Anda di halaman 1dari 14

Peranan Masyarakat Sipil Dalam Proses Reintegrasi di Daerah Paska Konflik : Studi Kasus Konflik Maluku

Rolly Leatemia, M.ST (Han), UNHAN, sinyo_lea@yahoo.com


Abstrak - Bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pemerintahan di awal tahun 1999 yaitu sistem reformasi menggantikan sistem pemerintahan orde baru yang bersifat otoriter dan represif. Namun sayangnya sistem reformasi ini tidak dibarengi dengan kesiapan aparatus pemerintahan untuk melaksanakannya. Akibatnya muncul berbagai macam gejolak politik dan gejolak sosial yang berdampak terhadap terjadinya konflik di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain; konflik di Sambas-Kalimantan Barat, konflik di Poso-Sulawesi Tengah, Konflik di Maluku serta konflik-konfik yang sudah ada sebelumnya seperti konflik Aceh dan konflik Papua. Konflik bagi masyarakat Maluku bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Masyarakat Maluku lebih mengenal konflik melalui istilah konflik bersenjata atau perkelahian yang sudah menjadi bagian dari tradisi, budaya dan pola hidup mereka. Misalnya tradisi pela antara desa-desa di Maluku yang selalu diawali dengan peperangan sebelum akhirnya terbentuk hubungan kekeluargaan diantara desa-desa tersebut. Konflik Maluku yang terjadi tahun 1999 kemarin bukanlah merupakan konflik yang baru pertama kali dirasakan oleh masyarakat Maluku, karena dalam dinamika kehidupan sosialnya masyarakat Maluku seringkali mengalami peperangan/ perkelahian baik itu antara sesama masyarakat Maluku maupun antara masyarakat Maluku dengan masyarakat (etnis) pendatang. Sehingga konflik Maluku tahun 1999 adalah merupakan puncak dan akumulasi dari berbagai konflik yang telah terjadi sebelumnya. Jurnal ini berupaya untuk memberikan analisis yang lebih mendalam dan komprehensif tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, aktor-aktor yang terlibat didalamnya, serta upaya-upaya yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh elemen masyarakat sipil Maluku khususnya pelaksanaan proses reintegrasi sosial masyarakat Maluku sebagai bagian dari kegiatan Demobilzation, Disarmament and Reintegration (DDR) sebagai salah satu tools untuk penyelesaian konflik Maluku tahun 1999. Selain itu tesis ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai model pembelajaran (lesson learned) bagi pemerintah dan elemen masyarakat sipil lainnya di Indonesia dalam menyelesaikan konflik yang memiliki karakteristik dan pola yang mirip dengan konflik Maluku. Abstract - In 1999 Indonesian nation entered a new phase of the system of government named the Reformasi system which replaced the authoritarian and repressive New Order regime. Unfortunately, the Reformasi system was not accompanied with the readiness of government apparatus to implement the system. As a consequence, a wide range of political turmoil and social upheavals emerged which then have caused the occurrence of conflict in various regions in Indonesia, among others, conflict in Sambas - West Kalimantan, conflict in Poso - Central Sulawesi, conflict in Maluku and preexisting conflicts such as conflicts in Aceh and Papua. Conflict in Maluku is not a new thing for people of Maluku. People of Maluku know and familiar with the term conflict through armed conflict/fighting which have already become part of tradition, culture and their lifestyle. For instance, tradition of Pela among villages in Maluku initially always begins with battle before finally create kinship ties among those villages. Conflict in Maluku that occurred in 1999 was not a new conflict first felt by the people of Maluku since in the dynamic of their social life people of Maluku often experience armed conflict/fighting both among themselves and also between people of Maluku with ethnic immigrant communities. So, the 1999 Maluku conflict was the culmination and accumulation of various conflicts that has occurred before. This journal tries to give more in-depth analysis and comprehensive about factors that cause conflict, actors involved, and efforts undertaken by both government and civil society Universitas Pertahanan Indonesia 45

element of Maluku particularly in the implementation of social reintegration process of Malukan people as part of demobilization, disarmament and reintegration (DDR) activities as one of the tools to resolve 1999 conflict of Maluku. addition, this thesis is also expected to serve as a lesson learned model for government and other civil society elements in Indonesia in resolving conflict that has characteristics and patterns similar to conflict in Maluku Kata Kunci : Conflict in Maluku, Peace Process in Maluku, Demobilization, Disarmament and Reintegration (DDR), social reintegration process that occurs in Maluku. Konflik Maluku, Proses Perdamaian di Maluku, Proses reintegrasi sosial yang terjadi di Maluku. Pendahuluan Bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pemerintahan di awal tahun 1999 yaitu sistem reformasi menggantikan sistem pemerintahan orde baru yang bersifat otoriter dan represif. Munculnya sistem reformasi dibawah pemerintahan Habibie, menjadikan bangsa Indonesia seperti mendapatkan durian runtuh dimana semua hal yang dilarang selama masa orde baru seperti halnya kebebasan berpolitik dan kebebasan berbicara diperbolehkan untuk hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dengan adanya kebebasan-kebebasan di era reformasi tersebut, segenap elemen masyarakat akhirnya bisa mengekspresikan kebebasan tanpa memikirkan resiko dan akibat yang mungkin akan terjadi. Namun di sisi lain, akibat terlalu lamanya berada di dalam tekanan dan sistem represif di bawah pemerintahan otoriter orde baru, adanya perbedaan dan keberagaman sebagai ciri khas masyarakat Indonesia yang hidup di negara kepulauan yang terbesar di dunia tidak bisa terakomodasi dengan baik dan harmonis. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya konflik di berbagai wilayah di Indonesia antara lain; konflik di Kalimantan Tengah (1999) yang berdampak sampai ke Kalimantan Barat, konflik di Maluku (1999) yang berdampak sampai ke Maluku Utara sebelum akhirnya Maluku Utara menjadi provinsi baru di akhir tahun 1999, dan konflik di Poso (1998) yang berdampak sampai ke Palu sebagai Ibukota provinsi, serta konflik yang terjadi di Aceh dan Papua yang telah berlangsung sejak masa orde baru tetap saja terjadi. Bagi masyarakat Maluku, dimana konflik bukan lagi merupakan hal yang baru, karena 46 sejak dahulu masyarakat Maluku sudah terbiasa dengan konflik, khususnya konflik antar desa/negeri karena alasan tapal batas dan perebutan sumberdaya alam. Namun demikian, konflik bernuansa Suku, Agama, Ras Antar Golongan (SARA) yang terjadi antara tahun 1999-2004 adalah merupakah hal yang baru pertama kali dirasakan oleh masyarakat Maluku. Penyelesaian konflik Maluku merupakan sebuah proses yang unik, tidak seperti penyelesaian konflik di daerah lain khususnya di Aceh, Poso (Sulawesi Tengah) dan Sampit (Kalimantan Tengah). Dimana penyelesaiannya konflik di Maluku menggunakan kombinasi antara pendekatan penggunaan simbol dan kearifan lokal seperti baku bae dan pelagandong serta upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah diantaranya perjanjian damai Malino-2 tahun 2002. Umumnya dalam konflik yang melibatkan negara dengan masyarakat (konflik vertikal) maupun konflik/perang antar negara, setiap perjanjian damai yang ditandatangani oleh pihak-pihak bertikai/berkonflik mensyaratkan adanya pelaksanaan program Disarmament, Demobilization and Reitegration (DDR). Untuk mendukung pelaksanaan program DDR tersebut, ada beberapa prasyarat yang harus diperhatikan sebagai bagian dari standar baku internasional yaitu: 1) adanya intervensi internasional berupa pengiriman pasukan pemelihara Perdamaian, atau adanya intervensi internasional berupa pasukan pendukung perdamaian (bantuan internasional kemanusiaan) dibawah kontrol langsung dari PBB. 2) Adanya keterlibatan organisasi internasional selaku pihak ketiga yang berfungsi sebagai mediator antara pihak-pihak yang bertikai.

