Anda di halaman 1dari 0

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sikap (Attitude)
1. Batasan
Sikap banyak didefinisikan oleh para ahli dlam tiga kerangka
pemikiran. Pertama, adalah pemikiran yng diwakili oleh para ahli psikologi
yang mengartikan sikap sebagai bentuk evaluasi reaksi perasaan. Kedua,
kelompok yang diwakili oleh para ahli chave, Bagardus, La Piere, Mead
dan Gordon Alport, menurut mereka sikap merupakan kesiapan untuk
mereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Ketiga, kelompok
yang berorientasi pada skema triadik, menurut kerangka pemikiran ini sikap
merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif
yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku
terhadap suatu objek. Komponen kognitif yang merupakan representasi apa
yang dipercayai oleh individu terhadap sikap. Komponen afektif
menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek
sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang
dimiliki terhadap sesuatu. Komponen perilaku atau komponen konatif yaitu
bagaimana perilaku atau kecenderungan perilaku yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini
didasarkan oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak
8

9
mempengaruhi perilaku. Sikap secara umum diartikan sebagai kesedian
bereaksi individu terhadap suatu hal. Sikap bukan sesuatu yang
diperolehdari pembawaan maupun dari kematangan, melainkan segala hasil
belajar yang diperoleh melalui interaksi degan lingkungannya. Sebagai sutu
hasil belajar, sikap dapat diubah.
Sikap telah ada dan berkembang semenjak ia bergaul dengan
lingkungannya. Timbulnya sikap (positif atau negatif) merupakan produk
pengamatan dari pengalaman individu secara unik dengan benda-benda fisik
lingkungannya, dengan orang tua dan saudara-saudara, serta pergaulan
sosial yang lebih luas (Saifudin,2002).
Sikap seseorang tidak berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa
mempunyai hubungan terhadap objek tertentu. Dengan kata lain sikap
terbentuk, dipelajari atau berubah karena suatu obejk tertentu yang dapat
dirumuskan dengan jelas. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap
seseorang, yaitu pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi
(Notoatmodjo,2003).
Terbentuknya sikap ini karena adanya interaksi sosial yang dialami
individu serta terjadi hubungan saling mempengaruhi pada pola perilaku
masing-masing individu sebagai anggota masyrakat, yang meliputi
hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan
psikologis di sekitarnya. Dalam interaksi sosial, individu bereaksi
membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang

10
dihadapinya, diantaranya adalah pengalaman, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan
lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
Ada tiga proses sosial yang berperan dalam proses perubahan sikap
seseorang, yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification), dan
internalisasi (internalization). Proses kesedian terjadi ketika individu
bersedia menerima pengaruh dari orang lain atau kelompok untuk sekedar
memperoleh reaksi positif seperti pujian, dukungan, simpati dan
semacamnya sambil menghindari hal-hal yang dianggap negatif. Identifikasi
merupakan sikap individu yang dapat diharapkan oleh kelompok untuk
membina dan memelihara hubungan sosial yang baik. Sedangkan
internalisasi akan terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia
berikap menuruti pengaruh dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa
yang ia percayai dan sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya
(Saifudin,2002).
Ada dua faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan sikap, yaitu
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor dari
dalam diri organisme, yaitu berupa motivasi yang bersumber dari kebutuhan
di dalam diri organisme. Sedangkan faktor ekstrinsik, merupakan faktor
yang datang dari luar organisme, yaitu berupa stimulus dalam lingkungan,
baik yang dikondisikan maupun yang secara potensial dapat menyebabkan
terjadinya perubahan sikap seseorang.

11
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak langsung
dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian
reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus
(Saifudin,2002). Dalam kehidupan bermasyarakat, sikap sangat penting
untuk menentukan bentuk perilaku seseorang. Semakin banyak pengetahuan
seseorang, semakin cenderung berfikir dan berkeyakinan baik serta bersikap
positif (Notoatmodjo,2000).
2. Komponen sikap
Allport (1954) menjelaskan sikap mempunyai tiga komponen yaitu
(Budioro B., 2002) :
a. Kepercayaan (keyakinan) pada konsep terhadap suatu obyek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek
c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)
3. Tingkatan sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagi
tingkatan yaitu (Saifudin,2002):
a. Menerima (receiving) diartikan bahwa orang atau subjek
mempertahankan stimulus yang diberikan (objek).

