Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

Urtikaria dan Angioedema

Oleh : Marshal Ryan Asmara 2007730079 Pembimbing : Dr. Rizqa Haerani Saenong, Sp.KK
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya yang begitu indahlah referat ini dapat terlaksana dan terselesaikan dengan memuaskan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam juga kami haturkan ke junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman Jahilliyah menuju zaman yang penuh cahaya bagi umat yang bertaqwa kepada-Nya. Tugas Referat yang berjudul Urtikaria dan Angioedema ini saya buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan di stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Dan juga agar dapat secara utuh tercipta hubungan yang harmonis antara antara ilmu teoritis yang saya dapat dengan aplikasi nyata dalam praktek klinis kehidupan sehari-hari. Rasa terima kasih yang begitu dalam ingin saya sampaikan pula kepada pembimbing saya yakni, dr. Rizq Haerani Saenong, Sp.KK, yang telah bersedia meluangkan waktu diantara kesibukannya yang begitu padat, untuk memberikan bimbingan selama kami bertugas di Rumah Sakit Islam Sukapura. Selain itu, karena telah memberikan tauladan serta nasehat moral yang begitu berharga kepada kami selama ini. Saya menyadari ketidaksempurnaan referat ini. Seperti pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak . Untuk itu saya sangat mengharapkan saran, kritik, dan koreksi untuk perbaikan. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi khalayak.

Jakarta, Februari 2012 Marshal Ryan Asmara

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Urtikaria
Urtikaria dan angioedema merupakan manifestasi dari reaksi imunologis, mekanisme inflamasi atau dapat pula idiopatik. Urtikaria timbul setelah terjadi reaksi antara IgE atau IgE reseptor deppendent berikatan dengan sistem komplemen abnorma dalam tubuh dan juga dengan berbagai efektor sistem dalam plasma yang kemudian mencetuskun degranulasi sel mast yang mengaktifkan jalur metabolisme asam arakhidonat (Tabel 1). Selain bermanifestasi pada kulit dan membran mukosa, urtikaria juga dapat mengenai sistem pernafasan, saluran cerna bahkan kardiovaskular.

1.2 Sejarah
Di cina, lesi pada kulit yang dikenal sebagai urtikaria sudah dikenal sejak tahun 1000 SM. Hipoccrates (460 sd 377 SM) menggambarkan lesi pada kulit yang gatal dan disebabkan oleh nettle dan nyamuk yang disebut Knidosis. Plinius (A.D 32 sd 79) menggunakan istilah uredo (terbakar), Zedler pada tahun 1740 menggunakan kata urticatio, dan William Cullen di 1769 memperkenalkan istilah urtikaria. Kelainan / penyakit urtikaria ini mulai di akui pada abad kedelapan belas. Angioedema dideskripsikan oleh Donato pada tahun 1586, dan angioedema herediter dilaporkan oleh Osler pada tahun 1888.

Imunologic IgE dan IgE reseptor- dependent urticaria/angioedema Atopic diathesis Specific antigen sensitivity (makanan, obat, alergen udara, kutu binatang bisa laba-laba, cacing) Physical urtikaria/angioedema Contact urticaria Autoimmune urticaria Urticaria/angioedema mediated by the complement system and other plasma effector systems Hereditary angioedema Acquired angioedema with C1INH deficiency and malgnant disorder or autoantibody Urticarial venulitis Serum sickness Reactions to blood products Infections ACE Inhibitors Urticaria/angioedema after direct mast cell degranulation Opiate analgesics Polymyxin B Curare, d-tubocurarine Radiocontrast media Urticaria relating to abnormalities of arachidonic metabolism Aspirin and nonsteroidal anti-inflamatory agents Azo dyes and benzoates Idiopathic urticaria/angioedema Cyclic episodic angioedema
Table 1. klasifikasi urtikaria / Angioedema

1.3 Epidemiologi
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi agen predisposisi bagi urtikaria sejauh mana halhal tersebut berkontribusi dalam terjadinya pajanan terhadap faktor pencetusnya. Dalam suatu kelompok mahasiswa melaporkan bahwa 15 sampai 20 % memiliki riwayat urtikaria, di inggris 1-3 % pasien yang dirujuk ke rumah sakit bagian kulit tercatat mengalami urtikaria

dan angioedema. Berdasarkan data dari National Ambulatory Medical Care Survey dari tahun 1990 sampai dengan 1997 di USA, wanita terhitung 69% dari semua pasien urtikaria yang datang berobat ke pusat kesehatan. Distribusi usia paling sering adalah 0-9 tahun dan 30-40 tahun.1 Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. Paling sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi merugikan atau efek samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Episode urtikaria yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik dan paling sering adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena autoimun. Urtikaria atau angioedema yang disebabkan oleh kelainan fisik tidak termasuk dalam definisi. Beberapa tipe urtikaria fisik ada yang berlangsung secara bertahun-tahun, tetapi bila dengan lesi tunggal biasanya hanya berlangsung sekitar 2 jam dan bersifat intermiten. 85% pasaien anak hanya mengalami urtikaria saja, tetapi 50% pada pasien dewasa selain mengalami urtikaria juga diikuti dengan angioedema. Sekitar 50% penderita yang hanya mengalami urtikaria dapat sembuh dalam waktu 1 tahun, 65% dalam waktu 3 tahun, 85% sekitar 5 tahun, dan kurang dari 5% yang menjalani penyakit ini lebih dari 10 tahun. Sedangkan pada pasien dengan angioedema hanya 25% pasien yang mengalami kesembuhan dalam waktu 1 tahun.

1.4 Patogenesis
Sel mast merupakan sel efektor yang paling sering ditemukan dalam berbagai macam jenis urtikaria. Sel mast mengikuti fibronektin dan laminin dalam VLA (Very Late Activation) integrin, VLA-3, VLA-4, VLA-5 dan menuju vitrocektin sampai integrin. Sel mast pada kulit, tetapi bukan yang berasal dari bagian tubuh yang lain, melepaskan histamin sebagai respon terhadap senyawa 48/80, C5a, morfin, dan kodein. Neuropeptide substance P (SP), vasoactive intestinal peptide (VIP), dan somatostatin, tetapi bukan neurotensin, neurokinin A dan B, bradikinin, dan calcitonin gane related peptide (CGRP) mengaktifkan sel mast untuk mengsekresi histamin. Penelitian dermal microdialysis tentang pengaplikasian SP pada lapisan kulit menunjukan bahwa induksi pelepasan histamin hanya10-6 M, yang menunjukan bahwa setelah nociceptor fisiologis aktif, SP tidak melepaskan histamin.2 Tidak semua metabolit peradangan dilepaskan ketika sel mast terangsang. Sebagai contoh; SP melepaskan histamin dari sel mast kulit, tetapi tidak melepaskan prostaglandin D2 (PGD2). Permeabilitas vaskular dalam kulit terutama diproduksi dari reseptor H1, meskipun kadang-kadang reseptor H2 juga ikut berperan.

Keterlibatan sel mast secara in vivo dalam terjadinya urtikaria ataupun angioedema telah diteliti melalui analisis morfologi sel mast baik secara identifikasi maupun kuantitas dari produk yang dihasilkan sel mast dalam jaringan dan cairan fisiologis tubuh. Percobaan dari pengambilan secara aspirasi menggunakan lanset hisap dari bagian lesi dan kulit yang sehat sebagai kontol hingga didapatkan cairan bilogik untuk dianalisis. Penggunaan kulit yang berongga sangat berguna, terutama karena presentasi antigen dalam kulit yang berongga dapat dikontrol dan produk sel mast yang muncul dalam cairan dapat dinilai secara kuantitatif dan serial. Penggunaan sinat laser doppler digunakan untuk mempelajari perfusi darah pada kulit, dan microdialysis telah digunakan untuk mendeteksi adanya mediator biokimia dan konsekuensi atifitasnya. Hipotesis yang ada sekarang ini menunjukan bahwa pelepasan produk dari sel mast menyebabkan perubahan vasopermebilitas pada kulit yang menimbulkan adhesi atau perlekatan molekul pada endotel dan berikutnya terjadi rolling dan perlekatan sel leukosit darah yang masuk ke daerah kulit. Berbagai macam model dari urtikaria atau angioedema fisik telah tersedia untuk dipelajari dan dapat diamati respon klinis yang timbul, pemeriksaan biopsi dengan membandingkan dari spsimen lesi dan kulit normal, tes mediator kimia yang di lepaskan ke dalam darah atau jaringan, serta karakteristik respon leukosit perifer. Pemberian antigen spesifik secara injeksi intrakutanesus pada individu yang sudah tersensitisasi telah menunjukan hasil untuk penelitian dan analisis respon IgE dan interaksi antigen dengan sel mast. Dalam beberapa teori, tantangan untuk bagian kulit untuk mendemostrasikan fase bifasik dengan gatal yang sementara, reaksi eritematous dengan peninggian permukaan kulit-rasa terbakar yang diikuti dengan perlunakan, dalam, eritematous, serta daerah yang buruk yang pembengkakannya bertahan hingga 24 jam. Dalam sebuah penelitian terhadap reaksi histamin menginduksi reaksi peninggian permukaan kulit-eritema dengan menggunakan dermal microdialysis dan pencitraan doppler, pembengkakan tersebut akan timbul dalam waktu 1 sampai 2 menit dan mencapai puncaknya dalam 10 menit. Rasa terbakar muncul setelah 7 samai 10 menit. Meskipun perkembangan timbulnya rasa terbakar tersebut tidak tergantung pada konsentrasi histamin, tetapi munculnya yang masih dalam kisaran waktu 10 menit tersebut bergantung dari konsentrasinya. Hal ini menunjukan bahwa histamin ditemukan dalam daerah kulit yang membengkak tidak termasuk untuk rasa terbakar yang dialami, rasa terbakar tersebut lebih menunjukan dari refleks neurologik.3

