Anda di halaman 1dari 0

Universitas Indonesia

II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN



Dalam bab ini dibahas tinjauan kepustakaan yang berkaitan dengan
motivasi beprestasi serta juga dipaparkan mengenai prokrastinasi akademis.
Kemudian beberapa teori juga disampaikan untuk menunjukkan hubungan antara
keduanya.

2.1. Motivasi Berprestasi
2.1.1. Pengertian Motivasi
Beberapa ahli mendefinisikan motivasi sebagai berikut :
Menurut Morgan, King, Weisz & Schopler (1986: 268) motivasi adalah :

a term reffering to the driving and pulling forces which result in persistent
behavior directed toward certain goals

Menurut Santrock (1996:454) motivasi adalah :
Why individual behave, think, and feel the way they do, with special
consideration of the activation and direction of their behavior

Dari definisi para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi
merupakan penggerak yang menghasilkan kecenderungan berperilaku dengan satu
atau lebih akibat. Dengan motivasi pula, perilaku seseorang dapat bertahan
(Atkinson dalam Cofer & Appley, 1964). Young (dalam Cofer & Appley, 1964)
menjelaskan konsep motivasi sebagai proses merangsang munculnya tindakan,
mempertahankan aktivitas untuk terus berkembang, dan memiliki pola tertentu.
Menurut Robbins (1986), motivasi merupakan kesediaan individu untuk
melakukan usaha yang cukup besar (high levels of effort) untuk mencapai tujuan,
yang dikondisikan oleh kemampuan usaha tersebut untuk memuaskan kebutuhan
individu.
Individu yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha keras untuk
mencapai tujuannya. Namun usaha keras tidak akan berhasil bila tidak diarahkan
pada satu tujuan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jung (dalam
Misgiyanti, 1997). Jung menyatakan bahwa ada empat ciri perilaku orang yang
memiliki motivasi tinggi, yaitu :
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

1) Perilaku memiliki tujuan yang jelas.
2) Adanya dorongan yang menggerakkan seseorang pada perilaku yang tepat.
3) Dorongan bersifat selektif, hanya pada perilaku - perilaku yang relevan
dengan kondisi seseorang pada saat tertentu.
4) Perilaku bertahan lama (berlangsung terus-menerus) meskipun banyak
menghadapi rintangan.

Lebih lanjut menurut Budiyanto (2005), motivasi pada individu melibatkan 3
komponen utama :
1) Pemberi daya pada tingkah laku manusia (energizer)
Usaha-usaha yang penuh semangat yang dilakukan individu yang mendorong
mereka untuk bertindak dengan cara yang tepat dan juga usaha-usaha dari
lingkungan yang memicu dorongan tersebut.
2) Pemberi arah pada tingkah laku manusia (directs)
Mengarah pada orientasi individu yang ditujukan pada tujuan, jadi motivasi
mengarahkan tingkah laku pada suatu tujuan.
3) Mempertahankan tingkah laku (sustaines)
Mengarah pada orientasi sistem dimana daya yang berasal dari individu dan
lingkuan memberikan umpan balik pada individu sehingga akan memperkuat
intensitas dorongan mereka ataupun arah tujuan mereka, atau sebaliknya.

2.1.2. Jenis-Jenis Motivasi
Monks (1999) telah membedakan motivasi menjadi dua, yakni :
a. Motivasi Instrinsik
Menurut Huffman, Vernoy dan Vernoy (1997:377)
The desire to perform an act for its own sake
Motivasi merupakan aktivitas belajar yang dimulai dan diteruskan
berdasarkan penghayatan suatu kebutuhan dan dorongan yang secara mutlak
berkaitan dengan aktivitas belajar itu.
Motivasi ini merujuk kepada motivasi yang muncul dari diri individu,
dibandingkan rangsangan yang berasal dari luar seperti uang atau hadiah.
Motivasi ini bersumber dari rasa senang yang muncul dari tugas itu sendiri atau
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

dari rasa puas karena mampu menyelesaikan tugas tersebut atau pada saat
mengerjakan tugas tersebut. Individu merasa tertantang dalam mengerjakan tugas
tersebut sehingga menimbulkan perasaan senang dari dalam dan termotivasi untuk
mengerjakan.
Individu yang memiliki motivasi intrinsik bukan berarti tidak mencari
eksternal reward, melainkan eksternal reward yang diberikan tidak cukup untuk
membuat individu tersebut termotivasi (Woolfolk, 1993). Misalnya mendapat
hadiah ketika memperoleh kelulusan, tidak sebanding dengan rasa bangga dan
puas ketika menikmati kelulusan.

b. Motivasi Ekstrinsik
Menurut Huffman, Vernoy dan Vernoy (1997:377).
The desire to perform an act because of extend reward or avoidance of
punishment
Individu dengan motivasi ini tidak terlalu tertarik pada aktivitas itu sendiri,
melainkan hanya peduli pada apa yang diperoleh (Woolfolk, 1993). Berbanding
terbalik dengan motivasi intrinsik, individu dengan motivasi ini cenderung
memperoleh motivasi yang bersumber dari dorongan luar. Pengerjaan tugas
biasanya dilakukan berdasarkan pertimbangan eksternal reward.

Pada saat ini, konsep kebutuhan Murray banyak digunakan dalam
menjelaskan motivasi dan arah dari perilaku (dalam Schultz & Schultz, 1994).
Murray mengkategorikan kebutuhan menjadi dua kategori, yaitu kebutuhan
primer (primary needs) dan kebutuhan sekunder (secondary needs). Kebutuhan
primer adalah kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan dari keadaan internal tubuh
atau kebutuhan yang diperlukan untuk tetap bertahan hidup. Kebutuhan primer ini
adalah kebutuhan yang bersifat tidak dipelajari. Kebutuhan sekunder adalah
kebutuhan yang timbul dan berkembang setelah kebutuhan primer terpenuhi.
Contoh dari kebutuhan sekunder ini adalah kebutuhan untuk berprestasi (need of
achievement) dan kebutuhan untuk berafiliasi (need of affilitation)
Sejalan dengan pendapat Murray, McClelland dan Geen (dalam Feldman,
1992) menyebutkan bahwa di dalam diri manusia selain ada dorongan yang
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

bersifat biologis, terdapat juga dorongan lain yang sangat kuat dan tidak
memiliki dasar biologis yaitu kebutuhan untuk berprestasi. Kebutuhan untuk
berprestasi merupakan salah satu motif yang bersifat sosial karena motif ini
dipelajari dalam lingkungan dan melibatkan individu lain serta motif ini
merupakan suatu komponen penting dalam kepribadian yang membuat manusia
berbeda satu sama lain (Morgan, et al., 1986).

II.1.3. Pengertian Motivasi Berprestasi
Beberapa ahli mendefinisikan motivasi sebagai berikut :
Menurut Gage Dan Berliner (1992:61)
A desire for interst in success in general or in a specific field fo activity

Woolfolk ( 1993:586)
Desire to excel, Impetus to strive for excellence and sucess

Santrock (1996:454)
The desire to accomplish some thing, to reach a standard of excellence and
to experd effort to excel

Berdasarkan definisi motivasi berprestasi di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengertian motivasi berprestasi adalah dorongan yang ada pada
individu untuk mengungguli, mendapatkan prestasi yang dihubungkan dengan
seperangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan kesuksesan atas kegiatan
yang dilakukannya.
Motivasi berprestasi menurut McClelland (dalam Robin, 1998) adalah
dorongan yang ada pada individu untuk mengungguli, berprestasi sehubungan
dengan seperangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan. Jadi,
bisa dikatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi adalah individu
yang berorientasi pada tugas, menyukai tugas-tugas yang menantang dimana
penampilan individu pada tugas tersebut dapat dievaluasi dengan berbagai cara,
bisa dengan membandingkan dengan penampilan individu lain atau dengan
standar tertentu (McClelland dalam Morgan, et al., 1986). Pintrich & Schunk
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

(1996) mengatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
biasanya memiliki usaha-usaha tertentu untuk mendukung tercapainya tujuan

2.1.4. Ciri-ciri Motivasi Berprestasi
Setiap individu yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya dapat dipastikan
memiliki motivasi berprestasi (Gellerman, 1984). Namun yang membedakan
antara individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan yang rendah
adalah keinginan dirinya untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan lebih baik
(McClelland, dalam Robin, 1996).
Menurut beberapa ahli yaitu McClelland & Winter (dalam McClelland, 1987),
Morgan et al. (1987), Gage & Berliner (1992), Santrock (2001), Kingston &
White (dalam Setiawati, 1996), Parson et al. (2001), Atkinson (1964), Eggen &
Kauchak (1997), Ormrod (2003), Sawitri (1992) dan Pintrich & Schunk (1996),
individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dan rendah memiliki
karakteristik tertentu. Adapun karakteristik tersebut yaitu:
1. Pemilihan tugas
a. Tingkat kesulitan tugas
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memilih tugas yang
memiliki tingkat kesulitan yang sedang daripada tugas yang memiliki
tingkat kesulitan yang tinggi atau rendah (Santrock, 2001; Kingston &
White, dalam Setiawati, 1996). Mereka memilih tugas yang realistik
dengan derajat kesukaran yang sedang dimana memungkinkan mereka
untuk berhasil (McClelland & Winter, dalam McClelland, 1987). Individu
yang memiliki motivasi berprestasi rendah biasanya sangat senang
mengerjakan tugas yang sangat mudah dimana mereka pasti dapat
menyelesaikannya (Gage & Berliner, 1992). Mereka mempunyai
kecenderungan untuk memilih tugas yang sulit dan menghindari tugas
yang memiliki taraf kesulitan sedang (Atkinson, 1964).
b. Tugas-tugas yang menantang
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi senang dengan tugas-
tugas yang dapat menguji kemampuan yang dimilikinya (McClelland
dalam Morgan, et al., 1986) dengan kata lain tugas yang menantang
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

