Anda di halaman 1dari 3

Bermorallah Demi Agama, Bangsa, dan Negara!

Beragama di sebuah negara yang menampung ratusan juta jiwa insan adalah sebuah takdir yang harus kita syukuri. Karena sebenarnya setiap tingkah laku, keadaan, dan harapan yang kita miliki pada dasarnya bersifat normatif tanpa harus diobok-obok oleh oknum tidak bertanggung jawab demi memenuhi egonya masingmasing. Jika ditanya agama manakah hingga detik ini masih memiliki kemurniannya secara keseluruhan untuk layak dipeluk. Maka kita harus tetap bersyukur dan tidak berhenti bersyukur kepada Allah karena telah diperlihatkan hidayah-Nya untuk dapat merasakan betapa nikmat memeluk agama-Nya. Yaitu Islam yang dijaga kemulian dan keabsahan kitabnya, al-Quran. Di dalam beragama dan berbangsa kita dituntut agar dapat menyeleraskan sikap dan tingkah laku kita sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Karena pada dasarnya setiap jiwa memiliki tuntutan untuk mendapatkan kebebasan. Akan tetapi kebebasan tersebut pasti ada batasan-batasan yang harus disadari dan dicamkan sedini mungkin agar dinilai layak diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat yang bermartabat. Kelayakan inilah yang menentukan apakah seseorang tersebut patut disebut bermoral atau sebaliknya. Adapun ilmu yang membahas tentang kebaikan dan keburukan di dalam kehidupan manusia secara keseluruhan, terutama yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang merupakan perbuatan disebut dengan etika. Hal ini sangat jelas dan sesuai dengan apa yang disampaikan KH. Dewantara. Tentunya terdapat relevansi antara moral dan etika, karena orang yang beretiket pasti disebut bermoral pula. Islam sangat menitikberatkan peranannya dalam misi ketauhidan. Tapi sebenarnya makna yang terkandung dalam misi ketauhidan tersebut adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang dinilai tidak normatif bahkan bertentangan dengan asas-asas kemanusiaan. Maka tidak anyar lagi, kita pernah mendengar sabda Nabi kita Muhammad SAW. sesungguhnya aku diutus hanya untuk memperbaiki akhlak. Inti dari sabda beliau adalah untuk menegakkan kalimat tauhid maka kita harus membersihkan diri kita dari akhlak yang tercela serta perbuatan-perbuatan yang tidak fundamental. Kemudian baru dapat dibanjiri dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Secara otomatis hidayah Allah akan mudah diterima oleh setiap insan yang mengabdi kepadaNya. Hal ini sesuai dengan 3 prinsip suluk yang kita ketahui; al-Takhalli yang berarti menjauhkan diri dari perbuatan tercela, al-Tahalli yang secara simpel dapat dipahami sebagai proses pemebersihan diri dengan menerapkan aturan-aturan agama dan membiasakan diri dengan akhalak terpuji. Dan al-Tajalli yakni tahap tertinggi dari wujud penghambaan diri kepada Allah dengan merasakan keberadaan-Nya dan lebur bersama Allah dengan kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia di bawah naungan keridhaan Rabbnya. Berbicara tentang akhlak, tentunya tersiar di pikiran kita akan keterkaitannya dengan moral dan etika. Terdapat perbedaan mendasar tentang akhlak itu sendiri. Karena menurut Imam al-Ghazali, sifat spontanitas yang tertanam dari jiwa seseorang sehingga menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik atau buruk dengan tanpa paksaan dari pihak manapun dan dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran secara mendalam adalah makna dari akhlak yang hakiki, walaupun banyak perbedaan pendapat antar pemikir tentang makna tersebut. Dari terminologis yang dituturkan oleh al-Ghazali, dapat kita simpulkan adanya hubungan

