dengan ruptur diafragma
meliputi:
(1) distress pernafasan,
(2) suara nafas yang melemah pada sisi yang terkena,

46

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

(3) terabanya organ intraabdomen pada saat pemasangan chest


tube,
(4) terdengarnya bising usus pada pemeriksaan auskultasidada,
ataupun adanya
(5) gerakan paradoksal abdomen saat bernafas.
Pada kasus ini pasien mengalami distress pernafasan, sertadalam
perawatan ditemukan suara nafas yang melemah pada dada kanan
bawah.Ditambah dengan adanya riwayat trauma dan jejas pada dada
kanan lateral bawah,seharusnya hal itu sudah menimbulkan kecurigaan
terhadap kemungkinan terjadinyaruptur diafragma kanan.
Ruptur diafragma karena trauma tumpul seringtidak terdiagnosis
bila tidak ada indikasi untuk operasi segera. Hal inidisebabkan karena
gambaran abnormalitas pada pemeriksaan radiologik diafragma,terutama
hemidiafragma kanan, sering diinterpretasikan sebagai trauma pada
toraks.2Foto Roentgent dada hanya dapat memberikan kesan gambaran
ruptur diafragma pada17-40% kasus. Bayangan abnormal pada lapang
paru kanan bawah pascatrauma dapat menjadi kecurigaan adanya
perlukaan pada diafragma seperti yangdidapatkan pada gambaran
Roentgent dada pasien saat perawatan hari ke-2 pre-operatifpada kasus
ini. Pada kasus-kasus tanpa indikasi untuk dilakukan laparotomiseperti
pada

kasus

ini,

evaluasi

berulang

pasca

trauma

perlu

dilakukan

untukmenyingkirkan adanya ruptur diafragma.


CT scan juga merupakan alat diagnostik yangdapat membantu
penegakan diagnosis ruptur diafragma. CT scan aksial memilikisensitivitas
61% dan spesifitas 87%.6 Keterbatasan akurasi dalammemperlihatkan
perlukaan pada diafragma berhubungan dengan bidang aksial CTscan ini
yang berjalan paralel dengan kontur diafragma. Temuan CT scan aksial
meliputidiskontinuitas diafragma, herniasi visera intratorakal atau lemak
omentum, dan collar sign yang berkaitan dengankonstriksi lengkung usus
47

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

yang

mengalami

herniasi.

Namun

lesi

pada

December
7, 2009

diafragma

kanan

kurangtervisualisasi karena diafragma bersinggungan dengan permukaan


hepar. Lebih lanjut, perbedaan antara herniasi hepar lewat robekan
diafragma dengan faktorlain penyebab elevasi diafragma, lebih kurang
terlihat bila dibandingkan dengandeteksi visera berongga yang terherniasi
pada dada kiri. Sedangkan untuk CTscan helikal, dengan kemampuannya
untuk mendapatkan data volumetrik dangambaran koronal dan sagital
dengan kualitas yang baik, merupakan alatdiagnosis yang cukup baik
untuk evaluasi diafragma.
USGdapat juga berguna untuk diagnosis. Pada beberapa kasus
ruptur diafragma kanan di mana terdapat pengumpulan cairan pada
rongga pleura, USG dapatmemperlihatkan gambaran pinggiran bebas dari
tepi diafragma yang robek sebagaiflap dalam cairan pleura ataupun
herniasi hepar ke dalam rongga toraks. Namun pada kasus ini diafragma
tidak dapat dinilai dengan pemeriksaan USG kemungkinan karena adanya
desakan

hepar

terhadap

diafragma.

Perlu

diingat

pula

bahwa

pemeriksaan USG sangat bergantung pada kemampuan operator dan


seringkaliterbatas penggunaannya pada kejadian trauma akut.
Torakoskopi merupakan suatu tindakanyang aman dan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang sangat tinggi untukdiagnosis ruptur
diafragma

akibat

trauma.

merencanakanpembedahan

dan

Torakoskopi
memperbaiki

juga

berguna

ruptur

untuk

diafragma

itu

sendiri.

48

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Trauma Aorta Abdominalis


Sindrom TAI (Traumatic Aortic Injury) ditandai dengan rupturnya
aorta (pseudoaneurisme), yang relative terjadi silent (trauma dalam).
Rupture aorta yang tak tertangani cepat akan menyebabkan eksanguinasi
dan kemudian berakhir dengan kematian. Tantangan klinis yang sering
dihadapi adalah stabilisasi pasien dengan cepat, serta evakuasi pasien ke
pusat emergensi serta karena terapi definitive yang kurang siaga pada
ruptur aorta ini.
Sindrom TAI (Traumatic Aortic Injury) dilaporkan terjadi pada 1029% pasien dengan trauma tumpul aorta(BAT, blunt aortic trauma). Data
dari Medical College of Wisconsin menyebutkan bahwa sebanyak 181
pasien BAT dari tahun 1986 1990, dan pasien sindrom TAI sebanyak
17%. Dari pemeriksaan didapatkan lokasi trauma di ismus (74%), arteri
anteromedial (52%), arteri subklavia (3%), arkus 3% dan lainnya 32%.
49

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Patofisiologi
BAT disebabkan biasanya karena trauma deselerasi. Bagian yang
sering terkena adalah jantung, pembuluh besar, leher, dan organ-organ
abdomen. Gejala klinis pada trauma penetrasi berbeda dengan trauma
tumpul. Trauma deselarasi atau trauma tumpul pada aorta paling sering
pada aorta thoracic, kecuali pada selt-belt injury, paling sering adalah
aorta abdominalis. Diagnosa harus cepat dan tepat karena injuri aorta
sangat mengancam jiwa.
Robekan aorta biasanya melintang dan melibatkan beberapa
lapisan

aorta

dengan

derajat

yang

bervarisasi.

Robekan

komplit

menembus intima, media, dan adventisia bisanya akan menyebabkan


pasien langsung syok dan meninggal. Pseudoaneurisme melibatkan
adventisia dan tidak jarang pula struktur-struktur mediastinal juga ikut
terlibat. BAT biasanya akibat dari injuri deselerasi, yang penyebab
terbanyaknya adalah kecelakaan sepeda motor dan jatuh dari ketinggian.
Pada triage dilihat adanya cedera potential pada pasien karena BAT
bersifat pseudoaneurisme.
Manifestasi Klinis
Pertanda dan gejala klinis TAI tidak spesifik, dan pada beberapa bagian
bersifat indirect. Pada onset biasanya terjadi hipovolemia berat. Tanda
dan gejala TAI dikaitkan dengan politrauma seperti fraktur vertebra.
Temuan radigrafi pasien TAI:

Sign
Mediastinum > 8 cm

Aortic

Normal Aortographic

Laceration, %

Findings, %

75.5

73.3
50

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Indistinct descending aortic

75.5

94.7

12.2

15.4

61.2

31.6

66.7

23.1

53.1

26.3

Pleural apical cap

36.7

42.1

Fracture of rib 1 or 2

17.0

30.0

arch contour
Indistinct descending aortic
contour
Trachea displaced to the right
NG tube or esophagus displaced
to the right
Left mainstem bronchus
displaced inferiorly

December
7, 2009

INDIKASI LAPAROTOMI PADA ORANG


DEWASA
A. Indikasi Berdasarkan Evaluasi Abdomen
1. Trauma tumpul abdomen dengan DPL positif atau ultrasound
2. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang
walaupun diadakan resusitasi yang adekuat
3. Peritonitis dini atau yang menyusul
4. Hipotensi dengan luka abdomen tembus
5. Perdarahan pada gaster, dubur, atau daerah genitourinaria
akibat trauma tembus
6. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitoneum
visceral/vascular
7. Eviscerasi(pengeluaran isi usus)
51

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

B. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Ronsen


1. Udara bebas, udara retroperitoneum atau ruptur hemidiafragma
setelah trauma tumpul
2. CT

scan

dengan

kontras

memperlihatkan

rupture

traktus

gastrointestinal, cedera kandung kemih intraperitoneal, cedera


renal pedicle atau cedera organ visceral yang parah setelah
trauma tumpul/tembusa

TATALAKSANA SYOK HIPOVOLEMIK


Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus
dilakukan adalah menenpatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi,
menjaga jalur pernapasan dan diberikan resusitasi cairan dengan cepat
lewat akses intra vena atau cara lain yang memungkinkan seperti
pemasangan kateter CVP atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan
adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat ( hati-hati terhadap
asidosis hipokloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti
Ringers Laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tidak ada bukti
medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik.
Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan
keadaan hemodinamik.
Untuk mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk
meningkatkan tekanan pengisisan ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan
52

December
7, 2009

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

tekanan

baji

paru

dengan

menggunakan

kateter

Swan-Ganz.

Bila

hemodinamik tetap tidak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan


belum

teratasi.

Kehilangan

darah

yang

berlanjut

dengan

kadar

hemoglobin 10 g/dL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis


darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang
digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat
maka dapat digunakan Packed Red Cels tipe darah yang sesuai atau Onegatif.
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan,
dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat
dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup
setelah volume darah dapat dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin infus
tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik.

Pemberian

nalokson bolus 30 mcg/Kg dalam 3-5 menit dilanjutkan 60 mcg/Kg dalam


1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP.
Selain

resusutasi

cairan,

saluran

pernapasan

harus

dijaga.

Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi


dapat dikerjakan. Kerusakan organ akhir jarang terjadi bila dibandingkan
dengan syok septik atau traumatik. Kerusakan organ dapat terjadi pada
susunan saraf pusat, hati, dan ginjal dan ingat gagal ginjal merupakan
komplikasi yang paling penting pada syok ini.

Signs and Symptoms for Different Classes of Shock

Class I

Class II

Class III

Class IV

Blood loss (mL) Up to 750

7501500 15002000

>2000

Blood

1530%

3040%

>40%

>100

>120

>140

loss Up to 15%

(%BV)
Pulse rate

<100

53

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

Blood pressure
Pulse

Class I

Class II

Class III

Class IV

Normal

Normal

Decreased

Decreased

or Decreased Decreased

Decreased

pressure Normal

(mm Hg)

December
7, 2009

increased

Respiratory rate 1420

2030

3040

>35

Urine

2030

515

Negligible

output >30

(mL/h)
CNS/mental

Slightly

Mildly

Anxious

status

anxious

anxious

confused

and Confused

and

lethargic

Algoritma Pemberian Tranfusi

54

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Daftar Pustaka
Sjamsuhidajat R., de Jong W., 2006. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC
Sobiston Texbook of Surgery. The Biological Basis of Modern
Surgical Practice. Ed. 17.
Suyono, S., 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke tiga.
Jakarta : Balai penerbit FKUI.
Doherty, Gerard M. 2009. Current Diagnosis and Treatment:
Surgery, 13e. USA: McGraw-Hill

Companies

Lewis Flint dkk, 2008. Trauma Cotemporary Principle and


Therapy. Lippincott Williams and Wilkins

55

LAPORAN TUTORIAL 8 KELOMPOK IV

December
7, 2009

Merican College of Surgeons Committee On Trauma. 1997.


ATLS Advenced Trauma Life Suport For Doctor. Student
Course American
Schwartz

56

Anda mungkin juga menyukai