Kemungkinan bahwa urtikaria idiopatik kronis mungkin disebabkan karna gangguan autoimun muncul dari data yang menunjukan hubungan urtikaria idiopatik kronis dengan tiroiditis autoimun dan lebih khusus dengan kehadiran autoantibodi IgG terhadap tiroglobulin dan peroxidase. Dalam penelitian yang sebenarnya, kejadian antibodi tersebut adalah 12 sampai 14 % pada pasien dengan urtikaria idiopatik kronis. Baru-baru ini, kejadian kelainan antibodi tersebut baik mengenai salah satunya ataupun keduanya sebesar 24%. Hal ini menunjukan bahwa pada kondisi dari sekitar 10 % pasien dengan urtikaria idiopatik kronis memiliki IgG anti-IgE yang beredar dalam darahnya. Kemudian antibodi IgG terhadap subunit reseptor IgE dengan afinitas yang tinggi terdeteksi pada sekitar 30% pasien dengan urtikaria idiopatik kronis. Serum autolog yang disuntikan kedalam kulit mereka memicu reaksi pembengkakan dan rasa terbakar. Autoantibodi terhadap IgE berhubungan dengan IgG1, dan IgG3.5,6 Sesuai dengan pembagian distribusi subklas dari data yang menunjukan peran dari komplemen dalam degranulasi dari sel mast atau basofil kutaneus. IgG saja sudah efektif dalam konsentrasi plasma, tetapi reaksi ini ditambah dengan adanya C5a dalam serum.7 Penghambatan antibodi terhadap reseptor C5a menghambat kemampuan serum untuk meningkatkan pelepasan histamin oleh basofil yang disebabkan oleh autoantibodi IgG pasien, oleh karna itu C5a merupakan komplemen agonis.8 Basofil yang beredar pada pasien dengan urtikaria idiopatik kronik bereaksi nonspesifik dan mengurangi pelepasan histamin dalam merespon terhadap tantangan dari anti-IgE, hal ini disebut basopenia perifer. Analisis imunobolt awalnya dianggap metode untuk memonitor pasien dengan autoantibodi dan untuk mencari bukti serum IgG yang terikat ke subunit kloning setelah dodecylsulfate natrium (SDS) elektroforesis gel. Namun, terdapat hasil positif palsu dan negatif palsu ketika pengujian ini digunakan, dan alat tes fungsional diperlukan untuk menunjukan adanya autoantibodi itu. Meskipun uji serum autolog oada kulit dapat digunakan sebagai metode skrining yang mengidentifikasi beberapa pasien, serum disuntikan dan menyebabkan penggumpalan yang tidak hanya menyebabkan pembentukan bradikinin tetapi juga pembelahan enzimatik C5 untuk melepaskan C5a yang dapat menyebabkan reaksi positif palsu. Autoantibodi telah terdeteksi pada 35 sampai 40% pasien dengan urtikaria idiopatik kronis dan pada beberapa individu dengan dermatomiositis, lupus eritematosus sistemik, pemfigus vulgaris, dan pemfigoid bulosa, belum terdeteksi pada pasien dengan dermatitis atopik atau

psoriasis. Serum yang diperoleh dari pasien dengan urtikaria idiopatik kronis tetapi tidak pada orang dengan penyakit autoimun lain, histamin yang dilepaskan berasal dari basofil darah perifer dan sel mast.5,6 Penjelasan untuk pengamatan bahwa autoantibodi pada salah satu IgE atau dapat muncul tetapi tidak jelas secara fungsinya. Yang harus dipertimbangkan adalah afinitas antibodi, distribusi subklas, dan perbedaan pengenlan epitop. Selai pasien dengan urtikaria idiopaitk kronis, auto antibodi IgE yang tidak jelas fungsinya juga dapat ditemukan dalam 5 sampai 10% serum pasien dengan dermatitis atopik dari pengamatan kontrol normal. Beberapa pasien dengan urtikaria kronis dan tiroid autoimun emiliki autoantibodi IgG terhadap tiroglobulin dan peroxidase.4 Dalam sebuah studi terhadap 116 pasien dengan urtikaria idiopatik kronis, 19,8% menunjukan autoantibodi IgG terhadap peroksidase dan 88% dari pasien tersebut menunkutkan autoantibodi IgE terhadap peroxidase. IgE autoantibodi fungsional dan dilepaskan hexosaminidase dari sel mast tikus. Namun temuan ini belum diperkuat.10 Sebagian ditandai oleh faktor pelepasan histamin yang diperoleh dari serum pasien dengan urtikaria idiopatik kronis dan dari sel mononuklear, neutrofil dan trombosit menunjukan bahwa sitokin atau kemokin dapat menyediakan mekanisme alternatif. HLA-DRB1*04, HLA-DQB1*0302, HLA-DRB1*15 dan HLA-DQB1*06 yang hadir dengan frekuensi meningkat pada pasien dengan urtikaria idiopatik kronik dibandingkan dengan kontrol populasi. Pada pasien dengan autoantibodi, HLA-DRB1*04, HLA-DQB1*0301/4, dan HLA-DQB1*0302 yang hadir dengan frekuensi yang meningkat.

1.5 Gejala Klinis


Berbatas tegas, meninggi, eritematous, biasanya gatal, edema yang timbul cepat yang melibatkan bagian superfisial dari dermis dikenal sebagai urtikaria (Gambar 1-1); ketika proses pembengkakan meluas ke dermis dan atau subkutan dan lapisan submukosa, ini dikenal sebagai angioedema (gambar 1-2). Urtikaria dan angioedema dapat terjadi di setiap daerah serentak atau secara tunggal. Angioedema sering mempengaruhi wajah atau sebagian dari ekstremitas, mungkin nyeri tetapi tidak gatal, dan dapat berlangsung beberapa hari. Keterlibatan daerah bibir, pipi dan daerah periorbita merupakan hal yang umum, tetapi juga dapat mempengaruhi angioedema lidah dan faring. Lesi urtikaria yang timbul tunggal tibatiba, jarang bertahan lebih lama dari 24 sampai 48 jam dan mungkin akan terus berulang untuk periode waktu yang tidak terbatas.

Gambar 1-1 Urtikaria. Pasien ini mengalami urtikaria terjadi pada wajah, leher, dan tubuh bagian atas dengan angioedema pada sekitar mata.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Urtikaria / angioedema yang bergantung pada IgE dan reseptor IgE
2.1.1 Diathesis atopic Episode akut urtikaria atau angioedema yang terjadi pada individu dengan riwayat pribadi atau keluarga berupa asma, rinitis, atau eksim yang diduga berhubungan dengan aktifitas IgE. Dalam praktek klinis, bagaimanapun juga urtikaria atau angioedema jarang menyertai eksaserbasi dari asma, rinitis atau eksim. Prevalensi urtikaria kronis atau angioedema tidak meningkat pada individu atopik. 2.1.2 Specific antigen sensitivity Contoh umum dari antigen spesifik yang memprovokasi urtikaria ataupun angioedema adalah makanan, seperti kerang, kacang, dan cokelat; obat-obatan dan obat-obatan, khususnya penisilin; aeroalergen, dan racun Hymenoptera (laba-laba). Urtikaria pada pasien dengan infestasi cacing telah dikaitkan dengan proses terkait IgE, namun, bukti hubungan ini sering kurang. Rangsangan alergen spesifik dan nonspesifik dapat mengaktifkan reaksi lokal, disebut recall urtikaria, pada lokasi yang sebelumnya disuntikan dengan alergen imunoterapi. 2.1.3 Physical urticaria atau angioedema12,13
Rangsangan dan tipe respon Mekanik Trauma akut cepat Dermographism Delayed dermographis Penekanan Urtikaria langsung karna tekanan Urtikaria lambat karna tekanan Eritema, angioedema Eritema, angioedema, perih atau nyeri, demam, panas, atralgia, myalgia, leukositosis Getaran Suhu Dingin Eritema, angioedema, glushing Eritema, peninggian permukaan kulit, gatal Eritema, peninggian permukaan kulit, nodul,gatal Presentasi klinis

Primary acuired

Eritema, wheal, angioedema, pruritus, headache, hipotensi, syncope, wheezing, nafas pendek, palpitasi, nausea, vomiting, diare

Keturunan

Eritema, makula, wheals, rasa terbakar, demam, headache, conjungtivitis, arthralgia, leukisitosis

Delayed Panas Cholinergic

Eritema, pembengkakan lokal yang dalam

Eritema, small wheal, pruritus, dizziness, headache, syncope, flushing, whezing, nafas pendek, nausea, vomiting, diare

Lokal

Eritema, wheal, pruritus.

Cahaya Matahari Aktifitas Aktifitas yang menimbulkan alaphylaxis

Eritema, wheal, angioedema, pruritus, headache, syncope, dizziness, wheezing, nausea

Eritema, wheal, angioedema, serak, sulit menelan, syncope

Stress Adrenergic Air Aquagenic Tabel 2. Physical Urticaria / angioedema Eritema, small wheals, pruritus Eritema, wheal with halo, pruritus

2.2 Dermographism
Dermographism adalah betuk paling umum dari urtikaria fisik. Dermographism muncul sebagai wheal linier dengan rasa terbakar pada tempat kulit yang mudah terkena benda padat. Sebuah wheal transien muncul dan cepat hilang dan biasanya dalam waktu 30 menit, namun kulit normal biasanya gatal sehinhha urutan gatal-tergores mungkin muncul. Prevalensi demographism dalam populasi umum adalah 1,5 dan 4,2% masing-masing dalam dua studi dan prevalensi pada pasien urtikaria idiopatik kronis adalah 22%. Hal ini tidak berhubungan dengan stigmata atopi. Prevalensi puncak terjadi pada dekade kedua dan ketiga. Dalam satu penelitian, durasi demographism lebih besar dari 5 tahun pada 22% individu dan lebih besar dari 10 tahun pada 10%.