erat antara akhlak, moral, dan etika. Berarti akan cacat rasanya jika kita hanya bermoral tapi tidak disertai dengan akhlak yang baik. Karena kita hidup di dunia ini tidak hanya dituntut untuk berakhlak sesama makhluk saja, tapi juga berakhlak baik kepada Sang Khalik Jalla wa Alaa. Secara pasti, dogma agama manapun tidak ada yang menuntut pemeluknya untuk melakukan perbuatan yang tidak normatif. Terutama Islam yang sangat menjunjung tinggi pribadi-pribadi yang berakhlak mulia. Dan standardisasi kemuliaan akhlak seseorang adalah berdasarkan tingkat ketaqwaannya kepada Allah Tala. Disinilah peran Islam yang mengajarkan metode umatnya untuk lebih bermartabat dalam setiap tindak-tanduknya. Bagaimana mungkin orang yang selalu mengingat Allah di setiap kedipan matanya akan melakukan perbuatan dosa dan merugikan agamanya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang yang merasakan keberadaan Tuhannya dimanapun dan kapanpun akan melakukan konspirasi nakal untuk menghancurkan bangsa dan negara. Maka dari itu, ketaqwaanlah yang menentukannya. Semakin tinggi tingkat ketaqwaan seseorang, maka semakin mulialah akhlak dan moral yang dimilikinya. Indonesia, memiliki keheterogenan ras, sukum adat, budaya dan agama. Setiap bangsa memiliki jati diri masing-masing, dan Indonesia tidak boleh sampai kecopetan jati dirinya. Dengan tetap menjaga kebudayaan seutuh mungkin dan saling menghargai antar sesama, Insya Allah keutuhan Negara kita dapat dipertahankan secara aman dan damai. Dan disinilah kita membutuhakan pemimpin yang tegas, arif dan bijaksana dalam menghadapi problematika kenegaraan dan lainnya. Pendek kata, bangsa kita sangat membutuhkan sosok yang dapat menggiring rakyatnya untuk lebih mengerti betapa pentingnya moral demi kepentingan bangsa dan negara. Sehingga rakyat Indonesia bisa menjadi rakyat yang berbangsa dengan kebanggan jati dirinya dan bermartabat dengan moral dan kemuliaan akhlaknya. Disamping itu, bersosialisasi tentang urgensi moral, akhlak mulia, dan beretiket, sangatlah diperlukan dan harus dimulai sejak dini. Tentang tata krama, aturan, norma, dan nilai yang harus ditancapkan di setiap sanubari masyarakat Indonesia. Sehingga setiap tindakan dan perilaku lebih berarah dan penuh dengan moral. Bermoral tidak harus menuggu negara kita maju. Tapi dengan bermorallah berarti selangkah maju demi kemajuan bangsa. Karena aura kebaikan selalu mengarah ke hal-hal yang lebih positif dan bernilai. Hal ini sangatlah memerlukan kerja sama dari setiap elemen masyarakat agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai secara sempurna. Adakalanya kita harus belajar dari orang lain. Supaya kita sadar dimana kesalahan dan kekurangan kita selama ini. Tapi haruskah kita menjadi orang lain tersebut. Tentu tidak. Kita tidak perlu merubah diri kita dan menghilangkan jati diri kita agar memperoleh suatu keberhasilan. Sebagai contoh, westernisasi telah merajalela di mana-mana, termasuk di Indonesia. Dalam berpakaian, belum tentu mereka yang berpakain kebarat-baratan akan diterima oleh masyarakat Indonesia. Maka dari itu Berbudayalah dan banggalah dengan budaya kita masing-masing, Insya_Allah bangsa kita dapat menghidupkan kembali moralitasnya yang hampir pudar. Islam sangat menjunjung tinggi dan mengapresiasi sikap bermoral dan berakhlak mulia, karena sebenarnya Islam adalah agama yang berbudaya.

Biografi Penulis Nama Tempat/tanggal lahir Status Universitas Semester Alamat Pendidikan terakhir e-mail : Fadhlurrahman Armi : Banda Aceh, 2 September 1993 : Mahasiswa : Abdel Maleek es-Saadiy :4 : Martil, Tetouan : Dayah/Madrasah Aliyah Ruhul Islam Anak Bangsa : fazlurrahman_armi@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai