Anda di halaman 1dari 6

Reformasi TVRI di Tengah Abad Informasi

REP | 14 April 2011 | 06:53 Dibaca: 513 Komentar: 1 1

Pendahuluan Hadirnya Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan tonggak penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Sebagai sebuah bentuk freedom of information act, undang-undang ini mengatur pemenuhan kebutuhan informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Kehadiran UU KIP sekaligus memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi publik bukan saja merupakan bagian dari hak asasi manusia secara universal[1], namun juga merupakan constitutional rightssebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28F perubahan kedua UUD 1945.[2] Banyak pihak berharap, hadirnya UU KIP mampu mendorong iklim keterbukaan yang luas di berbagai level. Keterbukaan informasi publik diyakini dapat menjadi sarana penting untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara maupun aktivitas badan publik lainnya yang mengurusi kepentingan publik. Salah seorang perumus UndangUndang Dasar Amerika, James Madison, bahkan pernah menyebutkan bahwa keterbukaan informasi merupakan syarat mutlak untuk demokrasi yang berarti pula perwujudan kekuasaan yang terbatas dan berada dalam kontrol publik.[3]Keterbukaan informasi memberi peluang bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam berbagai kebijakan publik. Kondisi ini sekaligus dapat mendorong terciptanya clean and good governance karena pemerintah dan badan-badan publik dituntut untuk menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakannya secara terbuka, transparan dan akuntabel.

Reformasi 1998 telah membawa angin segar, bukan saja pada jagat perpolitikan Indonesia yang kian demokratis, namun juga pada dunia informasi, khususnya dunia penyiaran. Beberapa tahun pasca reformasi, Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai stasiun televisi tertua dengan area coverage terluas resmi mengubah dirinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik sesuai dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang kemudian diterjemahkan secara lebih detil dalam Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 2005 Tentang TVRI. Undang-Undang Penyiaran tersebut mengisyaratkan bahwa sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI meskipun merupakan badan hukum yang didirikan negara namun memiliki semangat untuk melayani informasi dalam rangka kepentingan menjawab kepentingan publik. Karena itu, posisi TVRI sebagai lembaga penyiaran publik merupakan media intermediary yang keberadaannya diharapkan mampu menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik secara terbuka dan transparan. Secara illustratif hal ini dapat divisualisasikan pada gambar berikut.

Dalam iklim keterbukaan, dimana beragam informasi bersliweran bahkan bisa juga hingga tak karuan, khalayak masyarakat tentu membutuhkan informasi yang benar dan akurat. Dalam konteks ini, TVRI sebagai satu-satunya lembaga penyiaran publik wajib memberikan arahan yang benar. Sebagailembaga penyiaran publik, TVRI harus mampu memposisikan dirinya sebagaiintermediary menjadi semacam wasit yang adil yang bisa menyajikan informasi yang proporsional, netral, dan imparsial. TVRI juga perlu memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, seperti transparansi, akuntabilitas, dan semangat egalitarian, namun sekaligus pro-aktif mengupayakan tersingkapnya informasi secara objektif atas kasus-kasus krusial sekaligus stategis. Upaya ini tentu bukan saja akan memberikan kejelasan informasi pada publik atas suatu kasus, namun sekaligus turut membantu memberikan pilihan langkah yang jelas bagi pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan secara adil dan transparan.

Tantangan Beberapa Kasus Banyak kasus mutakhir yang cukup strategis dan urgen yang sejatinya perlu mendapat perhatian TVRI sebagai lembaga penyiaran publik. Contoh paling konkret, misalnya kasuskasus korupsi dan mafia pajak yang akhir-akhir ini banyak mencuat. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI semestinya ada di garda depan untuk memberikan kontribusi secara signifikan, misalnya dengan memastikan bahwa khalayak memperoleh informasi dan berita yang benar mengenai berbagai kasus yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula dalam penanganan kasus-kasus korupsi, TVRI semestinya dapat memberikan kontribusi. Kewenangan yang dimiliki TVRI sebagai lembaga penyiaran publik dapat disinergikan dengan lembaga lainnya, seperti Komisi Informasi, KPK, Kejaksaan, dan bahkan dengan lembaga non-pemerintah seperti ICW, Transparansi Internasional, dan lembaga-lembaga lainnya. Dengan begitu, upaya-upaya disclosure terhadap praktik korupsi dapat dilakukan lebih massif dan efektif. Dalam konteks yang lain, kehadiran TVRI sebagai lembaga penyiaran publik bukan saja menjawab kebutuhan publik atas akses informasi, namun juga dapat membantu pemerintah menyediakan pasokan informasi sehingga pemerintah dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang akurat dan objektif. Menurut Conelis Lay (2006) berbagai studi pembangunan politik di negara-negara yang sudah menikmati stabilitas politik dan harmoni sosial menunjukkan bahwa keterbukaan informasi publik dan terjaminnya hak rakyat untuk mendapatkan informasi dapat memainkan peranan sentral dalam keseluruhan proses politik. Tidak ada satu pun negara yang mampu menjamin stabilitas politik dan tertib sosial secara berkesinambingan, kecuali sistem tersebut difasilitasi dengan jaminan keterbukaan informasi publik.[4] Restrukturisasi Sepenuh Hati TVRI sebagai stasiun pertama di Indonesia yang telah mengudara sejak 23 Agustus 1962 telah melewati perjalanan yang cukup panjang. Dalam perjalanannya itu, struktur TVRI telah mengalami beberapa kali perubahan mendasar. Pada masa awal berdinya, struktur TVRI berada di bawah yayasan, yaitu Yayasan TVRI berdasarkan Keppres No.215 tahun 1963. Pada tahun 1974 TVRI berubah menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tatakerja Departemen Penerangan yang diberi status Direktorat yang secara struktural berada di bawah

