Anda di halaman 1dari 54

PENELITIAN KOLONISASI MIKROORGANISME PADA LESI KULIT PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK ANAK DI MAKASSAR

AIRIN RISKIANTY NURDIN

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronik berulang yang sering terjadi pada usia bayi dan anak-anak, dengan abnormalitas pada fungsi barrier kulit dan sensitasi alergen,(Leung et al., 2008) dengan karakteristik seperti kekeringan, eritema, dan gatal yang hebat.(Goh et al., 1997) Istilah atopi diperoleh dari kata Yunani yang berarti tidak terbatas pada satu tempat, dan diperkenalkan tahun 1923 oleh Coca dan Cooke untuk menggambarkan status hipersensitivitas pada manusia yang ditandai dengan peningkatan kapasitas sampai bentuk reagin (sekarang diketahui sebagai IgE) yang berespon terhadap beberapa antigen.(Cohen, 2005, James et al., 2006, Krafchik et al., 2003) Dermatitis atopik dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan erat dengan penyakit atopik pada organ lain seperti rinitis alergika, asma pada penderita sendiri ataupun keluarganya.(Abramovits, 2005) Frekuensi insiden penyakit ini semakin bertambah dan data terakhir tentang imunopatogenesis penyakit ini mengarahkan kita pada model perawatan baru yang efektif.

Penyakit DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan sekitar 1 tahun pada 60% pasien, 30% terlihat pertama kali pada usia 5 tahun, dan hanya 10% timbul dermatitis atopik antara usia 6 sampai 20 tahun.(Paller and Mancini, 2006) Prevalensi pada anak tinggi, yaitu sekitar 80% apabila kedua

orangtuanya menderita DA. (Leung et al., 2003) Survey di negara berkembang menunjukkan 10-20% anak menderita DA. (Jacoeb, 2004) Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya. Faktor-faktor yang berperan antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis.(Leung and Soter, 2001, Leung et al., 2008, Friedmann and Holden, 2004) DA dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan erat dengan penyakit atopi pada organ lain seperti rinitis alergika, asma pada penderita sendiri ataupun keluarganya.(Abramovits, 2005) Gambaran klinis DA dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang memperngaruhi perjalanan penyakit DA adalah mikroba. Saat ini staphylococcus aureus (SA) diketahui berperan sebagai faktor pencetus yang menyebabkan reaksi peradangan kulit dan eksaserbasi dermatitis atopik.(Laonita and Indriatmi, 2000)

Flora normal pada manusia terdiri dari fungi dan bakteri, tapi bakteri merupakan komponen yang tersering dan nyata pada flora normal. Bakteri yang tersering pada kulit normal manusia adalah Staphylococcus epidermidis (SE) dan kemudian SA.(Todar, 2011) Tidak hanya bakteri, khususnya SA yang berperan sebagai faktor penyebab terjadinya DA, Malassezia yeast (MY) merupakan bagian dari flora normal pada kutaneus manusia, juga bisa ditemukan pada beberapa penyakit kulit; pitiriasis versikolor, dermatitis atopik, dermatitis seboroik dan beberapa bentuk.(Faergemann, 2002) Pasien DA menunjukkan kerusakan pada respon imun bawaan dan dapatan sehingga tingginya kerentanan terhadap infeksi bakteri, jamur dan virus, yang tersering adalah SA. Pada penderita DA terjadi peningkatan kejadian dari penyakit kutil yang disebabkan oleh human papillomavirus dan infeksi jamur kulit seperti yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum.(Baker, 2006) Lipofilik ragi malassezia merupakan patogen oportunistik yang merupakan bagian dari flora normal kulit. Ragi dapat ditemukan pada hampir seluruh area tubuh, tapi sebagian besar pada tempat yang kaya akan asam lemak dan terigliserida dari sebum. Faktor predisposisi yang memperngaruhi, ragi berhubungan dengan beberapa mikosis superfsial. Faktor predisposisi eksogen yang tersering adalah peningkatan temperatur dan kelembaban, factor edogen termasuk produksi sebum, hiperhidrosis, faktor herediter, terapi kortikosteroid, dan imunodefisiensi.(Gupta, 2005)

Dermatitis

atopik

(DA)

merupakan

inflamasi

dermatosis

yang

multifaktor dan belum diketahui patogenesisnya. Banyak faktor lingkungan termasuk SA dapat mengeksasebasi penyakit. Staphylococcus aureus dan beberapa bakteri lainnya umumnya berkolonisasi pada lesi eksematous dan kulit yang sehat pada penderita DA. Tingkat kolonisasi meninggi pada waktu eksaserbasi di bandingkan pada saat remisi dan juga berhubungan dengan keparahan dari lesi kulit.(Farajzadeh et al., 2008) Staphylococcus aureus merupakan organisme komensal pada

manusia dan menyebabkan infeksi dapat menyebar luas, selain itu juga menyerang beberapa penyakit, yang berperan penting pada penyakit kutaneus termasuk dermatitis atopik. (Lebon et al., 2009) Staphylococcus epidermidis muncul sebagai patogen nosokomial. Organisme ini umumnya sering pada kulit manusia dan mikroflora membran mukosa.(O'Gara and Humphreys, 2001) Masenga dkk1 menemukan SA pada tipe ekzim yang lain dari nonatopic origin (NAD), tapi SA lebih sering terisolasi dari kelompok atopik daripada kelompok NAD, lesi kedua kelompok tersebut 80% : 52% dan secara klinik pada kulit normal (63%:24%).(Lever, 2006) Beberapa fakta mengemukakan terdapat perbedaan pada prevalensi DA di antara setiap negara. (Krafchik et al., 2003) Makassar merupakan
1

Dikutip dari kepustakaan Lever, 2006

ibukota propinsi Sulawesi Selatan, secara geografik kota Makassar terletak pada 119 bujur timur dan 5 lintang selatan dan merupakan kategori daerah tropis karena letaknya dekat dengan garis khatulistiwa. Adapun kelembaban yang terjadi sekitar 73% hingga 93%, dengan rata-rata temperatur antara 25C dan 32C.(Anonymus, 2000) Data RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia di Makassar menemukan peningkatan jumlah kasus DA anak; 47 anak di tahun 2004, 106 anak di tahun 2005 dan 108 anak di tahun 2006. (anonymous) Data lainnya pada tahun 2010 di RS Wahidin makassar menemukan angka 16,34% dari seluruh kasus kunjungan penyakit kulit anak. (Anonymus, 2010) Dengan terlihatnya banyak mikroorganisme pada lesi kulit penderita DA, penulis mencoba untuk melihat pola mikroorganisme di Makassar. B. RUMUSAN MASALAH Apakah terjadi pola yang berbeda dari mikroorganisme pada penderita DA anak di Makassar ? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui derajat keparahan penyakit DA dengan pertumbuhan mikroorganisme pada penderita DA anak di Makassar.

2. Tujuan Khusus 1. Menilai derajat keparahan penyakit DA anak bedasarkan severity scoring of atopic dermatitis (SCORAD). 2. Menganalisis pertumbuhan mikroorganisme antara teknik swab kulit dan kerokan kulit. 3. Menganalisis pertumbuhan mikroorganisme dengan derajat

keparahan DA di Makassar. Dari kepustakaan sejauh pengetahuan penulis belum pernah ada laporan penelitian yang menganalisa mikroorganisme pada lesi kulit dermatitis atopik pada anak dengan derajat keparahan penyakit (SCORAD). D. MANFAAT PENELITIAN Memberi informasi dan sumber referensi bagi peneliti tentang pola Mikroorganisme pada kulit terhadap DA anak di Makassar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DERMATITIS ATOPIK

1. Definisi Atopi adalah predisposisi herediter terhadap alergi atau

hipersensitivitas. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke* pada tahun 1923 sebagai istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit, diantaranya adalah asma, hay fever, urtikaria, yang terjadi secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarga. Eksema untuk beberapa tahun digunakan di Amerika Serikat sebelum diperkenalkannya kata atopi untuk hipersensitivitas kulit pada penderita yang mempunyai riwayat alergi secara herediter. Wise & Sulzbergen* pada tahun 1933 menggunakan kata dermatitis atopik untuk menggambarkan suatu kelompok penyakit yang terjadi pada keadaan atopi yang dapat terjadi pada semua kelompok umur.(Paller and Mancini, 2006, Grammer, 1997) Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat kronis dan kumat-kumatan, dengan gejala gatal dari ringan sampai berat, umumnya