12
b. Respon (responding) memberikan jawaban yang ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai (valving) mengajak orang lain yang mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga.
d. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala
reaksi merupakan sikap yang paling tinggi.
Sikap pada hakekatnya merupakan suatu respon seseorang terhadap
stimulus yang disertai kecenderungan untuk bertindak. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang
dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, sikap sangat penting untuk
menentukan bentuk perilaku seseorang. Semakin banyak pengetahuan, semakin
cenderung untuk berfikir dan berkeyakinan baik serta bersikap positif
(Notoatmojo,2000).
Hubungan antara konsep pengetahuan dan sikap. Pengetahuan
merupakan keikutsertaan masyarakat untuk mengetahui asuransi kesehatan
keluarga miskin. Oleh sebab itu masyarakat hendaknya mengetahui terlebih
dahulu tentang apa yang dimaksud asuransi kesehatan keluarga miskin serta apa
manfaatnya. Setelah mengetahui hal tersebut akan timbul pemikiran tentang
segi positif ataupun negatifnya, yang akan berpengaruh terhadap sikap individu.
Apabila pandangan ini mengarah pada sisi positif, maka akan muncul sikap

13
positif ataupun sebaliknya bila pandangan lebih condong pada sisi negatif maka
akan muncul sikap negatif.

B. Pengetahuan Perawat
1. Pengertian pengetahuan
Secara konseptual pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia terutama indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,
2003).
2. Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan seseorang banyak dipengaruhi oleh beberapa
hal misalnya usia, pendidikan yang diperolehnya dan pengalaman dari
seseorang. Seseorang yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan lebih
mudah dalam mengetahui, mengerti dan memahami. Pengetahuan kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku
seseorang. Pengetahuan yang cukup dalam domain kognitif menurut Bloom
(1984) dalam pengantar pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku kesehatan
mempunyai enam tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003) :



14
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk dalam tingkat pengetahuan ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu obyek yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu
tahu adalah tingkatan pengetahuan paling rendah.
Contoh: Perawat dikatakan tahu tentang infeksi nosokomial bila mampu
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan tentang perilaku
pencegahan terhadap penularan infeksi nosokomial.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Seseorang dikatakan
telah paham terhadap objek atau materi apabila dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.
Dalam upaya pencegahan terhadap infeksi nosokomial perawat mampu
menjelaskan cara-cara untuk mencegah penularan penyakit infeksi
nosokomial.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi di sini
dapat diartikan penggunaan hukum, rumus, metode prinsip dan

15
sebagainya dalam kontek atau situasi lain. Misalnya: perawat mampu
melakukan prinsip upaya pencegahan penularan penyakit infeksi
nosokomial dengan mencuci tangan, memakai sarung tangan, memakai
gaun dan masker saat merawat pasien infeksi nosokomial.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masalah di dalam
suatu struktur organisasi masih ada kaitan satu dengan yang lain.
Misalnya: perawat mampu membedakan pencegahan infeksi nosokomial
dengan penyakit yang lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru atau menyusun formulasi-formulasi yang ada.
Misalnya: perawat mampu menyusun merencanakan, menyesuaikan
terhadap cara-cara pencegahan penularan infeksi nosokomial yang telah
ditetapkan sebelumnya.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian itu
berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-

16
kriteria yang telah ada. Misalnya: perawat mampu menilai bagaimana
cara pencegahan penularan infeksi nosokomial yang baik dan benar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah
sebagai berikut: pendidikan (meskipun tidak mutlak, namun semakin tinggi
pendidikan seseorang maka makin tinggi pula tingkat pengetahuannya),
sosial ekonomi (seseorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi baik,
kemungkinan mempunyai tingkat pendidikan yang baik pula), lingkungan
(lingkungan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat
pengetahuan), budaya (budaya berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di
Rumah Sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah Sakit. Berbagai
prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman
yang berasal dari pasien. Infeksi petugas juga berpengaruh pada mutu
pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani
pasien. Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk
petugas Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum
yang sangat berbahaya, dalam artian rawan, untuk terjadi infeksi (Murniati
dan Sulianti, 2007).
Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit, dan
upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian
pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas pertama dalam pemberian

17
pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas kesehatan, kemampuan
mencegah infeksi memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan,
karena mencakup setiap aspek penanganan pasien (Murniati dan Sulianti,
2007).
Upaya pencegahan penularan infeksi di Rumah Sakit melibatkan
berbagai unsur, mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan
sendiri. Peran pimpinan adalah penyediaan sistem, sarana, dan pendukung
lainnya. Peran petugas adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya
pencegahan infeksi. Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan mutu
pelayanan di Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya, maka perlu
dilakukan pelatihan yang menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan
petugas dalam pencegahan ineksi di Rumah Sakit. Salah satu strategi yang
sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah
peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal
Precautions atau dalam bahasa Indonesia Kewaspadan Universal ( KU )
yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan darah dan
cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi
(Murniati dan Sulianti, 2007).





18
C. Infeksi Nosokomial
1. Pengertian Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh karena
penderita dirawat atau pernah dirawat di rumah sakit. Oleh karena infeksi ini
didapat di rumah sakit, maka kuman penyebabnya pada umumnya adalah
kuman yang resisten terhadap banyak antibiotika, sehingga infeksi
nosokomial mempunyai banyak aspek penting yang perlu diperhatikan
antara lain : bahaya untuk diri penderita sendiri maupun lingkungannya dan
sosio ekonomi (Roeshadi, 1996).
Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat atau yang terjadi
pada waktu pasien dirawat di Rumah Sakit. Bagi pasien yang dirawat di
Rumah Sakit ini merupakan persoalan serius yang dapat menjadi penyebab
langsung atau tidak langsung terhadap kematian pasien. Beberapa kejadian
Infeksi Nosokomial mungkin tidak menyebabkan kematian pasien akan
tetapi ia menjadi penyebab penting pasien dirawat lebih lama di Rumah
Sakit, yang pada akhirnya akan membebani pasien (Spiritia, 2007).
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi di rumah sakit
yang terjadi sesudah 72 jam perawatan pada pasien rawat inap dan infeksi
ini terjadi setelah pasien dirawat lebih lama dari masa inkubasi suatu
penyakit, Zulkarnaen (2006). Terjadinya infeksi nosokomial, akan
menimbulkan banyak kerugian, antara lain: lama hari perawatan makin
panjang, penderitaan bertambah, biaya meningkat. Permenkes No.

19
986/Menkes/Per/XI/1992 dan SK Dirjen PPM & PLP No. HK.00.06.6.44
mengatur persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, agar rumah sakit
tidak menjadi depot bagi berbagai macam kuman penyakit. Kenyataan
infeksi nosokomial masih menjadi masalah pokok di rumah sakit (Suwarni,
2001).
2. Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial
Penyebab penyebab utama yang menyebabkan infeksi nosokomial
adalah Streptococcus alpha hernolyticus dan Staphylococcus epidermidis.
Sementara Pseudomonas aeruginosa, mikroorganisme yang ditakuti sebagai
penyebab infeksi nosokomial di bangsal perawatan rumah sakit pada
umumnya justru kurang menyebabkan infeksi di rumah sakit (Reksodiputro,
et.al,1996). Infeksi iatrogenic merupakan jenis infeksi nosokomial yang
diakibatkan oleh prosedur diagnostik atau terapeutik, misalnya terjadinya
infeksi traktur urinarius setelah pemasangan kateter karena perawat tidak
menggunakan prinsip asepsis selama pemasangan (Potter & Perry, 2005).
Infeksi nosokomial dapat terjadi secara eksogen atau endogen, secara
eksogen didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap individu yang
bukan merupakan flora normal, misalnya organisme salmonella dan
clostridium tetanii, sedangkan infeksi endogen dapat terjadi bila sebagian
dari flora normal klien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan,
misalnya infeksi yang disebabkan karena enterococcus, ragi, streptococcus
(Potter & Perry, 2005). Kuman yang dapat menyebabkan infeksi

20
nosokomial yang tersering adalah Proteus, Escheriae coli, Streptococcus
aureus, Pseudomonas, Zulkarnaen (2006)
Staphylococcus epidermidis juga dapat menyebabkan infeksi
nosokomial, bakteri ini bersifat oportunis, artinya dalam keadaan normal
tidak menyebabkan penyakit tetapi begitu tubuh tempat ia bertempat tinggal
turun kondisinya, misalnya karena menderita sakit, maka dengan segera
dapat berubah menjadi berbahaya dan menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan. Kerentanan seseorang terhadap kuman-kuman oportunis ini dapat
dipacu atau diperparah oleh konsumsi obat-obat tertentu, misalnya obat-obat
kortikosteroida, yang bekerja menekan reaksi imun (reaksi kekebalan
tubuh). Dalam beberapa dekade terakhir ini infeksi nosokomial yang
disebabkan oleh Staphylococcus epidermidis makin sering terjadi, terutama
pada pasien-pasien yang diberi terapi kortikosteroida (Rudiyanto, 2007).
3. J enis Infeksi Nosokomial
Muhlis (2006) dan Isselbacher, et.al (1999) dalam bukiunya
menyebutkan infeksi nosokomial yang sering ditemukan antara lain:
a. Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih adalah merupakan infeksi nosokomial
yang paling sering dan umumnya paling mudah untuk ditangani/diobati
dengan gejala sisa yang paling ringan. Faktor yang memperberat infeksi
nosokomial ini adalah beratnya penyakit, lamanya perawatan di rumah
sakit dan lamanya kateterisasi, selain hal tersebut juga terdapat empat

21
faktor yang dapat mempermudah terjadinya infeksi saluran kemih antara
lain: J enis kelamin perempuan, lamanya kateterisasi saluran kemih, tidak
adanya antibiotik sistemik dan kurangnya perawatan kateter dengan
tepat.
b. Infeksi pada luka operasi
Infeksi luka operasi menyebabkan sekitar 25 30 % infeksi
nosokomial tetap berperan pada sampai 57 % hari perawatan tambahan
di rumah sakit dan 42 % biaya tambahan. Infeksi ini biasanya
disebabkan karena flora mukosa dan kulit yang didapatkan dari rumah
sakit atau endogen dan kadang-kadang dengan penyebaran sisik kulit
lewat udara yang mungkin dilepaskan ke luka dari anggota tim ruang
operasi. Faktor risiko yang paling penting adalah pertimbangan dokter
bedah dan teknik operasi, kesehatan umum pasien, prosedur operasi dan
prosedur operasi spesifik serta lamanya. Tindakan pengendalian
terpenting antara lain penggunaan profilaksis antibiotika pada awal
prosedur pembedahan yang berisiko tinggi, perhatian pada cara/teknik
pembedahan serta asepsis ruangan operasi.
c. Bakteriemia
Infeksi nosokomial lain yang potensial mengancam jiwa dan
penting dipertimbangkan pada evaluasi pasien dengan demam baru
adalah bakteriemia, yang biasanya berkaitan dengan terdapatnya
peralatan intravaskuler. Pada suatu studi bakteriemia menyebabkan

22
mortalitas sampai 14 kali lipat lebih tinggi di rumah sakit. Salah satu
kesulitan dalam menilai bakteriemia adalah membedakan patogen sejati
dari flora kulit yang mencemari (Gruendemann dan Fernsebner, 2006).
d. Infeksi saluran nafas bagian bawah atau pneumonia
Pneumonia menyebabkan 15 hingga 20 % infeksi nosokomial
tetapi menyebabkan 24 % hari-hari tambahan perawatan di rumah sakit
dan 39 % biaya tambahan. Hampir semua pneumonia nosokomial
bakterial disebabkan karena aspirasi flora lambung dan orofaring yang
didapatkan dari rumah sakit atau endogen (. Pneumonia nosomial
menyebabkan angka kematian sampai 50% di Intensive Care Unit.
Tindakan pengendalian infeksi dilakukan/ditujukan pada faktor resiko
yang bisa diperbaiki di perawatan pasien umum, misalnya
meminimalkan posisi telentang yang memudahkan aspirasi dan mungkin
menghindari alkalisasi lambung profilaksis karena peningkatan resiko
kolonisasi dengan kuman gram negatif bila PH lambung di atas 4 dan
perawatan aseptik perlengkapan respirator yang cermat.
4. Faktor yang Dapat Mempermudah Terjadinya Infeksi Nosokomial
Utji (1996) menyebutkan untuk pelaksanaan pengendalian dan
pencegahan perlu diketahui epidemiologi infeksi nosokomial, terdapat 3
faktor yang menentukan terjadinya infeksi nosokomial.