Universitas Pertahanan Indonesia

Selama ini, pelaksanaan kegiatan DDR di Indonesia secara umum hanya diketahui dilaksanakan di Aceh. Padahal dalam kenyataannya, kegiatan DDR juga telah dilaksanakan di daerah Maluku. Hanya konteks dan implementasi kegiatan DDR di Maluku berbeda dengan konteks dan implementasi kegiatan DDR di Aceh. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik konflik antara kedua daerah tersebut, dimana konflik Aceh konflik yang bersifat vertikal (konflik antara negara dan masyarakat), sedangkan konflik Maluku adalah konflik yang bersifat horizontal (konflik antara sesama warga masyarakat). Dengan demikian implementasi kegiatan DDR pada kedua daerah tersebut juga berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis dinamika konflik dan Perdamaian di Maluku, serta menganalisis kontribusi proses DDR yang difokuskan pada keterlibatan masyarakat sipil khususnya pada proses reintegrasi yang terjadi dalam mewujudkan Perdamaian di Maluku. 2) Menganalisis faktor-faktor apa saja yang turut berpengaruh dalam reintegrasi sosial dalam menunjang proses pembangunan Perdamaian di Maluku. Sejarah dan Dinamika Konflik Maluku Dalam kehidupan keseharian mereka, konflik lebih dikenal dengan istilah peperangan / perkelahian baik itu antar kelompok masyarakat maupun antar desa / negeri yang letaknya berdekatan maupun yang letaknya berjauhan. Sehingga konflik yang terjadi di Maluku tahun 1999 atau yang lebih dikenal dengan istilah konflik sosial bernuansa (Suku, Agama, Ras, Antar golongan/SARA) adalah merupakan puncak dan akumulasi dari tradisi, budaya, pola hidup dan sistem interaksi sosial masyarakat Maluku yang selalu diwarnai oleh nilai-nilai kekerasan. Tradisi dan sejarah masyarakat Maluku mencatat bahwa hampir semua desa atau negeri di Maluku pernah berkonflik (mengalami peperangan) baik itu desa / negeri yang ada di Pulau Ambon, Pulau Saparua, Pulau Haruku, Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Nusalaut, Pulau Banda, dan di kepulauan Maluku Tenggara serta Maluku Utara sebelum menjadi provinsi tersendiri.

Peperangan atau perkelahian antara desa / negeri tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1) Perebutan sumberdaya alam dan tapal batas antara desa / negeri, 2) Budaya, 3) Politik, dan 4) Sosial (Hegemoni dan perebutan power). Selain konflik yang terjadi antara desa atau negeri di Maluku (konflik antara sesama maysarakat Maluku), konflik di Maluku juga seringkali terjadi antara masyarakat Maluku dan etnis pendatang. Sampai akhir tahun 1990-an, dari sekian etnis pendatang yang tinggal dan menetap di Maluku, ada lima (5) kelompok besar etnis pendatang di Maluku yaitu; 1) etnis Jawa, 2) etnis Buton, 3) etnis Bugis, 4) etnis Makassar, dan 5) etnis Cina. Kehadiran etnis-etnis tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; a) Kebijakan pemerintah melalui program nasional transmigrasi, b) Kesenjangan, dan c) budaya avountorir (suka merantau) dan suka berdagang seperti etnis Bugis, Makassar, Padang dan Cina juga menjadi faktor lain yang berpengaruh terhadap kehadiran entis pendatang di Maluku. Kehadiran etnis-etnis tersebut di Maluku pada awalnya tidak menimbulkan masalah, namun ternyata di kemudian hari kehadiran mereka menjadi masalah tersendiri yang berdampak terhadap konflik antara mereka dengan masyarakat lokal Maluku. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a) Kebijakan pemerintah yang tidak tepat khususnya dalam pemerataan akses pembangunan, b) Persaingan dan monopoli ekonomi, dan c) Perbedaan tradisi dan budaya. Sebenarnya bisa dijembatani dan tidak akan menimbulkan masalah yang bermuara kepada konflik antara masyarakat Maluku dan etnis pendatang, jika etnis pendatang mau mengakui dan mengadopsi tradisi dan budaya masyarakat Maluku. Penyebab Konflik Maluku. Sub bab ini secara khusus akan membahas tentang konflik sosial yang terjadi di Maluku tahun 1999. Ada bebarapa faktor yang bisa dijadikan pertimbangan mengapa hal tersebut bisa terjadi, antara lain: a. Lemahnya aparatus penegak hukum dalam menegakan hukum dan keadilan. Perkelahian, peperangan, penganiayaan adalah beberapa contoh Universitas Pertahanan Indonesia 47

dari tindakan kriminal yang selalu ada dan menjadi bagian dari dinamika kehidupan manusia. Dalam konteks hubungan sosial kemasyarakatan dan dalam konteks sistem kenegaraan, negara adalah otoritas tertinggi yang memiliki fungsi untuk memberikan rasa aman, nyaman dan tentram bagi warga negaranya dan bertanggungjawab untuk memastikan terselenggaranya keadaan di atas melalui kontrol yang baik dari aparatusnya dalam hal ini aparat penegak hukum baik ditingkat nasional maupun di daerah. Untuk konteks Indonesia khususnya konteks Maluku, ternyata hal ini telah gagal dilakukan oleh negara khususnya oleh aparat penegak hukumnya. Kegagalan tersebut disebabkan karena proses penegakan hukum yang selama ini dilakukan di Indonesia termasuk di daerah-daerah adalah merupakan warisan orde baru yang menggunakan pola-pola dan sistem represif yang bertujuan untuk melindungi kepentingan penguasa. Dengan demikian, aparat penegak hukum di Indonesia tidak lagi memiliki kapasitas dan dalam independensi menegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat ketika perkelahian, peperangan ataupun penganiayaan yang terjadi di masyarakat telah melibatkan kepentingan penguasa maupun kelompok tertentu seperti yang terjadi pada konflik Maluku dan konflik di beberapa daerah lain di Indonesia. b. Tergerusnya budaya dan kearifan lokal masyarakat Maluku. Salah satu hal yang menyebabkan tergerusnya budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Maluku adalah adanya pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 oleh pemerintah pusat tentang sistem pemerintahan desa di Indonesia. Dengan adanya pemberlakuan UU tersebut, maka terjadi penerapan tradisi dan budaya Jawa tentang sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Dengan demikian dampak yang ditimbulkan akibat pemberlakuan UU tersebut bukan saja bersifat positif tetapi juga bersifat negatif bagi beberapa daerah di Indonesia khususnya yang 48 Universitas Pertahanan Indonesia

memiliki tradisi dan budaya yang sangat berbeda dengan tradisi dan budaya Jawa, misalnya di Padang-Sumatera Barat, Aceh, Poso-Sulawesi Tengah dan di Maluku. Untuk konteks Maluku, dengan adanya pemberlakuan UU No.5 Tahun 1979 telah menyebabkan terjadinya pelemahan bahkan tidak berfungsinya tradisi pelagandong dan budaya negeri-negeri adat di Maluku. Misalnya; hirarki kepala desa tradisional (raja) dengan mudah digantikan dengan kepala desa dan pejabat desa menurut tradisi dan budaya Jawa yang dipilih oleh masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus tertentu, kepala desa yang terpilih bukan merupakan anak adat desa tersebut tetapi merupakan warga pendatang atau bahkan merupakan perwakilan dari pemerintah yang ditempatkan di desa tersebut. Keadaan yang sama juga berlaku untuk para pejabat desa tradisionalnya yang juga dipilih oleh masyarakat. Akibatnya fungsi kepala desa dan pejabat desa tidak berjalan sebagaimana mestinya karena kepala desa dan pejabat desa yang baru (terpilih) sebagian besar tidak paham dan tidak mengenal desa yang dipimpinnya. Bahkan ada sebagian kepala desa baru yang tidak berminat untuk menyebarkan adat karena dianggap adat tersebut tidak bermanfaat dan tidak cenderung menghambat kegiatan pembangunan di desa yang dipimpinnya. Demikian pula dengan tradisi pela-gandong yang dimiliki masyarakat Maluku menjadi tidak berfungsi secara efektif akibat masuknya etnis pendatang seperti etnis Buton, Bugis, Makassar dan Jawa melalui program transmigrasi nasional pemerintah. Kalaupun tradisi ini masih ada, itu hanyalah merupakan sebuah acara seremonial belaka saja. c. Adanya upaya secara terencana dan sistematis untuk menciptakan konflik di Maluku khususnya di kota Ambon. Diakui maupun tidak diakui, konflik Maluku yang terjadi tahun 1999 bukanlah merupakan konflik murni yang diakibatkan oleh masyarakat Maluku, tetapi ada unsur

rekayasa (konspirasi politik) yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk menciptakannya. Indikasi-indikasi yang bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan mengapa konflik Maluku dikatakan merupakan sebuah rekayasa yang dilakukan secara terencana dan sistematis antara lain: 1) Adanya kegiatan pengkondisian yang sudah dilakukan sejak satu dua bulan sebelum terjadinya konflik melalui selebaran gelap, telepon gelap, grafiti dan lain-lain. 2) Banyaknya istilah-istilah tidak populer yang muncul di kalangan masyarakat Maluku seperti istilah nasrani untuk umat Kristen di Maluku dan istilah Muslim untuk umat Islam di Maluku, maupun istilah Obet untuk umat Kristen Maluku dan istilah Acang untuk umat Islam Maluku. Padahal istilah-istilah tersebut tidak pernah dipakai sebelumnya oleh masyarakat Maluku. 3) Selama berlangsungnya konflik Maluku, begitu banyak wajah-wajah asing yang tidak dikenal bebas berkeliaran di Maluku. 4) Adanya penggunaan simbol-simbol tertentu selama berlangsungnya konflik Maluku seperti simbol ikat kepala merah untuk umat Kristen dan ikat kepala putih untuk umat Islam Maluku. 5) Munculnya istilah Buton-Bugis-Makassar (BBM) yang dilanjutkan dengan isu anti terhadap etnis tersebut. Dan 6) Adanya mobilisasi masa yang dilakukan secara rapih dan terorgranisir selama berlangsungnya konflik Maluku. Karakteristik Konflik Maluku Meskipun konflik Maluku dikategorikan ke dalam konflik yang sifatnya horizontal seperti yang terjadi pada beberapa daerah lain di Indonnesia, misalnya konflik Poso-Sulawesi Tengah, konflik Sambas-Kalimantan Barat maupun konflik Aceh dan konflik Papua yang sifatnya vertikal, namun konflik Maluku memiliki karakteristik yang sangat unik dibandingkan dengan konflik-konflik yang telah disebutkan diatas. Dikatakan unik karena isu yang menyebabkan terjadinya konflik Maluku mengalami beberapa kali pergantian (transformasi) yang berdampak langsung terhadap dinamika konflik di Maluku. Selain itu keterlibatan dari para pihak (kelompok) yang berkonflik di Maluku

juga menjadi mengalami variasi berdasarkan isu yang berkembang. Secara garis besar konflik Maluku dapat diklasifikasikan menjadi empat episode (tahapan) berdasarkan isu yang berkembang, seperti yang tertera pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Isu dan Karakteristik Konflik Maluku dari Tahun 1999-2002.

Episode I JanuariMei 1999

Karakteristik Isu yang berkembang adalah sentimen etnis. Faktor yang menyebabkan terjadinya sentimen etnis antar lain: a. Persaingan dan monopoli ekonomi. b. Kepentingan politik lokal. Isu yang berkembang adalah lemahnya Perlindungan dan jaminan keamanan. Terjadi perubahan status KOREM menjadi KODAM. Gelar pasukan operasi yang ditugaskan di Maluku mencapai 24 Batalyon (setara dengan 2 divisi) yang merupakan gelar operasi terbesar kedua setelah Aceh. Mulai muncul pengelompokan dan keberpihakan dari aparatus penegak hukum termasuk TNI dan Polri kepada masyarakat Maluku. Segregasi masyarakat Maluku mulai menguat. Isu yang berkembang adalah isu agama. Pengelompokan dan keberpihakan aparatus penegak hukum khususnya TNI dan Polri mencapai puncaknya pada konflik episode ini. Masyarakat Maluku benarbenar tersegregasi ke dalam 49

II JuniNov 1999

III Des 1999 Agustus 2000

Universitas Pertahanan Indonesia

IV Sep 2000Perteng ahan 2002

wilayah-wilayah dan komunitas-komunitas berdasarkan keyakinan agamanya. Masuknya laskar jihad di Maluku. Isu yang berkembang adalah isu Separatis (RMS vs NKRI) Masyarakat Islam Maluku dianggap mewakili NKRI, sedangkan masyarakat Kristen Maluku dianggap mewakili RMS.

Dinamika dan Proses Perdamaian di Maluku Meskipun konflik sosial bernuansa SARA yang terjadi di Maluku hanya berlangsung dalam kurun waktu yang relatif singkat yaitu dari tahun 1999 sampai akhir tahun 2004, namun konflik tersebut telah memberikan dampak yang begitu luar biasa yaitu dampak secara fisik maupun dampak secara psikis kepada masyarakat dan pemerintah daerah provinsi Maluku. Dampak fisik yang dialami oleh masyarakat dan pemerintah daerah provinsi Maluku antara lain: 1) Jumlah korban jiwa masyarakat Maluku yang hampir mencapai 10.000 orang baik dari masyarakat Islam maupun masyarakat Kristen Maluku, 2) Hancurnya sarana prasarana dan infrastruktur pembangunan di Maluku, 3) Hancurnya sarana dan prasarana pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di Maluku, 4) Hancurnya sistem perekonomian mulai dari perekonomian rakyat sampai perekenomian berskala besar di Maluku akibat dari keluarnya masyarakat (etnis) pendatang khususnya etnis Buton-BugisMakassar dan etnis Cina yang selama ini menguasai sistem perekonomian di Maluku, serta 5) Munculnya kelompok-kelompok pengungsi internal (IDPs) di berbagai daerah di Maluku. Sedangkan dampak psikis yang dialami oleh masyarakat Maluku antara lain: 1) Hancurnya tradisi dan budaya masyarakat Maluku, 2) Terjadinya disharmonisasi dan segregasi diantara sesama masyarakat Maluku, 3) Munculnya 50 Universitas Pertahanan Indonesia

trauma di kalangan remaja dan anak usia dini di Maluku. Menyadari begitu besarnya dampak yang diakibatkan oleh konflik tersebut, maka berbagai cara dan upaya untuk menyelesaikan konflik Maluku telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat mapun pemerintah daerah provinsi Maluku, misalnya; pelaksanaan darurat sipil dan tertib sipil di Maluku dari tahun 2002-2003, serta pelaksanaan perjanjian damai Malino-2 tahun 2002. Serta upaya-upaya yang juga dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat Maluku, misalnya; a) Pembentukan Forum Pemuda Baguala, b) Pembentukan Tim 19 Wayame, c) Aksi bersama Mahamuda Maluku di Ambon dan Jakarta, d) Pembentukan Forum Baku Dapa, Gerakan Baku Bae Maluku, dan e) Majelis Latupati Maluku; Kolaborasi Antara Masyarakat dan Pemerintah. Proses DDR di Maluku DDR adalah merupakan instrumen baku internasional yang dikeluarkan oleh PBB yang bertujuan untuk menyelesaikan konflikkonflik yang terjadi di berbagai negara, dimana dalam pelaksanaannya berada dibawah pengawasan dan kontrol langsung oleh PBB melalui PKO maupun PSO. Dalam pelaksanaannya, program DDR mensyaratkan perlunya intervensi atau keterlibatan pihak ketiga (third party) yang bertindak sebagai lembaga / badan yang yang berfungsi untuk melakukan pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan program tersebut. Keterlibatan pihak ketiga dalam pelaksanaan program DDR haruslah ditunjuk dan disepakati secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik untuk menjamin objektivitas pelaksanaannya sekaligus meminimalisir perasaan curiga terhadap keberpihakan kepada salah satu dari pihakpihak yang berkonflik. Umumnya program DDR dilaksanakan di Negara / wilayah yang memiliki karakteristik konflik vertikal atau konflik antara militer yang merepresentasikan negara dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil tertentu, contohnya: pelaksanaan DDR di

Afghanistan, Liberia, Kongo, Kolombia, dan lain-lain. Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi sebelum program DDR dilaksanakan di suatu daerah / wilayah yaitu: 1) Program DDR haruslah merupakan kemauan politik dari negara dalam hal ini pemerintah (pusat dan daerah) termasuk mandat pelaksanaannya. 2) Program DDR hanya dapat dilaksanakan ketika pihak-pihak yang berperang / berkonflik berada dalam kondisi menuju perdamaian (ceasefire), dengan kata lain, program DDR merupakan simbol berakhirnya perang / konflik. 3) Program DDR harus mendapatkan dukungan dan persetujuan dari pimpinan angkatan perang ataupun komandan pasukan dan atau komandan dari unit tempur yang ada disetiap wilayah perang / konflik. 4) Program DDR harus memiliki prosedur dan batasan waktu pelaksanaannya yang tertuang secara jelas dalam piagam perjanjian damai dan bersifat mengikat kedua belah pihak yang bertikai. 5) Keterlibatan donor dalam pelaksanaan program DDR haruslah dimulai dari tahap perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi. 6) Sejak proses perencanaan, haruslah disepakati target group dari program DDR khususnya pada kegiatan demobilisasi dan haruslah dituangkan secara tertulis dalam piagam perjanjian damai. 7) Dalam implementasi substansi perjanjian damai, pelaksanaan program DDR harus memiliki mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh sebuah komisi yang dibentuk dan disepakati bersama oleh semua pihak yang bertikai / berkonflik. 8) Diperlukan adanya keterlibatan dan partisipasi observer internasional yang netral. Dan 9) Pelaksanaan program DDR haruslah bersifat effektif dan berkelanjutan. Di Indonesia, program DDR yang dilaksanakan dan diakui oleh pihak internasional adalah program DDR yang dilaksanakan di Aceh. Beberapa pertimbangan yang menyebabkan pelaksanaan kegaitan DDR di Aceh diakui oleh pihak internasional antara lain: 1) Konflik Aceh merupakan konflik yang memiliki karakteristik konflik vertikal yang melibatkan TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 2) Adanya keterlibatan pihak internasional yaitu Crisis Management

Initiative (CMI) sebagai pihak ketiga (third party) dalam penyelesaian konflik Aceh. 3) Adanya pasukan pendukung perdamaian (peace support operation-PSO) yang ditugaskan di Aceh oleh UN melalui kegiatan humanitarian assisstance setelah gempa bumi dan bencana alam tsunami yang melanda Aceh di akhir tahun 2004. 4) Dilaksanakannya perjanjian damai antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh yaitu Pemerintah (TNI) dan GAM yang ditandatangani di Helsinki (MoU Helsinki). Dan 5) Adanya observer internasional yaitu IOM yang ditunjuk sebagai lembaga pengawas sekaligus sebagai lembaga monitoring pelaksanaan kegiatan DDR di Aceh. Pahalal, selain Aceh kegiatan DDR juga dilaksanakan di Maluku meskipun dalam konteks yang sangat berbeda dengan pelaksanaan kegiatan DDR di Aceh karena karakterisktik konflik Maluku yang bersifat horizontal (konflik yang terjadi dan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat). Jika ditinjau dari prasyarat dan kontek pelaksanaan DDR, disadari atau tidak disadari, proses penyelesaian konflik yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi maupun oleh berbagai elemen sosial masyarakat Maluku secara langsung maupun tidak langsung telah melaksanakan kegaitan DDR. Beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan bahwa program DDR telah dilaksanakan di Maluku antara lain: a. Adanya keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Maluku. Karena konflik Maluku merupakan konflik yang bersifat horizontal (konflik yang terjadi dan melibatkan sesama kelompok masyarakat sipil) antara masyarakat Islam dan masyarakat Kristen Maluku, maka pihak ketiga yang terlibat adalah pemerintah pusat disamping pemerintah daerah yang terlibat secara langsung dalam penyelesaian konflik Maluku. Keterlibatan pemerintah pusat dalam penyelesaian konflik Maluku dapat dilihat pada kemauan politiknya yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2002 tentang penetapan status darurat sipil bagi provinsi Maluku yang dilanjutkan dengan penetapan status Universitas Pertahanan Indonesia 51

tertib sipil di Maluku pada tahun 2003. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden ini, maka tanggungjawab proses penyelesaian konflik Maluku yang semula berada di bawah tanggungjawab pemerintah daerah provinsi Maluku, diambil alih dan ditangani secara langsung oleh pemerintah pusat dibawah tanggungjawab langsung Presiden yang dibantu oleh beberapa menteri seperti menteri dalam negeri, menteri luar negeri, menteri pertahanan, dan lain-lain. b. Adanya intervensi internasional melalui kegiatan humanitarian assisstance di Maluku. Selama berlangsungnya konflik Maluku, terdapat begitu banyak program dan kegiatan humanitarian assisstance oleh lembagalembaga donor internasional seperti UNICEF, UNDP, MCI, MSF, Save The Children, dan Cordaid, untuk membantu pemerintah dan masyarakat Maluku dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat konflik sekaligus membantu penyelesaian konflik yang terjadi di Maluku. Kehadiran lembagalembaga donor internasional ini tidak dibawah koordinasi dan kontrol langsung oleh PBB seperti pelaksanaan program DDR pada umumnya. c. Adanya implementasi kegiatan DDR di Maluku. Selama berlangsungnya proses penyelesaian konflik Maluku, disaat yang bersamaan juga dilaksanakan kegiatan demobilisasi (demobilization) terhadap kelompok-kelompok masyarakat Maluku yang berkonflik. Proses demobilisasi yang terjadi di Maluku dapat dibagi dalam dua bagian yaitu: 1) Demobiliasi yang dilakukan atas inisiatif masyarakat Maluku melalui para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat. Dan 2) Demobilisasi yang dilakukan atas inisiatif dari pemerintah melalui peranan dari TNI dan Polri untuk melokalisir pergerakan dari kelompok-kelompok masyarakat Maluku yang terlibat dalam konflik untuk tidak melakukan penyerangan dan memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok yang lain, termasuk di dalamnya adalah Universitas Pertahanan Indonesia

demobilisasi terhadap kelompok laskar Jihad. Pelaksanaan kegiatan penyerahan / pelucutan senjata (disarmament). Meskipun konflik Maluku merupakan konflik yang bersifat horizontal, namun penggunaan senjata api standar seperti yang dimiliki oleh TNI dan Polri sangat banyak dan peredarannya begitu luas di kelompokkelompok masyarakat yang berkonflik. Penggunaan dan peredaran senjata api standar ini berasal dari bantuan berbagai pihak dari luar Maluku, pembobolan gudang senjata pada markas Brimob di Tantui, serta upaya-upaya pembelian yang dilakukan secara pribadi maupun secara berkelompok untuk membeli senjata api standar dari luar Maluku yang didatangkan dengan menggunakan jasa titipan (memakai container) maupun melalui penyelundupuan. Untuk itu, perlu adanya tindakan dari pemerintah sebagai pihak ketiga untuk menarik kembali semua senjata api yang sedang beredar dan berada pada kelompokkelompok masyarakat Maluku yang berkonflik. Pada tahun 2002 setelah dilaksanakannya Perjanjian Damai Malino-2, kelompok-kelompok masyarakat Maluku yang berkonflik secara sukarela menyerahkan senjata yang dimilikinya kepada pemerintah daerah melalui TNI dan Polri selaku instansi yang berwewenang untuk mengontrol peredaran senjata api di masyarakat. Namun tidak semua dari senjata api standar tersebut diserahkan kepada pemerintah. Selain pelaksanaan kegiatan demobilisasi dan pelaksanaan kegiatan penyerahan / pelucutan senjata dalam penyelesaian konflik Maluku, kegiatan reintegrasi juga dilaksanakan di Maluku. Kegiatan reintegrasi di Maluku lebih difokuskan pada reintegrasi sosial diantara sesama masyarakat Maluku, mengingat konflik Maluku adalah konflik yang bersifat horizontal atau konflik yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat Maluku. kegiatan reintegrasi sosial di Maluku secara umum dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu: a. Kegiatan reintegrasi yang dilakukan sendiri oleh masyarakat Maluku melalui reintegrasi ekonomi dan reintegrasi

52

budaya diantara sesama masyarakat Maluku. Reintegrasi ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat Maluku antara lain melakukan pertukaran bahan-bahan makanan pokok yang dimiliki oleh masyarakat Islam Maluku kepada maysarakat Kristen Maluku demikian pula sebaliknya, yang dilakukan pada lokasilokasi tertentu yang dijadikan sebagai zona damai seperti pasar Baku Bae di depan Hotel Amans, pasar bersama di desa Wayame, serta zona transaksi di tugu Trikora (depan gereja Silo) dan zona transaksi di Paso. Sedangkan reintegrasi budaya yang dilakukan oleh masyarakat Maluku antara lain menghidupkan kembali tradisi dan budaya panas pela dan panas gandong diantara desa-desa yang memiliki ikatan kekeluargaan pela dan gandong di Maluku. Misalnya; panas pela antara desa Batumerah dengan desa Paso yang keduanya berada di pulau Ambon, panas gandong antara desa Ouw (pulau Saparua) dan desa Seith (pulau Ambon), serta panas gandong antara desa Ihamahu (pulau Saparua) dengan desa Iha Seram (pulau Seram) dan desa Iha di pulau Saparua. b. Kegiatan reintegrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi Maluku melalui reintegrasi pendidikan, reintegrasi pemukiman penduduk (resettlement) dan reintegrasi sistem pemerintahan. Reintegrasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain melakukan proses-proses mediasi untuk menggabungkan kembali sistim pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di Maluku yang mengalami pemisahan akibat konflik. Reintegrasi pemukiman penduduk (resettlement) yang dilakukan oleh pemerintah antara lain: a) Membangun pemukiman menyisip, yaitu pengungsi dimukimkan di dalam suatu lingkungan pemukiman yang sudah ada, dengan jalan membangun rumah di antara rumah penduduk yang seagama (Islam / Kristen). b) Pengembalian pengungsi ke negeri asal mereka dengan fasilitas keamanan dan pembangunan sarana perumahan serta sarana sosial dan sarana keagamaan seperti pada waktu sebelum terjadinya konflik. Ini adalah

salah satu cara memberi kompensasi sosial kepada masyarakat Maluku yang mengalami dan merasakan dampak konflik secara langsung. Sedangkan kegiatan reintegrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi Maluku di bidang pemerintahan yaitu provinsi Maluku melaksanakan kegiatan normalisasi kegiatan operasional pemerintahan di seluruh instansi pemerintahan di Maluku kepada para pegawainya yang mana pada saat konflik mengalami pemisahan (tersegregasi) menjadi pegawai Islam dan Kristen. Selain itu pemerintah daerah provinsi Maluku juga mengimplementasikan pola merit sistem (berdasarkan keahlian yang dimiliki) dan pola afirmatif sistem (berdasarkan kuota yang dianggap mewakili representasi kelompokkelompok masyarakat tertentu) dalam kegiatan rekruitmen kepada calon pegawai negeri sipil yang ada di Maluku. implementasi pola merit sistem dan afirmatif sistem dalam pelaksanaan kegiatan rekruitmen calon pegawai negeri sipil di Maluku bertujuan untuk; 1) menghindari praktek-praktek penguasaan jabatan maupun posisi strategis tertentu di lingkungan pemerintahan oleh kelompok-kelompok tertentu baik berdasarkan agama maupun berdasarkan suku. Dan 2) meminimalisir tingkat kecemburuan dan irihati diantara sesama masyarakat Makuku khususnya kecemburuan dan irihati dari masyarakat Islam Maluku kepada masyarakat Kristen Maluku. Karena selama ini masyarakat Kristen Maluku lebih banyak menguasai dan memegang peranan penting pada sektor-sektor formal khususnya di sektor pendidikan, dan sektor pemerintahan. Kebijakan merit sistem dan kebijakan afirmatif sistem ini sangat jelas sekali kelihatan pada kegiatan rekruitmen calon pegawai negeri sipil Maluku pada kantor kepala daerah provinsi (kantor gubernur) Maluku dan kantor kepada wilayah kotamadya (kantor walikota) Ambon. Meskipun DDR merupakan kegiatan / progam baku yang diakui secara internasional, sehingga dalam pelaksanaannya juga mendapatkan dukungan berbagai pihak internasional. Universitas Pertahanan Indonesia 53

Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan kegiatan DDR yang dilakukan pada wilayahwilayah paska konflik termasuk kegiatan DDR yang dilaksanakan di Maluku seringkali tidak berjalan secara maksimal karena adanya kendala-kendala yang mempengaruhinya, antara lain; 1) Kemampuan dan sumberdaya manusia dari personil yang akan melaksanakan kegiatan tersebut, khususnya kemampuan berkomunikasi dengan para eks kombatan dan masyarakat sipil / lokal, 2) Karakteristik wilayah dan karakteristik stakeholder yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan DDR, 3) Perencanaan program / kegiatan khususnya dalam hal identifikasi kelompokkelompok yang akan terlibat dalam pelaksanaan kegiatan DDR, 4) Ketersediaan bugdet (anggaran) untuk pelaksanaan kegiatan, serta 5) Mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut. Kontribusi Masyarakat Maluku dalam Proses Reintegrasi Keberhasilan pelaksanaan kegiatan DDR yang dilakukan di suatu daerah / wilayah sangat tergantung dari keberhasilan dalam melaksanakan kegaitan reintegrasi antara kombatan (kelompok yang berkonflik) dengan masyarakat setempat. Dengan demikian, kegiatan reintegrasi merupakan bagian dari kegiatan DDR yang memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi untuk dilaksanakan. Dikatakan demikian, karena kegiatan reintegrasi yang dilaksanakan harus bisa memberikan jaminan kepada para kombatan (kelompok-kelompok yang berkonflik) termasuk pengikut-pengikutnya untuk memperoleh kesetaraan hak dengan masyarakat setempat dalam hal akses ekonomi khususnya kesempatan memperoleh pekerjaan, akses sosial yaitu tidak diperlakukan secara diskriminatif dan sewenang-wenang, serta akses politik yaitu memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan masyarakat setempat untuk berpolitik dan untuk mendapatkan keadilan yang layak. Bagi daerah / wilayah yang konfliknya bersifat vertikal misalnya pada konflik Aceh, kegiatan DDR khususnya kegiatan 54 Universitas Pertahanan Indonesia

reintegrasi dapat dilaksanakan karena pihakpihak yang terlibat dalam konflik dapat diidentifikasi dengan jelas. Sebaliknya bagi daerah / wilayah yang konfliknya bersifat horizontal seperti konflik Maluku, penerapan kegiatan DDR khususnya kegiatan reintegrasi sangat sulit dilakukan, karena pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Maluku sangat luas dan beragam sehingga proses identifikasi terhadap pihak-pihak tersebut menjadi sangat sulit. Namun demikian, bukan berarti penerapan kegiatan DDR khususnya kegiatan reintegrasi tidak bisa dilaksanakan. Penerapan kegiatan DDR khususnya kegiatan reintegrasi dalam penyelesaian konflik Maluku dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan pemerintah (pusat maupun daerah) dan masyarakat Maluku. Bahkan jika dibuat perbandingan, masyarakat Maluku memberikan sumbangan dan kontribusi yang lebih besar dalam proses reintegrasi dibandingkan dengan sumbangan dan kontribusi yang diberikan oleh pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan reintegrasi tersebut. Besarnya tingkat kontribusi masyarakat Maluku dalam kegiatan reintegrasi yang terjadi, tidak bisa dipisahkan dari peranan dan bantuan yang diberikan oleh berbagai elemen dan komponen masyarakat Maluku misalnya; peranan dan bantuan dari tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat dan tokohtokoh adat, peranan dan bantuan dari kelompok dan tokoh-tokoh pemuda, dan yang tidak kalah pentingnya adalah peranan dan bantuan dari berbagai NGOs lokal yang ada di Maluku melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi dan sosial yang dilakukannya. Salah satu kontribusi signifikan masyarakat Maluku dalam kegiatan reintegrasi adalah ditemukannya mekanisme atau model penyelesaian konflik yang berbasis pada penerapan dan penggunaan simbol serta kearifan lokal. Misalnya: 1) Penggunaan simbol Baku Bae untuk menggantikan simbol rekonsiliasi yang dianggap terlarang bagi masyarakat Maluku pada saat terjadinya konflik. 2) Mengembalikan hakekat dan fungsi dari

tradisi dan budaya yang dimiliki sebagai kekuatan pemersatu dan perekat hubungan sosial diantara sesama masyarakat Maluku. Contohnya; menghidupkan kembali tradisi dan budaya pela-gandong di Maluku. 3) Melakukan pelembagaan terhadap tradisi dan budaya yang dipandang sangat strategis dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Contohnya; melakukan pelembagaan Latupati yang sebelumnya hanya setingkat kecamatan dengan peranan dan fungsi yang terbatas pada wilayahnya saja menjadi Latupati tingkat provinsi (Majelis Latupati Maluku) dengan fungsi dan peranan yang semakin luas yaitu mencakup keseluruhan daerah Maluku. Selain itu, dengan adanya kegiatan reintegrasi yang dilakukan oleh maysarakat Maluku, juga telah berhasil menemukan sebuah model baru proses pencegahan konflik yang dikenal dengan sebutan sistem peringatan dan tanggap dini konflik (Conflict Early Warning and Early Response SystemCEWERS) yang berbasis komunitas yang kemudian dijadikan sebagai lesson learned yang sangat penting bagi penyelesaian konflik-konflik di Indonesia. Sebenarnya model ini merupakan pengembangan dari model sistem peringatan dini (Early Warning System) yang telah dikembangkan dan dilakukan dibeberapa negara seperti model WANEP di Afrika, SIPRI di Kosovo dan beberapa model lainnya. CEWERS memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan kegiatan-kegiatan penyelesaian konflik termasuk pelaksanaan kegiatan DDR di Maluku pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Saat ini, model sistem peringatan dan tanggap dini konflik berbasis komunitas telah mulai dikembangkan dan diterapkan di beberapa daerah lain di Indonesia antara lain di Poso-Sulawesi Tengah, di SampitKalimantan Barat dan di Aceh, melalui program-program baik yang didukung oleh lembaga-lembaga donor lokal dan internasional maupun yang didukung oleh pemerintah. Analisis Bahaya, Peluang dan Ancaman Terhadap Proses Reintegrasi di Maluku Meskipun konflik Maluku telah berhasil diselesaikan oleh pemerintah (pusat dan