Peningkatan kadar histamin darah telah tercatat pada beberapa pasien setelah percobaan garukan, dan peningkatan kadar histamin, tryptase, SP dan VIP tetapi tidak CGRP telah terdeteksi pada percobaan aspirasi dari lepuhan kulit.

2.2.1 Delayed Dermographism Delayed Dermographism muncul 3 sampai 6 jam setelah adanya stimuli, baik dengan atau tanpa reaksi segera, dan berlangsung 24 sampai 48 jam. Erupsi terdiri dari nodul merah linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan urtikaria tekanan tertunda. Dermographism terkait dingin adalah suatu kondisi yang terjadi hanya setelah paparan

dingin. Dermographism kolinergik adalah bentuk langka yang berkembang bercak seperti belang-belang pada pasien dengan urtikaria kolinergik. 2.2.2 Urtikaria karna tekanan Urtikaria tekanan tertunda muncul sebagai lesi eritematosa, dalam, pembengkakan lokal, sering nyeri, yang timbul 0,5-6 jam setelah tekanan terus-menerus dikenakan pada kulit. Episode spontan menimbulkan setelah duduk di kursi yang keras, di bawah tali bahu dan ikat pinggang, di kaki setelah berjalan, dan pada tangan setelah kerja manual. Prevalensi puncak terjadi pada dekade ketiga. Urtikaria tekanan tertunda dapat berhubungan dengan

demam, menggigil, artralgia, dan mialgia, serta dengan tingkat pengendapan eritrosit tinggi dan leukositosis. Dalam satu studi, hal itu terjadi pada 37 persen pasien dengan kronis. Urtikaria idiopatik ditambah dermographism. Mekanisme dimediasi IgE belum terbukti, namun histamin dan interleukin 6 (IL-6) telah terdeteksi di lesi pada pemeriksaan aspirasi dan dalam cairan dari kulit berongga, masing-masing; leukotrien B4 (LTB4), 12 - dan 15 hydroxyeicosatetraenoic asam, dan IL-1 tidak hadir. Urtikaria tekanan langsung adalah gangguan idiopatik langka. Ini telah digambarkan pada pasien dengan sindrom hipereosinophilik. 2.2.3 Angioedema karena getaran Angioedema karna getaran dapat terjadi sebagai gangguan idiopatik yang didapat, berkaitan dengan urtikaria kolinergik, atau setelah beberapa tahun pajanan dengan getaran. Kelainan ini telah jelas berasal dari keturunan keluarga dengan pola dominan autosomal yang diwariskan. Bentuk diwariskan sering disertai dengan kemerahan pada wajah. Peningkatan tingkat histamin plasma terdeteksi selama percobaan serangan pada pasien dengan bentuk herediter dan pada pasien dengan penyakit diperoleh. 2.2.4 Urikaria karena dingin Terdapat dua bentuk yaitu diperoleh dan diwariskan dari urtikaria / angioedema karna dingin. Bentuk-bentuk yang diperoleh lebih umum. Idiopatik atau urtikaria dingin primer yang diperoleh dapat berhubungan dengan sakit kepala, hipotensi sinkop, Wheezing, sesak napas, palpitasi, mual, muntah, dan diare. Serangan terjadi dalam beberapa menit setelah paparan yang mencakup perubahan suhu lingkungan dan kontak langsung dengan benda-benda yang dingin. Timbulnya wheal setelah kontak dengan es telah disebut sebagai tes kontak diagnostik dingin. Jika seluruh tubuh didinginkan, seperti dalam berenang, hipotensi dan sinkop yang merupakan peristiwa yang berpotensi mematikan, dapat terjadi. Pada kasus yang jarang, diperoleh urtikaria dingin telah dikaitkan dengan didasari cryoglobulins, cryofibrinogens, agglutinins dingin, dan hemolysins dingin, terutama pada anak-anak dengan infeksi mononukleosis. Transfer pasif urtikaria karena dingin dengan serum atau IgE pada kulit penerima yang normal telah didokumentasikan. Histamin, faktor chemotactic untuk eosinofil dan neutrofil, PGD2 leukotrien cysteinyl, platelet-activating factor, dan faktor nekrosis telah dilepaskan ke dalam sirkulasi setelah dilakukan pemeriksaan. Histamin, SP, dan VIP, tetapi tidak CGRP,

telah terdeteksi pada pemeriksaan hisap-melepuh aspirasi. Histamin telah dilepaskan secara in vitro dari spesimen biopsi kulit dingin yang telah hangatkan kembali. Neutrofil diambil dari darah dari lengan pasien yang diperiksa didapatkan respon chemotactic

terganggu. Bahwa komplemen tidak memiliki peran dalam urtikaria dingin primer yang diperoleh, tantangan pasien dengan urtikaria dingin yang telah beredar kompleks imun, seperti cryoglobulins, dapat memicu kulit necrotizing venulitis dengan aktivasi komplemen. Bentuk yang jarang dari urtikaria dingin diperoleh yang telah dijelaskan terutama dalam laporan kasus termasuk urtikaria dingin sistemik, urtikaria dingin lokal, dingin-diinduksi urtikaria kolinergik, dingin-tergantung dermographism, dan urtikaria refleks lokal dingin. Dua bentuk urtikaria dingin dominan diwariskan telah dijelaskan. Urtikaria dingin familial, yang juga telah disebut sindrom familial autoinflammatory dingin dan dianggap sebagai jenis demam periodik,14 adalah gangguan dominan autosomal dengan hubungan genetik untuk 1q44 kromosom. Gen yang bertanggung jawab telah diidentifikasi sebagai CIAS1, yang kode untuk protein yang terlibat dalam regulasi peradangan dan apoptosis.15 Lesi terjadi sebagai makula eritematosa dan bercak jarang dan berhubungan dengan rasa terbakar atau pruritus. Demam, sakit kepala, konjungtivitis, artralgia, dan leukositosis neutrophilic merupakan gambaran dari serangan. Selang waktu antara paparan dingin dan onset gejala adalah 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam. Penyakit ginjal dengan amyloidosis terjadi secara jarang. Spesimen biopsi kulit menunjukkan degranulasi sel mast dan menyusup neutrofil. Uji kontak dingin dan transfer pasif dengan serum telah negatif. Kadar serum IL-6 dan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) meningkat pada satu pasien. Urtikaria dingin tertunda terjadi sebagai eritematosa, pembengkakan, pembengkakan yang muncul dalam 9 sampai 18 jam setelah tantangan dingin. Spesimen biopsi lesi menunjukkan edema dengan jumlah minimal sel mononuklear, sel mast tidak mengalami degranulasi dan melengkapi protein, immunoglobulin, dan fibrin yang tidak terdeteksi. Perendaman Dingin tidak melepaskan histamin, dan kondisi tidak dapat ditransfer secara pasif. 2.2.5 Urtikaria kolinergik Urtikaria kolinergik berkembang setelah peningkatan suhu inti tubuh, seperti mandi air hangat atau shower, olahraga, atau episode demam. Prevalensi tertinggi diamati pada individu berusia 23 sampai 28 tahun. Lesi muncul tersendiri, pruritus, kecil, 1 - 2 mm bercak dikelilingi oleh daerah yang luas dari eritema, kadang-kadang, lesi dapat menjadi konfluen, atau angioedema dapat timbul. Gejala sistemik mencakup pusing, sakit kepala, sinkop,

flashing, mengi, sesak napas, mual, muntah, dan diare. Peningkatan prevalensi atopi telah dilaporkan. Injeksi intracutaneous agen kolinergik, seperti klorida metakolin, menghasilkan wheal sebuah lokal pada sekitar sepertiga dari pasien. Perubahan dalam fungsi paru telah didokumentasikan selama dilakukan penelitian atau setelah inhalasi asetilkolin. Kasus familial telah dilaporkan hanya pada pria di empat keluarga. Pengamatan ini menunjukkan pola dominan autosomal dari warisan. Salah satu dari orang-orang ini telah hidup bersama dermographism dan urtikaria aquagenic. Setelah tes profokasi, histamin dan chemotactic faktor untuk eosinofil dan neutrofil telah dilepaskan ke dalam sirkulasi. Tryptase telah terdeteksi di lesi hisap-melepuh

aspirasi. Tanggapan urtikaria telah ditransfer secara pasif pada satu kesempatan, namun sebagian besar upaya lain untuk melakukannya telah gagal. 2.2.6 Urtikaria karena panas lokal Urtikaria karena panas lokal merupakan bentuk yang jarang dari urtikaria, di mana bercak terjadi dalam beberapa menit setelah terpapar panas pada daerah lokal. Peningkatan insiden atopi telah dilaporkan. Transfer pasif telah negatif. Histamin, aktivitas chemotactic neutrofil, dan PGD2 telah terdeteksi dalam sirkulasi setelah dilakukan percobaan dengan diprovokasi. Pada dua individu, ada perubahan dalam tingkat faktor B, yang menunjukkan aktivasi jalur alternative komplemen. Pada bentuk yg diturunkan dari urtikaria panas lokal di mana urtikaria terjadi 1 sampai 2 jam setelah paparan diberikan dan berlangsung sampai 10 jam telah dijelaskan. 2.2.7 Urtikaria karena paparan matahari Urtikaria karena paparan matahari terjadi dalam bentuk gatal, eritema, bercak-bercak, dan kadang-kadang timbul angioedema yang terjadi dalam beberapa menit setelah terjadi paparan sinar matahari atau sumber cahaya buatan lainnya. Sakit kepala, pingsan, pusing, bersin, dan mual adalah gejala sistemik yang dapat menyertai. Paling umum, urtikaria karena paparan matahari muncul selama dekade ketiga dalam kehidupan.16 Dalam suatu penelitian, 48 persen pasien memiliki riwayat atopi. Meskipun urtikaria matahari dapat dikaitkan dengan lupus eritematosus sistemik dan polymorphous light eruption, biasanya penyebabnya masih idiopatik. Perkembangan lesi kulit dalam sebuah percobaan dalam hal respon terhadap panjang gelombang tertentu telah memungkinkan untuk diklasifikasikan menjadi enam subtype; tapi, setiap individu dapat merespon lebih dari satu satu spektrum cahaya. Pada tipe

I, ditimbulkan oleh panjang gelombang cahaya dari 285 sampai 320 nm, dan tipe II, ditimbulkan oleh panjang gelombang cahaya dari 400 sampai 500 nm, dan respon telah ditransfer secara pasif melalui serum. Dalam tipe I, adalah panjang gelombang yang diblokir oleh kaca. Tipe VI, yang terjadi pada protoporphyria erythropoietic dan karena defisiensi ferrochelatase, telah dilaporkan pada pasien tunggal. Faktor histamin dan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil telah diidentifikasi dalam darah setelah paparan individu terhadap ultraviolet A (UVA), UVB, dan cahaya tampak. Pada beberapa individu, uncharacterized faktor serum dengan berat molekul berkisar 25-1000 kDa, yang menimbulkan bentol pada kulit dan eritema reaksi setelah injeksi intrakutan, telah terbukti terlibat dalam perkembangan lesi. 2.2.8 Anafilaksis yang cetuskan oleh aktifitas Anafilaksis yang cetuskan oleh aktifitas adalah gejala klinis kompleks yang terdiri dari gatal, urtikaria, angioedema (kulit, laring, dan usus), dan pingsan yang membedakan dari kolinergik urtikaria. Pada kebanyakan pasien, bercak tidak berbintik-bintik tapi masih dalam ukuran normal. Ada prevalensi yang tinggi dari penderita diatesis atopik. Berbagai jenis sindrom ini sudah dapat dijelaskan, termasuk anafilaksis yand diinduksi oleh aktifitas fisik yang membutuhkan aktifitas fisik sendiri sebagai stimulusnya, anafilaksis yang di induksi oleh aktifitas fisik yang bergantung terhadap makanan yang membutuhkan baik aktifitas fisik dan makanan sebagai stimulusnya, dan bentuk varian di mana bercak bintik-bintik tersebut muncul setelah aktifitas fisik. Pemberian aspirin sebelum mengkonsumsi makanan berupa alergen yang menginduksi urtikaria pada beberapa pasien dengan anafilaksis yang tergantung akibat aktifitas fisik yang berhubungan dengan makanan.17 Analisis studi kuesioner pada individu dengan anafilaksis yang diinduksi oleh aktifitas fisik selama lebih dari satu dekade mengungkapkan bahwa frekuensi serangan telah menurun 47 persen dan telah stabil di 46 persen. Empat puluh satu persen telah bebas serangan selama satu tahun. Bentuk yang di turunkan melalui keluarga yang jarang telah dapat dijelaskan. Dalam anafilaksis yang diinduksi oleh aktifitas fisik, tes fungsi paru yang normal, spesimen biopsi menunjukkan degranulasi sel mast, dan histamin dan tryptase dilepaskan ke dalam sirkulasi. 2.2.9 Urtikaria adrenergic Urtikaria adrenergik terjadi dengan gambaran bercak yang dikelilingi oleh lingkaran putih yang berkembang dalam situasi stres emosional. Lesi dapat ditimbulkan oleh suntikan intrakutan norepinefrin.

2.2.10 Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus Kulit yang kontak dengan air pada suhu apapun dapat menyebabkan pruritus sendiri atau, lebih jarang disertai dengan urtikaria. Erupsi yang terjadi berupa bercak kecil yang menyerupai urtikaria kolinergik. Aquagenic urticaria telah dilaporkan terjadi pada lebih dari satu orang dalam lima keluarga.19 Aquagenic pruritus tanpa urtikaria biasanya bersifat idiopatik tetapi juga terjadi pada orang tua dengan kulit kering dan pada pasien dengan polisitemia vera, penyakit Hodgkin, sindrom myelodysplastic, dan sindrom

hypereosinophilic. Pasien dengan aquagenic pruritus harus dievaluasi untuk munculnya gangguan hematologi. Setelah dilakukan percobaan, tingkat histamin darah meningkat pada subyek dengan aquagenic pruritus dan dengan aquagenic urticaria. Degranulasi sel mast ditemukan dalam jaringan lesi. Transfer pasif ditemukan. 2.2.11 Urtikaria kontak Urtikaria dapat terjadi setelah kontak langsung dengan berbagai zat. Mungkin disebabkan oleh fungsi IgE yang dimediasi atau nonimmunologik. The transien Letusan muncul dalam beberapa menit, dan ketika itu adalah IgE mediated, mungkin akan dikaitkan dengan manifestasi sistemik. Erupsi yang bersifat sementara muncul dalam beberapa menit, dan ketika itu adalah dijalankan oleh IgE yang dimediasi, mungkin akan dikaitkan dengan manifestasi sistemik. Transfer pasif telah didokumentasikan dalam beberapa kasus. Protein dari produk lateks adalah penyebab tersering yang memicu IgE yang dimediasi hingga menyebabkan urtikaria kontak. Protein lateks juga dapat menjadi alergen udara, seperti yang ditunjukkan oleh masuknya alergen serbuk sarung tangan melalui udara yang digunakan dalam tes inhalasi. Pasien-pasien ini dapat bermanifestasi reaktivitas silang terhadap buahbuahan, seperti pisang, alpukat, dan kiwi. Manifestasinya dapat meliputi rhinitis, konjungtivitis, dyspnea, dan shock. Kelompok yang beresiko didominasi oleh pekerja biomedis dan individu dengan sering kontak dengan lateks, seperti anak-anak dengan spina bifida. Agen-agen seperti kutu, arthropoda rambut, dan bahan kimia dapat melepaskan histamin langsung dari sel mast. Urtikaria papular terjadi secara episodik, didistribusikan secara simetris, disertai pruritus, papul berukuran 3 - 10 mm yang dihasilkan dari reaksi hipersensitivitas terhadap gigitan serangga, seperti nyamuk, kutu, dan kutu busuk. Kondisi ini sering muncul terutama pada anak-anak. Lesi cenderung muncul dalam kelompok-kelompok di daerah yang terkena, seperti aspek ekstensor dari ekstremitas.

2.2.12 Urtikaria autoimun Peredaran autoantibodi telah diakui terjadi pada beberapa pasien dengan urtikaria idiopatik kronis, yang mengarah pada istilah urtikaria autoimun. Antibodi ini diperkirakan setidaknya pada 35 sampai 40 persen pasien dengan urtikaria idiopatik kronis dan dibahas pada bagian patogenesis di atas. Sebuah uji serum kulit autologus positif didefinisikan sebagai bercak merah dengan diameter 1,5 mm yang lebih besar daripada respon induksi larutan salin dalam waktu 30 menit.20 Pasien dengan autoantibodi memiliki lebih banyak bercak dengan distribusi yang lebih luas, pruritus yang lebih parah, dan disertai gambaran sistemik seperti mual, sakit perut, diare, dan kulit tampak pucat.21

2.3 Urtikaria / Angioedema yang dimediasi oleh Sistem komplemen dan Sistem Efektor Plasma Lainnya
2.3.1 Angioedema keturunan dan didapat Angioedema herediter adalah gangguan genetic dominan yang ditandai dengan serangan berulang dari angioedema yang melibatkan kulit dan membrane mukosa saluran pernapasan dan pencernaan. Urtikaria bukanlah manifestasinya. Ada kekurangan fungsional dari inhibitor yang diaktifkan komponen pertama dari sistem komplemen (C1INH). Angioedema yang di dapat dengan adanya deplesi dari C1INH memiliki dua bentuk. Salah satunya adalah terkait dengan keganasan, terutama limfoma sel B dan autoantibodi terhadap paraproteins. Bentuk lain dikaitkan dengan autoantibodi ditujukan terhadap molekul C1INH. gejala klinis yang kompleks menyerupai angioedema herediter dan memiliki pola pewarisan X-linked digambarkan pada wanita dengan angioedema tanpa urtikaria dan dengan edema laring serta nyeri perut. Tingkat dan fungsi C4 dan C1INH normal.22 Bentuk dari angioedema yang terkait estrogen yang menyerupai angioedema herediter telah dilaporkan dalam satu keluarga dengan tujuh individu yang terkena dalam tiga generasi, menunjukkan pola dominan autosomal dari system pewarisannya.23 Gambaran klinisnya mencakup angioedema tanpa urtikaria, edema laring, dan nyeri perut dengan muntah. Serangan terjadi selama kehamilan dan dengan pemberian estrogen eksogen. Meskipun mekanisme molekuler diketahui, tingkat C1INH dan fungsinya normal, dan 5 wilayah yang mengapit gen yang mengkode faktor XII, yang berisi elemen respon terhadap estrogen, adalah normal.

2.3.2 Urticarial Venulitis Urtikaria kronis dan angioedema mungkin bermanifestasi dengan adanya nekrosis kulit venulitis, yang dikenal sebagai urtikaria venulitis.24 Presentasi klinis yang terkait termasuk demam, malaise, arthralgia, sakit perut, dan yang kurang umum berupa konjungtivitis, uveitis, glomerulonefritis difus, dan penyakit paru obstruktif restriktif, dan benign intracranial hypertension. Kelainan serum komplemen telah dilaporkan pada beberapa pasien dengan gangguan ini. Istilah hypocomplementemic sindrom urtikaria vaskulitis digunakan pada pasien dengan manifestasi klinis yang lebih parah urtikaria venulitis dengan hypocomplementemia dan berat molekul rendah 7S C1q-precipitin yang telah diidentifikasi sebagai IgG autoantibodi diarahkan terhadap wilayah kolagen-seperti C1q. Urtikaria benulitis juga dapat terjadi pada individu dengan penyakit serum, gangguan jaringan ikat, kondisi keganasan hematologi, komponen IgMKM, dan infeksi dan sebagai gangguan idiopatik. 2.3.3 Serum Sickness Serum sickness, yang didefinisikan sebagai awalnya reaksi yang merugikan yang dihasilkan dari pemberian serum heterolog bagi manusia, mungkin terjadi setelah pemberian obat. Serum sickness terjadi 7-21 hari setelah pemberian agen bermasalah tersebut dan dimanifestasikan dengan demam, urtikaria, limfadenopati, myalgia, arthralgia, dan arthritis. Gejala biasanya bersifat self-limited paling lama dalam 4 sampai 5 hari. Lebih dari 70 persen pasien dengan serum sickness mengalami urtikaria, yang mungkin lebih gatal atau perih. Manifestasi awal urtikaria dapat muncul di tempat suntikan. Hal ini tidak jelas apakah urtikaria adalah karena adanya antibodi IgE terhadap alergen merangsang atau kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen hingga mengaktifkan C5a atau keduanya. 2.3.4 Reaksi Atas Pemberian Produk Darah Urtikaria / angioedema dapat terjadi setelah pemberian produk darah. Biasanya merupakan hasil dari pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen yang langsung mengarah pada perubahan vascular dan otot halus dan secara tidak langsung, melalui reaksi anaphylatoxins, melalui pelepasan mediator pada sel mast. Mekanisme ini telah digambarkan dengan jelas dalam kasus urtikaria atau anafilaksis pada reaksi darah, plasma, atau immunoglobulin pada pasien dengan antibodi terhadap IgA, yang mungkin timbul setelah transfusi atau transfer plasenta. Antibodi ini membentuk kompleks dengan IgA donor dan dapat mengaktifkan sistem komplemen. Reaksi urtikaria atau anafilaksis terhadap pemberian imunoglobulin ataupun tidak, bagaimanapun juga, selalu bergantung pada antibodi terhadap IgA. Agregat IgG dapat mengaktifkan sel mast dengan mengikat FcRIII atau dengan

mengaktifkan komplemen. Pemberian agregat IgG manusia secara intra dermal dalam waktu 10 menit terjadi pembengkakan dan eritema yang menjadi lembut dan tetap dalam waktu 24 sampai 48 jam. Biopsi spesimen pada reaksi ini menunjukkan infiltrat neutrofilik pada 6 dan 24 jam, dengan mononuklear mulai muncul pada 24 jam. Implikasi bahwa agregat IgG lah yang bertanggung jawab pada reaksi yang paling sering terjadi pada manusia diperkuat oleh fakta bahwa pemberian IgG yang telah dihapuskan agregatnya tidak terkait dengan urtikaria atau anafilaksis. Mekanisme yang biasa terjadi untuk timbulnya urtikaria setelah pemberian produk darah berupa transfusi IgE yang berasal dari donor langsung menjadi antigen bagi penerima yang terpapar. Mekanisme lain yang mungkin adalah transfusi antigen yang larut terdapat dalam persiapan donor ke penerima sebelumnya telah tersensitisasi. 2.3.5 Infeksi Episode urtikaria akut dapat dikaitkan dengan infeksi virus saluran pernapasan bagian atas, paling sering pada anak-anak. Urtikaria akut sembuh dalam waktu 3 minggu. Infeksi virus hepatitis B telah dikaitkan dengan episode urtikaria berlangsung hingga 1 minggu yang berhubungan dengan demam dan arthralgia sebagai bagian masa gejala prodromal. 2.3.6 Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors Angioedema telah dikaitkan dengan pemberian angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor. Frekuensi angioedema terjadi setelah terapi ACE inhibitor adalah 0,1-0,7 persen. Angioedema timbul selama minggu pertama terapi pada 72 persen dari individu yang terkena dan biasanya melibatkan kepala dan leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring. Dalam hal ini urtikaria sangat jarang ditemui. Batuk dan angioedema pada saluran pencernaan yang gejala yang berkaitan. Hal ini telah menunjukan bahwa terapi dengan ACE inhibitor merupakan kontraindikasi pada pasien dengan riwayat angioedema idiopatik, angioedema herediter, dan defisiensi C1INH yang didapat.25 Mekanisme ini diyakini bukan merupakan reaksi imunologik karena angioedema dapat terjadi dalam beberapa jam setelah dosis pertama dan dapat timbul setelah pemberian ACE inhibitor dengan berbagai cara. Patomekanisme yang diyakini berkaitan dengan sistem efektor kallikrein-kinin plasma. Satu hipotesis adalah bahwa bradikinin, yang biasanya rusak oleh karena adanya ACE, yang kemudian terakumulasi dalam jaringan ketika ACE inhibitor diberikan.

2.3.7 Urticaria/Angioedema setelah Degranulation langsung sel mast Berbagai agen terapi dan diagnostik telah dikaitkan dengan urtikaria / angioedema. Sampai dengan 8 persen pasien yang menerima media kontras radiografi mengalami reaksi tersebut, yang terjadi paling sering setelah pemberian melalui jalur intravena. Analgesik opiat, polimiksin B, curare, dan D-tubocurarine mengeluarkan histamin dari sel mast dan basofil. Penurunan jalur alternatif tingkat protein komplemen serum dan peningkatan kadar histamin serum telah terdeteksi pada pasien yang menerima media yang radiocontrast. Sebuah risiko yang lebih besar untuk reaksi urtikaria / angioedema dan anafilaksis-seperti ada pada wanita yang ditunjukan oleh salah satu penelitian di mana 70 persen dari mereka mengalami reaksi semacam itu adalah perempuan. 2.3.8 Urtikaria / Angioedema Berkaitan dengan Kelainan Metabolisme Asam Arachidonic Intoleransi terhadap aspirin yang bermanifestasi menjadi urtikaria / angioedema terjadi pada orang yang normal atau pada pasien dengan rhinitis alergi dan / atau asma bronkial. Urtikaria / angioedema dalam respon terhadap pemberian aspirin dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) terjadi pada sekitar 10 sampai 20 persen dari individu dirujuk ke klinik dermatologi rumah sakit di Inggris. Pasien tidak toleran terhadap aspirin juga dapat bereaksi terhadap indometasin dan NSAID lainnya. Reaksi terhadap aspirin sama dengan NSAID lainnya karena mencerminkan penghambatan prostaglandin endoperoxide sintase 1 (PGHS-1, siklooksigenase 1) dari pada penghambatan yang diinduksi PGHS-2 (siklooksigenase 2). Natrium salisilat dan salisilat kolin umumnya ditoleransi dengan baik karena aktivitas mereka yang lemah terhadap PGHS-1. Dalam sebuah studi dengan metode single-blind, pemberian placebo-controlled per-oral dengan PGHS-2 inhibitor pada 82 pasien dengan urtikaria dan angioedema yang toleran terhadap NSAID, 74,5 persen adalah cross-reaktor.26 Laju reaksi adalah 33,3 persen untuk celecoxib, 21,3 persen untuk Nimesulide, 17,3 persen untuk meloxicam, dan 3,0 persen untuk rofecoxib. Reaksi terhadap NSAID meningkatkan kadar leukotrien sisteinil,27 yang mungkin berhubungan dengan munculnya urtikaria, meskipun peran mereka dalam asma yang diinduksi oleh NSAID lebih jelas karakteristiknya. Prick skin tests tidak memiliki nilai diagnostik, reaksi transfer pasif yang negatif, dan tidak IgG atau antibodi IgE telah dikaitkan dengan penyakit klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh percobaan pemberian aspirin pada pasien yang toleran terhadap aspirin diblokir ketika pasien tersebut dilindungi dengan sisteinil leukotriene receptor blocker atau biosintesis inhibitor ; Temuan ini

