Tifoid
Tifoid
Kehilangan BB = -
LK / U = 53 cm ~ -2 SD s/d +1 SD (Normocephaly)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100 / 70 mmHg
Nadi
: 140 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Nafas
Suhu
KEPALA
RAMBUT
: Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal
WAJAH
MATA
Visus
: tidak dinilai
Ptosis
: -/-
Sklera ikterik
: -/-
Lagofthalmus : -/-
Cekung
: -/-
Exophthalmus
: -/-
Strabismus
: -/-
Lensa jernih
: +/+
Nistagmus
: -/-
Pupil
: bulat, isokor
Refleks cahaya
Cekung
: -/-
TELINGA :
Bentuk
: normotia
Tuli
: -/-
: -/-
: -/-
Liang telinga
: lapang
Membran timpani
: sulit dinilai
Serumen
: -/-
Refleks cahaya
: sulit dinilai
Cairan
: -/-
HIDUNG :
Bentuk
: simetris
: -/-
Sekret
: -/-
Deviasi septum
:-
Mukosa hiperemis
: -/-
BIBIR : Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT : oral hygiene buruk, lidah tifoid (+)
TENGGOROKAN : tidak dapat dinilai
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB,
tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di
tengah
THORAKS :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernafasan
yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal, tidak ada retraksi sela iga, tidak
ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada, roseola spot (-), ictus cordis terlihat
pada ICS V linea midclavicularis kiri, pulsasi abnormal (-)
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri, teraba ictus cordis pada ICS V linea
midclavicularis kiri, denyut kuat
Auskultasi : suara napas vesikuler, reguler, ronchi (-/-), wheezing (-/-), bunyi jantung
I-II reguler, punctum maksimum pada ICS V 1 cm linea midclavicularis kiri, murmur
(-), gallop (-)
ABDOMEN :
Inspeksi : perut rata, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut maupun
benjolan, roseola spot (-), kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-)
Palpasi : supel, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba memebesar, nyeri tekan
(+) di epigastrium, turgor kulit baik
Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, nyeri ketok abdomen (-)
ANOGENITALIA : jenis kelamin laki - laki, tanda radang (-), ulkus (-), sekret (-), fissura
ani (-). Sirkumsisi (-), fimosis (-), parafimosis (-), hipospadi (-), epispadi (-)
KGB :
Preaurikuler
Postaurikuler
Submandibula
Supraclavicula
Axilla
Inguinal
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas
Tangan
Kanan
Kiri
Tonus otot
normotonus
normotonus
Sendi
pasif
pasif
Bicep (+)
Bicep (+)
Tricep (+)
Tricep (+)
Refleks patologis
(-)
(-)
Lain-lain
oedem (-)
oedem (-)
Kaki
Kanan
Kiri
Tonus otot
normotonus
normotonus
Sendi
pasif
pasif
Lain-lain
Patella (+)
Patella (+)
Achilles (+)
Achilles (+)
Babinsky (-)
Babinsky (-)
Chaddock (-)
Chaddock (-)
Gordon (-)
Gordon (-)
oedem (-)
oedem (-)
STATUS NEUROLOGIS
A. Rangsang meningeal
Kaku kuduk
(+)
Kanan
Kiri
Kernig
(+)
(+)
Laseq
(+)
(+)
Bruzinski I
(-)
(-)
Bruzinski II
(-)
(-)
Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Penyakit
Difteria
Diare
Kejang
Morbili
Operasi
Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Penyakit
Penyakit jantung
Penyakit ginjal
Radang paru
TBC
Lain-lain
Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita : OS tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tidak ada
Rutin kontrol ke Puskesmas 1 bulan sekali dan
Tempat persalinan
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
KELAHIRAN
Keadaan bayi
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : 9/10
: Umur 9 bulan
: Umur 4 bulan
Duduk
: Umur 7 bulan
Berdiri
: Umur 11 bulan
Berjalan
: Umur 12 bulan
(Normal: 13 bulan)
Bicara
: Umur 9 bulan
Perkembangan pubertas
Rambut pubis
: belum
Susu
Lain lain
Kesulitan makan : menurut pengakuan ibu, sebelumnya OS tidak sulit makan
Kesimpulan riwayat makanan : pasien tidak sulit, asupan cukup baik. OS sering jajan
sembarangan di pinggir jalan akhir akhir ini
F. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin
BCG
DPT / PT
Dasar ( umur )
2 bulan 2 bulan 4 bulan
Ulangan ( umur )
6 bulan
Polio
0 bulan
2 bulan
4 bulan
Campak
Hepatitis B
0 bulan
1 bulan
9 bulan
6 bulan
Tanggal lahir
(umur)
2 Februari 2000
Jenis
kelamin
Hidup
Lahir
mati
Abortus
Mati
(sebab)
Keterangan
kesehatan
Laki - laki
Sehat
(pasien)
b. Riwayat Pernikahan
Nama
Perkawinan keUmur saat menikah
Pendidikan terakhir
Agama
Suku bangsa
Keadaan kesehatan
Kosanguinitas
Penyakit, bila ada
Ayah / Wali
Tn. S
1
23 tahun
SMP
Islam
Betawi
Sehat
-
Ibu / Wali
Ny. M
1
20 tahun
SMP
Islam
Betawi
Sehat
-
sampah setiap harinya diangkut oleh petugas kebersihan. Tetangga OS ada yang sedang sakit
tipes. Tidak ada tetangga OS yang sedang sakit demam berdarah.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan : Cukup baik
I.
Sedangkan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien penghasilan tersebut
cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sehari-hari pasien diasuh oleh ibunya.
Kesimpulan sosial ekonomi: Cukup baik
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 14 April 2013 jam 07.25 WIB)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit
Kesadaran
: Delirium
Kesan Gizi
: Baik
Keadaan lain
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 45 kg
Lingkar Kepala : 53 cm
Tinggi Badan
: 155 cm
B. Saraf cranialis
- N. I (Olfaktorius)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. II dan III (Opticus dan Occulomotorius)
Pupil bulat isokor 3mm / 3mm, RCL +/+, RCTL +/+
- N. IV dan VI (Trochlearis dan Abducens)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. V (Trigeminus)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Sensorik: cabang oftalmik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
cabang maksilaris: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
cabang mandibularis: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. VII (Facialis)
Wajah simetris
Motorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Sensorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. VIII (Vestibulo-kokhlearis)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. XI (Aksesorius)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. XII (Hipoglosus)
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
KULIT : warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik,
lembab, pengisian kapiler < 2 detik, petechie (-)
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-. Laboratorium
Tanggal 30 April 2013
Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI RUTIN
Hasil
Nilai Normal
Leukosit
9 ribu/L
4,5 - 13
Hemoglobin
14 g/dL
11,8 - 15
Hematokrit
41 %
40 - 52
Trombosit
38* ribu/ L
156 - 406
LED
4 mm/jam
0-10
Eritrosit
5,6 juta/L
4,4 5,9
Basofil
0%
0-1
Eosinofil
0%
1-5
Netrofil batang
0%
3-6
Netrofil segmen
52%
25-60
Limfosit
38 %
25-50
Monosit
5%
1-6
KIMIA DARAH
Gula Darah Sewaktu
135* mg/dL
50-80
Natrium
128* mmol/L
135-155
Kalium
3,3* mmol/L
3,6-5,5
Klorida
98 mmol/L
98-109
ELEKTROLIT
WIDAL/
SALMONELLA HASIL
NILAI NORMAL
TITER
S. Typhi O
1/320*
Negatif
S. Typhi AO
1/160*
Negatif
S. Typhi BO
Negatif
Negatif
S. Typhi OO
Negatif
Negatif
S. Typhi H
1/320*
Negatif
S. Thyphi AH
Negatif
Negatif
S. Typhi BH
Negatif
Negatif
S. Typhi CH
Negatif
Negatif
SGOT
25 mU/dl
<33
SGPT
26 mU/dl
<26
KIMIA KLINIK
HATI
IV. RESUME
OS, An. R, 14 tahun. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat disimpulkan OS
datang dengan delirium sejak 3 hari SMRS. Febris sejak 2 minggu SMRS, vomitus (+), daire
(+), nyeri tekan epigastrium (+). Lidah typhoid (+), hepatomegaly (+), tanda rangsang
meningeal
(+).