koordinasi Direktur Jenderal Radio, TV, dan Film pada Departemen Penerangan Republik Indonesia. Pada Juni 2000, melalui Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2000, status TVRI mengalami perubahan menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) yang secara kelembagaan berada di bawah pembinaan dan tanggung jawab Departemen Keuangan. Pada Oktober 2001, melalui Peraturan Pemerintah No.64 Tahun 2001 manajemen TVRI bergeser sedikit, yakni untuk urusan organisasi berada di bawah pembinaan Menteri Negara BUMN, sedangkan untuk urusan keuangan tetap berada di bawah Departemen Keuangan. Pada April 2002, melalui Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2002, status TVRI berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) meski strukturnya masih dibawah dua lembaga, yaitu Departemen Keuangan dan Menteri Negara BUMN. Selanjutnya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, TVRI ditetapkan sebagai Lembaga Penyiaran Publik yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara. Semangat yang mendasari lahirnya TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik adalah untuk melayani informasi untuk kepentingan publik, bersifat netral, mandiri dan tidak komersial. Banyak pihak berharap, perubahan struktur TVRI ini membawa implikasi positif bagi terpenuhinya akses informasi yang lebih baik bagi khalayak masyarakat. Harapan ini setidaknya dapat menepis berbagai praduga selama ini yang mengkhwatirkan TVRI yang bukan saja hanya dimanfaatkan sebagai corong kekuasaan, tapi TVRI seringkali menjadi rebutan dan pusaran kepentingan beberapa kelompok kepentingan tertentu saja. Adalah wajar bila para pengamat penyiaran seperti Garin Nugroho, misalnya, berharap terjadi restrukturalisasi yang sepenuh hati di tubuh TVRI sehingga keberadaan TVRI benar-benar bersih dari intrik-intrik politik dan kepentingan sempit tertentu.[5] Visi-misi TVRI dengan begitu murni untuk kepentingan penyediaan dan pelayanan informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 Tentang TVRI. Reorientasi

Banyak pihak menilai perubahan status TVRI menjadi TV publik sebagai suatu keputusan strategis karena pilihan ini akan membawa implikasi mendasar dimana kiprah dan kinerja TVRI sebagai lembaga penyiaran publik ditantang untuk lebih baik dan lebih kompetitif. Namun demikian, perubahan struktur saja tentu dirasa tidak cukup tanpa dibarengi dengan perubahan visi, misi, orientasi, dan mindset para aktor di dalamnya. Karena itu, perubahan status dan struktur TVRI dalam tataran implementasinya perlu segera dibarengi dengan perubahan orientasinya. Reorientasi ini penting karena selama ini meskipun telah terjadi beberapa kali perubahan struktur dan status, namun budaya kerja TVRI relatif belum banyak berubah dari sebelumnya, yakni budaya kerja korporasi birokratis. Reorientasi TVRI ke depan, setidaknya, dapat dilakukan dalam tiga hal, yaitu meningkatkan kemandirian, meningkatkan profesionalisme, serta memperbahurui peran TVRI yang senantiasa berkomitmen untuk memperkokoh dan menjalin persatuan dan kesatuan bangsa. Meskipun secara struktural TVRI merupakan lembaga publik yang mendapat jatah anggaran pemerintah, bukan berarti TVRI harus terkooptasi dengan kekuasaan. Harus disadari bahwa dana yang didapatkan TVRI sejatinya adalah dana publik yang berasal dari masyarakat. Karena itu, orientasi dan pengabdian tertinggi harus diberikan kepada publik alias khalayak masyarakat. Manajemen TVRI jangan tergerus apalagi terbawa arus pusaran politik paraktis yang menodai kemandirian. Sejalan dengan itu, kemandirian yang dibangun juga harus diperkuat dengan profesionalitas seluruh jajaran karyawan di segala lini sehingga tertata dalam pola the right nab on the right job. Ini tergambar bukan saja pada rutinitas dan banyaknya aktifitas, tapi lebih-lebih tercermin pada produktifitas kerja dengan segala kreatifitas sebagai ujung tombaknya.

Abad informasi kini memang terus melahirkan tantangan baru. Dalam konteks ini, TVRI dituntut melakukan perbaikan secara terus-menerus. Reformasi TVRI dengan begitu bukanlah suatu pilihan, tapi telah menjadi keniscayaan. Dengan upaya restrukturisasi sejati dan reorientasi secara serius diharapkan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik bukan saja mampu memberikan layanan dan akses informasi yang luas dan terbuka kepada khalayak,

namun sekaligus TVRI juga dituntut untuk memiliki kemampuan bersaing dengan stasiun televisi lainnya di tengah arus persaingan informasi global yang kian kompetitif.***

Prinsip ini dapat disimak pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jaminan serupa juga dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR).
[1]

Pasal 28F UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia
[2]

Lebih lengkap dapat pada:http://memory.loc.gov/ammem/collections/madison_papers/


[3] [4]

disimak

Lay, Cornelis (206). Involusi Politik: Esei-esei Transisi Indonesia. JIPPLOD Fisipol-UGM, Yogyakarta.
[5]

Simak: Kompas Cyber Media, 12 April 2010.

Anda mungkin juga menyukai