(Eggen & Kauchak, 1997; Parson et al., 2001) dan sebaliknya individu
dengan motivasi berprestasi rendah menghindari tugas-tugas yang
menantang (Eggen & Kauchak, 1997).
c. Tugas-tugas yang memperlihatkan keunggulan
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan tertarik dan memilih
tugas yang melibatkan persaingan dimana mereka berkesempatan untuk
bersaing dengan orang lain karena dalam situasi persaingan terdapat
kemungkinan untuk unggul dan melebihi orang lain. Mereka lebih
mencoba untuk mengerjakan dan menyelesaikan lebih banyak tugas
daripada individu dengan motivasi berprestasi rendah (McClelland, 1987).
2. Kebutuhan akan umpan balik
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menerima dan
menginginkan umpan balik yang bersifat korektif (Eggen & Kauchak, 1997;
Parson et al., 2001). Mereka memperhatikan umpan balik konkrit dari
bagaimana cara mereka mengerjakan tugas dimana umpan balik ini
selanjutnya akan dipergunakan untuk memperbaiki prestasinya (McClelland &
Winter, dalam McClelland, 1987).
3. Ketangguhan dalam mengerjakan tugas
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu berusaha mengatasi
rintangan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, terutama pada hal
yang bersifat prestatif, dan tidak mudah menyerah (Kingston & White, dalam
Setiawati, 1996). Selain itu, individu dengan motivasi berprestasi tinggi gigih
dalam mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka gigih
dalam mengejar waktu yang mereka tetapkan untuk mengerjakan tugas-tugas
yang sulit dan gigih untuk bekerja dengan baik di sekolah (Santrock, 2001;
Parson et al., 2001).
4. Pengambilan tanggung jawab
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi mempunyai kecenderungan untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang dikerjakannya (McClelland, 1987). Mereka
bertanggung jawab terhadap permasalahan yang mereka hadapi (Morgan et
al., 1987). Karena itulah, mereka menghubungkan kesuksesan yang mereka
dapat dengan kemampuan yang mereka miliki dan menghubungkan kegagalan
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

dengan kurangnya usaha yang mereka keluarkan daripada akibat dari faktor
eksternal (Parson et al., 2001). Sedangkan individu dengan motivasi
berprestasi rendah biasanya menyia-nyiakan kesempatan untuk berhasil dan
selalu menghindari berhadapan dan mengerjakan tugas yang mempunyai
kemungkinan gagal dan berhasil yang seimbang (Gage & Berliner, 1992).
5. Penambahan usaha-usaha tertentu
Individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah biasanya melakukan
usaha-usaha yang kecil dalam menghadapi ujian atau tugas yang mereka
hadapi (Eggen & Kauchak, 1997). Individu dengan motivasi berprestasi tinggi
cenderung untuk memperbesar usahanya agar berhasil (Pintrich & Schunk,
1996). Mereka biasanya memiliki usaha-usaha tertentu yang mendukung
tercapainya tujuan (Pintrich & Schunk, 1996).
6. Prestasi yang diraih
Individu dengan motivasi berprestasi rendah mempunyai standar nilai yang
rendah, sedangkan individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki
standar nilai yang tinggi (Eggen & Kauchak, 1997). Individu dengan motivasi
berprestasi tinggi mencapai kesuksesan dan mendapatkan nilai yang baik
(Parson et al., 2001).
7. Kepuasan dalam mengerjakan tugas
Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi merasa berhasil dan
merasa puas apabila telah mengerjakan tugas (McClelland & Winter, dalam
McClelland, 1987; Morgan et al., 1987). Mereka merasa puas apabila telah
melakukan tugas dengan sebaik mungkin yang secara umum didasarkan pada
keunggulan yang ditetapkan oleh dirinya sendiri (Kingston & White, dalam
Setiawati, 1996).
8. Kreatif dan Inovatif
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung mencari cara baru
untuk menyelesaikan tugas seefeisen dan seefektif mungkin. Tidak menyukai
pekerjaan rutin dengan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu. Bila
dihadapkan pada tugas yang bersifat rutin, ia akan berusaha mencari cara lain
untuk menghindari rutinitas tersebut namun tetap dapat menyelesaikan
tugasnya (Sawitri, 1992). Individu dengan motivasi berprestasi tinggi juga
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

cenderung melakukan hal yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh orang
lain pada umumnya, lebih kreatif dan inovatif (Kingson & White, dalam
Setiawati, 1996). Dengan menghasilkan sesuatu yang berbeda dari orang lain,
mereka dapat memperlihatkan keunggulan yang dimilikinya.
9. Ketakutan akan kegagalan
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki harapan untuk sukses
yang lebih kuat daripada ketakutan akan kegagalan (Ormrod, 2003),
sedangkan individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung merasakan
ketakutan atau keresahan dalam sebuah situasi ujian.

Selain McClelland, ahli lain yang mengungkapkan ciri-ciri individu yang
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi adalah Atkinson dan Birch. Atkinson
dan Birch (dalam Bernstein, Roy, Christopher, Edward, Srull, Thomas &
Wickens, 1988) mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi
berprestasi yang tinggi adalah :
1) Menetapkan tujuan yang menantang dan sulit namun realistik
2) Terus mengejar kesuksesan dan mau mengambil risiko pada suatu kegiatan.
3) Merasakan puas setelah mendapatkan kesuksesan, namun terus berusaha untuk
menjadi yang terbaik.
4) Tidak merasa terganggu oleh kegagalan yang diperolehnya.
Berdasarkan pendapat McClelland, Atkinson dan Birch maka dapat diambil
kesimpulan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi
adalah: Individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab
pribadi atas kegiatan yang dilakukannya. Individu tersebut menyukai umpan balik
sehingga dapat diketahui seberapa baik tugas yang telah dilakukannya serta tidak
menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan individu lain.
Kemudian lebih suka bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya menengah dan
realistis dalam pencapaian tujuannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi juga bersifat inovatif dimana dalam melakukan suatu tugas dilakukan
dengan cara yang berbeda, efektif dan lebih baik dari pada sebelumnya, tidak
terganggu atas kegagalan yang diterimanya, dan puas setelah mengerjakan tugas-
tugasnya sebaik mungkin.
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Sebaliknya, menurut Atkinson dan Feather (dalam Feldman, 1992)
ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah individu yang
termotivasi oleh ketakutan akan kegagalan. Dalam melakukan tugas, individu
tidak memikirkan bahwa dirinya akan mendapatkan kesuksesan, tetapi lebih
terfokus agar suatu tugas yang dilakukannya tidak mendapatkan kegagalan.
Sebagai hasilnya dalam mencari tugas, individu cenderung untuk mengambil
tugas yang mudah sehingga dirinya yakin akan terhindar dari kegagalan atau
mencari tugas yang mudah sehingga dirinya yakin akan terhindar dari kegagalan
atau mencari tugas yang sangat sulit sehingga kegagalan bukanlah hal yang
negatif karena hampir semua individu akan gagal melakukannya. Individu juga
tetap menghindari tugas yang tingkat kesulitannya menengah karena individu
mungkin akan gagal sementara yang lain berhasil (Atkinson & Feather, dalam
Fernald, 1999). Ditambahkan pula menurut Weiner (dalam Bernstein, 1988)
bahwa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah adalah
individu yang apabila dirinya memperoleh kegagalan setelah melakukan tugas
maka individu tersebut cenderung untuk meninggalkan tugasnya dengan segera.
Berdasarkan hasil uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
individu yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah adalah indvidu yang
dalam melakukan tugasnya lebih termotivasi oleh ketakutan akan kegagalan dari
pada ingin mendapatkan keberhasilan sehingga dirinya hanya memilih tugas-tugas
dengan taraf kesulitan yang rendah atau memilih tugas dengan taraf kesulitan
yang sangat tinggi, sehingga kegagalan adalah hal yang wajar. Dan juga apabila
individu memperoleh kegagalan maka dengan segera meninggalkan tugas yang
telah dilakukannya bukan memperbaiki kegagalan sehingga memperoleh
keberhasilan.

2.1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Fernald & Fernald (1999) menungkapkan terdapat 4 faktor yang berpengaruh
terhadap motivasi berprestasi individu yaitu :
1) Keluarga dan Kebudayaan
Motivasi berprestasi mahasiswa dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial
seperti orang tua dan teman (Eastwood, 1983). Sedangkan McClelland (dalam
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Schultz & Schultz, 1994) menyatakan bagaimana orang tua dalam mengasuh
anak mempunyai pengaruh terhadap motivasi berprestasi anak. Kemudian,
kebudayaan pada suatu negara seperti cerita rakyat atau hikayat-hikayat sering
mengandung tema-tema prestasi yang dapat membangkitkan motivasi
rakyatnya (Fernald & Fernald, 1999).
2) Konsep diri
Konsep diri merupakan bagaimana mahasiswa berpikir mengenai dirinya
sendiri. Apabila mahasiswa merasa mampu untuk melakukan sesuatu maka
mahasiswa tersebut akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut, sehingga
mempengaruhi perilakunya.
3) Jenis Kelamin
Prestasi yang tinggi biasanya diidentikkan dengan maskulinitas, sehingga
banyak para wanita belajar tidak maksimal khususnya jika wanita tersebut
berada di antara pria, yang menurut Stein & Bailey sering disebut sebagai
motivasi menghindari kesuksesan (fear of success) (Fernald & Fernald, 1999).
Morgan et al., (1986) menyatakan bahwa banyak perempuan dengan motivasi
berprestasi tinggi namun tidak menampilkan karakteristik berperilaku
layaknya laki-laki. Sprinthal, Sprinthal dan Oja (1994) mengatakan bahwa
perbedaan jenis kelamin pada pria dan wanita lebih disebabkan karena faktor
budaya bukan genetik. Dweck dan Nichollas (dalam Bernstein, et al., 1988)
mengatakan bahwa motivasi berprestasi pada wanita lebih berubah-ubah
dibandingkan dengan pria.
4) Pengakuan dan Prestasi
Individu akan berperilaku untuk bekerja lebih keras apabila dirinya merasa
dipedulikan atau diperhatikan oleh individu lain.