Lab:
trombositopenia,
hiperglikemia,
hipokalemia,
hiponatremia,
Feses lengkap
Urin lengkap
Tubex TF
Biakan tinja
Lumbal pungsi
CT scan kepala
CRP
VIII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien
2. Tirah baring
3. O 2 liter per menit
4. Observasi tanda tanda vital
5. Pasang NGT
Medikamentosa
-
Rawat inap
KCL 15 meq
10
IV. PROGNOSIS
Ad Vitam
: dubia ad bonam
Ad Sanationam
: dubia ad bonam
Ad Fungtionam
: dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tgl
1/5/12
S
Demam (+)
O
KU : TSB
A
Meningitis
P
IVFD Kaen 3 B 5 cc/kgB
Demam
Gelisah (+)
KS : Delirium
typhoid
KCL 15 meq
H- 15
Bicara
TD = 100/80
Perawatan
kacau (+)
N =132 x/m,
mg
H-2
RR= 34x/m, S =
Kloramfenikol 4x500 mg
BB: 45 kg
37,6 0 C
CRP
E4 V4 M6
Rantin 3 x 25mg
Lab:
kuantitatif:
Kepala : normosefali
Pasang kateter
H2TL
88mg/dL
Leu:
4,9 ()
rb/uL
Hb:13,1
g/dL
Ht: 38%
Trombo:
54rb/uL
Abd
()
4x/menit
GDT: erit:
normositi
+/++
TRM
normokro
kernig (+)
BU
(+):
(+)
kaku
Leukosit:
kurang;M
orfologi:
normal
Trombosit
11
:kurang;
morgologi
: normal
Kesan:
leukopeni
dan
trombosit
openia
2/5/2013
Demam (+)
KU : TSS
Meningitis
Demam
Gelisah (+)
KS : somnolen
typhoid
H-16
Kejang (-)
TV : TD=100/70, N
Perawatan
H- 3
diajak
BB:45 kg
bicara
IVFD
Asering
cc/KgBB
IVFD Kaen 1 B (450 cc)
30x/m, S = 37,50C
3cc/kgBB/jam
menjawab
Lab
pertanyaan
Inj.