Dikutip dari kepustakaan Grammer ,1997

muncul pada waktu bayi, kanak-kanak ataupun dewasa. Penyakit ini sering berhubungan dengan peningkatan serum IgE dan adanya riwayat atopi, rinitis alergi dan atau asma pada penderita atau keluarganya.(Wuthrich and Grendelmeier, 2002, Ellis and Luger, 2003, Friedmann and Holden, 2004) 2. Epidemiologi Penelitian penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensi DA semakin berkembang sejak perang dunia II, karena 90% kasus DA

memiliki onset sebelum usia 5 tahun, banyak data yang berasal dari anakanak usia sekolah, 60% penderita DA mulai memberikan gejala pada tahun pertama kehidupan dan 20% menjadi penyakit rekuren seumur hidup. Berdasarkan penelitian terbaru, perkiraan prevalensi DA berkisar antara 10-20% pada anak-anak sekolah di AS, Eropa Barat dan Asia. (Kang et al., 2003) (Avgerinou et al., 2008) Data DA di Amerika Utara memperlihatkan perbedaan antar ras. Prevalensi DA negara industri terlihat angka yang tinggi. Suatu penelitian menggambarkan para imigran Cina di Hawai dan New Zealand mengalami peningkatan prevalensi DA yang bermakna dibandingkan dengan di negara asalnya. Hal ini menunjukan peran faktor lingkungan yang mempengaruhi prevalensi DA. (Eichenfield et al., 2003) Data RSUP Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia di Makassar menemukan peningkatan jumlah kasus DA anak; 47 anak di tahun 2004, 106 anak di tahun 2005 dan 108 anak di tahun

2006. (anonymous) Data lainnya pada tahun 2010 di RS Wahidin makassar menemukan angka 16,34% dari seluruh kasus kunjungan penyakit kulit anak. (Anonymus, 2010) 3. Faktor resiko dan faktor pencetus DA merupakan proses multifaktor, yaitu sebagai hasil peran kerjasama faktor genetik, lingkungan berupa paparan alergen, iritan atau perubahan cuaca, stress psikologis, disfungsi sawar kulit dan abnormalitas imunologi. Faktor resiko terjadinya DA antara lain : (Kang et al., 2003, Leung et al., 2008, Simpson and Hanifin, 2005, Mutius, 2002) a. Genetik Pada suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA, ditemukan insiden alergi pernapasan perseorangan sebesar 95% dan riwayat atopi dalam keluarga sebesar 73%. Dalam kohort tersebut, insiden asma alergik dan rinitis alergi pada anggota keluarga penderita yang tidak mengalami alergi pernapasan perseorangan cukup tinggi, masing-masing sebesar 73% dan 32%. Namun insiden DA dalam keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan atau tidak, masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa pewarisan DA tidak berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat dipengaruhi oleh fase atopik terutama alergi pernapasan.

10

Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen spesifik yang terlibat dalam atopi dan DA. Terdapat dua metode yang digunakan. Pertama, linkage analisis yang menentukan hubungan antara fenotip DA dengan kromosom tertentu. Kedua, menyelidiki hubungan DA dengan polimorfisme atau mutasi gen spesifik. Beberapa kromosom diduga berhubungan dengan faktor-faktor imunologis

esensial yang mengkode AD dan berperan dalam patogenesis penyakit ini. Kromosom 5q31 mengandung cluster family gen IL-4, termasuk gen sitokin multiple yang mengkode sitokin-sitokin Th2, seperti IL-4,IL-5 dan IL-13. Dermatitis atopik, asma bronchial dan rinitis alergi merupakan sindrom dari penyakit atopik. Karakteristik status atopik oleh respon uji tusuk kulit positif pada alergen yang umum. Sekitar 80% dari bayi dengan DA memperlihatkan peningkatan level serum total IgE (fenotip yang kira-kira 47% diturunkan). Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai peranan penting pada penyebab DA (dan kondisi atopik lainnya) karena risiko penyakit pada bayi biasanya sering meskipun tidak selalu ditemukan hubungan yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah.(Morar et al., 2006) b. Laktasi, terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) dengan yang non ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat DA.
11

Menyusui lebih baik daripada minuman/makanan formula untuk nutrisi bayi oleh karena keuntungan nutrisial, imunologi dan psikologik. Yang dkk, meneliti hubungan antara menyusui dan terjadinya DA yang menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat dari efek proteksi dari menyusui secara eksklusif paling tidak 3 bulan terhadap DA, meskipun diantara anak-anak dengan riwayat keluarga yang positif DA.(Yang et al., 2009) c. Sosioekonomi, DA lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Laporan prevalensi eksema meningkat 1.5-2 kali lebih tinggi pada sosial kelas atas I dan II. Beberapa studi membandingkan prevalensi sosial ekonomi pada penyakit yang fatal dan tidak fatal, hasilnya paling banyak penyakit menunjukkan prevalensi yang meningkat diantara kelompok

berpendidikan rendah. Alergi lebih sering pada kelompok berpendidikan tinggi. (Dalstra et al., 2005) d. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi

peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada

kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna.
12

e. Jumlah anggota keluarga: kejadian DA berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Beberapa hipotesis yang telah ada untuk menjelaskan efek keluarga. Hal in tampaknya tidak

memungkinkan bahwa usia ibu merupakan faktor penyebab yang mendasari. Suatu penelitian mengemukakan bahwa infeksi pada anakanak di tularkan oleh kerena kontak yang tidak sehat dengan keluarga lainnya atau dapatan dari ibu yang terinfeksi dengan anak lainnya, dapat mencegah terjadinya penyakit alergi. Faktor pencetus terjadinya dermatitis atopik antara lain: (Boediarja, 2000) a. Alergen Berbagai alergen setelah bereaksi dengan IgE mampu menimbulkan reaksi hipersensitivitas fase I di kulit, reaksi ini disebut IgE mediated reaction. Alergen makanan: molekul protein yang berasal dari makanan yang ditelan pada umumnya merupakan antigen pencetus reaksi alergi pada DA. Pada penderita DA diduga secretory IgA di usus menurun disertai permeabilitas usus meningkat. Reaksi di kulit dapat timbul dalam waktu relatif cepat, 1 jam atau 2 jam setalah menelan makanan yang mengandung antigen tersebut. Alergen hirup: telah diketahui bahwa debu rumah, tungau debu rumah (TDR), serta bubuk sari merupakan alergen hirup yang

13

berkaitan erat dengan asma bronkial pada atopi dan dapat menjadi faktor pencetus DA b. Bahan iritan Pada penderita DA lebih sering ditemukan dermatitis kontak iritan daripada dermatitis kontak alergik, hal ini mudah terjadi oleh karena kerusakan sawar kulit. Bahan iritan meskipun yang bersifat iritan lemah, dapat menyebabkan DA c. Infeksi Infeksi yang terjadi baik di kulit maupun organ lain terutama saluran napas atas, oleh virus mononukleosis dapat menjadi faktor pencetus DA. Staphylococcus aureus tidak hanya menimbulkan infeksi tetapi dapat bertindak sebagai superantigen. Protein A pada kapsul Staphylococcus aureus dapat berikatan langsung dengan IgE

sehingga memicu pelepasa histamin oleh sel mas dan basofil. Kolonisasi Staphylococcus aureus di kulit DA lebih banyak daripada kulit orang normal demikian pula kolonisasi pada lesi DA lebih banyak daripada kulit nonlesi. d. Faktor psikis Hubungan psikis dengan penyakit dapat timbal balik, demikian pula pada DA. Akibat perjalanan penyakit yang kronik residif, pada umumnya penderita DA mengalami gangguan emosi. Stes

14

merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal.(Boediarja, 2000) Faktor psikologik memperngaruhi beberapa kondisi dermatologi termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata, urtikaria dan angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan masalah emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi yang hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang kurang, keadaan jiwa yang labil.(Levenson, 2008) 4. Patogenesis a. Peran superantigen staphylococcus Saat ini diketahui bahwa eksotoksin staphylococcus aureus dapat menginduksi reaksi imunologik dan dikenal sebagai superantigen. Superantigen staphylococcus ini akan berikatan langsung pada sisi luar molekul MHC II, ikatan ini akan menginduksi pengeluaran sitokin TNF- dan IL-6 oleh sel peyaji antigen. Setelah berikatan dengan sel penyaji antigen, selanjutnya superantigen akan berikatan juga pada reseptor sel T pada rantai V. Sel T akan teraktivasi dan berproliferasi serta melepaskan bermacam-macam sitokin yang berperan dalam proses peradangan.(Laonita and Indriatmi, 2000, Wuthrich et al., 2007) b. Disfungsi sawar kulit Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek
15

tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi pacuan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar mukokutan. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis DA. Perubahan kandungan lipid di stratum korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit. Stratum korneum menyusun sawar utama untuk difusi

substansi melewati kulit. Substansi itu terdiri dari korneosit dan lipid, terutama ceramide, sterol, dan asam lemak bebas. Ceramide Kadar

berperanan menahan air dan fungsi sawar stratum korneum.