Selain itu dalam setiap motif individu dapat ditemukan dua struktur dasar
yang merupakan faktor-faktor yang menjadi sebab utama motivasi berprestasi
(Monks, 1999) yaitu :
1) Pengharapan akan sukses
Berarti bila ada sesuatu yang baik, yang menyenangkan, atau bernilai maka
individu juga ingin mendapatkan atau mencapainya.
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

2) Ketakutan akan gagal
Berarti bila sesuatu yang tidak enak, tidak menyenangkan atau sukar, maka
individu akan berusaha menghindarinya.

2.1.6. Jenis-Jenis Motivasi Berprestasi
Rohwer (1980) mengemukakan dua jenis motivasi berprestasi yaitu : (a)
motivasi intrinsik berasal dari dorongan untuk bertindak secara efisien dan
kebutuhan secara baik (excellence). Komponen motivasi berpestasi intrinsik
adalah sebagai berikut :
a. Dorongan Ingin tahu
Seseorang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba
setiap tugas yang menantang dan sulit, tetapi mampu untuk di selesaikan.
Sedangkan orang yang tidak mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan
enggan melakukannya. Dorongan untuk menyelesaikan tugas yang sulit ini
mencerminkan dorongan rasa ingin tahu. Dorongan rasa ingin tahu merupakan
aspek motivasi berprestasi intrinsik.
b. Tingkat Aspirasi
Tingkat aspirasi seseorang turut menentukan tingkat motivasi dalam belajar.
Level aspirasi merupakan perkiraan diri mengenai perasaan berhasil atau gagal
dalam melakukan sesuatu. Seseorang yang memerkirakan dirinya berhasil
melakukan suatu tujuan akan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut.
Orientasi keberhasilan dan kegagalan amat penting bagi setiap mahasiswa,
karena mahasiswa memperkirakan hasil yang akan dicapainya (Gibson dan
Chander, 1998).

Selain motivasi intrinsik, juga terdapat (b) motivasi ekstrinsik, motivasi
ekstrinsik ini berkembang dalam kaitan dengan perilaku yang ditujukan untuk
kehidupan sosial.
Adapun ciri-ciri utama motivasi ekstrinsik adalah:
a. Faktor kecemasan dalam berprestasi
Kecemasan sering dikaitkan dengan 3 hal berikut (pengalaman kegagalan,
rangsangan fisik, dan keadaan kognisi) (Syam, 2004). Pengalaman gagal
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

sering mengakibatkan terjadinya tekanan emosi. Akibat kecemasan terhadap
fisik adalah keluarnya keringat yang berlebihan, gangguan fungsi pencernaan.
Sedangkan pengaruh kecemasan terhadap kognisi tampak pada rasa khawatir
terhadap kegagalan, menyalahkan diri sendiri.
b. Standar hasil yang ditetapkan oleh faktor luar.
Penetapan standar keberhasilan dalam motivasi ekstrinsik bukan dari dalam
dirinya, namun ditetapkan oleh orang lain. Individu terdorong berusaha
mencapai standar yang ditetapkan oleh orang lain karena takut kehilangan
perhatian orang lain (Syam, 2004).
c. Self Regulation Succes, karena pengaruh orang lain
Mengulangi tugas-tugas yang gagal dipecahkan, mengerjakan tugas yang lebih
sulit setelah berhasil memecahkan suatu tugas, usaha berhasil ini lebih
didorong oleh orang lain, bukan dirinya

2.2 Pengukuran Motivasi Berprestasi
Untuk mengukur tingkat motivasi berprestasi, dapat digunakan beberapa
macam cara. Menurut King, Morgan, Weisz dan Robinson (dalam Sawitri, 1992)
cara-cara yang digunakan antara lain sebagai berikut :
1) Tes proyeksi. Karakteristik dari tes ini adalah subyek diperlihatkan stimulus
berupa gambar yang ambigu, kemudian subyek diminta untuk
menginterpretasikan gambar-gambar tersebut. Dari interpretasi atau respon
yang diperlihatkan maka dapat dianalisa tingkat motivasi berprestasinya.
2) Pencil and paper questionnaire. Pada tes ini subyek diberikan satu set
kuesioner yang berisikan pertanyaan ataupun pernyataan tertentu untuk
dijawab. Isi dari kuesioner tersebut berhubungan dengan apa yang akan
dilakukan individu atau apa yang lebih suka dilakukan individu dalam situasi
tertentu. Hasil akhir dari tes ini berupa skor, yang dapat menunjukkan tingkat
motivasi berprestasi subyek.
3) Observasi tingkah laku atau tes situasional. Bentuk dari tes ini adalah subyek
berada pada sebuah situasi yang terkondisi. Kemudian peneliti melakukan
pengamatan (observasi) terhadap perilaku yang muncul, dan dapat terlihat
apakah subyek dapat berperilaku sesuai dengan standar yang diminta atau
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

tidak, dan kesesuaian perilaku ini mengacu pada tingkat motivasi
berprestasinya.
4) Analisa karya seni. Pada tes ini subyek diminta untuk membuat suatu karya
seni yang telah ditentukan oleh peneliti. Dari karya seni yang dibuat dan
diperlihatkan oleh subyek, peneliti dapat menginterpretasi dan menganalisis
tingkat motivasi berprestasi subyek berdasarkan norma-norma tertentu.
Pada penelitian ini bentuk alat ukur yang dipergunakan adalah pencil and
paper questionnaire. Karena selain lebih hemat waktu dan biaya, administrasinya
pun lebih mudah dibandingkan dengan cara-cara pengukuran motivasi berprestasi
yang lain. Kuesioner untuk mengukur motivasi berprestasi dalam penelitian ini
berbentuk skala tipe Likert dan item-itemnya pun disesuaikan dengan konteks
kehidupan akademis mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia. Adapun
dimensi-dimensi dari motivasi berprestasi yang diukur adalah (pemilihan tugas,
kebutuhan akan umpan balik, ketangguhan dalam mengerjakan tugas,
pengambilan tanggung jawab, penambahan usaha-usaha tertentu, prestasi yang
diraih, kepuasan dalam mengerjakan tugas, kreatif dan inovatif, dan ketakutan
akan kegagalan).

2.3 Prokrastinasi Akademis
2.3.1. Pengertian Umum
Prokrastinasi pada dasarnya dapat terjadi di setiap aktivitas kehidupan
manusia. Beberapa individu menganggap prokrastinasi sebagai suatu masalah
yang sulit dihilangkan, namun bagi individu yang lain, prokrastinasi dapat
digunakan sebagai suatu cara untuk mengerjakan sesuatu. Untuk memahami
prokrastinasi secara umum, berikut terdapat beberapa definisi prokrastinasi dari
para ahli, antara lain :
Procrastination adalah :
as the act of needlessly delaying task to the point of experiencing subjectif
discomfort
(Solomon & Rothblum, 1984)

Irrational tendency to delaying thing that should be done
(Lay, 1986)
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia


To voluntarily delay an intended course of action despite expecting to be
worse off for the delay
(Steel, 2005)
Dari definisi yang dijabarkan oleh para ahli tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa prokrastinasi secara umum merupakan tingkah laku menunda
yang dilakukan oleh individu terhadap sesuatu aktivitas yang harus dilakukannya,
tingkah laku menunda tersebut dapat berupa penundaan dalam memulai atau
untuk menyelesaikan aktivitas
Penundaan yang dilakukan sebenarnya tidak perlu terjadi. Melalui hal
tersebut, mereka mencoba mengatakan bahwa prokrastinasi adalah tingkahlaku
yang dilakukan untuk menghindari sesuatu, dan bukan tingkahlaku yang terjadi
dikarenakan tidak tersedianya waktu. Penundaan ini telah menjadi suatu kebiasaan
yang dilakukan individu tersebut. Kebiasaan tesebut dapat berarti ada faktor-
faktor dalam diri individu yang mendorongnya untuk melakukan prokrastinasi.
Hal ini menunjukkan adanya konsistensi dari individu untuk melakukan
prokratinasi atas alasan tertentu.
Berdasarkan alasan-alasan tertentu tersebut, Harriott dan Ferrari (1996)
membagi prokrastinasi menjadi dua bagian yaitu :
a) functional procrastination, yaitu penundaan mengerjakan tugas yang
bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dan akurat.
b) disfunctional procrastination, yaitu penundaan yang tidak bertujuan, berakibat
jelek dan menimbulkan masalah.

Dari disfunctional procrastination, Ferarri (1996) membagi kembali menjadi
dua bentuk prokrastinasi berdasarkan tujuan individu melakukan prokrastinasi
yaitu decisional procrastination dan avoidance procrastination.
a) Decisional procrastination adalah suatu penundaan dalam mengambil
keputusan. Bentuk prokrastinasi ini merupakan sebuah anteseden kognitif
dalam menunda untuk mulai melakukan suatu kerja dalam menghadapi situasi
yang dipersepsikan penuh stress (Ferrari, 1996). Jenis prokrastinasi ini terjadi
akibat kegagalan dalam mengindentifikasikan tugas, yang kemudian
menimbulkan konflik dalam diri individu, sehingga akhirnya seorang
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

menunda untuk memutuskan masalah. Decisional procrastination
berhubungan dengan kelupaan, kegagalan proses kognitif, akan tetapi tidak
berkaitan dengan kurangnya tingkat intelegensi seseorang (Ferrari, 1996).
b) Avoidance procrastination atau Behavioral procrastination adalah suatu
penundaan dalam perilaku yang terlihat. Penundaan dilakukan sebagai suatu
cara untuk menghindari tugas yang dirasa tidak menyenangkan dan sulit untuk
dilakukan. Prokrastinasi dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam
menyelesaikan pekerjaan yang akan datang. Avoidance procrastination
berhubungan dengan tipe self presentation, keinginan untuk menjauhkan diri
dari tugas yang menantang, dan impulsiveness (Ferrari, 1996).

Dengan demikian, dari berbagai pendapat para ahli di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian prokrastinasi dapat didefinisikan sebagai suatu
penundaan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang, dengan melakukan
aktivitas lain yang tidak diperlukan dalam pengerjaan tugas. Prokrastinasi dapat
dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan alasan dari penundaan, yaitu
prokrastinasi yang disfungsional, yang merupakan penundaan yang tidak
bertujuan dan merugikan dan functional procrastination, yaitu penundaan yang
disertai alasan yang kuat, mempunyai tujuan pasti sehingga tidak merugikan,
bahkan berguna untuk melakukan suatu upaya konstruktif agar suatu tugas dapat
diselesaikan dengan baik. Pada akhirnya dalam penelitian ini, pengertian
prokrastinasi dibatasi sebagai suatu penundaan yang dilakukan secara sengaja dan
berulang-ulang, dengan melakukan aktivitas lain yang tidak diperlukan dalam
pengerjaan tugas, dengan jenis disfunctional procrastination, yaitu penundaan
yang dilakukan pada tugas yang penting, penundaan tersebut tidak bertujuan, dan
bisa menimbulkan akibat yang negatif baik yang kategori decisional
procrastination atau avoidance procrastination.
Dalam ruang lingkup akademis, menurut Lee (2005) prokrastinasi adalah
salah satu perilaku yang sering muncul pada area akademis, dan mungkin
berhubungan dengan masalah yang dihadapi oleh banyak mahasiswa. Solomon
dan Rothblum (1984) menunjukkan bahwa mahasiswa yang sering melakukan
prokrastinasi percaya bahwa kecenderungan mereka untuk prokrastinasi secara
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

signifikan berdampak pada akademis mereka, kemampuan untuk menguasai
materi kuliah, dan kualitas hidup mereka. Solomon et al., (1986) juga
mengusulkan bahwa prokrastinasi mungkin merugikan unjuk kerja akademis,
kemungkinan mengarah pada pengunduran diri dan rendahnya nilai akademis.
Wesley (1994) mendukung penemuan ini dengan menunjukkan bahwa
prokrastinasi merupakan prediktor negatif dari nilai rata-rata mahasiswa.
Oleh karena banyaknya masalah prokrastinasi yang timbul dalam
lingkungan akademis, maka dalam penelitian ini akan lebih berfokus prokrastinasi
yang terjadi dalam lingkungan akademis, atau dapat disebut dengan prokrastinasi
akademis. Lingkungan akademis merupakan salah satu area kehidupan manusia
yang menjadi fokus penelitian, prokrastinasi, selain lingkungan kerja (McCown &
Roberts, 1994 dalam Pychyl, 2001). Pemahaman mengenai prokrastinasi
akademis secara garis besar tidak berbeda jauh dengan pemahaman prokrastinasi
yang telah disampaikan sebelumnya. Berikut adalah beberapa definisi
prokrastinasi akademis yang dijabarkan oleh beberapa ahli, antara lain.
Academic procrastination adalah :
the delay ini the start of task and/or the failure to complete the task at
hand
(Ferrari & Scher, 2000)

the tendency to delay or avoid work of school assignments and studying
(Milgram, Batori & Mowrer, 1993, dalam Pychyl, 2001).

delaying task that correlate with study, work or finished academic
assignments
(Rothblum, Solomon, & Murakami, 1986).

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, prokrastinasi
akademis menitikberatkan pada penundaan tugas-tugas akademis termasuk
kegiatan belajar. Adapun pengertian dari prokrastinasi itu sendiri tetap sebagai
tingkah laku untuk menunda atau menghindar, yang merupakan tingkah laku yang
dilakukan individu dan juga disebutkan telah berkembang menjadi kebiasaan.
Sehingga dengan kata lain, prokrastinasi akademis merupakan tingkah laku
menunda untuk memulai atau menyelesaikan suatu tugas akademis.
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Prokrastinasi umumnya terjadi pada lingkungan akademis. Ellis dan
Knaus (1977) memperkirakan bahwa 95% mahasiswa Amerika terlibat
prokrastinasi. Dalam survey Solomon dan Rothblum (1984), 50% dari siswa
melakukan prokrastinasi pada tugas akademis, dan 38% siswa diperkirakan
memiliki kecenderungan prokrastinasi. Prokrastinasi juga terjadi pada tugas
tertulis dibandingkan ujian semester atau tugas mingguan (Vallerand, 1995).
Prokrastinasi akademis telah diketahui sebagai suatu masalah bagi para
mahasiswa di perguruan tinggi (Ellis & Knaus, 1979; Hill, Hill, Chabot, & Barall,
1978; Solomon & Rothblum, 1984), dan masalah ini menjadi pemikiran utama
bagi banyak penelitian dibandingkan penelitian mengenai prokrastinasi di bidang
lainnya seperti decisional, neurotic dan life routine procrastination (Milgram,
Gehram, & Keinan, 1992; Milgram & Toubiana, 1999).
Berdasarkan uraian diatas, maka definisi prokrastinasi akademis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tingkah laku menunda yang dilakukan oleh
mahasiswa dalam mengerjakan ataupun menyelesaikan tugas-tugas akademis dan
melibatkan tingkat motivasi tertentu.

2.3.2. Teori-Teori Prokrastinasi
Dalam subbab ini akan dibahas mengenai perpekstif teoritis mengenai
prokrastinasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Antara lain :
A. Teori Magnetik
Bernard (dalam Yulistia, 2004) menggunakan istilah magnetik untuk
menandakan adanya suatu ciri yang khas dari tingkah laku prokrastinasi. Hal ini
dapat diilustrasikan sebagai gaya tarik-menarik antar magnet. Individu yang
seharusnya mengerjakan tugas, tiba-tiba mendapat gaya tarik dari magnet tertentu
(dalam hal ini aktivitas lain) sehingga ia menjauhi tugas yang seharusnya
dikerjakan dan justru mengikuti aktivitas lain yang tidak berhubungan sehingga
pada akhirnya tugas utamanya tidak terselesaikan.
Bernard (1991) mengemukakan sepuluh faktor yang bertindak sebagai magnet
yang mempengaruhi munculnya prokrastinasi. Faktor-faktor tersebut adalah (1)
kecemasan, (2) self-depreciation, (3) toleransi yang rendah terhadap tugas (low
discomfort tolerance), (4) mencari kesenangan (pleasure seeking), (5)
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

disorganisasi waktu, (6) disorganisasi lingkungan, (7) pendekatan yang
kurang baik terhadap tugas (poor task approach), (8) perilaku asertif yang rendah,
(9) antipati terhadap individu lain, serta (10) stres dan kelelahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya prokrastinasi berbeda-beda
untuk tiap individu. Individu dapat melakukan prokrastinasi satu faktor saja
ataupun lebih dari satu faktor. Faktor manapun yang dimiliki individu, faktor
tersebut menarik individu untuk menjauhi tugas yang dituju dan disaat bersamaan
mendatangi tugas lain yang lebih menyenangkan. Hal ini membuat tugas yang
hendak dikerjakan pada awalnya menjadi tertunda, dan terjadilah prokrastinasi.
Bernard (1991) juga mengatakan bahwa ada individu tertentu yang
memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan prokrastinasi. Hal ini
menurutnya disebabkan oleh ada suatu karakteristik kepribadian tertentu yang
dimiliki individu tersebut yang mendorongnya untuk melakukan prokrastinasi.

B. Teori Ketakutan Dasar
Burka & Yuen (1983) mengatakan bahwa prokrastinasi digunakan sebagai
strategi untuk melindungi dari ketakutan-ketakutan yang mendasar akan ancaman-
ancaman. Adapun ketakutan dasar (basic fears) tersebut terdiri dari lima jenis,
yaitu fear of failure, fear of success, fear of losing the battle, fear of attachment,
dan fear of separation. Adapun jenis ketakutan dasar yang dimiliki individu, akan
membuatnya merasa aman dengan menunda hal-hal tersebut. Prokrastinasi
menjadi salah satu cara yang dianggap individu tersebut cukup ampuh untuk
menjaga harga dirinya. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai ketakutan
dasar tersebut.
a) Fear of Failure
Fear of Failure dapat diartikan sebagai adanya kekhawatiran yang berlebihan
terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan. Faktor ini melibatkan adanya
faktor kognitif seperti berpikir bahwa tidak melakukan sesuatu adalah lebih
baik (lebih tidak menyakitkan) daripada melakukan dan gagal; adanya harapan
yang terlalu tinggi pada dirinya sehingga khawatir akan kemungkinan tidak
dapat memenuhi harapan tersebut, dan lebih baik tidak melakukan daripada
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

membiarkan individu lain tahu akan kekurangan dirinya (Burka & Yuen,
1983).
b) Fear of success
Berlawanan dengan faktor sebelumnya, fear of success adalah adanya
ketakutan akan akibat yang mungkin didapat dari keberhasilan yang dicapai.
Faktor ini melibatkan hal-hal seperti khawatir bahwa sukses akan
mendatangkan tuntutan yang lebih besar, khawatir akan dijauhi teman-teman
apabila berhasil ataupun akan menyakiti individu lain, merasa tidak pantas
mendapatkan keberhasilan, menganggap dirinya sempurna namun merasa
bersalah akan hal itu.
c) Fear of losing the battle
Fear of losing the battle dapat diartikan sebagai adanya suatu kekhawatiran
yang berlebihan akan kehilangan kontrol terhadap dirinya. Hal-hal yang
ditentukan oleh individu lain (seperti batas waktu, aturan-aturan) dilihat
sebagai suatu usaha menghilangkan kontrol tersebut.
d) Fear of attachment
Untuk kedua faktor yang terakhir ini lebih berkaitan dengan comfort zone
(Burka & Yuen, 1983). Fear of attachment menunjukkan adanya
kekhawatiran akan menjadi terkungkung, terbatasi apabila individu
membiarkan individu lain menjalin hubungan yang dekat dengannya.
e) Fear of separation
Fear of separation adalah dimana individu merasa terlalu khawatir akan
menjadi sendirian (Burka & Yuen, 1983). Prokrastinasi memberikan indikasi
pada individu lain bahwa individu membutuhkan bantuan. Mahasiswa,
misalnya, menunda kelulusan karena tidak ingin meninggalkan statusnya dan
mempertahankan perlindungan dari fakultas dan dosen, atau sulit membuat
keputusan walau sudah mendapatkan banyak saran dan informasi.

Selanjutnya secara khusus mengenai fear of failure, terdapat beberapa
penelitian lain yang menunjukkan hubungannya dengan prokrastinasi, terutama
dalam hal ini prokrastinasi akademis. Solomon & Rothblum (1984) menemukan
bahwa salah satu alasan utama mahasiswa melakukan prokrastinasi adalah
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

dikarenakan adanya fear of failure selain juga faktor fear of aversiveness.
Pada kedua faktor tersebut ada perbedaan individual yang muncul, yaitu pada
mahasiswa yang mempunyai fear of failure terdapat kepercayaan diri yang rendah
disertai dengan kecemasan yang tinggi. Selain itu, Entwistle (1989, dalam
Suardhika 1990) yang mengatakan bahwa pada mahasiswa yang memiliki
kecenderungan fear of failure yang tinggi akan menggunakan pendekatan surface
dalam belajar, yang berarti hanya memfokuskan diri pada menghafal materi yang
diasumsikan akan diuji oleh dosen. Sementara pendekatan belajar yang
diharapkan untuk dikembangkan mahasiswa adalah mendapatkan pemahaman
yang mendalam dan menyeluruh akan materi yang disampaikan.
Hal lain yang berhubungan dengan fear of failure adalah perfeksionisme
(Burka & Yuen, 1983). Pada diri individu ada harapan yang besar terhadap
dirinya, sehingga menuntut dirinya untuk selalu sempurna, tidak membuat
kesalahan. Prokrastinasi dapat dilakukan untk menghindari kenyataan bahwa
individu mungkin tidak selalu sempurna. Sehubungan dengan itu, Rusmaladi
(1999) melakukan penelitian untuk melihat gambaran prokrastinasi di lingkungan
akademis. Ia menemukan bahwa pada sebagian besar mahasiswa yang melakukan
prokrastinasi memiliki kecenderungan perfeksionisme dalam diri mereka.

2.3.3 Penyebab Prokrastinasi
Penyebab dari prokrastinasi cukup kompleks dan sejauh ini belum
dipahami pahami sepenuhnya. Namun, teori yang dikembangkan oleh Steel
(2007) mencoba untuk merangkum beberapa faktor penyebab dari prokrastinasi
yaitu :
a) Seberapa pentingnya tugas tersebut bagi individu
b) Keinginan atau ketertarikan tugas tersebut bagi individu
c) Keinginan seseorang untuk menunda
d) Waktu yang tersedia dalam mengerjakan tugas




Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Berikut adalah ilustrasi dari penyebab prokrastinasi.
Gambar 2.1 Penyebab prokrastinasi








Dari keempat faktor tersebut, menurut Steel (2007) yang paling berperan
dalam mempengaruhi perilaku prokrastinasi adalah faktor keinginan seseorang
untuk menunda. Faktor ini dijabarkan oleh Steel sebagai berikut :

Gambar 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan untuk melakukan
prokrastinasi







Berikut adalah penjelasan dari setiap Faktor :
a) Aversion to the task
Beberapa prokrastinasi akademis berhubungan dengan penghindaran diri
terhadap tugas yang tidak menyenangkan. Mahasiswa bisa saja memiliki
kemampuan untuk mengerjakan, namun tidak berkeinginan untuk segera
memulai atau menyelesaikan tugas akademis tersebut. Karena mahasiswa
tersebut menyadari akan adanya ancaman dari tugas tersebut (seperti akan
menyita waktu, mengeluarkan biaya yang besar untuk mencari data, dll).
b) Worry about failure
Beberapa mahasiswa merasa cemas dengan hasil yang akan diperoleh setelah
mengerjakan tugas akademis. Mereka ingin mendapatkan nilai yang sempurna

Aversion to the task

Worry about failure

Depresion or mood
related

Rebellion
Time management
issue

Impulsiveness
Enjoy working under
pressure

Environmental factors
[
PROKRASTINASI
Tinggi

Pentingnya tugas bagi
individu

Ketertarikan tugas bagi
Rendah

Keinginan untuk
menunda

Waktu yang tersedia
Rendah

Pentingnya tugas bagi
individu

Ketertarikan tugas bagi
Tinggi

Keinginan untuk
menunda

Waktu yang tersedia
Rendah dalam
mengalami
prokrastinasi
Tinggi dalam
mengalami
prokrastinasi

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

dan tidak menginginkan adanya kecacatan dari tugas yang dikerjakan.
Sehingga pada akhirnya mereka menunda untuk menyelesaikan karena selalu
muncul kekhawatiran akan kesempurnaan tugasnya.
c) Depresion or mood related
Faktor ini berhubungan dengan mood, atau dalam beberapa kasus berkaitan
dengan depresi yang dialami pelaku prokrastinasi. Dalam kaitannya dengan
mood, individu akan menunda mengerjakan atau menyelesaikan tugas jika
mood-nya belum positif. Jadi selama mood-nya negatif, mereka akan
melakukan prokrastinasi.
d) Rebellion
Merupakan perlawanan atau respon terhadap suatu tugas. Karena tugas
tersebut dirasa tidak adil dalam proporsi, tidak penting dan terlalu banyak
diberikan di satu waktu. Sehingga individu akan melakukan prokrastinasi
sebagai bentuk perlawanan terhadap tugas yang diterimanya.
e) Impulsiveness
Blatt dan Quinn (1967) mengatakan bahwa individu yang impulsif akan
berkecenderungan untuk melakukan prokrastinasi, selama mereka sibuk
dengan yang suatu kejadian pada saat ini, dibandingkan apa yang terjadi di
masa depan. Sehingga perhatian mereka mudah beralih pada apa yang mereka
lihat dari pada tugas yang dikerjakan. Dengan kata lain, individu yang
impulsif mudah sekali ter-distract, mereka akan sulit untuk memfokuskan diri,
yang pada akhirnya berimbas pada tidak selesainya tugas yang dikerjakan.
f) Time management issue
Faktor ini sangat sesuai pada konteks akademis. Misalnya, seorang mahasiswa
yang baru saja memulai aktivitas akademis setelah liburan panjang. Mereka
akan terbiasa dengan aturan waktu yang lebih longgar (tidak ada deadline
tugas) sehingga mempersepsikan waktu dengan santai. Masalah muncul ketika
mereka mendapat suatu tugas akademis, mereka mengalami kesulitan dalam
mengerjakan tugas tersebut (menunda menyelesaikan) karena konteks waktu
mereka lebih longgar, sedangkan tugas tersebut memiliki tenggat waktu untuk
dikumpulkan.

Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

g) Environmental
Pada penelitian Onwuegbuzie dan Jiao (2000) menunjukkan bahwa individu
yang berada pada suatu lingkungan tertentu akan mempengaruhi
kecenderungan prokrastinasinya. Misalnya, ketika berada di dalam
perpustakaan beberapa individu cenderung tidak fokus dengan tugasnya
(mencari teori), namun justru tertarik dengan buku-buku lain yang tidak
berkaitan dengan tugasnya tersebut.
h) Enjoy working under pressure
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat individu yang merasa
senang dan tertantang ketika bekerja dalam tekanan, dalam hal ini adalah
bekerja menjelang batas akhir pengumpulan tugas. Mereka merasa
mendapatkan ide-ide kreatif jika berada dalam tekanan (Tice & Baumister,
1997)
Sedangkan menurut Peterson (1996) prokrastinasi dapat disebabkan oleh
pengalaman hidup individu dari masa anak-anak hingga masa dewasa yang terjadi
berulang-ulang. Siklus prokrastinasi menurut Peterson (1996) antara lain:
a) Sumber penyebab prokrastinasi adalah rasa malu yang tidak disadari, yang
bersumber dari pengalaman awal di selama masa anak-anak. Pengalaman
tersebut diperoleh baik berupa fisiologis maupun psikologis, antara lain seperti
kondisi fisik yang tidak sempurna, pola asuh orang tua yang salah, pengabaian
anak, serta tindak kekerasan termasuk fisik, dan seksual.
b) Rasa malu yang tidak bisa diatasi tersebut akan menimbulkan gejala-gejala
fear suatu rasa takut yang dimbulkan oleh pemikirannya sendiri. Rasa takut
tersebut dapat berupa takut akan kesunyian, takut akan penolakan, takut akan
kegagalan (Fear of failure), takut akan kesuksesan (Fear of Success) dan
menimbulkan kecemasan, depresi, dependable, ketidakberdayaan serta rasa
marah terhadap figur otoritas.
c) Rasa takut yang muncul tersebut dapat mempengaruhi kemampuan individu
untuk menilai dirinya (mampu) sehingga dapat menimbulkan perilaku
prokrastinasi.
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

d) Hasil akhir dari siklus prokrastinasi adalah kekurangan spiritiual dalam
kehidupan, karena individu tidak bisa mempelajari pengalaman dalam
kehidupan secara maksimal.

2.3.4 Tipe-Tipe prokrastinasi
Menurut Peterson (1996) perilaku prokrastinasi dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
a) Prokrastinasi tingkat rendah. Individu dengan tipe ini memiliki kecenderungan
untuk merasa gelisah ketika melakukan penundaan terhadap pekerjaan yang
akan dilaksanakan atau penundaan dalam membuat keputusan. Namun
penundaan yang dilakukan tidak mempengaruhi kualitas pekerjaannya (lebih
mengutamakan hasil akhir dibandingkan proses).
b) Prokrastiansi tingkat sedang. Karakteristik individu dalam tipe ini dicirikan
dengan kualitas pekerjaan yang buruk, penundaan yang dilakukan benar-benar
mempengaruhi hasil akhir pekerjaannya. Biasanya individu ini ditandai
dengan nilai akademis yang rendah dan sering kali mendapat stigma negatif
dari para pengajar (pemalas). Namun prokrastinasi yang dilakukannya tidak
mempengaruhi kualitas hidupnya secara keseluruhan.
c) Prokrastinasi tingkat tinggi. Individu dengan tipe prokrastinasi ini dapat
disebut dengan prokrastinator yang kronis. Dampak penundaan yang
dilakukan tidak hanya mempengaruhi kualitas kerja melainkan juga kualitas
hidupnya. Pola hidup yang tidak teratur, drop out, serta relationship yang
rendah merupakan karakteristik individu dalam tipe ini.

Sedangkan menurut Fiore dan Solomon prokrastinator dapat dibagi menjadi 2
tipe, yaitu :
a) The tense-afraid type of Procrastinator
Tipe ini sering merasakan baik itu tekanan untuk berhasil dan rasa takut akan
kegagalan. Tipe tense afraid dijabarkan oleh Fiore (dalam Van Wyk, 2004)
sebagai :
Merasakan kelelahan karena tekanan
Tidak realistik terhadap waktu
Tidak merasa yakin dengan tujuan yang akan dicapai
Tidak puas dengan hasil yang diperoleh
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Merasa bimbang
Menyalahkan situasi atau orang lain jika terjadi kesalahan
Tidak percaya diri, dan
Merupakan Perfeksionis.
Tipe ini berpikir bahwa usahanya ditentukan oleh apa yang dilakukannya,
yang mencerminkan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, tipe ini akan
mengalami stres berlebih dan bekerja hingga terlepas dari tekanan dengan
mencoba untuk bersantai, namun sayangnya justru menimbulkan rasa
bersalah.
b) The relaxed type of Procrastinator
Tipe prokrastinator yang mencoba menghindari sebanyak mungkin tekanan
dengan menunda untuk memulai mengerjakan tugas, dan melakukan aktivitas
yang menyenangkan atau aktivitas lainnya yang tidak berkaitan dengan
tugas tersebut. Jika mekanisme pertahanan mereka bekerja dengan efektif,
secara aktual mereka terlihat bahagia untuk beberapa saat. Individu dengan
tipe prokrastinator ini lebih menyukai aktivitas yang berhubungan dengan
orang lain (untuk memenuhi kebutuhan emosinya). Misalnya mendapat
perhatian dari peer, kekasih atau orang tua (Solomon & Rothblum, 1984).

2.3.5. Mahasiswa dan prokrastinasi akademis
Dalam konteks akademis, prokrastinasi terlihat sangat mempengaruhi
unjuk kerja mahasiswa. Melalui self-reporting, diketahui 80-95% terlibat dalam
prokrastinasi dalam beberapa tugas akademis (Ellis & Knaus, 1977; OBrien,
2002), dan hampir 50 persen melakukan prokrastinasi akademis secara konsisten,
dan mengarah pada timbulnya masalah (Day, Mensink, & OSullivan, 2000;
Haycock, 1993; Onwuegbuzie, 2000).
Pada mahasiswa, prokrastinasi akademis di asosiasikan dengan rendahnya
nilai akademis dan drop out, penundaan belajar, and penundaan dalam
menyelesaikan tugas kuliah (Beswick, Rothblum, & Mann, 1988; Lay & Burns,
1991; Rothblum et al., 1986). Prokrastinasi akademis dapat didefinisikan sebagai
kecenderungan irasional untuk menunda dalam memulai atau menyelesaikan
suatu tugas akademis (Senecal, Julien & Guay, 2003).
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Mahasiswa mungkin memiliki keinginan untuk melakukan aktivitas
akademis sesuai harapannya atau waktu yang ditentukan, namun kehilangan
motivasi untuk melakukannya (Ferrari, 1998; Lay, 1986, 1995). Prokrastinasi
akademis diasosiasikan dengan rendahnya unjuk kerja akademis (Beswick et al.,
1988; Tice & Baumeister, 1997), depression (Sadler & Sacks, 1993), kesedihan
(Lay, 1995), rendahnya ketepatan waktu, kesulitan dalam mengikuti arahan (Lay,
1986; Rothblum, et al., 1986; Solomon & Rothblum, 1984), dan meningkatnya
masalah kesehatan seiring dengan mendekatnya tenggat waktu tugas akademis
(Tice & Baumeister, 1997). Beberapa alasan mahasiswa untuk melakukan
prokrastinasi antara lain berkaitan dengan task aversiveness dan fear of failure
(Solomon & Rothblum, 1984).
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa prokrastinasi akademis dapat
bermula dari rendahnya usaha pada tugas (Sadler & Buley,1999), rendahnya self-
effifacy (Haycock et al., 1998), rendahnya task capability (Milgram, Marshevsky,
& Sadeh, 1995), tingginya kecemasan unjuk kerja (Ferrari, 1991a; Flett, Hewitt,
& Martin, 1995; Milgram & Toubiana, 1999; Solomon & Rothblum, 1984), dan
non self-determined motivasi akademis (Senecal et al., 1995). Sebagai tambahan,
prokrastinasi akademis dapat dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seperti
sebagai sifat prokrastinasi, yang secara sosial ditentukan oleh perfeksionis (Sadler
& Sacks, 1993), peduli pada kesan baik publik (Ferrari, 1991b) dan tingkat
kesadaran yang rendah (Schouwenburg & Lay, 1995).
Prokrastinasi telah menjadi fenomena yang umum di masyarakat luas,
yang secara kronis terjadi pada sebagian besar orang dewasa begitu pula pada para
mahasiswa (Blunt & Pychyl, 1998; Hariot & Ferrari 1996). Sehingga dapat
dikatakan bahwa prokrastinasi merupakan konsekuensi yang cukup serius bagi
mahasiswa, dimana dalam kehidupan mahasiswa dapat dikarakteristikan dengan
banyaknya tugas yang dikerjakan pada tenggat waktu.
Kemudian, pada beberapa penelitian yang mencoba melihat hubungan
antara mahasiswa dengan tugas-tugas akademis ditemukan bahwa mahasiswa
secara konsisten mempergunakan pendekatan tertentu dalam belajar, yang
dipengaruhi oleh aspek dari perguruan tinggi serta aspek diri mahasiswa sendiri.
Seperti Rahardi (2001) menemukan bahwa pada mahasiswa, khususnya di
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, cenderung menggunakan
pendekatan belajar deep, yaitu selalu berusaha untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam. Adanya pembatasan dalam waktu belajar ataupun pengerjaan
tugas mengarahkan mahasiswa untuk menggunakan surface approach dalam
belajar, yang berarti mahasiswa tidak berusaha untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam dari materi yang dipelajari (Biggs, 1987 dalam Rahadi, 2001).
Persepsi mahasiswa juga mempengaruhi orientasi belajar yang
dikembangkan mahasiswa (Entwistle, 1989). Suardhika (1990) menemukan aspek
perguruan tinggi yang merupakan faktor utama dalam mempengaruhi orientasi
belajar mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia adalah persepsi
terhadap beban kuliah dibandingkan dengan aspek perguruan tinggi lainnya (cara
pengajaran, kebebasan dalam belajar, hal yang ditekankan dalam ujian, dan situasi
yang kompetitif).
Menurut Milgram dan Toubiana (1999) secara akademis dalam menjalani
perkuliahan seorang mahasiswa akan terlibat kedalam tiga hal utama yaitu (1)
pekerjaan rumah : seperti tugas yang harus dikerjakan di rumah baik individual
maupun kelompok, atau tugas membaca untuk persiapan presentasi kelas. (2)
pelaksanaan Ujian : ujian tertulis yang dilaksanakan secara periodik (UTS atau
UAS) maupun kuis yang dilaksanakan secara random. (3) makalah : membaca,
menelaah teori, membuat laporan penelitian. Berdasarkan sering atau jarangnya
ketiga hal utama diatas diberikan kepada mahasiswa dapat mempengaruhi
kecenderungan mahasiswa untuk melakukan perilaku prokrastinasi (Milgram &
Toubiana, 1999). Menurut hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin
sering suatu tugas atau ujian diberikan maka akan semakin mengurangi
kecenderungan berperilaku prokrastinasi akademis, dan sebaliknya semakin
jarang justru akan memunculkan perilaku tersebut.
Solomon dan Rothblum (1984) juga menemukan bahwa tugas-tugas
akdemis yang paling sering di prokrastinasi adalah menulis makalah, tugas
membaca dan belajar untuk menghadapi ujian. Hal ini sesuai dengan pengalaman
peneliti selama berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Bahwa
banyak rekan-rekan mahasiswa sering menunda mengumpulkan tugas, khususnya
tugas makalah baik itu individu maupun kelompok. Begitu pula dalam belajar
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

menghadapi ujian dan tugas membaca, sering kali mahasiswa Fakultas
Psikologi menerapkan metode belajar SKS (sistem kebut semalam/sejam).
Disisi lain, Ferrari et al., (1998) berpendapat bahwa pada universitas yang
memiliki tingkat selektivitas tinggi, mahasiswanya cenderung memiliki
karakteristik overachiver. Overachiever berhubungan dengan self-esteem yang
rendah, adanya kecenderungan tinggi selfhandicapping, serta menarik diri dari
beberapa tugas (Olafson et al., 1995 dalam Ferrari et al., 1998). Hal ini bukan
tidak mungkin terjadi juga pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Karena untuk dapat mengikuti pendidikan di fakultas ini, calon
mahasiswa diharuskan mengikuti seleksi dalam taraf nasional (SPMB-Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru) sehingga dengan tingkat persaingan yang tinggi ini,
akan memunculkan mahasiswa yang overachiever (Ferrari, Keane, Wolfe dan
Beck, 1998)
Selanjutnya, adanya karakteristik tertentu yang dimiliki oleh tugas-tugas
akademis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan tingkah
laku prokrastinasi pada mahasiswa. Prokrastinator menghindari kegiatan yang
akan memunculkan informasi mengenai kemampuan mereka yang sebenarnya,
dan dalam bidang akademis, prokrastinator lebih memilih tugas yang mudah,
tidak terlalu menantang, dan menyenangkan (Ferarri & Scher, 2000). Juga
dikatakan tugas yang dianggap membosankan, tidak menyenangkan, sulit untuk
tidak ditunda pengerjaannya oleh mahasiswa (Milgram et al., 1993 dalam Ferrari
et al., 1998).
Dikatakan bahwa mahasiswa yang mempunyai manajemen waktu yang
baik akan selalu mempunyai batas akhir dalam setiap pengerjaan tugasnya (Martin
& Osborne, 1989). Dengan kemampuan menentukan prioritas yang baik, akan
membantu mahasiswa untuk menyeleksi, memutuskan dan melaksanakan tugas-
tugas yang harus didahulukan, sehingga dapat memenuhi tuntutan tugas yang ada.
Berkaitan dengan masalah pengaturan prioritas tugas dan pembagian waktu,
ditemukan pula adanya kecenderungan prokrastinasi akademis yang luas di
kalangan mahasiswa. Kecenderungan prokrastinasi akademis tersebut dikatakan
memerlukan intervensi yang lebih mendalam dari pendekatan manajemen waktu
saja (Ferrari et al., 1998)
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

2.3.6 Ciri-ciri Prokrastinasi Akademis
Ferrari dkk., (1995) mengatakan bahwa sebagai suatu perilaku penundaan,
prokrastinasi akademis dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang
dapat diukur dan diamati ciri-ciri tertentu berupa:
a) Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang
dihadapi. Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang
dihadapinya harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya, akan tetapi
dia menunda-nunda untuk mulai mengerjakannya atau menunda-nunda untuk
menyelesaikan sampai tuntas jika dia sudah mulai mengerjakan sebelumnya.
b) Keterlambatan dalam mengerjakan tugas. Orang yang melakukan
prokrastinasi memerlukan waktu yang lebih lama daripada waktu yang
dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan suatu tugas. Seorang
prokratinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk mempersiapkan
diri secara berlebihan, maupun melakukan hal-hal yang tidak dibutuhkan
dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa memperhitungkan keterbatasan waktu
yang dimilikinya. Kadang-kadang tindakan tersebut mengakibatkan seseorang
tidak berhasil menyelesaikan tugasnya secara memadai. Kelambanan, dalam
arti lambannya kerja seseorang dalam melakukan suatu tugas dapat menjadi
ciri yang utama dalam prokrastinasi akademis.
c) Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual. Seorang prokrastinator
mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batas waktu
yang telah ditentukan sebelumnya. Seorang prokrastinator sering mengalami
keterlambatan dalam memenuhi deadline yang telah ditentukan, baik oleh
orang lain maupun rencana-rencana yang telah dia tentukan sendiri. Seseorang
mungkin telah merencanakan untuk mulai mengerjakan tugas pada waktu
yang telah ia tentukan sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk
mulai mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri, akan
tetapi ketika saatnya tiba dia tidak juga melakukannya sesuai dengan apa yang
telah direncanakan, sehingga menyebabkan keterlambatan maupun kegagalan
untuk menyelesaikan tugas secara memadai.
d) Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan tugas
yang harus dikerjakan. Seorang prokrastinator dengan sengaja tidak segera
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

melakukan tugasnya, akan tetapi menggunakan waktu yang dia miliki
untuk melakukan aktivitas lain yang dipandang lebih menyenangkan dan
mendatangkan hiburan, seperti membaca (koran, majalah, atau buku cerita
lainnya), nonton, ngobrol, jalan, mendengarkan musik, dan sebagainya,
sehingga menyita waktu yang dia miliki untuk mengerjakan tugas yang harus
diselesaikannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri prokrastinasi akademis adalah
penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang
dihadapi, keterlambatan dalam mengerjakan tugas, kesenjangan waktu antara
rencana dan kinerja aktual dan melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan
daripada melakukan tugas yang harus dikerjakan.

2.4 Pengukuran Prokrastinasi Akademis
Beberapa teori yang telah dipaparkan sebelumnya menyebutkan sejumlah
faktor yang dapat melatarbelakangi prokrastinasi. Secara garis besar, faktor-
faktor tersebut terdiri atas faktor afektif, kognitif serta tingkahlaku. Ketiga faktor
ini akan disertakan dalam penelitian ini. Mahasiswa yang menjadi subyek dari
penelitian ini akan diminta untuk mengsisi sebuah kuesioner yang berisi sejumlah
pertanyaan mengeani frekuensinya melakukan prokrastinasi, sejauh mana
tingkahlaku tersebut di danggap mengganggu dan pernyataan-pernyataan
mengenai kemungkinan menjadi alasan yang mendorongnya untuk melakukan
prokrastinasi akademis. Dalam hal ini teknik pengukuran yang digunakan adalah
berupa self-report questionnaire.
Kuesioner memiliki beberapa kelebihan, sehingga merupakan teknik yang
umum digunakan dalam mengukur prokrastinasi akademis. Kelebihan tersebut
adalah kemudahanya untuk diadministrasikan kepada sejumlah besar individu
dalam waktu yang relatif singkat. Model kuesioner yang digunakan adalah dengan
metode skala likert. Dengan metode ini, subyek diminta untuk menentukan dalam
rentang kontinum tertentu sejauh mana kecenderungannya melakukan
prokrastinasi. Instrumen yang menggunakan metode ini diantaranya adalah Form
G Procrastination Inventory yang dikembangkan oleh Haycock et al., (1998),
Tuckman Procrastination Scale yang dikembangkan oleh Tuckman (1989), dan
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Procrastination Assessment Scale-Student (PASS) yang dikembangkan oleh
Solomon & Rothblum (1984). Instrumen-instrumen tersebut berisi sejumlah
pernyataan-pernyataan yang menggambarkan tingkah laku prokrastinasi seperti
saya menunda mengerjakan yang lebih sulit, saya memilih untuk melakukan
kegiatan lain yang lebih menyenangkan.
Teknik lain dalam mengukur prokrastinasi adalah dengan menggunakan
pengukuran tingkahlaku saja. Seperti pada penelitian Blatt dan Quinlan (1967,
dalam Solomon & Rothblum, 1984), digunakan pengukuran tingkahlaku jangka
waktu pengembalian kuesioner survei berdasarkan batas waktu tertentu. Pada
penelitian lainnya digunakan pengukuran cepat atau lambatnya penyelesaian
persyaratan-persyaratan kuliah (Dosset et al., 1980 dalam Solomon & Rothblum,
1984).
Rothblum et al., (1986, p. 387) mendifinisikan prokrastinasi akademis
sebagai kecenderungan untuk (a) selalu atau hampir selalu untuk menunda tugas
akademis, dan (b) selalu atau hampir selalu mengalami masalah kecemasan yang
diasosiasikan dengan prokrastinasi ini. Mereka mengatakan bahwa prokrastinasi
akademis dapat diukur secara langsung melalui kuesioner self reports. Self reports
dirasa cukup reliabel dan penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan
yang positif dengan perilaku aktual prokrastinasi, Self reports ini dapat berupa
bentuk pernyataan tertulis (Beswick et al., 1988; Rothblum et al., 1986: Solomon
& Rothblum, 1984).
Kemudian Solomon dan Rothblum (1984) mengembangkan
Procrastination Assessment Scale-Student (PASS) untuk mengukur frekuensi
kognitif-behavioral dari prokrastinasi akademis. PASS memiliki dua bagian. Pada
bagian pertama mengukur kecenderungan prokrastinasi dalam enam area
akademis (a) writing a term paper (mengerjakan tugas makalah), (b) Studying for
an exam (belajar untuk ujian), (c) Keeping up with weekly reading assignments
(tugas membaca mingguan), (d) performing administrative tasks (tugas
adminstratif), (e) attending tasks (menghadiri rapat), dan (f) performing academic
tasks in general (tugas akademis secara umum). PASS menggunakan skala likert
dengan rentang nilai 5 poin untuk menilai seberapa jauh kecenderungan individu
melakukan prokrastinasi pada tiap tiap area akademis (1= tidak pernah
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