H2TL:
mudah
500mg
Leu:4,3
rb/uL()
Hb:
PCT 300 mg
g/dL ()
Ht:
Abd
mg
10,6
31%
BU
(+)
()
4x/menit
Tromb:51
rb/uL ()
+/++
FL: serat:
Kaku
kuduk
Kloramfenikol
4x
R/ ulang H2TL
(+),
(+)
17/4/13
Demam (-)
Meningitis
Perawatan
Gelisah (-)
KS : CM
typhoid
hari 4
Kejang (-)
TV : TD=106/67 N perbaikan
=108x/m,
+NaCl 3 % (50cc) 3
Demam
IVFD
dengan
Asering
cc/kgBB/jam
H- 17
24x/m, S = 39,3
cc/kgBB/jam
BB: 46 kg
Kepala : normosefali
12
mg n(hr 3)
Inj.Kloramfenikol
4x500 mg (hari 3)
(hari 3)
Inj. Rantin3x 25 mg
Paracetamol
Abd
kgBB
BU
(+)
15
mg/
4x/menit,hipertimpa
ni
mg
kuduk
(+),
4/5/13
Demam (-)
Perawatan
Sakit kepala
TV : TD=126/71 N
5 meq + NaCl 3 %
hari 5
Sakit perut
=116x/m,
3cc/kgbb/jam
Meningits typhoid
=
IVFD Ka En 3B + KCL
Demam
25x/m, S = 370C
H- 17
Kepala : normosefali
24 jam/kolf 20 cc/jam
BB: 45 kg
Inj. Piracetam4x500 mg
Inj. Polisilane 3x 10
Paracetamol 300 mg
Candistin 4x1cc
Abd
BU
(+)
4x/menit
Ext : akral hangat +
+/++
kaku kuduk (+),laseq
(-), kernig(-)
KU : TSB/delirium
6/4//13
Demam (+)
Meningitis
Perawatan
IVFD Ka En 3B + KCL
dengan
5 meq + NaCl 3 %
13
hari 7
(+)
Demam
H-18
(+)
Kepala : normosefali
24 jam/kolf 20 cc/jam
Mulut:
kering,higiene buruk
mg
Inj. Piracetam4x500 mg
Inj. Polisilane 3x 10
Paracetamol 300 mg
Candistin 4x1cc
BB: 46 kg
=116x/m,
Abd
BU
= perbaikan
3cc/kgbb/jam
(+)
4x/menit, NT(+)
Ext : akral hangat +
+/++
kaku kuduk (+),laseq
(-), kernig(-)
KS :TSS/ CM
7/5/13
Demam (+)
Perawatan
20
hari 8
(-)
2cc/kgBB/jam- 56cc/jam
Demam
TRM (+):
Inj. Ceftriakson2x1 gr
H-19
(+)
Kepala : normosefali
(5)
(-)
(5)
BB: 46 kg
=120x/m,
Ensefalopati tifoid
IVFD Ka En 3B
cc
+NaCl
3%
Polisilane 3x 10 cc
38C
Abd
Candistin 4x1 cc
BU
(+)
4x/menit
Piracetam 4 x 500 mg
14
CRT <2
8/5/13
Demam (+)
Perawatan
hari 9
(-)
Demam
H-20
(-)
BB: 46 kg
KS :TSb/somnolen
Meningitis
IVFD Ka En 3B
dengan
20
cc
+NaCl
3%
2cc/kgBB/jam- 56cc/jam
Inj. Ceftriakson2x1 gr
Kepala : normosefali
TRM (+):
- laseq(-), kernig
Polisilane 3x 10 cc
(-),
38C
Candistin 4x1 cc
Abd
BU
(+)
4x/menit
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM
9/5/13
Demam (-)
Perawatan
20
hari 10
(-)
2cc/kgBB/jam- 56cc/jam
Demam
TRM (-):
Ca glukonas 3 gr+ D5
H- 21
(-)
Kepala : normosefali
100cc/24
5cc/jam/ivac
BB: 46 kg
=100x/m,
Meningitis
tifoid
IVFD Ka En 3B
cc
+NaCl
3%
jam
Inj. Ceftriakson2x1 gr
higiene buruk
Besok
NaCl,
elektrolit,
GDS,
Polisilane 3x 10 cc
38C
Candistin 4x1 cc
Abd
Piracetam 4 x 500 mg
BU
(+)
15
4x/menit
Ext : akral dingin +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM
10/5/13
Demam (+)
Perawatan
hari 11
(-)
Demam
H-12
(+)
=100x/m,
Meningitis
IVFD Ka En 3B
dengan
= perbaikan
20
cc
+NaCl
3%
2cc/kgBB/jam- 56cc/jam
Inj. Ceftriakson2x1 gr
Kepala : normosefali
TRM (-):
-Kaku
(-),laseq
kernig (-)
mg
Inj. Mikasin 2x 175 mg
Inj. Ranitidin 4 x500 mg
Polisilane 3x 10 cc
38C
Candistin 4x1 cc
Abd
Piracetam 4 x 500 mg
BU
(+)
4x/menit, NTE(+)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM
12/5/13
Demam (-)
Perawatan
hari 13
(-)
Demam
H-22
(+)
=116x/m,
Meningitis
IVFD Ka En 3B
dengan
= perbaikan
20
cc
+NaCl
3%
2cc/kgBB/jam
Inj. Ceftriakson2x1,4 mg
Kepala : normosefali
TRM (-):
Polisilane 3x 10 cc
38C
(-)
Candistin 4x1 cc
mg
Piracetam 4 x 60 mg
Omeprazol 1x 20 mg
Abd
Betadin kumur
BU
(+)
16
4x/menit, NTE(+)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM
13/5/13
Demam (-)
Perawatan
hari 14
(-)
Demam
H-23
(+)
=90x/m,
Meningitis
RR
IVFD Ka En 3B
dengan
= perbaikan
20
cc
+NaCl
3%
2cc/kgBB/jam
Inj. Ceftriakson2x1,4 mg
Kepala : normosefali
TRM (-):
Polisilane 3x 10 cc
38C
(-)
Candistin 4x1 cc
Piracetam 4 x 60 mg
Omeprazol 2x 20 mg
Betadin kumur
Abd
BU
(+)
4x/menit, NTE(+)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
KS :TSS/ CM
14/5/13
Demam (-)
Perawatan
hari 15
(-)
Demam
H-24
(+)
=100x/m,
Meningitis
IVFD Ka En 3B
dengan
= perbaikan
20
cc
+NaCl
3%
2cc/kgBB/jam
Inj. Ceftriakson2x1,4 mg
Kepala : normosefali
TRM (-):
Polisilane 3x 10 cc
Bebas
demam 3
38C
hari
(-)
Candistin 4x60mg
Omeprazol 2x 20 mg
Betadin kumur
BU
(+)
17
4x/menit, NTE(-)
Ext : akral hangat +
+/++
CRT <2
TINJAUAN PUSTAKA
MENINGITIS TYPHOID
A. Definisi
18
Meningitis thypoid adalah radang akut pada selaput otak yang disebabkan oleh
salmonella tertentu yaitu S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, dan kadang-kadang
jenis salmonella yang lain. Infeksi karena s. thypi cenderung lebih berat daripada
bentuk infeksi salmonella yang lain (Swarga, 2008).1
19
20
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam
pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk
mengetahui adanya karier.
d. Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin.
Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP
F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen
protein 50 kDa/52 kDa (Wardani et al., 2005)2
Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda
merupakan dasar untuk klasifikasi salmonella secara serologik.
3. Klasifikasi
Klasifikasi kelompok Salmonella-Arizona cukup rumit karena organisme ini lebih
merupakan suatu rangkaian kesatuan dibanding dengan spesies tertentu. Sistem
klasifikasi Salmonella terdiri dari tiga spesies utama yaitu : Salmonella typhi (satu
serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih
dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktifitas antigen O dan
antigen H bifasik. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada
manusia dan dapat diisolasi dari hewan berdarah panas adalah golongan Salmonella
cholerasuis, sementara yang lainnya terutama diisolasi dari hewan berdarah dingin
dan lingkungan. Salmonella yang secara rutin diidentifikasi karena penting dalam
klinik adalah S.thypi, S.cholaraesuis, S.parathypi A, dan S.parathypi B. Salmonella ini
dapat diidentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogroup, diikuti dengan
penentuan serotype (Prasetyo et al., 2005).3
21
C. Faktor Predisposisi
Beberapa kondisi pasien dengan otitis media, pneumonia, sinusitis akut, dan sickle
sell anemia dapat meningkatkan kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang
tengkorak atau pembedahan spinal dapat juga menyebabkan meningitis. Selain itu
meningitis juga dapat terjadi pada individu dengan gangguan sistem imun, seperti
AIDS dan defisiensi imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat.
Meningitis thyposa lebih sering ditemukan pada anak-anak mungkin disebabkan oleh
sistem imun anak-anak yang belum matang dan masih rentan terhadap penyakit
infeksi (Arisandi, 2008).4
D. Manifestasi Awal Demam Tifoid
Infeksi awal meningitis thyposa dimulai dengan gejala-gejala demam tifoid. Masa
inkubasinya rata-rata bervariasi antara 7-20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terlama adalah 60 hari. Lamanya masa inkubasi berhubungan dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis pasien.
Walaupun gejala demam tifoid ini bervariasi namun secara garis besar dapat
dikelompokan, antara lain :5
-
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada umumnya,
seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Demam yang terjadi
pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang
mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan
remiten (39-41C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid
kongenital. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin
disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai dengan yang berat (Rampengan
et al., 1997; Darmowandowo, 2002). 6
22
Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda antara
lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat,
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (Rampengan et al., 1997).5
23
24
1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga
dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.
2. Kejang Demam
3. Gangguan Kesadaran
4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
5. Pneumonia.
6. Peradangan pankreas (pankreatitis).
7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.
8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis
25
i. Kejang
Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis karena bakterial adalah kaku kuduk
dan likuor yang memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut :7
1. Pleitosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm kubik
2. Kadar glukosa yang rendah
3. Protein dalam likuor meninggi
4. Preparat dan biakan likuor memperlihatkan bakteri, khususnya dalam
penyakit ini adalah bakteri Salmonella (Mardjono et al.,1994)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Demam tifoid
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid (Prasetyo et al., 2005).8
b. Identifikasi kuman melalui isolasi/biakan8
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam
tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
26
terapi
antibiotika
sebelumnya.
Media
pembiakan
yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi
dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
27
28
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih
rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan
sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
2) Tes Tubext
Tes Tubext merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes Tubext ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat
29
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
3) Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif.
4) Metode Enzyme-Linked Immunosobent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum
tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada
sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada
pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.
5) Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
30
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap.
d. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih
terbatas dalam laboratorium penelitian. (Prasetyo et al., 2005).8
2. Meningitis Thyposa
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak.
Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra
kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi
glukosa. Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya
meningkat diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk
mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.Kadar
glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar
glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis
kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal. Pemeriksaan Radiografi CTScan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya.
Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah (Prasetyo
et al., 2005).8
31
Hasil pada pemeriksaan cerebro spinal fluid (CSF) yaitu sebagai berikut:
Tipe
Glukosa
Protein
Sel
Rendah
Tinggi
PMN
Meningitis
Bakteri
300/mm3
(akut)
Virus (akut)
Tuberculous
>
Normal
Rendah
Normal
Mononuklear
atau tinggi
< 300/mm3
Tinggi
PMN
dan
Mononuklear
< 300/mm3
32
Jamur
Rendah
Tinggi
Hanya
ditemukan
mononuklear
33
34
limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang. Selanjutnya kuman ini dapat memasuki
berbagai macam organ secara hematogen yang dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi lanjutan (Widodo, 2006).10
J. Patofisiologi Meningitis Thyposa 11
Seperti pada meningitis bakterial lainnya, pada umumnya meningitis bakterial akut
selalu bersifat purulenta. Meningitis ini timbul sebagai komplikasi dari septikemia
dimana dalam hal ini dari bakteremia kuman salmonella di dalam darah. Terjadinya
meningitis thyposa yang bermula dari demam tifoid dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen
setelah mengalami demam tifoid
terjadi reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus
terbentuk eksudat
(pada lapisan luar berisi leukosit PMN, lapisan dalam berisi makrofag)
35
36
L. Penatalaksanaan 10
Prinsip penatalaksanaan umumnya adalah seperti pada penatalaksanaan demam tifoid
yaitu sebagai berikut :
1. Pengobatan kausal dapat menggunakan obat pilihan sebagai berikut :
a. kloramfenikol dengan dosis 4x500 mg per hari dapat diberikan secara oral atau
intravena sampai dengan 7 hari bebas panas
b. tiamfenikol dengan dosis yang hampir sama dengan kloramfenikol dengan efek
samping hematologi yang lebih rendah
c. ampisilin dan amoksisilin dengan dosis 50-150mg/kgBB/hari selama 2 minggu
d. seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan perinfus sekali
sehari selama 3-5 hari.
e. golongan fluorokuinolon dengan beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberian
adalah sebagai berikut :
37
2.
Upayakan pasien dengan demam tifoid beristirahat total di tempat tidur sampai
demamnya turun. Demam bisa berlangsung selama dua minggu. Setelah demam
turun, teruskan istirahat sampai suhu normal kembali. Jelaskan pada anak bahwa
untuk mandi, buang air besar dan kecil harus meminta pertolongan kepada ibu atau
orang dewasa lainnya yang ada di rumah.
3.
Ingatkan kepada siapa saja yang membantu untuk selalu mencuci tangan dengan
desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan anak yang sakit.
4.
Seperti halnya di rumah sakit, orang tua perlu mengukur suhu tubuh anak dan
mencatatnya. Catatan suhu tubuh ini sangat penting untuk dikonsultasikan ke dokter
dan bila ada peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
5.
Biasanya dokter memberikan obat yang sudah diperhitungkan sampai suhu tubuh
turun. Jika obat hampir habis, sementara suhu tubuh makin tinggi, konsultasikanlah ke
38
pelayanan medis atau dokter karena mungkin membutuhkan perawatan yang lebih
intensif di rumah sakit.
6.
Untuk membantu mempercepat penurunan suhu tubuh, upayakan agar anak banyak
minum air putih, dikompres dengan air hangat, dan jangan menutupinya dengan
selimut agar penguapan suhu lebih lancer.
7.
Berikan makanan yang mengandung banyak cairan dan bergizi seperti sop dan sari
buah, juga makanan lunak, seperti bubur
8.
Pembuangan feses dan urine harus dipastikan dibuang ke dalam WC dan disiram
dengan air sebanyak-banyaknya. WC dan sekitarnya pun harus bersih agar tidak ada
lalat yang akan membawa kuman ke mana-mana. Bila anak menggunakan pot atau
urinal untuk BAK dan BAB, jangan lupa untuk merendamnya dengan cairan
desinfektan setelah dipakai.
9.
Rendam pakaian anak dengan desinfektan sebelum dicuci, dan jangan mencampurnya
dengan pakaian yang lain (Darmowandowo, 2002).6
39
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu
haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua
tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit (Harijanto, 2006).12
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan
untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis
ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko
terjangkit (Harijanto, 2006).13
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi)
adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin
sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang
yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang
yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh
mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka
tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid
yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang
menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obatobatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu
atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan
sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian antibiotik (Harijanto, 2006).13
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius
seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya
serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin
tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat
terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per
100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100).
Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam
40
atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau
ruam-ruam (jarang terjadi) (Harijanto, 2006).13
O. Prognosis 13
Prognosis bergantung pada beberapa keadaan, antara lain:
1. Jenis kuman dan hebatnya penyakit pada permulaannya
2. Umur penderita
Pada pasien anak anak dan > 50 tahun memiliki lebih banyak resiko kematian
karena penyakit ini.
3. Lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat
Gejala yang muncul seperti kejag yang lebih dari 24 jam akan memperbesar resiko
terjaninya kematian.
4. Kecepatan ditegakkannya diagnosis
5. Antibiotika yang diberikan
6. Kondisi patologik lainnya yang menyertai meningitis
41
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
42
3.
at
http://74.125.153.132/search?
q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis
+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id
4.
5.
6.
7.
8.
at
http://74.125.153.132/search?
q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis
+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id
9.
43
10.
11.
12.
13.
44