ceramide pasien DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan sawar kulit.(Wuthrich et al., 2007, Abramovits, 2005) Perubahan pada enzim yang terlibat dalam stuktur adesi epidermal juga berkontribusi pada kerusakan epidermal barier pada pasien DA.(Bieber, 2008) Eberlein-Knig dkk, meneliti pH permukaan kulit, hidrasi stratum korneum, trans-epidermal water loss (TEWL) dan kekeasan kulit pada pasien dermatitis atopik. Terjadi peningkatan pada pH kulit di kelompok atopik eksema dibandingkan tanpa eksema pada saat pemeriksaan. Kekeringan kulit menunjukkan kekeringan sedang 47.2%, sedang 24.7% dan berat 3.2%. Trans-epidermal water loss dan kekasaran kulit
16

menunjukkan signifikan dengan kekeringan kulit.(Eberlein-Knig et al., 2005) c. Abnormalitas imunologi Aktivasi sel T yang berlebihan pada lesi kulit merupakan ciri khas dari DA. Sel T pada dermatitis atopik akut akan mengeluarkan sitokin Th2 yang akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi. Dermatitis atopik kronik, juga terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN- dan IL-12 yang akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag. (Leung and Soter, 2001) d. Disfungsi Neurologis dan Farmakologi Neuropeptida terdiri dari sejumlah residu asam amino dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan neuromodulator. Selain terdapat dalam sisiem saraf pusat, neuropeptida juga terdistribusi diseluruh sistim saraf perifer, termasuk kulit. Peptide intestinal vasoaktif [VIP], calcitonin generelated peptide [CGRP] dan substansi P [SP] adalah neuropeptida kulit yang paling banyak. Dalam DA, kadar VIP lebih tinggi pada kulit yang mengalami lesi sedangkan kadar SP lebih rendah. Namun serat saraf yang

mengandung SP ditemukan dalam sebagian besar lesi DA. Baru-baru

17

ini

diidentifikasi

bahwa

neuropeptida

lainnya

yaitu

melanocyte

stimulating hormone diproduksi dalam kulit dan dapat menstimulasi pelepasan histamin telah dihipotesakan bahwa availibilitas NP dalam lesi DA dan sensitivitas abnormal sel mast dan pembuluh darah terhadap peptida-peptida ini menyebabkan pruritus dan terlibat dalam imunopatogenesis penyakit ini.(Kang et al., 2003) 5. Gambaran Klinis Gambaran klinis yang utama adalah adanya gatal, yang berhubungan dengan kronisitas penyakit, morfologi dan distribusi lesi . DA dapat dibagi dalam 3 tipe berdasarkan umur penderita dan gambaran klinis, yaitu: (Leung et al., 2008, Paller and Mancini, 2006, Krafchik et al., 2003) a. Tipe Bayi (infantil type) Lesi biasanya dimulai dari wajah, tetapi dapat mengenai tempat lain. Umumnya diawali suatu plak eritema, papul, dan vesikel yang sangat gatal di pipi, dahi, dan leher, tetapi dapat pula mengenai badan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak lesi dapat di tangan dan lutut. Karena garukan terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Xerosis dapat terjadi menyeluruh, termasuk rambut dan kulit kepala kering yang merupakan gambaran yang mayoritas untuk menegakkan diagnosis. Tipe ini cenderung kronis dan residif.

18

b. Tipe anak (chilhood type) Predileksi timbulnya lesi kulit secara klasik ditemukan pada fossa kubiti dan poplitea, daerah fleksor pergelangan tangan, wajah dan leher. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi atau timbul pertama kali. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan yaitu lipatan kulit dibawah kelopak mata. Kuku pada dapat menjadi lebih mengkilap dan kasar akibat gesekan yang konstan dan terjadi penipisan alis dan rusak. Sebagian besar dari tipe ini akan menghilang pada usia puberitas. c. Bentuk dewasa (adult type ) Gejala utama adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Predileksi lesi secara klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang, dahi serta daerah sekitar mata. Tipe ini adalah kelanjutan dari tipe bayi dan tipe anak ataupun dapat timbul pertama kali. 6. Diagnosis DA didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka menggunakan Kriteria mayor dan minor untuk dasar diagnosis DA. Kriteria mayor biasanya konsisten ditemukan pada kasus DA, sedangkan kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol. Oleh karena itu William
19

bersama kelompok studi United Kingdom, membuat kriteria yang dapat digunakan untuk diagnosis dengan cepat, terutama untuk kepentingan epidemiologi dan skrining di lapangan. (Eichenfield et al., 2003) Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik DA harus mempunyai 3 atau lebih kriteria mayor: (Abramovits, 2005) Pruritus. Morfologi dan sebaran yang khas; likenifikasi atau linearitas fleksural pada orang dewasa; serangan pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak. Perlangsungan kronik residif. Riwayat atopi (asma, rinitis alergi atau DA) pada diri sendiri atau keluarga. Kriteria Minor 3 atau lebih: Xerosis. Iktiosis / hiperkeratosis palmaris / keratosis pilaris. Reaktifitas uji kulit tipe cepat. Peningkatan IgE serum. Dermatitis di daerah palmo-plantar. Kheilitis. Dermatitis didaerah kepala / sebore.

20

Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes simpleks. Papul perifolikular hiperkeratosis diatas lesi hiperpigmentasi. Pitiriasis alba. Dermatitis di puting susu. White Dermographism. Katarak dan keratokonus. Garis Dennie Morgan. Kemerahan atau kepucatan di wajah. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi. Kriteria William dalam diagnosis DA:(Friedmann and Holden, 2004) Harus ada : Gatal (riwayat menggaruk pada anak-anak). Ditambah 3 atau lebih : 1. Onset di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia dibawah 2 tahun) 2. Riwayat keterlibatan kulit (termasuk pipi pada anak di bawah 4 tahun) 3. Riwayat kekeringan kulit 4. Riwayat penyakit atopi lainnya pada penderita ( atau riwayat menderita atopi pada keluarga pada anak dibawah 4 tahun) 5. Dermatitis pada flexura yang nyata ( atau dermatitis pada pipi/dahi dan bagian luar ekstremitas pada anak dibawah 4 tahun).

21

Menurut konsensus yang dibuat di Conference on Pediatric Atopic Dermatitis tahun 2001, DA paling baik dianggap sebagai sebuah sindrom. Gambaran klinis yang mendukung sindrom ini dan criteria klinis DA adalah:(Eichenfield et al., 2003) Kriteria klinis DA adalah: (Ellis and Luger, 2003) Gambaran utama yang harus ada : 1. Pruritus 2. Eksim (akut, subakut,kronik) a. Morfologi khas, pola spesifik menurut usia. b. Perjalanan penyakit kronik. A. Gambaran penting yang terlihat pada banyak kasus sebagai pendukung diagnosis : 1. Awitan pada bayi dan anak. 2. Stigmata atopi a. Dalam keluarga b. Reaktivitas IgE 3. Kulit Kering. B. Diagnosis Banding, dermatitis seboroik, iktiosis vulgaris, psoriasis dan penyakit defisiensi imun harus disingkirkan terlebih dahulu. Kriteria berdasarkan indeks SCORAD (severity scoring of atopic dermatitis) (1993) untuk mempertajam penilaian derajat sakit DA dengan sistim skoring. Keuntungan dari indeks SCORAD adalah sangat berguna
22

untuk penilaian derajat sakit, dapat digunakan dengan tepat sebagai parameter menilai keberhasilan pengobatan. Selain itu penilaian dengan cara ini sederhana dan mudah dilakukan. Kadang kala pada permulaan dapat terjadi kesulitan dalam penilaian, oleh sebab itu sebagai panduan digunakan foto berwarna. Perhitungan indeks SCORAD : a. Menilai luas penyakit dengan menggunakan rule of nine. b. Penilaian intensitas : parameter yang dipakai adalah eritem, edema/ papul, eksudasi atau krusta, ekskoriasi, likenifikasi, kulit kering. Sebagai pegangan untuk penilaian adalah : 0 = tidak ditemukan kelainan; 1 = ringan; 2 = sedang, 3 = berat. Kulit kering dinilai dari kulit diluar lesi. c. Gejala subjektif : Gatal dan gangguan tidur dinilai rata rata 3 hari atau 3 malam dengan rentang nilai 0 10. Penilaian indeks SCORAD = A/5 + 7 B/2 + C.

B. MIKROORGANISME PADA DERMATITIS ATOPIK Permukaan kulit manusia mengandung banyak bahan makan untuk pertumbuhan mikroorganisme, antara lain lemak, bahan-bahan yang mengandung nitrogen, mineral dan lain-lain. Golongan bakteri

Micrococcaceae di bagi menjadi dua genus berdasarkan kemampuan membentuk asam dari glukosa dalam kondisi aerobik, yaitu genus staphylococcus yang memberi reaksi positif dan genus Micrococcaceae yang
23

memberi reaksi negatif. Staphylococcus adalah kuman komensal yang mudah ditemukan di mana saja, tapi habitat utamanya pada manusia adalah kulit, kelenjar kulit, dan membran mukosa. Staphylococcus aureus jarang dijumpai dalam jumlah besar pada kulit normal. Kolonisasi kuman tersebut sering didapat pada kondisi kulit eksematosa, terutama DA. Pada DA Staphylococcus aureus merupakan kuman yang paling banyak ditemukan, tidak hanya pada lesi tetapi juga pada bagian tubuh lain. Kolonisasi SA pada penderita DA paling sering dijumpai pada daerah nares anterior dan tangan.(Laonita and Indriatmi, 2000) Patofisiologi infeksi pada kulit masih belum jelas, bagaimana SA berkembang pada kulit normal masih dipertanyakan. Adapun faktor yang bertanggung jawab akan pertumbuhan dari SA pada kulit yaitu lingkungan dan hidrasi kulit. SA sering terdapat pada kulit normal, sekitar 10-20% jika dilakukan swab pada kulit. Infeksi mikroba pada kulit lebih sering terjadi pada orang yang hidup di daerah tropis, yang diperkirakan kelembaban kulit merupakan faktor yang bertanggung jawab pada pertumbuhan SA.(Singh, 1975) Staphylococcus aureus dapat memperberat proses peradangan yang sudah ada atau sebagai pencetus DA melalui mekanisme yang tidak hanya terbatas pada efek yang dapat menimbulkan infeksi piogenik. Selama ini diketahui bahwa eksotoksin SA dapat menginduksi rekasi imunologik dan dikenal sebagai superantigen (SAG). Superantigen dapat berikatan dengan berbagai sel T maupun pada rantai V, karena itu kemampuannya untuk
24

mengaktivasi sel T sangat besar. Stimulasi sel T oleh SAG dipertimbangkan untuk memicu suatu penyakit. Anak-anak dengan DA mempunyai angka yang sangat tinggi (60-90%) SAG yang memproduksi kolonisasi

staphylococci pada kulit.(Laonita and Indriatmi, 2000, Campbell and Kemp, 1998) Selain dari bakteri jamur dan virus juga dapat terjadi pada penderita DA. Jamur juga dapat berperan sebagai faktor terjadinya DA, mayoritas penelitian pada DA dan jamur didapatkan Malassezia yeast, spesies malassezia (dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare/ovale) pada pasien DA tidak hanya sebagai flora normal kulit, tapi juga dapat sebagai faktor yang memperburuk pada DA, dan tempat yang tersering didapatkan yaitu pada tempat yang mempunyai produksi sebum yang tinggi seperti kulit kepala, dada, dan punggung. (Yim et al., 2010, Baker, 2006) Terdapat 11 genus malassezia yaitu M. dermatis, M. furfur, M. globosa, M. japonica, M. nana, M. obtusa, M. pachydermatis, M. restricta, M. slooffiae, M. sympodialis and M. yamatoensis.(Yim et al., 2010, Sugita et al., 2001) Perbandingan dari isolasi spesies malassezia pada kulit penderita DA dan orang sehat terdeteksi peningkatan yang signifikan spesies malassezia pada penderita DA dibandingkan pada orang sehat. Penderita DA mempunyai spesifik antibodi IgE. (Sugita et al., 2002) Reaksi hipersensitifitas pada antigen Candida albicans (C. albicans) telah diamati pada penderita DA. Beberapa data studi perbandingan dari
25

respon imun terhadap antigen C. albicans pada penderita DA dan non-DA yang diperkirakan perubahan bentuk sel Th1 menjadi Sel Th2. Pada penelitian yang dilakukan oleh Morita dkk, mengevaluasi reaksi kulit terhadap antigen C. albican, dan juga level serum antibodi IgE terhadap C. albican pada penderita DA, penderita alergi pada hidung, dan non atopik, yang hasilnya hipersensitifitas terhadap C. albican sangat berkorelasi dengan penderita DA. Pada sisi lain, hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen, yang umumnya meningkat pada atopik tanpa dermatitis seperti juga dengan non-atopik. Antigen C. albican merupakan faktor intrinsik yang kuat pada mempengaruhi lesi kulit DA oleh karena hipersesitifitas IgE-mediated terhadap antigen C. albican.(Morita E, 1999) Peranan sensitasi dan pajanan C. albican pada penderita DA di teliti dengan uji tusuk kulit, kultur ragi dam immunoblotting, yang hasilnya terjadi pajanan terus menerus dan induksi pada antibodi IgE oleh C. albican pada penderita DA. Pada fase yang berat DA kolonisasi berhubungan dengan sintesis IgE terhadap C.

albican.(Savolainen et al., 1993) Kulit penderita DA merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi yang meluas contohnya virus herpes simpleks atau virus vaccinia. Molloskum kontagiosum adalah infeksi virus yang umum pada kulit sering terjadi pada nank-anak dan disebabkan oleh virus pox. (Solomon and Telner, 1966) Rystedt dkk meneliti serum antibody pada epstein-Barr virus (EBV), varicellazoster (VZV) dan herpes simplex virus (HSV) pada penderita DA yang aktif
26

maupun telah sembuh dan pada orang sehat sebagai kontrol, titer antibodI EBV meningkat secara signifikan pada pasien DA dibandingkan dengan kontrol. tidak ada korelasi antara antibodi EBV dan level serum IgE. Frekuensi dari seropositif dan besarnya titer antibodI terhadap VZV dan HSV pada penderita DA tidak berbeda secara signifikan dari kontrol.(Rystedt et al., 1984) Sel Th2 dominan pada lingkungan, lesi DA diamati untuk perbaikan pada pasien sepanjang terjadi infeksi bakteri atau virus, seperti HSV. Pathway Th1 terjadi untuk melawan infeksi virus yang kemungkinan menjadi mekanisme penyembuhan pada lesi kulit DA.(Horiuchi et al., 2004)

27

C.KERANGKA TEORI Beberapa referensi untuk mendukung kerangka teori: 1. (NRG, 2004). Bacillus subtilis (BS) merpakan bakteri saprofit yang secara alamaih terdapat dimana-mana, BS biasanya didapatkan pada tanah, air, dan udara. Bakteri BS memproduksi kelompok antibiotik lipopeptida termasuk iturins. Iturins membantu bakteri BS dengan mikroorganisme lainnya dengan cara bersaing atau

membunuh

mengurangi angka pertumbuhannya. BS memproduksi enzim subtilis, yang telah dilaporkan menyebabkan alergi pada kulit atau hipersensitivitas. 2. (Dalstra et al., 2005). Beberapa studi membandingkan prevalensi sosial ekonomi pada penyakit yang fatal dan tidak fatal, hasilnya paling banyak penyakit menunjukkan prevalensi yang meningkat diantara kelompok berpendidikan rendah. Alergi lebih sering pada kelompok berpendidikan tinggi. 3. (Eberlein-Knig et al., 2005). Meneliti pH permukaan kulit, hidrasi stratum korneum, trans-epidermal water loss (TEWL) dan kekeasan kulit pada pasien dermatitis atopik. Terjadi peningkatan pada pH kulit di kelompok atopic eksema dibandingkan tanpa eksema pada saat pemeriksaan. Kekeringan kulit menunjukkan kekeringan sedang 47.2%, sedang 24.7% reaksi

28

dan berat 3.2%. Trans-epidermal water loss dan kekasaran kulit menunjukkan signifikan dengan kekeringan kulit. 4. (Simpson and Hanifin, 2005). Faktor risiko pada DA, prevalensi DA lebih tinggi pada perkotaan. Peranan faktor lingkungan pada DA dimana studi perpindahan penduduk terjadi peningkatan pada populasi yang berpindah dari area rendah ke area tinggi tingkat prevalensi DA. 5. (Al-Saimary et al., 2006 ). Mengisolasi semua tipe bakteri dari lesi eksematous dan pada dekat area yang sehat pada pasien DA, dimana pada hasilnya Staphylococcus aureus merupakan agen bakteri yang paling sering di isolasi dari lesi eksematous (60.48%), sementara Staphylococcus epidermidis lebih sering pada area kulit sehat penderita DA (57.34%). 6. (Baker, 2006). DA suatu penyakit yang sering berhubungan dengan kondisi atopic seperti asma dan alergi makanan yang diperantarai oleh IgE dan karakteristik lesi kulit yang diperantarai oleh sel Th2. Penderita DA menunjukkan kerusakan pada respon imun dapatan dan bawaan yang menghasilkan kerentanan yang tinggi terhadap infeksi bakteri, jamur dan virus, yang sering tercatat adalah infeksi bakteri SA. 7. (Morar et al., 2006). DA, asma bronchial dan rinitis alergi merupakan sindrom dari penyakit atopik. Karakteristik status atopik oleh respon uji tusuk kulit positif pada alergen yang umum. Sekitar 80% dari bayi dengan DA memperlihatkan peningkatan level serum total IgE (fenotip yang kira29