23
a. Sumber Infeksi Nosokomial
Sumber infeksi dapat berupa kuman, virus, protozoa dan parasit
yang terdapat di alam. Bahkan manusia sehat juga penuh dengan kuman
yang dianggap normal. Untuk penderita yang imunokompromi, kuman
normal pun dapat menjadi patogen karena daya tahan tubuh yang
berkurang. Lingkungan kita terkenal dengan sumber kuman patogen
yang paling besar. Bila PPIN (Panitia Pengendalian Infeksi Nosokomial)
akan mengawasi semua sumber kuman dengan jalan memantau secara
rutin, biayanya akan sangat besar dan tidak praktis.
Hidayat (2006) menyebutkan terdapat beberapa sumber infeksi
nosokomial antara lain:
1) Pasien
Pasien merupakan unsur utama terjadinya infeksi nosokomial yang
dapat menyebarkan infeksi kepada pasien lainnya, petugas
kesehatan, pengunjung atau benda dan alat kesehatan lainnya.
2) Petugas kesehatan
Petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak
langsung, yang dapat menularkan berbagai kuman ke tempat lain.
3) Pengunjung
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke
dalam lingkungan rumah sakit atau sebaliknya yang didapat dari
dalam rumah sakit ke luar rumah sakit.

24
4) Sumber lain
Sumber lain yang dimaksud di sini adalah lingkungan rumah sakit
yang meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah
sakit, atau alat yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh
pengunjung atau petugas kesehatan kepada pasien dan sebaliknya.
5) Penderita
Penderita selalu menjadi sasaran bibit penyakit karena
biasanya keadaan tubuh yang lemah. Langkah pertolongan yang
diberikan rumah sakit dalam perawatan penderita serba sulit karena
perawatan yang berlebihan akan meninggikan risiko infeksi dan
perawatan yang kurang akan melemahkan daya tahan penderita.
Dalam pengendalian infeksi nosokomial, penderita harus menjadi
obyek yang paling utama : to do the patient no harm. Kita harus
cepat dapat menanggulangi atau mencegah infeksi dari luar maupun
dari dalam. Keadaan yang paling optimal adalah kalau penderita
dirawat secara khusus seperti di isolasi atau dilayani khusus oleh
perawat tertentu.
b. Cara Penularan
Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan sebagai
penyebab yang paling utama infeksi nosokomial. Penularan melalui
tangan perawat dapat secara langsung karena tangan yang kurang bersih
atau secara tidak langsung melalui peralatan yang invasif. Dengan

25
tindakan mencuci tangan secara benar saja, infeksi nosokomial dapat
dikurangi 50 %.Peralatan yang kurang steril, air yang terkontaminasi
kuman, cairan desinfektan yang mengandung kuman, sering
meningkatkan risiko infeksi nosokomial.
c. Pencegahan Infeksi Nosokomial
Pencegahan ini dapat diusahakan karena faktor-faktor
predisposisinya diketahui; yaitu dengan menghindari faktor-faktor itu
sedapat mungkin tanpa mengabaikan penatalaksanaan diagnostik dan
terapeutik penderita kanker itu sendiri, Ramli (1996). Usaha-usaha
pencegahan dapat meliputi :
1) Umum :
a) Usahakan hospitalisasi penderita sesingkat mungkin.
b) Pemahaman dan pelaksanaan tindakan asepsis antisepsis yang
baik dari semua personil yang memaparkan diri terhadap
penderita kanker dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
2) Khusus :
a) Usahakan daya tahan tubuh penderita tetap baik, antara lain :
temukan dan obati penderita kanker dalam stadium dini,
usahakan tindakan-tindakan pembedahan dalam toleransi
penderita yang optimal, bila perlu diberi transfusi granulosit atau
parenteral nutrisi.

26
b) Hindari tindakan yang merusak natural barrier yang tidak perlu;
perawatan yang baik terhadap setiap perlukaan; misalnya
pemasangan infus, luka biopsi dan lain-lain.
c) Hindari prosedur invasif berlebihan dan tidak perlu baik untuk
diagnostik maupun terapeutik misalnya : pemakaian kateter atau
pemasangan infus hanya jika mutlak diperlukan.
d) Perkecil kemungkinan infeksi dari kuman-kuman eksogen dan
cegah kuman-kuman yang potensial patogen : cuci tangan yang
baik, makanan dan minuman dengan kontaminasi bakteri
serendah mungkin, selalu memeriksa kuman-kuman pada air
ledeng, pembersihan ruang kamar operasi sebersih
mungkin/steril mungkin, hindari pengunjung yang berlebihan
atau personil kamar operasi yang berlebihan, jika perlu ruangan
isolasi.
e) Hindari faktor predisposisi lain sedapat mungkin, antara lain:
hati-hati dengan pemberian radioterapi, khemoterapi dan,
kortikosteroid.
f) Khusus untuk penderita yang dioperasi : persiapan lapangan
operasi sesteril mungkin, lamanya operasi diusahakan sesingkat
mungkin, kamar operasi dan alat-alat memenuhi syarat asepsis,
untuk kasus-kasus operasi bersih tercemar (operasi usus, traktus

27
urinarius, rongga mulut, genitalia wanita dan lain-lain) perlu
pemberian antibiotik profilaksis.
Dalam mencegah / mengendalikan infeksi nosokomial, ada tiga hal yang
perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial yaitu, Roeshadi
(1996):
1. Adanya system surveilance yang mantap.
Surveilance suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang
sistematik dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang
terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan
pencegahan dan pengendalian. J adi tujuan dari surveilance adalah untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Perlu ditegaskan di sini
bahwa keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan
oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi ditentukan oleh kesempurnaan
perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan penderita secara benar (the
proper nursing care). Dalam pelaksanaan surveilan ini, perawat sebagai
petugas lapangan di garis paling depan, mempunyai peran yang sangat
menentukan,
2. Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan, dengan
tujuan untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi nosokomial.
Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan,
merupakan hal yang sangat penting adanya. Peraturan-peraturan ini
merupakan standar yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas;

28
standar ini meliputi standar diagnosis (definisi kasus) ataupun standar
pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan
peraturan ini, peran perawat besar sekali.
3. Adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah
sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam
merawat penderita.
Adanya program pendidikan yang terus menerus. Seperti disebutkan
di atas, pada hakekatnya keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku
petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita.
Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar dan mengajar
yang terus menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan
pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi
dari infeksi nosokomial ini. J adi jelaslah bahwa dalam seluruh lini program
pengendalian infeksi nosokomial, perawat mempunyai peran yang sangat
menentukan. Sekali lagi ditekankan bahwa pengendalian infeksi nosokomial
bukanlah ditentukan oleh peralatan yang canggih (dengan harga yang
mahal) ataupun dengan pemakaian antibiotika yang berlebihan (mahal dan
bahaya resistensi), melainkan ditentukan oleh kesempurnaan setiap petugas
dalam melaksanakan perawatan yang benar untuk penderitanya.
Menurut Hidayat (2006) tindakan pencegahan infeksi nosokomial dapat
dilakukan beberapa cara antara lain:

29
1. Aseptik, yaitu tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan . Istilah
ini dipakai untuk menggambarkan semua usaha yang dilakukan untuk
mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh yang kemungkinan
besar akan mengakibatkan infeksi. Tujuan akhirnya adalah mengurangi atau
menghilangkan jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup
maupun benda mati agar alat-alat kesehatan dapat dengan aman digunakan.
2. Antiseptik, yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh
lainnya
3. Dekontaminasi, tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani
oleh petugas kesehatan secara aman, terutama petugas pembersihan medis
sebelum pencucian dilakukan. Contohnya adalah meja pemeriksaan, alat-
alat kesehatan, dan sarung tangan yang terkontaminasi oleh darah atau
cairan tubuh di saat prosedur bedah/tindakan dilakukan.
4. Pencucian, yaitu tindakan menghilangkan semua darah, cairan tubuh atau
setiap benda asing seperti debu dan kotoran
5. Sterilisasi, yaitu tindakan menghilangkan mikroorganisme (bakteri, jamur,
virus)termasuk bakteri endospora dari benda mati
6. Desinfeksi, yaitu tindakan menghilangkan sebagian besar (tidak semua)
mikroorganisme penyebab penyakit dari benda mati. Desinfeksi tingkat
tinggi dilakukan dengan merebus atau menggunakan larutan kimia.

30
D. Kerangka Teori

Sikap
Faktor internal :
Tingkat
kecerdasan
Kondisi emosional
Faktor Eksternal :
Pendidikan
Sosial budaya
Akses informasi
Media massa
Faktor yang
mempengaruhi :
Pengetahuan
Pikiran
Keyakinan
Emosi
Tingkat pengetahuan







Gambar 2.1 Kerangka Teori (Notoatmojo, 2003, Saifuddin Azwar, 2003,
Budioro B., 2002).

E. Kerangka Konsep
Pengetahuan Perawat Tentang
Infeksi Nosokomial
Sikap Perawat dalam
Mencegah Infeksi Nosokomial

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas penulis dapat
merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : Ada hubungan antara
pengetahuan dengan sikap perawat dalam mencegah infeksi nosokomial di
ruang Mawar, Anggrek dan Dahlia RSUD Tugurejo Semarang.

Anda mungkin juga menyukai