prokrastinasi; 5=selalu prokrastinasi) dan menilai seberapa jauh prokrastinasi
yang mereka lakukan di tiap area akademis dapat menjadi masalah (1=bukanlah
menjadi suatu masalah; 5=selalu menjadi masalah). Total skor diperoleh dengan
menjumlahkan nilai yang diperoleh (dengan rentang 2-10) pada tiap area
akademis. Sehingga total skor memiliki rentang minimal 12 dan maksimal 60.
Pada bagian kedua dari PASS, mencoba menggambarkan suatu skenario
situasi akademis (menunda mengerjakan makalah individu) dan melihat alasan-
alasan melakukan prokrastinasi pada tugas ini. Alasan-alasan tersebut antara lain
(a) evaluation anxiety (kecemasan akan suatu evaluasi), (b) Perfectionism
(perfeksionis), (c)difficulty making decisions (kesulitan membuat keputusan),
(d)dependency and help seeking (ketergantungan dengan orang lain),
(e)aversiveness of the task dan low frustration tolerance (ancaman dari tugas dan
rendahnya toleransi terhadap frustasi), (f)lack of self-confidence (rendahnya
kepercayaan diri), (g)laziness (kemalasan), (h)lack of assertion (kurangnya
penerimaan diri), (i)fear of success (takut akan keberhasilan), (j)tendency to feel
overmhelmed dan poorly manage time (kecenderungan untuk merasa kelelahan
dan rendahnya pengaturan waktu), (k)rebellion against control (pemberontakan
terhadap aturan yang ada), (l)risk taking (pengambilan risiko), dan (m) peer
influence (pengaruh teman sebaya). PASS pada bagian kedua ini juga
menggunakan skala likert dengan rentang 5 poin yang mengukur kecenderungan
individu dalam melakukan prokrastinasi pada tugas membuat makalah ini. Contoh
dari dua pernyataan perfeksionis adalah anda merasa tidak akan pernah bisa
memenuhi harapan anda sendiri dan anda membuat standar diri yang sangat
tinggi dan anda merasa cemas tidak akan bisa memenuhi standar tersebut
Tujuan dari dikembangkan PASS ini dikarenakan penelitian prokrastinasi
sebelum-sebelumnya hanya melihat aspek dari kebiasan belajar saja. Sedangkan
prokrastinasi melibatkan tidak hanya ketidakmampuan mengatur waktu dan cara
belajar (Burka & Yuen, 1983). Selain itu, pada penelitian-penelitian sebelumnya
juga belum pernah melihat alasan-alasan individu dalam melakukan prokrastinasi.
Penyusunan PASS mempunyai tiga tujuan utama (a) mengukur kecenderungan
prokrastinasi akademis diantara mahasiswa; (b) mengetahui alasan-alasan akan
prokrastinasi akademis dan (c) mengembangkan pengukuran self-report
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

prokrastinasi yang dapat dibandingkan dengan indeks behavioral
prokrastinasi dan pengukuran self report yang telah distandarisasi dari konstruk
pontensial yang berkaitan (seperti kecemasan, kebiasan belajar, depresi, self
esteem, irrational cognition, dan assertion).
Dari proses data normatif PASS diperoleh frekuensi dari kecenderungan
prokrastinasi pada area akademis sebesar 46% untuk tugas menulis makalah,
27,6% pada belajar untuk ujian, dan 30,1% untuk tugas membaca mingguan.
Sedangkan untuk area akademis lainnya sebesar 10.6% untuk tugas administrasi,
23% untuk tugas kehadiran dan tugas akademis secara umum sebesar 10.2%.
Berdasarkan frekuensi prokrastinasi maka dilihat tingkat masalah yang
ditimbulkan dari melakukan prokrastinasi, yaitu 23,7% untuk tugas makalah,
21.2% untuk belajar menghadapi ujian dan 23.7% untuk tugas membaca
mingguan
Analisis faktor dari alasan individu untuk melakukan prokrastinasi
menunjukkan terdapat dua faktor utama. Faktor pertama adalah fear of failure
yang mewakili 49% dari variasi pernyataan. Faktor ini merupakan gabungan dari
evaluation anxiety (kecemasan akan suatu evaluasi), perfeksionisme dan lack of
self confidence (rendahnya kepercayaan diri). Sedangkan faktor kedua
merefleksikan aversiveness of the task dan laziness (ancaman dari tugas dan
kemalasan) yang mewakili 18% dari variasi pernyataan. Faktor ini merupakan
gabungan dari kurangnya energi dan ketidaksukaan terhadap tugas. Dari
perhitungan statistik (varimax rotation) tidak ditemukan lagi variasi alasan-alasan
yang lebih besar dari nilai (1.50). Sehingga analisa faktor menyatakan bahwa fear
of failure dan task aversiveness adalah dua alasan utama dari Prokrastinasi
akademis.

2.5. Hubungan Antara Prokrastinasi Akademis dengan Motivasi Berprestasi
Menurut Ferarri (1998) dan Lay (1986, 1995) Mahasiswa mungkin
memiliki keinginan untuk melakukan suatu aktivitas akademis sesuai harapannya
atau waktu yang telah ditentukan, namun pada akhirnya kehilangan motivasi
untuk melakukannya sehingga mahasiswa tersebut terjebak dalam perilaku
menunda pekerjaan secara akademis atau disebut dengan prokrastinasi akademis.
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Lebih lanjut dalam penelitian Senecal et al., (1995) mengusulkan bahwa
prokrastinasi akademis merupakan masalah motivasi yang melibatkan tidak hanya
rendahnya kemampuan mengatur waktu atau perilaku malas.
Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa mahasiswa
kehilangan motivasi sehingga melakukan prokrastinasi akademis. Namun
pernyataan ini tidak sesuai dengan pendapat Schouwenberg dan Groenewoud
(2001) yang menemukan bahwa mahasiswa yang melakukan perilaku
prokrastinasi akademis tetap memiliki motivasi dengan memotong reward masa
depannya (menyelesaikan tugas dengan segera). Mereka menunda mendapatkan
reward, karena ingin memperoleh manfaat yang lebih luas (menyelesaikan tugas
yang lebih penting) dibandingkan mahasiswa yang tepat waktu.
Dari penelitian Schouwenberg dan Gronewoud tersebut menunjukan
bahwa individu dengan perilaku prokrastinasi tidak kehilangan motivasi.
Pendapat ini didukung oleh Knaus (2000) yang membantah bahwa tidak semua
prokrastinasi mengarah kepada hasil yang negatif. Misalnya, penundaan yang
dihasilkan dari waktu yang dihabiskan untuk perencanaan dan penyiapan
informasi yang penting dapat menjadi menguntungkan (Knaus, 2000). Kemudian,
banyak orang menyatakan bahwa meskipun mereka bekerja pada menit-menit
terakhir, mereka dapat menyelesaikannya tepat waktu dan mereka cenderung
bekerja lebih cepat dan lebih baik atau membangkitkan lebih banyak ide-ide
kreatif dibawah tekanan waktu (Tice & Baumister, 1997). Kemudian Chu dan
Choi (2005) mengidentifikasi dua jenis dari prokrastinasi akademis (aktif dan
pasif) yang menyatakan bahwa prokrastinasi aktif mempengaruhi perilaku yang
berkorelasi positif dengan self-effifacy dan personal outcomes seperti kepuasan
hidup dan higher point average, menghadapi tenggat waktu dengan memusatkan
diri pada tugas dan memanfaatkan tekanan waktu untuk keuntungan dan meraih
pengaruh yang positif. Sedangkan prokrastinasi pasif tidak dapat membuat
keputusan dengan cepat, terpengaruhi oleh perasaan ragu dan tidak kompenten,
serta tidak menggunakan waktunya dengan purposively.
Namun Ferrari et al., (1998) tidak sependapat dengan pernyataan di atas,
meskipun mahasiswa merasa lebih kreatif dan produktif jika bekerja di menit-
menit terakhir, prokrastinasi hanya menghasilkan keuntungan jangka pendek.
Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007
Universitas Indonesia

Prokrastrinator mungkin dapat mengumpulkan tugas akademis dengan tepat
waktu, namun hasil yang diperoleh tidak maksimal. Prokrastrinator justru
menunjukkan performa yang rendah, karena kecenderungan telat untuk memulai,
sehingga prokrastinator tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan
tugas sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki (Ferrari, Johnson, & McCown,
1995).
Berdasarkan teori-teori yang telah ditemukan peneliti telah
mengidentifikasi dua jenis dari motivasi yaitu ekstrinsik dan instrinsik. Kedua
jenis motivasi ini merupakan karateristik dari motivasi berprestasi. Instrinsik
motivasi mengarah kepada motivasi yang timbul akibat dorongan dari dalam.
Sebaliknya, ekstrinsik motivasi merupakan dorongan yang berasal dari luar baik
itu dorongan positif maupun dorongan negatif (Deci & Ryan, 1985). Selanjutnya,
Conti (2000) menyatakan meskipun motivasi ekstrinsik diperlukan untuk
mencegah penundaan tugas, namun partisipan dengan instrinsik motivasi
menghabiskan banyak waktu pada tugasnya dibandingkan partisipan dengan
motivasi ekstrinsik, karena ingin memperoleh kesempurnaan (perfeksionis). Hasil
penelitian sebelumnya menemukan baik itu ekstrinsik motivasi ataupun intrinsik
motivasi memiliki hubungan yang negatif dengan prokrastinasi akademis
(Brownlow & Reasinger, 2000). Jadi dapat dikatakan bahwa jenis motivasi yang
dimiliki seseorang juga akan mempengaruhi prokrastinasi secara negatif, di mana
semakin tinggi motivasi intrinsik (memiliki motivasi berprestasi tinggi) yang
dimiliki individu ketika menghadapi tugas, akan semakin rendah
kecenderungannya untuk prokrastinasi akademis (Briordy, dalam Ferrari, et al.,
1995). Oleh karena itu dalam penelitian ini ingin membuktikan kembali apakah
ada hubungan yang signifikan antara Prokrastinasi Akademis dengan Motivasi
Berprestasi.






Hubungan Antara..., Prima Ema, F.Psi UI, 2007

Anda mungkin juga menyukai