kira 47% diturunkan). Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai peranan penting pada penyebab DA (dan kondisi atopik lainnya) karena risiko penyakit pada bayi biasanya sering meskipun tidak selalu ditemukan hubungan yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah. 8. (Hedayati et al., 2007). Menganalisa pasien DA untuk IgE total dan IgE spesifik terhadap Candida albican. C.albican sebagai mikro flora pada manusia dan dapat bertanggung jawab akan pelepasan alergen dan terjadinya DA kronis pada pasien yang sensitif, hasil penelitian menunjukkan frekuensi yang kurang pada IgE spesifik terhadap C. albican. Penjelasan untuk variasi yang hasilnya diperoleh pada beberapa studi yang dapat disebabkan oleh usia pasien, keparahan penyakit, perbedaan antigen preparatif. 9. (Wuthrich et al., 2007). Atopik eksema merupakan penyakit multifaktorial yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi genetik, perubahan struktur kulit, deviasi imunologik dan faktor lingkungan. 10. (Levenson, 2008). Faktor psikologik memperngaruhi beberapa kondisi dermatologi termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata, urtikaria dan angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan masalah emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi yang hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang kurang, keadaan jiwa yang labil.

30

11. (Yang et al., 2009). Menyusui lebih baik daripada minuman/makanan formula untuk nutrisi bayi oleh karena keuntungan nutrisial, imunologi dan psikologik. Yang meneliti hubungan antara menyusui dan terjadinya DA yang menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat dari efek proteksi dari menyusui secara eksklusif paling tidak 3 bulan terhadap DA, meskipun diantara anak-anak dengan riwayat keluarga yang positif DA. 12. (Yim et al., 2010). Ragi merupakan genus malassezia dan bagian dari flora normal pada kulit manusia. Terdapat beberapa studi yang melaporkan ragi malassezia mencakup pada DA. Faktanya hasil kultur spesies berbeda pada lesi kulit DA daripada kulit normal yang mungkin menganggu fungsi barier kulit dan sensitasi organisme yang di sebabkan oleh garukan pada lesi kulit DA. Dari abstraksi dan ekstrapolasi berbagai penelitian tersebut, maka dapat didedukasikan untuk menyususn kerangka teori sebagai berikut ini. Untuk mengetahui mikroorganisme pada lesi penderita DA anak, dapat diklasifikasikan pada factor-faktor pencetus yang lebih difokuskan pada infeksi yang dapat menyebabkan kolonisasi mikroorganisme pada lesi kulit DA anak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka teori dibawah ini:

31

KERANGKA TEORI

Kekeringan Kulit

Psikologis
Gangguan emosional, penyebab anak untuk menggaruk

Peniningkatan TEWL

Alergen

Genetik
IgE Suhu & Kelembaban

Dermatitis Atopik

Laktasi

Sosioekonomi Lingkungan: Iklim & polusi lingkungan Kontak dengan bahan yang bersifat iritan (antiseptik, sabun,bahan pakaian wol )

Mikroorganisme

Infeksi

32

E. ALUR PENELITIAN

Pasien Dermatitis Atopik pada Poliklinik Kulit & Kelamin Sub-divisi Pediatri RSWS & RS jejaring

Kriteria inklusi / Eksklusi

Penilaian dengan kriteria William Index SCORAD Pemeriksaan Swab & Kerokan kulit

Pemeriksaan Kultur di Laboratorium Mikrobiologi

Analisis data

33

G. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis penelitian yang diajukan adalah mengetahui pola

mikroorganisme yang terdapat pada penyakit Dermatitis Atopik Anak.

34

BAB III METODE PENELITIAN


A. DISAIN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksploratif dengan logika induktif untuk mengetahui kolonisasi Mikroorganisme pada penyakit

dermatitis atopik anak.

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Pemeriksaan swab dan kerokan kulit dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS Jejaring di Makassar mulai bulan Januari sampai Maret 2011. Pemeriksaan kultur dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DA dengan usia 212 tahun, yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin subdivisi Pediatri RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 1. Kriteria Inklusi a. Penderita DA yang memenuhi kriteria William.
35

b. Tidak menderita penyakit kulit lain. c. Penderita berusia 2 - 12 tahun. d. Tidak sedang menjalani pengobatan lain. e. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan diminta persetujuan secara tertulis (menandatangani inform consent) setelah mendapatkan keterangan yang cukup tentang keuntungan dan hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi selama mengikuti penelitian. 2. Kriteria Ekslusi a. Penderita DA yang menderita penyakit lain. b. Penderita yang sedang menjalani pengobatan lain, yaitu meminum obat-obat antibiotika, menggunakan salep kortikosteroid ataupun salep antibiotika.

D. DEFINISI OPERASIONAL 1. Dermatitis atopik: penyakit peradangan kulit, bersifat kambuh-kambuhan, gatal, dan ditemukan pada anak yang memiliki riwayat alergi saluran pernafasan dan atau penyakit atopik pada keluarganya yang memenuhi kriteria William. 2. SCORAD untuk mempertajam penilaian derajat sakit DA dengan sistim scoring. Dari diagnosis DA dapat dilakukan perhitungan indeks SCORAD : a. Menilai luas penyakit dengan menggunakan rule of nine.

36

b. Penilaian intensitas : parameter yang dipakai adalah eritem, edema/ papul, eksudasi atau krusta, ekskoriasi, likenifikasi, kulit kering. Sebagai pegangan untuk penilaian adalah : 0 = tidak ditemukan kelainan; 1 = ringan; 2 = sedang, 3 = berat. Kulit kering dinilai dari kulit diluar lesi. c. Gejala subjektif : Gatal dan gangguan tidur dinilai rata rata 3 hari atau 3 malam dengan rentang nilai 0 10. Penilaian indeks SCORAD = A/5 + 7 B/2 + C. 3. Swab kulit: menggunakan kapas lidi steril yang dibasahkan pada NaCl 0,9% kemudian diapus pada kulit dan diulangi dua sampai tiga kali di tempat yang akan diteliti. 4. Kerokan kulit : kerokan yang diambil pada kulit penderita DA dengan menggunakan sumuran steril terbuat dari stainless steel tumpul yang campur dan diaspirasi dengan NaCl 0,9%. 5. Mikroorganisme adalah beberapa bakteri, candida, jamur ataupun virus yang nantinya diharapkan akan tumbuh pada media pertumbuhan. 6. Brain Heart Infusion Broth (BHIB) adalah suatu media transport untuk menumbuhkan mikroorganisme yang terdapat pada kulit. 7. Anak umur 2 12 tahun adalah anak yang pada saat diperiksa berusia tidak kurang dari 2 tahun dan tidak lebih dari 12 tahun 0 bulan. dan spatula

37

E. CARA PENGAMBILAN DAN BESAR SAMPEL Cara pengambilan sampel non random sampling. Perkiraan jumlah sampel yang diambil dihitung menggunakan rumus: Z2 .N.P.Q S= d2 (N-1)+Z2.P.Q Keterangan : S = jumlah sampel yang diteliti N = populasi DA di lokasi penelitian Z = confidence level (1,96 untuk = 0,05) p = proporsi DA (0,5) q = 1 0,5 = 0,5 d = tingkat ketepatan yang diambil (0,05)

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh jumlah sampel penelitian sebanyak 30 sampel untuk kelompok penelitian.