daerah) yang dibantu oleh masyarakat Maluku, namun potensi berkembangnya konflik baru di Maluku sebagai lanjutan dari konflik yang telah terjadi sebelumnya tetap saja masih ada. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik baru di Maluku antara lain: a. Politik. Dinamika politik dikalangan elite pemerintahan dan elite politik yang memanfaatkan isu-isu tertentu seperti isu agama dan isu etnis maupun isu separatis seperti RMS versus NKRI yang selama ini terjadi di Maluku, menyebabkan masyarakat Maluku terpolarisasi ke dalam kelompokkelompok masyarakat untuk mendukung kepentingan elite-elite politik dan pemerintah lokal. Hal ini juga secara tidak langsung berdampak terhadap disharmonisasi (lihat faktor sosial di bawah) di kalangan masyarakat Maluku. b. Ekonomi. Hancurnya sistem perekonomian rakyat serta hancurnya infrastruktur dan sistem perekonomian Maluku akibat konflik telah menyebabkan terpuruknya perekonomian masyarakat Maluku, dimana jika dibandingkan dengan kondisi perekonomian mereka sebelum konflik, dimana perbedaan tingkat ekonomi (gap) antara masyarakat Maluku dengan masyarakat Indonesia lainnya menjadi semakin besar dan lebar. Bahkan sampai saat ini, pengembangan dan pembangunan kembali sistem perekonomian di Maluku belum menunjukan adanya perubahan yang signifikan bagi peningkatan tingkat kesejahtaraan masyarakat Maluku. Keterpurukan ekonomi yang dialami oleh masyasrakat Maluku antara lain disebabkan oleh; a) Keluarnya masyarakat (etnis) pendatang sebagai penguasa perekonomian Maluku akibat konflik, sampai saat ini belum sepenuhnya lagi kembali ke Maluku. b) Keengganan para pengusaha dan investor yang meninggalkan Maluku pada saat terjadinya konflik untuk menanamkan modalnya kembali di Maluku, yang disebabkan karena perasaan takut dan khawatir jika sewaktu-waktu konflik kembali lagi terjadi di Maluku, maka kerugian yang sama seperti yang dialami mereka pada saat terjadinya konflik Universitas Pertahanan Indonesia 55

Maluku akan terulang kembali. Padahal keberadaan mereka masih sangat dibutuhkan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat Maluku untuk membantu mengembangkan dan membangun kembali perekonomian di Maluku khususnya baik dalam skala kecil, menengah maupun perekonomian skala besar. c. Sosial. Disharmonisasi hubungan dan dinamika sosial diantara sesama masyarakat Maluku akibat konflik sampai saat ini masih belum sepenuhnya bisa diperbaiki. Hal ini disebabkan karena perasaan iri, dendam, cemburu dan sakit hati masih ditemukan pada sebagian masyarakat Maluku yang mengalami dan terkena dampak konflik secara langsung. Misalnya perasaan dendam dan sakit hati akibat harta benda yang dimilikinya terbakar habis pada saat konflik maupun dendam dan sakit hati akibat kehilangan orang-orang yang dikasihi akibat konflik. d. Budaya. Meskipun budaya berhasil dijadikan sebagai salah satu alat yang sangat efektif dalam penyelesaian konflik Maluku, namun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya masyarakat Maluku telah mengalami erosi yang cukup parah sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 serta akibat dari konflik yang terjadi tahun 1999. Erosi budaya terparah dialami oleh negeri-negeri adat dimana fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga adat sudah tidak berjalan lagi dengan sebagaimana mestinya. Selain itu erosi budaya juga dialami kelompok generasi muda Maluku khususnya yang tinggal di daerah-daerah perkotaan khususnya di kota Ambon sebagai ibukota provinsi Maluku. Hal ini disebabkan karena konflik yang terjadi telah melahirkan tradisi dan budaya baru yaitu tradisi dan budaya penggunaan kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah menggantikan tradisi dan budaya sebelumnya yaitu tradisi pela-gandong yang berfungsi sebagai alat pemersatu sekaligus memperkuat ikatan kekeluargaan diantara sesama masyarakat Maluku termasuk gerenasi muda Maluku. Jika hal ini tidak 56 Universitas Pertahanan Indonesia

secepatnya dibenahi oleh pemerintah dan juga oleh tokoh-tokoh adat sebagai pemangku kepentingan budaya di Maluku, maka konflik Maluku dapat terjadi kembali. e. Hukum. Proses penegakan hukum yang tidak terselesaikan secara tuntas kepada pihak-pihak dan kelompok-kelompok yang melakukan tindak pidana dan terlibat dalam konflik dapat menjadi ancaman tersendiri bagi konflik baru di Maluku. Misalnya; penegakan hukum yang tidak tuntas kepada para provokator dan dalang konflik Maluku serta penegakan hukum kepada kelompok-kelompok yang selalu melakukan pengibaran bendera RMS setiap tanggal 25 April. f. Sumberdaya Alam. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam di Maluku yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh kelompok-kelompok masyarakat secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi terhadap konflik-konlfik yang terjadi. Hal ini sebabkan karena kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam tersebut tidak dilakukan menurut prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam baik itu prinsip-prinsip yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti sasi maupun prinsip sustainable environment yang merujuk pada AMDAL. Akhirnya terjadi kelangkaan terhadap sumberdaya alam tertentu di masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik perebutan sumberdaya alam tersebut. g. Kebijakan. Berbagai bentuk kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi Maluku selama berlangsungnya konflik maupun paska konflik yang tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat Maluku, khususnya kebijakan penanganan pengungsi dan kebijakan pembangunan yang hanya terpusat atau terkonsentrasi pada wilayah dan kelompok tertentu, dapat menjadi ancaman bagi terjadinya konflik baru di Maluku. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam bidang penegakan hukum terhadap kelompok-

kelompok yang terlibat dalam konflik Maluku yang tidak pernah tuntas seperti yang dijelaskan diatas, dikhawatirkan dapat menjadi ancaman lahirnya konflik baru di Maluku. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Konflik yang terjadi di Maluku bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru, karena konflik sudah menjadi bagian dari tradisi, budaya, pola hidup dan dinamika sosial masyarakat Maluku yang lebih dikenal dengan istilah perkelahian / peperangan baik yang terjadi antara kelompok masyarakat maupun antara desa / negeri yang letaknya berdekatan maupun yang letaknya berjauhan. b. Proses penyelesaian konflik Maluku melibatkan pemerintah dan seluruh elemen masyarakat Maluku serta penggunaan simbol-simbol dan budaya setempat sebagai salah satu alat yang efektif dalam penyelesaian konflik. c. Dalam konteks DDR, penyelesaian konflik yang dilakukan di Maluku secara sadar atau tidak sadar juga telah melaksanakan kegiatan DDR baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal selama ini baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional mengetahui tentang pelaksanaan kegiatan DDR dilakukan di Indonesia hanyalah kegiatan DDR di Aceh. d. Indikator-indikator tentang pelaksanaan kegiatan DDR di Maluku antara lain: 1) Adanya keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Maluku yaitu pemerintah pusat. 2) Adanya intervensi internasional melalui kegiatan humanitarian assistance di Maluku yang dilakukan oleh International NGOs (INGOs). 3) Kemauan politik pemerintah dalam penyelesaian konflik Maluku melalui perjanjian damai Malino-2 di Sulawesi Selatan. 4) Adanya implementasi kegiatan DDR yang meliputi demobilisasi kelompok-kelompok masyarakat Islam dan Kristen Maluku ke wilayah / komunitasnya masing-masing, kegiatan penyerahan senjata dari masyarakat Maluku kepada pemerintah daerah provinsi Maluku melalui TNI dan

Polri, dan pelaksanaan kegiatan reintegrasi sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat sipil Maluku. e. Kendala-kendala yang sering dijumpai dalam pelaksanaan kegiatan DDR termasuk pelaksanaan kegiatan DDR yang dilaksanakan di Maluku antara lain: 1) Kemampuan dan sumberdaya manusia dari personil yang akan melaksanakan kegiatan tersebut khususnya kemampuan berkomunikasi dengan para eks kombatan dan masyarakat sipil / lokal. 2) Karakteristik wilayah dan karakteristik stakeholder yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan DDR. 3) Perencanaan program / kegiatan khususnya dalam hal identifikasi kelompok-kelompok yang akan terlibat dalam pelaksanaan kegiatan DDR. 4) Ketersediaan bugdet (anggaran) untuk pelaksanaan kegiatan. Serta 5) Mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut. f. Meskipun masih ditemukannya beberapa kendala, namun proses reintegrasi yang terjadi di Maluku telah berjalan secara maksimal dengan adanya keterlibatan dari berbagai elemen-elemen masyarakat dalam membantu pemerintah untuk melakukan implementasi kegiatan reintegrasi sebagai bagian dari program DDR. Bahkan pelaksanaan kegiatan reintegrasi di Maluku telah berhasil menemukan beberapa model yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran (lesson learned) oleh pemerintah dan masyarakat indonesia pada umumnya, tentang bagaimana suatu kegiatan reintegrasi dapat berjalan secara maksimal. Model-model tersebut antara lain: 1) Penggunaan simbol lokal untuk menggantikan simbol rekonsiliasi / reintegrasi yang bagi masyarakat tertentu dianggap terlarang untuk digunakan, 2) Mengembalikan hakekat dan fungsi dari tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat sebagai kekuatan pemersatu, 3) Melakukan pelembagaan terhadap tradisi dan budaya yang dipandang sangat strategis sebagai alat yang dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik dan memaksimalkan proses reintegrasi, dan 4) Penemuan model CEWERS yang Universitas Pertahanan Indonesia 57

berbasis komunitas sebagai tools utama untuk mencegah konflik dan sekaligus berfungsi sebagai model untuk memaksimalkan proses reintegrasi. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka rekomendasi yang bisa berikan antara lain: a. Untuk menjamin keberlanjutan pelaksanaan kegiatan DDR khususnya proses reintegrasi yang telah berlangsung di Maluku sampai saat ini. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah antara lain: 1) Kesenjangan ekonomi yang terjadi di Maluku harus secepatnya dapat diselesaikan oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi yang sesuai dengan karakteristik provinsi Maluku sebagai daerah kepulauan. 2) Perlunya pelibatan berbagai elemen masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan lain-lain, oleh pemerintah merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi jika ingin mewujudkan perdamaian dan proses reintegrasi yang abadi di Maluku. 3) Perlu adanya kepastian hukum dan jaminan keamanan bagi masyarakat sehingga dapat menumbukan rasa kepercayaan masyarakat untuk membantu pemerintah dalam menjaga dan mendukung proses reintegrasi yang terjadi. 4) Kebijakankebijakan yang sensitif terhadap kebutuhan masyarakat misalnya kebijakan tentang kearifan lokal masyarakat merupakan hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk mendukung kelancaran proses reintegrasi yang terjadi. b. Karena adanya perbedaan dalam hal implementasi yang menyebabkan kegiatan DDR yang dilaksanakan di Aceh dan Maluku, dimana kegiatan DDR di Maluku belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat Internasional, maka diperlukan adanya upaya-upaya yang lebih terencana baik oleh pemerintah pusat dan daerah maupun oleh elemenmasyarakat sipil khususnya NGO untuk melakukan kampanye dan diseminasi informasi tentang kegiatan DDR yang 58 Universitas Pertahanan Indonesia

dilaksanakan di Maluku, sehingga masyarakat Indonesia dan masyarakat Internasional dapat mempelajari proses DDR bukan hanya di Aceh, tetapi di Maluku. c. Kegiatan DDR di Maluku khususnya pada fase reintegrasi yang berhasil menemukan tools-tools baru, dapat dijadikan sebagai model pembelajaran (leasson learned) bagi pemerintah maupun maysarakat Indonesia pada umumnya untuk pelaksanaan kegiatankegiatan serupa di daerah lain di Indonesia d. Meningat tulisan ini hanya fokus pada proses reintegrasi, penulis menyarankan perlunya dilakukan penelitian-penelitian lanjutan mengenai proses demobilisasi (demobilization) dan proses penyerahanan senjata (disarmament) secara komprehensif, sehingga proses pembelajaran tentang pelaksanaan kegaitan DDR di Maluku juga bisa dilaksanakan secara komprehensif. DAFTAR REFERENSI [1] Riry Abubakar, et al., Cerita Sukses Pembangunan Perdamaian di Indonesia, Institut Titian Perdamaian, Jakarta, 2010. [2] Malik Ichsan, Manual Pelatihan Pembangunan Perdamaian dan Pencegahan Konflik, Social Economic Recovery Aceh Program, Canadian International Development AgencyCanadian Co-operative Association, Jakarta, Januari, 2008. [3] Pruitt, G. Dean and Rubbin, Z. Jeffrey, Social Conflict-Escalation, Stalemate and Settlement, McGraw-Hill, Inc., 1986. [4] Rufer Reto, Disarmament, Demobilization and Reintegration (DDR): Conceptual Approaches, Specific Settings, Practical Experience, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces-Working Papare, Geneva 2005. [5] Gleichmann Colin et.al, Disarmament, Demobilisation and Reintegration A Practical Field and Classroom Guide, GTZ, NODEFIC, PPC, SNDC, 2004.

Anda mungkin juga menyukai