menegaskan peran pathobiologic untuk leukotrien sisteinil daripada asetilasi PGHS-2 oleh aspirin. Namun, pada dua pasien dengan urtikaria diinduksi aspirin, pemberian dari sisteinil reseptor leukotrien 1 antagonis diprovokasi oleh adanya urtikaria.28 2.3.9 Urtikaria / Angioedema Idiopatik Dalam setidaknya 70 persen individu dengan urtikaria / angioedema idiopatik kronik, penyebabnya tidak diketahui. Karena gambaran klinis yang umum, memiliki penyebab yang berubah-ubah, dan mudah dikenali, sering dikaitkan dengan peristiwa ikutan penyertanya. Tanda-tanda tersebut harus ditafsirkan dengan hati-hati. Meskipun infeksi, kelainan metabolik dan hormonal, kondisi keganasan, dan faktor emosional telah diklaim sebagai penyebab, bukti hubungan etiologi mereka sering kurang. Dalam meta-analisis dari urtikaria idiopatik kronis dan infeksi Helicobacter pylori,29 kesembuhan urtikaria adalah empat kali lebih mungkin besar ketika infeksi H. pylori berhasil diobati dengan terapi antibiotik daripada tidak. Namun, hanya sepertiga pasien dengan urtikaria kronis akan mengalami remisi dengan keberhasilan pemberantasan infeksi tersebut. Hipotesis bahwa urtikaria berhubungan dengan penyakit keganasan internal telah terutama didasarkan pada laporan anekdotal. Tidak ada bukti yang meyakinkan untuk mendukung hubungan sebab akibat hal tersebut. Meskipun urtikaria / angioedema idiopatik adalah bentuk paling umum, diagnosis tetap menjadi salah satu pengecualian. Angioedema episodik siklik dengan urtikaria / angioedema telah dikaitkan dengan demam, berat badan, tidak adanya kerusakan organ tubuh, tumor jinak, dan eosinophilia darah perifer.30 Spesimen biopsi jaringan menunjukkan eosinofil, protein granul eosinofil, dan limfosit CD4 menunjukkan HLA-DR. Kadar IL-1, IL-larut 2 reseptor, dan IL-5 yang meningkat. 2.3.10 TEMUAN LABORATORIUM Evaluasi pasien (Tabel 116-3) dengan urtikaria / angioedema dimulai dengan riwayat yang komprehensif, dengan penekanan khusus pada penyebab yang diakui, dan pemeriksaan fisik. Beberapa varietas urtikaria dapat diidentifikasi dengan karakteristik penampilan mereka, seperti bercak kecil dengan eritematosa flare yang besar pada urtikaria kolinergik, yang bintul linear pada dermographism, dan lokalisasi lesi ke daerah terbuka pada urtikaria ringan atau yang diinduksi oleh dingin. Jika diarahkan oleh riwayat, pemeriksaan fisik pada semua pasien dengan urtikaria harus mencakup pemeriksaan fisik untuk urtikaria, seperti tekanan cepat untuk memperoleh dermographism, penggunaan tekanan beban untuk memperoleh urtikaria yang lambat, dan penerapan stimulus dingin atau hangat untuk urtikaria yang di induksi oleh

dingin atau pemanasan lokal, masing-masingnya. Perlakuan fisik, seperti berlari di tempat, dapat menimbulkan urtikaria kolinergik dan, dalam beberapa kasus, anafilaksis yang diinduksi oleh aktifitas fisik. Phototests untuk memperoleh urtikaria cahaya biasanya dilakukan di pusat-pusat rujukan, seperti percobaan untuk anafilaksis yang diinduksi aktifitas fisik.
Pada setiap pasien Anamnesa dan pemeriksaan fisik Tes Provokatif untuk pemeriksaan urtikaria Pada pasien tertentu Hitung darah lengkap dengan analisis diferensial Tingkat endapan eritrosit Urinalisis Kimia darah Pemeriksaan feses mencari telur dan parasite Hepatitis B virus dan hepatitis B dan C antibodi Mikrosom tiroid dan antibody peroksidase Antinuclear factor Cryoprotein Skin tes Ig-E mediated reaction Radioallergosorbent Test (RAST) spesifik untuk IgE Biopsi kulit Tabel 3. Pemeriksaan Urtikaria/Angioedema idiopatik kronik

Pada kebanyakan pasien dengan urtikaria / angioedema kronis, tidak ada gangguan yang mendasari atau penyebab dapat dibedakan. Studi diagnostik harus didasarkan pada temuan ditimbulkan dari riwayatnya dan pemeriksaan fisik. Tidak direkomendasikan evaluasi laboratorium diagnostik untuk urtikaria / angioedema kronis, dan tes laboratorium skrining rutin tidak ada nilainya.31 Serum hypocomplementemia tidak muncul dalam urtikaria idiopatik kronis, dan rata-rata tingkat serum IgE normal. Cryoproteins harus dicari pada pasien dengan urtikaria yang di sebabkan oleh dingin. Sebuah tes antibodi antinuclear harus diperoleh pada pasien dengan urtikaria cahaya Autoantibodi untuk thyroglobulin dan peroksidase dapat ditemukan pada individu dengan penyakit tiroid autoimun dan urtikaria / angioedema.; skrining rutin pada pasien dengan urtikaria kronis

autoimun tiroid disarankan oleh beberapa peneliti tetapi tidak oleh yang lainnya. Penilaian protein komplemen serum dapat membantu dalam mengidentifikasi pasien dengan urtikaria venulitis, serta mereka dengan bentuk kekurangan C1INH keturunan dan diperoleh. Biopsi kulit lesi urtikaria kronis sebaiknya hanya dilakukan untuk mengidentifikasi urtikaria venulitis. Ada sedikit peran prick skin testing rutin atau tes radioallergosorbent (RAST) dalam diagnosis spesifik sensitivitas antigen IgE pada urtikaria / angioedema kronis. Bahan inhalan adalah penyebab umum dari urtikaria / angioedema, dan tes kulit makanan mungkin sulit untuk menafsirkannya. Tes untuk obat terbatas terhadap penisilin tetapi tidak dapat dilakukan pada pasien dengan dermographism. RAST tersebut harus disediakan bagi mereka yang kontraindikasi terhadap tes kulit, tidak tersedianya tes kulit, atau tidak dapat diinterpretasikan, meskipun riwayatnya yang sangat dicurigai. Penggunaan uji serum autologus kulit untuk mencari autoantibodi ke FcRI atau IgE yang tersisa merupakan teknik penelitian. Pelepasan histamin dari leukosit basofil perifer telah mendukung diagnosis sensitivitas anafilaksis terhadap berbagai antigen, yang termasuk serbuk sari dan racun serangga, dan mungkin menyarankan kehadiran FcRII otoantibodi, tetapi tes ini juga tetap menjadi teknik penelitian. 2.3.11 Patologi Edema melibatkan bagian superfisial dari dermis adalah karakteristik dari urtikaria, sedangkan angioedema melibatkan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutan. Kedua gangguan yang terkait dengan pelebaran venula. Jumlah sel mast sebanding dalam kulit pasien dengan lesi dan nonlesional dengan urtikaria kronik idiopatik dan tidak berbeda dengan angka pada kulit individu kontrol tidak terpengaruh, meskipun dalam studi jumlah sel mast sedikit yang diketahui dapat meningkat pada kulit lesi pasien dengan urtikaria kronis idiopatik. Dalam urtikaria kronik idiopatik, infiltrasi sel-sel inflamasi dermal mungkin jarang atau banyak jumlah CD4 dan termasuk lebih banyak dari CD8 limfosit T, neutrofil, eosinofil, dan basophils32,33 tanpa limfosit B atau sel-sel natural killer (NK). Dalam beberapa spesimen, neutrofil adalah jenis sel yang dominan. Peningkatan ekspresi TNF- dan IL-3 pada sel endotel dan sel perivaskular terdeteksi pada dermis atas pasien dengan urtikaria akut, urtikaria kronis idiopatik, dan urtikaria karna tekanan dan pada satu pasien dengan urtikaria

karena dingin.34 TNF- juga terdeteksi pada keratinosit epidermal pada specimen biopsy lesi dan nonlesional. Dalam urtikaria idiopatik kronis, sel CD11b dan CD18 terdeteksi sekitar pembuluh darah dalam dermis superfisial dan mendalam. Tes imunofluoresensi langsung untuk imunoglobulin dan protein komplemen yang negatif. Protein mayor dasar dan eosinofil protein kationik (ECP), yang berasal dari granul eosinofil, ada pada sekitar pembuluh darah dan tersebar dalam dermis pada lesi urtikaria akut, urtikaria kronis idiopatik, urtikaria tekanan tertunda, urtikaria kolinergik, dan urtikaria karna cahaya. Dalam urtikaria idiopatik kronis, butiran eosinofil bebas dalam dermis meningkat pada bercak lebih besar pada bercak yang berdurasi 24 jam dibandingkan dengan bercak yang berlangsung kurang dari 24 jam. Bentuk yang disekresikan dari ECP dan neurotoksin eosinofil yang diturunkan terdeteksi pada sel-sel dalam jumlah yang lebih besar dalam spesimen biopsi dari pasien dengan urtikaria idiopatik kronis tanpa autoantibodi dibandingkan dengan mereka dengan autoantibodi. P-selectin, E-selectin, molekul adhesi intraselular 1 (ICAM-1), dan VCAM-1 telah dibuktikan pada endotel pembuluh darah dari pasien dengan urtikaria idiopatik kronis dan dermographism. Mayor histocompatability kompleks (MHC) kelas II antigen juga diregulasi pada sel endotel pasien dengan urtikaria idiopatik kronis, dan limfosit darah perifer telah meningkat CD40 ekspresi ligan dan lebih tinggi ekspresi Bcl-2 ; pengamatan ini menunjukkan augmentasi fenomena autoimun.35 Pada urtikaria papular, epidermis yang tebal, dengan edema interseluler dan limfosit. Dalam dermis, ada edema dengan menyusup mengandung limfosit T, makrofag, eosinofil, dan neutrofil tanpa limfosit B atau pengendapan imunoglobulin, fibrin, dan C3. 2.3.12 Diagnosis dan Diagnosis Banding Urtikaria dan angioedema adalah gangguan mudah dikenali. Letusan urtikaria yang episodik dan meninggalkan bekas, dengan beberapa lesi yang terjadi dalam berbagai tahap evolusi dan resolusi. jarang lesi urtikaria pada individu bertahan selama lebih dari 48 jam kecuali pada pasien dengan urtikaria venulitis. Angioedema dapat bertahan selama beberapa hari. Beberapa kelainan yang termasuk dalam diagnosis diferensial. Edematous, papulovesikular, atau letusan bulosa dengan keterlibatan mukosa dan iris khas, atau target, lesi ciri erythema multiforme. Edematous, papulovesikular, atau erupsi bulosa yang melibatkan mukosa dan iris khas, atau target lesi ciri erythema multiforme. Satu atau lebih lingkaran, plak pembengkakan yang dapat berkembang dalam beberapa diameter (eritema migrans) terjadi di Lyme borreliosis. Pembengkakan dan eritematosa plak yang indolen dengan atau tanpa bula adalah

gejala pemfigoid bulosa. Urtikaria pegmentosa berada pada seluruh tubuh, berwarna merah kecoklat, makula, papular, atau nodular infiltrasi sel mast di mana kulit lesi menjadi edematous ketika digosok. Sindrom tuli perseptif, demam dengan urtikaria, dan insufisiensi ginjal yang merupakan konsekuensi dari amiloidosis yang mudah disingkirkan. Selulitis, gagal jantung kongestif, insufisiensi ginjal, myxedema, tromboflebitis, yang sindroma vena kava superior, dan sindrom Melkersson-Rosenthal harus dianggap sebagai penyebab proses edematous yang menyerupai angioedema. 2.3.13 Pengobatan (Tabel 4) Identifikasi dan hilangkan penyebab pemicu bila mungkin Pemberian antihistamin H1 dengan uji empiris pada masing-masing subclass farmakologis Berbagai kombinasi antihistamin H1 Penambahan agonis -adrenergik ke H1 antihistamin Menghindari epinefrin kecuali dalam contoh gangguan saluran pernapasan atau kolaps kardiovaskular Pemberian glukokortikoid sistemik selang hari dan gunakan obat terapi terkini Tabel 4

Pada daerah pathobiologik di mana pengobatan urtikaria dan angioedema diarahkan meliputi mulai dari stimulus, sel efektor dan mediator inflamasi, dan situs reseptor pada jaringan target. Terapi yang diarahkan pada sel mast langsung melibatkan blokade pelepasan atau generasi mediator atau efek dari mediator dilepaskan. Pelepasan dapat diblokir dengan menstabilkan membran dan dengan tingkat nukleotida siklik modulasi atau aliran kalsium. Terapi juga dapat diarahkan pada sel efektor lainnya, seperti limfosit. Dalam satu studi, menunjukan bahwa ahli alergi dan spesialis kulit untuk memiliki keahlian lebih dalam merawat pasien dengan urtikaria / angioedema daripada spesialis lain. Alergi adalah paling jarang untuk menggunakan glukokortikoid sistemik (6 persen dari kunjungan), sedangkan internis adalah yang paling sering (29 persen dari kunjungan).1 Pengobatan yang ideal untuk urtikaria / angioedema adalah identifikasi dan mengeliminasi penyebabnya. Banyak pasien dengan urtikaria akut dan angioedema mungkin tidak dirawat oleh dokter karena penyebabnya diidentifikasi oleh individu atau ketersediaan pelayanan yang terbatas. Pengobatan urtikaria idiopatik kronis berfokus pada langkah-langkah yang mengurangi bangkitan gejala. Dokter harus menyediakan tidak hanya obat-obatan tetapi juga

dukungan dan motivasi. Dalam sebuah penelitian kuesioner, pasien dengan urtikaria idiopatik kronis mempertimbangkan aspek terburuk untuk menjadi pruritus dan sifat tak terduga dari serangan.36 Individu yang terkena melaporkan adanya gangguan tidur, energi yang berkurang, isolasi sosial, dan reaksi emosional yang berubah serta kesulitan dalam kaitannya untuk bekerja, kegiatan rumah, kehidupan sosial, dan kehidupan seks. Studi lain menunjukkan korelasi antara tingkat keparahan urtikaria idiopatik kronis dengan depresi. Dalam sebuah penelitian kuesioner, individu dengan urtikaria tekanan tertunda dan urtikaria kolinergik memiliki penurunan kualitas kehidupan yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya.37 Mereka dengan urtikaria kolinergik mengalami kesulitan dalam kegiatan yang berhubungan dengan olahraga dan hubungan seksual mereka. Meskipun urtikaria / angioedema bisa menjadi membingungkan bagi dokter dan pasiennya, sebagian besar individu dapat mengontrol gejala dimilikinya pada penyakit mereka tanpa identifikasi penyebabnya. Pada beberapa individu penting untuk menghindari terapi dengan aspirin dan NSAID lainnya. Lotion antipruritic, kompres dingin, dan kompres es dapat memberikan bantuan sementara untuk menghilangkan gejalanya. Obat antihistamin jenis H1 menjadi andalan dalam penanganan urtikaria / angioedema. Antihistamin jenis-H1 yang lama dikenal sebagai antihistamin jenis-H1 klasik, tradisional, atau generasi pertama. Pada generasi yang baru yang rendah efek sedasinya, atau generasi kedua dan ketiga yang dapat meminimalisir efek sedasi dan antikolinergik yang merupakan efeksampingnya, kini telah menjadi pilihan utama. Pemberian antihistaminic awalnya harus diberikan pada dosis rendah dan kemudian ditingkatkan hingga dosis yang dapat ditolerir. Obat ini harus diminum secara teratur dan tidak sesuai kebutuhan. Bila obat yang menjadi pilihan awal tidak efektif, maka dapat digunakan obat dari golongan yang berbeda. Jika obat awal yang dipilih adalah menguntungkan, maka dapat ditambahkan obat golongan lain. Kombinasi beberapa macam obat mungkin dapat berguna. Kombinasi obat antihistamin H1 dan H2 mungkin berguna bagi penderita dengan urtikaria idiopatik kronis. Trisiklik antidepresan doxepin, yang memiliki aktivitas terhadap reseptor histamin H1 dan H2, mingkin dapat bermanfaat. Terbutalin, agonis 2- adrenergik, dalam kombinasi dengan antihistamin spesifik reseptor H1, telah dilaporkan menguntungkan bagi beberapa pasien dengan urtikaria idiopatik kronis. Meskipun uji klinis telah dilakukan pada banyak antihistamin spesifik H1, dalam banyak kasus pendekatan terapi didasarkan pada pengalaman klinis. Untuk pasien dengan tidak merespon,pada urtikaria idiopatik kronis yang telah gagal untuk mendapatkan keuntungan dari terapi konvensional,mungkin terapi yang modern dapat

dipertimbangkan. Nifedipin dalam studi silang double-blind telah terbukti berguna sebagai agen terapi tambahan dengan antihistamin H1. Dalam uji terbuka, zafirlukast dan montelukast memiliki tanggapan yang menguntungkan,38 dan zileuton berhasil digunakan pada beberapa pasien. Dalam percobaan double-blind, placebo-controlled, kombinasi montelukast dan cetirizine bermanfaat bagi pasien dengan intoleransi terhadap makanan aditif atau asam asetilsalisilat.39 Dalam sebuah penelitian terhadap 18 pasien dengan urtikaria idiopatik kronis, penambahan zafirlukast atau montelukast untuk antihistamin H1 menguntungkan.40 Pada seroang perempuan yang mengalami urtikaria setelah pengobatan dengan piroksikam,41 zafirlukast mencegah urtikaria flare pada penggunaan piroksikam berikutnya. Stanozolol dan sulfasalazine42 bermanfaat pada beberapa pasien dengan urtikaria idiopatik kronis. Satu laporan menyarankan bahwa colchicine dalam kombinasi dengan antihistamin H1 memberikan keuntungan pada 5 dari 7 pasien dengan urtikaria idiopatik kronis, di mana pada kulit terdapat banyak infiltrat neutrofil dan eosinofil. Siklosporin efektif dalam urtikaria idiopatik kronis dalam dalam sebuah penelitian random dan double-blind43 ; Namun, dosis yang tepat belum ditentukan.44 Methotrexate yang digunakan memberikan manfaat pada 3 pasien. Plasmapheresis adalah nilai pada pasien dengan sirkulasi autoantibodi, tetapi kekambuhan dapat timbul bila antibodi terbentuk lagi. Imunoglobulin intrafena memberikan manfaat terbatas pada beberapa pasien saja.45 Dalam sebuah penelitian, yang menggunakan fototerapi UVB gelombang pendek tercapai peningkatan resolusi 71 persen dari 28 persen pasien dengan urtikaria idiopatik kronis. The subkutan interferon dalam dua uji coba terkontrol tidak bermanfaat. Dalam salah satu penelitian terhadap 7 pasien eutiroid dengan autoantibodi tiroid dan urtikaria idiopatik kronis, semua resolusi yang didapat dalam waktu 4 minggu setelah pemberian tiroksin. Pada 5 dari 7 pasien, urtikaria kambuh setelah pengobatan dihentikan. Dalam beberapa individu, hipnosis mungkin berguna. Akupunktur telah dilaporkan untuk menjadi manfaat dalam pengobatan urtikaria di Asia. Penggunaan prednison dalam pengelolaan urtikaria akut telah dianjurkan di ruang gawat darurat, namun bentuk terapi tidak harus rutin. Epinefrin digunakan secara luas, terutama di bagian gawat darurat rumah sakit, tetapi penggunaannya ditunjukkan hanya dalam kasuskasus edema laring atau kolaps kardiovaskuler. Glukokortikoid sistemik tidak memiliki tempat dalam terapi reguler urtikaria idiopatik kronis. Ketika glukokortikoid digunakan, pemberian hari yang bergantian dianjurkan. Prednisone digunakan dengan dosis 15 - 20 mg setiap hari dan ditingkatkan secara bertahap dengan 2,5-5,0 mg setiap 3 minggu, tergantung pada respon pasien. Pada tingkat tertentu, maka dapat dihentikan dalam periode 4-5 bulan.