F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara : 1. Wawancara / anamnesis Wawancara atau anamnesis langsung pada penderita dan orang tua penderita (alloanamnesis) dilakukan menggunakan kuisioner yang

38

telah disiapkan dan dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang identitas, karakteristik dan riwayat penyakit dari sampel. 2. Pemeriksaan Fisik dan Pengambilan Foto Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis DA dan menilai derajat keparahan dari penyakit. Pada saat dilakukan

pemeriksaan fisik juga dilakukan pengambilan foto dengan menggunakan kamera digital merk Sony ( 8 megapixel) 3. Pemeriksaan Koloni Mikroorganisme: Pemeriksaan ini dilakukan setelah ditegakan diagnosis DA. I. Alat untuk pemeriksaan kerokan kulit Alat dan bahan: 1. Sumuran steril dari bahan stainless-steel dengan ukuran 2x2x2cm 2. Larutan NaCl 0,9% 3. Spatula tumpul dari bahan stainless-steel 4. Spuit 1cc 5. Tabung reaksi 6. Brain heart infusion broth (BHIB) 7. Nurtien agar II. Alat untuk pemeriksaan swab kulit Alat: a. Swab (Apusan) steril

39

b. Tabung reaksi steril c. Brain heart infusion broth (BHIB) d. Nutrien agar Prosedur pemeriksaan: 1. Dilakukan pengisian rekam medis lengkap dan telah memenuhi criteria William. 2. Penilaian keadaan lesi kulit yang akan diperiksa: sesuai dengan kriteria William dan dihitung indeks SCORAD (severity scoring of atopic dermatitis) 3. Penjelasan syarat pemeriksaan, sebelum pengukuran tidak diolesi salep, kosmetik, dan pelembab 4. Pemilihan lokasi/bagian yang akan diperiksa, yaitu: lesi di lengan bawah / volar. 5. Dilakukan pemeriksaan koloni Mikroorganisme: I. Pengambilan Swab kulit: a. Dilakukan pengisian rekam medis lengkap b. Menentukan derajat dermatitis atopik dengan cara menghitung SCORAD (severity scoring index of atopic dermatitis) c. Penjelasan persyaratan, sebelum pengukuran kulit tidak diolesi dengan salep, kosmetik dan pelembab. d. Pemilihan lokasi pada daerah lengan / volar e. Dilakukan pemeriksaan koloni Mikroorganisme:
40

Swab (apusan) steril di basahi dengan NaCl 0.9% kemudian di oleskan pada lokasi kulit yang telah ditentukan dan di masukkan dalam tabung steril yang berisikan BHIB (Brain Heart Infusion Broth). f. Sampel dibawa ke laboratorium Mikrobiologi FK-UNHAS dan di inkubasi pada suhu 37, kemudian di ditanam pada nutrient agar. II. Kerokan kulit : a. Sumuran steril dari bahan stainless steel dengan ukuran diameter 2 cm dan tinggi 2 cm, ditempelkan dengan tekanan ringan pada kulit yang aka diperiksa. b. Pada sumuran tersebut dimasukkan 1 ml larutan NaCl 0.9% steril kemudian dilakukan pengerokan ringan selama 1 menit pada seluruh bagian kulit yang dibatasi sumuran dengan

menggunakan spatula tumpul dari bahan stainless steel. c. Larutan yang diperoleh diaspirasi menggunakan spuit,

dimasukkan ke dalam tabung reaksi. d. Prosedur pengerokan dan aspirasi diulangi lagi dan larutan yang didapat dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sama, sehingaa terkumpul 2 ml.

41

e. Kemudian larutan tersebut dibawa ke laboratorium Mikrobiologi untuk di periksakan koloni Mikroorganisme kulit pada BHIB dan di tanam pada nutrien agar. 6. Swab steril yang telah dimasukkan pada BHIB kemudian di inkubasi pada suhu 37C selama 24 jam kemudian di tanamkan pada nutrien agar. 7. Dari larutan yang berisikan kerokan, larutan tersebut dimasukkan pada media BHIB dan di inkbasi 37C selama 24 jam kemudian di tanamkan pada nutrien agar. 8. Identifikasi mikroorganisme, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan

biokimia untuk identifikasi mikroorganisme, yaitu DNA-se, katalase, koagulase tes, MSA tes G. ANALISIS DATA Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk table dan atau grafik yang disertai dengan penjelasannya dan dilakukan pengamatan atas pengulangan sifat (generalisasi empiris)

42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 30 orang anak berumur antara 2-12 tahun, jenis kelamin sampel seimbang terdiri dari 16 orang anak laki-laki (53.3 %) dan 14 orang anak Perempuan (46.7 %). (tabel.1) dengan usia rata-rata 6 tahun,(tabel.2) dan klasifikasi DA sedang pada setiap 10 sampel. Empat dari sepuluh sampel mempunyai bentuk klinis klasifikasi DA ringan.
Tabel.1 Jenis Kelamin pada penelitian pada DA anak Jenis Kelamin Jumlah sampel Persentase (%) 1. 2. Laki-laki Perempuan Total 16 14 30 53.3 46.7 100.00 Pesentase kumulatif 53.3 100.0

Tabel 2, Rerata usia penelitian N Minimal Usia 30 2.00

Maksimal 12.00

Mean 6.0130

Std. Deviation 3.32768

Frekuensi kejadian dermatitis atopik pada penelitian ini menurut SCORAD didapatkan DA ringan 13 orang (43.3%) dan DA sedang 17 orang (56.7%) (tabel.3)

43

Tabel 3, Frekuensi Dermatitis Atopik dengan indeks SCORAD Dermatitis Atopik DA Ringan DA Sedang Total Frekuensi 13 17 30 Persentase (%) 43.3 56.7 100.0 Persentase kumulatif 43.3 100.0

Pada kultur yang dilakukan pada lokasi penderita DA, mikroorganisme yang terdapat mayoritas bentuk bacillus subtilis dan staphylococcus epidermidis. Pertumbuhan mikroorganisme yang berbeda antara kondisi klinis DA ringan dan DA sedang diajukan pada tabel 4, ditemukan pola staphylococcus epidermidis pada kelompok ringan (46.2% staph. epidermidis ditambah 15.4% gabungan staph. epidermidis dan bacillus subtilis) Ditemukan pola bacillus subtilis pada atopi sedang sebesar 64.7%, dimana kedua kondisi klinis ini tidak berbeda signifikan dengan uji statistik.
Tabel.4 pemeriksaan kultur dengan derajat atopik atopi ringan Kultur Basillus Subtilis Count % within atopi Candida Albicans Count % within atopi Staf.epidermidis + Bacillus Subtilis Staph. Epidermidis Count % within atopi Count % within atopi Tidak ada pertumbuhan Total Count % within atopi Count % within atopi 2 15.4% 2 15.4% 2 15.4% 6 46.2% 1 7.7% 13 100.0% sedang 11 64.7% 1 5.9% 1 5.9% 4 23.5% 0 .0% 17 100.0% Total 13 43.3% 3 10.0% 3 10.0% 10 33.3% 1 3.3% 30 100.0%

44

B. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini didapatkan kasus DA lebih banyak pada anak lakilaki dibandingkan perempuan. Studi epidemiologi dari berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa DA dapat mengenai semua jenis kelamin, pada anak perempuan lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. (Abramovits, 2005) Pada penelitian yang mengenai prevalensi DA pada anak dan remaja di Jepang yang dilakukan oleh Sugiura dkk, didapatkan hasil 24% pada kelompok taman kanak-kanak, 19% pada kelompok sekolah dasar tingkat bawah, 15% kelompok sekolah dasar tingkat atas, 14% pada kelompok junior high, dan 11% pada kelompok senior high.(Sugiura et al., 1998) Hasil penelitian menunjukkan derajat DA lebih meningkat pada dermatitis atopik sedang. Studi epidemiologi akan prevalensi dan keparahan penyakit yang sangat penting untuk diketahui pada penyakit atopik, pemicu dan anjuran merupakan prasyarat untuk mengevaluasi dari efek interfensi pada DA.(Broberg et al., 2000) Penelitian yang dilakukan oleh Saeki dkk, mengevaluasi prevalensi DA anak sekolah dasar di Jepang, sebanyak 74% DA ringan, 24% DA sedang dan 1.6% DA berat.(Saeki et al., 2005) Broberg dkk, melakukan penelitian pada anak-anak dengan menggunakan SCORAD, dimana mayoritas dari anak-anak menderita DA ringan dan sedang. (Broberg et al., 2000) Penelitian Keparahan penyakit DA yang dilakukan Sugiura dkk, prevalensi keparahan didapatkan hasil pada kelompok taman kanak-kanak

45

81% dengan DA ringan, 18% DA sedang dan 1% DA berat. Pada kelompok kelompok sekolah dasar tingkat bawah 86% DA ringan, 13% DA sedang dan 1% DA berat, kelompok sekolah dasar tingkat atas 87% DA ringan, 11% DA sedang, dan 2% DA berat, pada kelompok junior high 82% DA ringan, 16% DA sedang, dan 2% DA berat, dan pada kelompok senior high 81% DA ringan, 17% DA sedang dan 2% DA berat.(Sugiura et al., 1998) Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kronik yang berawal pada masa bayi dan anak-anak, hal ini terjadi oleh karena hubungan timbal balik yang kompleks dari faktor lingkungan, imunologi, genetik dan farmakologi dan dapat di perberat dengan infeksi, stress, perubahan iklim, bahan iritan dan alergen. Pada kulit penderita DA ditandai oleh kolonisasi oleh aerob pada tingkat yang tinggi, hal ini dapat di isolasi dari kulit normal penderita DA. Kulit atopik harus menjadi lingkungan yang baik untuk kolonisasi dan multiplikasi dari bakteri aerobik.(Al-Saimary et al., 2006 ) Pada penelitian yang dilakukan oleh Higaki dkk, mengevaluasi mikrobiologi Staphylococci pada kulit penderita DA, memberikan hasil 85.7% ditemukannya