Pemberian berselang hari jarang melebihi dosis 20 mg prednison atau setara. Efek samping diminimalkan dengan mengatur diet dan aktifitas. Pada pasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid perlu dilakukan pemeriksaan rutin tiap tahunnya ke dokter mata untuk memeriksakan katarak dan glaucoma dan melakukan bone scan untuk meluhat kepadatan tulang untuk melihat ada atau tidak osteoporosis. Dalam pengobatan urtikaria karna kontak fisik, edukasi pasien dan menghindari stimulus yang memicu sangat penting. Sebagian besar bentuk urtikaria karna kontak fisik diobati dengan antihistamin. Induksi kekebalan telah dicapai pada beberapa pasien dengan urtikaria primer yang diperoleh karnena dingin, urtikaria cahaya, dan urtikaria panas lokal. Pada urtikaria kolinergik, hydroxyzine dan cetirizine adalah terapi pilihan awal. Dalam laporan yang terlampir dan dalam jumlah kecil pasien dalam uji terbuka, urtikaria tekanan tertunda dapat merespon NSAID, dapson, cetirizine, sulfasalazine, dan glukokortikoid sistemik tetapi tidak untuk colchicine dan jarang untuk antihistamin H1. Selama cardiopulmonary bypass yang menyebabkan hipotermia, urtikaria dingin berhasil dikelola dengan pemberian antihistamin H1 dan H2. Plasmapheresis telah berhasil digunakan pada pasien dengan urtikaria cahaya dengan photoallergen beredar. Hidroklorida propanolol dapat mencegah serangan urtikaria adrenergik. Beberapa pasien dengan beberapa bentuk urtikaria fisik telah merespon pengobatan dengan fototerapi UVB spectrum luas dan PUVA photochemotherapy. Pada reaksi anafikaltik yang dicetuskan oleh aktifitas, tidak ada pernelitian terhadap kontrol obat. Walaupun pengobatan untuk anafilaksis akut akibat aktifitas fisik adalah sama dengan penanganan anafilaksis akibat penyebab apapun, hal yang terpenting adalah dengan mengatur pola aktifitas fisik dan makan. Pada angioedema herediter, terapi ditujukan untuk mengobati serangan akut,untuk preoperatif dan profilaksis gigi, serta profilaktik dalam menekan serangan kronik. Peran pengaturan makanan dalam urtikaria / angioedema sulit untuk dinilai. Informasi yang diperoleh dari ujicoba eliminasi diet mungkin membingungkan karena efek plasebo dan variabilitas jalannya urtikaria. Hal ini umumnya menunjukan bahwa makanan sangat mempengaruhi untuk terjadinya eksaserbasi urtikaria,biasanya setelah makan akan timbul lesi dalam jangka waktu 2 jam setelahnya. Selain makanan, zat pengawet makanan, pewarna makanan, dan salisilat alami dalam makanan mungkin mempengaruhi untuk kejadian atau perburukan urtikaria idiopatik kronis, meskipun hubungan ini masih belum terbukti.

Referensi
1. Henderson RL Jr et al: Allergists and dermatologists have far more expertise in caring for patients with urticaria than other specialists. J Am Acad Dermatol 43:1084, 2000 2. Weidner C et al: Acute effects of substance P and calcitonin gene-related peptide in human skin: A microdialysis study. J Invest Dermatol 115:1015, 2000 3. Petersen LJ et al: Histamine is released in the wheal but not the flare following challenge of human skin in vivo: A microdialysis study. Clin Exp Allergy 27:284, 1997 4. Turktas I et al: The association of chronic urticaria and angioedema with autoimmune thyroiditis. Int J Dermatol 36:187, 1997 5. Ferrer M et al: Comparative studies of functional and binding assays for IgG anti-FcRI (-subunit) in chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol 101:672, 1998 6. Fiebiger E et al: Anti-FcRI autoantibodies in autoimmune-mediated disorders: Identification of a structure-function relationship. J Clin Invest 101:243, 1998 7. Kikuchi Y, Kaplan AP: Mechanisms of autoimmune activation of basophils in chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol 107:1056, 2001 8. Kikuchi Y, Kaplan AP: A role for C5a in augmenting IgG-dependent histamine release from basophils in chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol 109:114, 2002 9. Hanau A et al: Functional thyroid peroxidase autoantibodies of IgE class in patients with chronic urticaria. J Invest Dermatol 117:776, 2001 10. Tedeschi A et al: Anti-thyroid peroxidase IgE in patients with chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol 108:467, 2001 11. O'Donnell BF et al: Human leukocyte antigen class II associations in chronic idiopathic urticaria. Br J Dermatol 140:853, 1999 12. Gorevic PD, Kaplan AP: The physical urticarias. Int J Dermatol 19:417, 1980 13. Soter NA: Physical urticaria/angioedema. Semin Dermatol 6:302, 1987 14. Hoffman HM et al: Familial cold autoinflammatory syndrome: Phenotype and genotype of an autosomal dominant periodic fever. J Allergy Clin Immunol 108:615, 2001 15. Hoffman HM et al: Mutation of a new gene encoding a putative pyrin-like protein causes familial cold autoinflammatory syndrome and Muckle-Wells syndrome. Nature Genet 29:301, 2001 16. Uetsu N et al: The clinical and photobiological characteristics of solar urticaria in 40 patients. Br J Dermatol 142:32, 2000

17. Harada S et al: Aspirin enhances the induction of type I allergic symptoms when combined with food and exercise in patients with food-dependent exercise-induced anaphylaxis. Br J Dermatol 145:336, 2001 18. Shadick NA et al: The natural history of exercise-induced anaphylaxis: Survey results from a 10-year follow-up study. J Allergy Clin Immunol 104:123, 1999 19. Luong KV, Mguyen LT: Aquagenic urticaria: Report of a case and review of the literature. Ann Allergy Asthma Immunol 80:483, 1998 20. Sabroe RA et al: The autologous serum skin test: A screening test for autoantibodies in chronic idiopathic urticaria. Br J Dermatol 140:446, 1999 21. Sabroe RA et al: Chronic idiopathic urticaria: Comparison of the clinical features of patients with and without anti-FcRI or anti-IgE autoantibodies. J Am Acad Dermatol 40:443, 1999 22. Bork K et al: Hereditary angioedema with normal C1-inhibitor activity in women. Lancet 356:213, 2000 23. Binkley KE, Davis A III: Clinical, biochemical, and genetic characterization of a novel estrogen-dependent inherited form of angioedema. J Allergy Clin Immunol 106:546, 2000 24. Soter NA: Urticarial venulitis. Derm Ther 13:400,2000 25. Sabroe RA, Kobza Black A: Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors and angiooedema. Br J Dermatol 136:153, 1997 26. Sanchez Borges M et al: Tolerability to new COX-2 inhibitors in NSAID-sensitive patients with cutaneous reactions. Ann Allergy Asthma Immunol 87:201, 2001 27. Israel E et al: The pivotal role of 5-lipoxygenase products in the reaction of aspirinsensitive asthmatics to aspirin. Am Rev Respir Dis 148:1447, 1993 28. Ohnishi-Inoue Y et al: Aspirin-sensitive urticaria: Provocation with a leukotriene receptor antagonist. Br J Dermatol 138:483, 1998 29. Federman DG et al: The effect of antibiotic therapy for H. pyloriinfected patients with chronic urticaria. J Am Acad Dermatol (in press) 30. Gleich GJ et al: Episodic angioedema associated with eosinophilia. New Engl J Med 310:1621, 1984 31. Kozel MMA et al: The effectiveness of a history-based diagnostic approach in chronic urticaria and angioedema. Arch Dermatol 134:1575, 1998 32. Hoskin SL et al: Basophil infiltration of wheals in chronic idiopathic urticaria. J Allergy Clin Immunol 109:587, 2002

33. Ying S et al: TH1/TH2 cytokines and cell infiltration in skin from chronic idiopathic urticaria: Comparison with allergen-induced skin late-phase reactions and normal controls. J Allergy Clin Immunol 109:S88, 2002 34. Hermes B et al: Upregulation of tumor necrosis factor and interleukin-3 expression in lesional and uninvolved skin in different types of urticaria. J Allergy Clin Immunol 103:307, 1999 35. Toubi E et al: Immune aberrations in B and T lymphocytes derived from chronic urticaria patients. J Clin Immunol 20:371, 2000 36. O'Donnell BF et al: The impact of chronic urticaria on the quality of life. Br J Dermatol 136:197, 1997 37. Poon E et al: The extent and nature of disability in different urticarial conditions. Br J Dermatol 140:667, 1999 38. Nettis E et al: Comparison of montelukast and fexofenadine for chronic idiopathic urticaria. Arch Dermatol 137:99, 2001 39. Pacor ML et al: Efficacy of leukotriene receptor antagonist in chronic urticaria: A doubleblind, placebo-controlled comparison of treatment with montelukast and cetirizine in patients with chronic urticaria with intolerance to food additive and/or acetylsalicylic acid. Clin Exp Allergy 31:1607, 2001 40. Bensch G, Borish L: Leukotriene modifiers in chronic urticaria. Ann Allergy Asthma Immunol 83:348, 1999 41. Asero R: Leukotriene receptor antagonists may prevent NSAID-induced exacerbations in patients with chronic urticaria. Ann Allergy Asthma Immunol 85:156, 2000 42. Jaffer AM et al: Sulfasalazine in the treatment of chronic urticaria (CU). J Allergy Clin Immunol 109:S127, 2002 43. Grattan CEH et al: Randomized double-blind study of cyclosporine in chronic idiopathic urticaria. Br J Dermatol 143:365, 2000 44. Toubi E et al: Low-dose cyclosporin A in the treatment of severe chronic idiopathic urticaria. Allergy 52:312, 1997 45. O'Donnell BF et al: Intravenous immunoglobulin in autoimmune chronic urticaria. Br J Dermatol 138:101, 1998 46. Clark C et al: TI-01 phototherapy for chronic idiopathic urticaria: 14 years' experience. Br J Dermatol 145(suppl.59):136, 2001

Anda mungkin juga menyukai