Staphylococcus aureus pada pasien DA dan 38.1% Staphylococcus epidermidis.(Higaki et al., 1999) Al-Saimary dkk, mengisolasi semua tipe bakteri dari lesi eksematous dan pada dekat area yang sehat pada pasien DA, dimana pada hasilnya Staphylococcus aureus merupakan agen bakteri yang paling sering di isolasi dari lesi eksematous (60.48%), sementara

46

Staphylococcus epidermidis lebih sering pada area kulit sehat penderita DA (57.34%). (Al-Saimary et al., 2006 ) Bacillus subtilis (BS) merupakan bakteri saprofit yang biasa ditemukan pada tanah, air dan udara. Bakteri BS memproduksi kelompok antibiotik lipopeptida termasuk iturins. Iturins membantu bakteri BS bersaing dengan mikroorganisme lainnya dengan cara membunuh atau mengurangi angka pertumbuhannya. BS memproduksi enzim subtils, yang telah dilaporkan menyebabkan alergi pada kulit atau reaksi hipersensitivitas (NRG, 2004)

Bacillus subtilis dengan mudah naik ke udara dan disebarkan oleh angin.(Earl et al., 2008) Spora bakteri menguasai beberapa mekanisme pada resistensi pada agen fisik dan antiseptik.(Mathias et al., 2010) Penelitian ini juga menunjukkan terjadinya pertumbuhan Candida albicans, dimana candida albicans sebagai mikro flora pada manusia yang dapat bertanggung jawab pada pelepasan dari alergen dan DA kronik pada pasien yang sensitif.(Hedayati et al., 2007) Terdapat penelitian yang melaporkan tentang produksi dari antibodi IgE spesifik terhadap candida albicans, mereka menemukan antibodi IgE spesifik candida albicans pada pasien dengan DA dan/atau asma.(Faergemann, 2002) Savolainen dkk, menyebutkan bahwa keparahan DA dapat di hubungkan dengan produksi dari antibodi IgE spesifik candida albican. (Savolainen et al., 1993) Morita dkk, mengevaluasi reaksi kulit terhadap antigen C. albican, dan juga level

47

serum antibodi IgE terhadap C. albican pada penderita DA, penderita alergi pada hidung, dan non atopik, yang hasilnya hipersensitifitas terhadap C. albican sangat berkorelasi dengan penderita DA. Antigen C. albican merupakan faktor intrinsik yang kuat pada mempengaruhi lesi kulit DA oleh karena hipersesitifitas IgE-mediated terhadap antigen C. albican.(Morita E, 1999) Pola staphylococcus epidermidis pada kelompok ringan (46.2% staph. epidermidis ditambah 15.4% gabungan staph. epidermidis dan bacillus subtilis), ditemukan pola bacillus subtilis pada atopi sedang sebesar 64.7%, sehingga didapatkan pola yang sama.

48

BAB. V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Hasil penelitian ini mikroorganisme yang ditemukan adalah Bacillus subtilis 13 orang (43.3%), Staphylococcus epidermidis 10 orang (33.3%), Candida albican 3 orang (10.0%), campuran Staphylococcus epidermidis dan Bacillus subtilis pada 3 orang (10.0%) dan tidak terjadi pertumbuhan pada 1 orang (3.3%), sedangkan kolonisasi bakteri SA tidak ditemukan. 2. Pada penelitian ini di dapatkan indeks SCORAD selama penelitian, dermatitis atopi ringan pada 17 orang (56.7%), dermatitis atopi sedang pada 13 orang (43.3%). 3. Pada pemeriksaan dengan menggunakan media BHIB dan tes biokimia, baik dengan teknik swab kulit ataupun kerokan kulit didapati mikrorganisme yang sama. 4. Mikroorganisme yang ditemukan pada penelitian ini sebagai faktor yang ikut terkait terjadinya dermatitis atopik, kriteria pengambilan sampel dan teknik laboratorium yang dikerjakan dilakukan pada Laboratorium Mikrobiologi Fak. Kedokteran UNHAS.

49

B. SARAN Pada penelitian ini terdapat kelemahan yaitu pada pengambilan sampel hanya pada satu tempat saja, sedangkan untuk membuktikan apakah salah satu dari mikroorganisme ditemukan dapat menjadi salah satu yang ikut terkait terjadinya dermatitis atopik anak, diperlukan suatu penelitian dengan sampel lebih banyak dilokasi sama, begitu juga pada lokasi penelitian lain.

50

DAFTAR ISI
ABRAMOVITS, W. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 53, S86-93. AL-SAIMARY, I. E., BAKR, S. S. & AL-HAMDI, K. E. ( 2006 ) Bacterial Skin Colonization In Patients With Atopic Dermatitis / Eczema Syndrome. The Internet Journal of Dermatology, 4. ANONYMOUS Data jumlah kunjungan baru dan lama poliklinik dermatologi anak di RS Wahidin Sudirohusodo dan RSAD Pelamonia Makassar tahun 2004-2006. ANONYMUS (2000) Loss Measurement of Houses on Physical and Socio-Economical Aspects Makassar. ANONYMUS (2010) Data Registrasi sub Bagian Dermatology Anak di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. AVGERINOU, G., V.GOULES, A., STAVROPOULOS, P. G. & KATSAMBAS, A. D. (2008) Atopic Dermatitis: new immunologic aspects. International Journal of Dermatology, 47, 219-224. BAKER, B. S. (2006) The role of microorganisms in atopic dermatitis. Clinical and Experimental Immunology, 144, 1-9. BIEBER, T. (2008) Mechanisms of Disease Atopic Dermatitis. N Engl J Med 358, 1483-94. BOEDIARJA, S. A. (2000) Beberapa Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus Dermatitis Atopik. IN BODIARJA, S. A., SUGITO, T. L., WISESA, T. W., SOEBARYO, R. W. & SIREGAR, S. P. (Eds.) Dermatitis Atopik pada Bayi dan Anak: Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta, Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia. BROBERG, A., SVENSSON, A., BORRES, M. P. & BERG, R. (2000) Atopic dermatitis in 56-yearold Swedish children: cumulative incidence, point prevalence, and severity scoring. Allergy 55, 1025-1029. CAMPBELL, D. E. & KEMP, A. S. (1998) Production of antibodies to staphylococcal superantigens in atopic dermatitis. Arch Dis Child, 79, 400-404. COHEN, B. A. (2005) Pediatric Dermatology, Maryland, Elsevier Mosby. DALSTRA, J., KUNST, A., BORRELL, C., BREEZE, E., CAMBOIS, E., COSTA, G., GEURTS, J., LAHELMA, E., OYEN, H. V., RASMUSSEN, N., REGIDOR, E., SPADEA, T. & MACKENBACH, J. (2005) Socioeconomic differences in the prevalence of common chronic diseases: an overview of eight European countries. International Journal of Epidemiology 34, 316326. EARL, A. M., LOSICK, R. & KOLTER, R. (2008) Ecology and genomics of Bacillus subtilis. Trends in Microbiology 16, 269-275. EBERLEIN-KNIG, B., SCHFER, T., HUSS-MARP, J., DARSOW, U., MHRENSCHLAGER, M., HERBERT, O., ABECK, D., KRMER, U., BEHRENDT, H. & RING, J. (2005) Skin Surface pH, Stratum Corneum Hydration, Trans-epidermal Water Loss and Skin Roughness Related to Atopic Eczema and Skin Dryness in a Population of Primary School Children: Clinical Report. Acta Dermato-Venereologica, 80, 188-191. EICHENFIELD, L. F., HANIFIN, J. M. & A.LUGER, T. (2003) Consensus Conference on Pediatric Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 49, 1088-95.

51

ELLIS, C. & LUGER, T. (2003) International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II): Chairman's Introduction and Overview. British Journal of Dermatology, 148, 1-2. FAERGEMANN, J. (2002) Atopic Dermatitis and Fungi. Clinical Microbiology Reviews, 15, 545563. FARAJZADEH, S., RAHNAMA, Z., KAMYABI, Z. & GHAVIDEL, B. (2008) Bacterial colonization and antibiotic resistance in children with atopic dermatitis. Dermatology Online Journal, 14, 21. FRIEDMANN, P. S. & HOLDEN, C. A. (2004) Atopic Dermatitis. IN BURNS, T., BREATHNACH, S., COX, N. & GRIFFITHS, C. (Eds.) Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed. London, Blackwell Science. GOH, C.-L., WONG, J. S. & GIAM, Y. C. (1997) Skin colonization of Staphylococcus aureus in atopic dermatitis patients seen at the National Skin Centre, Singapore. Internationai Journai of Dermatology 36, 653-657. GRAMMER, L. (1997) Atopic dermatitis. IN PATTERSON, R., GRAMMER, L. & GREENBERGER, P. (Eds.) Allergic diseases diagnosis and management. 5th ed. Philadelphia, Lippincott-Raven. GUPTA, A. (2005) Malassezia - Associated Disease. Journal of the American Academy of Dermatology, 52, Supp-P1823. HEDAYATI, M. T., HAJHAYDARI, Z., BROMAND, S., SHOKOHI, T., RAFIEI, A. R. & MOHAMMADPOUR, R. A. (2007) A Study on Specific IgE Against Candida Albicans in Atopic Dermatitis Patients Referred to Boali Hospital, Sari- Iran Journal of Mazandaran University of Medical Sciences, 17, 14-22. HIGAKI, S., MOROHASHI, M., YAMAGISHI, T. & HASEGAWA, Y. (1999) Comparative study of staphylococci from the skin of atopic dermatitis patients and from healthy subjects. Int J Dermatol, 38, 265-9. HORIUCHI, Y., BAE, S., KATAYAMA, I., MORI, Y. & YAMANISHI, K. (2004) Effects of ultravioletinactivated herpes simplex virus type I on atopic dermatitis-like lesions in NC/Nga mice: Role of the suppressor of cytokine signaling in the skin. Allergology International, 53, 331-340. JACOEB, T. (2004) Manifest Klinis Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak. IN BOEDIARDJA S.A, SUGIANTO T.L & RIHATMADJA, R. (Eds.) Dermatitis pada Bayi dan Anak. 1st ed. Jakarta, Fakultas Kedokteran Indonesia. JAMES, W. D., BERGER, T. G. & ELSTON, D. M. (2006) Andrews' Disease of The Skin Clinical Dermatology, Pennsylvania, Saunders Elsevier. KANG, K., POSTER, A. M., NEDOROST, S. T., STEVENS, S. R. & COOPER, K. D. (2003) Atopic Dermatitis. IN BOLOGNIA, J. L., JORIZZO, J. L. & RAPINI, R. P. (Eds.) Dermatology. London, Mosby. KRAFCHIK, B. R., HALBERT, A., YAMAMOTO, K. & SASAKI, R. (2003) Eczematous Dermatitis. IN SCHACHNER, L. A. & HANSEN, R. C. (Eds.) Pediatric Dermatology. 3rd ed. London, Mosby. LAONITA, R. S. & INDRIATMI, W. (2000) Peran Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. MDVI, 27, 43S-47S.

52

LEBON, A., LABOUT, J. A. M., VERBRUGH, H. A., JADDOE, V. W. V., HOFMAN, A., WAMEL, W. J. B. V., BELKUM, A. V. & MOLL, H. A. (2009) Role of Staphylococcus aureus Nasal Colonization in Atopic Dermatitis in Infants. Arch Pediatr Adolesc Med, 163, 745749. LEUNG, D., EICHENFIELD, L. & BOGUNIEWCZ, M. (2003) Atopic Dermatitis ( Atopic Eczema). IN FREEDBERG I, EISEN A, WOLFF K, AUSTEN F, GOLDSMITH L & KATZ S (Eds.) Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th ed. NewYork, Mc GrawHill. LEUNG, D. Y. M., EICHENFIELD, L. F. & BOGUNIEWICZ, M. (2008) Atopic Dermatitis. IN WOLFF, K., GOLDSMITH, L. A., KATZ, S. I., GILCHREST, B. A., PALLER, A. S. & LEFFELL, D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York, Mc Graw-Hill. LEUNG, D. Y. M. & SOTER, N. A. (2001) Cellular and immunologic mechanism in atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol, 44, S1-12. LEVENSON, J. L. (2008) Psychiatric Issues in Dermatology, Part 1: Atopic Dermatitis and Psoriasis. Primary Psychiatry, 15, 35-38. LEVER, R. (2006) Microbiology of Atopic Dermatitis. IN HARPER, J., ORANJE, A. & PROSE, N. (Eds.) Textbook of Pediatric Dermatology. 2nd ed. London, Blackwell Publishing. MATHIAS, O., KABLAN, T. & JOSEPH, A. (2010) Inactivation of Bacillus Subtilis Spores with Pressurized CO2 and Influence of O2, N2O and CH3CH2OH on its Sporicidal Activity. European Journal of Scientific Research, 40, 6-14. MORAR, N., WILLIS-OWEN, S. A. G., MOFFATT, M. F. & COOKSON, W. O. C. M. (2006) The genetics of atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol, 118. MORITA E, H. M., YONEYA Y, KANNBE M, TANAKA A, YAMAMOTO S. (1999) An assessment of the role of Candida albicans antigen in atopic dermatitis. J Dermatol, 26, 282-7. MUTIUS, E. V. (2002) RIsk Factor for Atopic Dermatitis. IN BIEBER, T. & LEUNG, D. (Eds.) Atopic Dermatitis. New York, Marcel Dekker, Inc. NRG (2004) Bacillus Subtilis. Natural Resources Group, OMRI Listed. O'GARA, J. P. & HUMPHREYS, H. (2001) Staphylococcus Epidermidis Biofilms: Importance and Implication. J. Med. Microbiol, 50, 582-587. PALLER, A. S. & MANCINI, A. J. (2006) Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology, Chicago, Elsevies Saunders. RYSTEDT, I., STRANNEGRD, I.-L. & STRANNEGRD, . (1984) Increased Serum Levels of Antibodies to Epstein-Barr Virus in Adults with History of Atopic Dermatitis. Int Arch Allergy Immunol, 75, 179-183. SAEKI, H., IIZUKA, H., MORI, Y., AKASAKA, T., TAKAGI, H., KITAJIMA, Y., TEZUKA, T., TANAKA, T., HIDE, M., YAMAMOTO, S., HIROSE, Y., KODAMA, H., URABE, K., FURUE, M., KASAGI, F., TORII, H., NAKAMURA, K., MORITA, E., TSUNEMI, Y. & TAMAKI, K. (2005) Prevalence of atopic dermatitis in Japanese elementary schoolchildren. British Journal of Dermatology, 152, 110-114. SAVOLAINEN, J., LAMMINTAUSTA, K., KALIMO, K. & VIANDER, M. (1993) Candida albicans and atopic dermatitis. Clinical & Experimental Allergy, 23, 332-339. SIMPSON, E. L. & HANIFIN, J. M. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 53, 115-28. SINGH, G. (1975) Pathogenesis of Staphylococcal Infections of the skin. Internationai Journai of Dermatology, 14, 755-60.

53

SOLOMON, L. M. & TELNER, P. (1966) Eruptive Molluscum Contagiosum in Atopic Dermatitis. Canad. Med. Ass. J., 95, 978-9. SUGITA, T., SUTO, H., UNNO, T., TSUBOI, R., OGAWA, H., SHINODA, T. & NISHIKAWA, A. (2001) Molecular Analysis of Malassezia Microflora on the Skin of Atopic Dermatitis Patients and Healthy Subjects. Journal of Clinical Microbiology, 39, 3486-3490. SUGITA, T., TAKASHIMA, M., SHINODA, T., SUTO, H., UNNO, T., TSUBOI, R., OGAWA, H. & NISHIKAWA, A. (2002) New Yeast Species, Malassezia dermatis, Isolated from Patients with Atopic Dermatitis. Journal of Clinical Microbiology, 40, 13631367. SUGIURA, H., UMEMOTO, N., DEGUCHI, H., MURATA, Y., TANAKA, K., SAWAI, T., OMOTO, M., UCHIYAMA, M., KIRIMAYA, T. & UEHARA, M. (1998) Prevalence of Childhood and Adolescent Atopic Dermatitis in a Japanese Population: Comparison with the Disease Frequency Examined 20 Years ago. Acta Derm Venereol, 78, 293-294. TODAR, K. (2011) The Normal Bacterial Flora of Humans Todar's Online Textbook of Bacteriology. WUTHRICH, B., COZZIO, A., ROLL, A., SENTI, G., KUNDIG, T. & SCHID-GRENDELMEIER, P. (2007) Atopic Eczema: Genetics or Environment? Ann Agric Environ Med, 14, 195201. WUTHRICH, B. & GRENDELMEIER, P. (2002) Definition and diagnosis of intrinsic versus extrinsic atopic dermatitis. IN BIEBER, T. & LEUNG, D. (Eds.) Atopic dermatitis. New York, Marcel Dekker. YANG, Y. W., TSAI, C. L. & LU, C. Y. (2009) Exclusive Breastfeeding and Incident Atopic Dermatitis in Childhood: A Systematic Review and Meta-analysis of Prospective Cohort Studies. British Journal of Dermatology, 161, 373-383. YIM, S. M., KIM, J. Y., KO, J. H., LEE, Y. W., CHOE, Y. B. & AHN, K. J. (2010) Molecular Analysis of Malassezia Microflora on the Skin of the Patients with Atopic Dermatitis. Ann Dermatol 22, 41-47.

54

Anda mungkin juga menyukai