Anda di halaman 1dari 4

BAB I PENDAHULUAN

Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara akut mengenai final common path, motor end plate dan otot yaitu pada otot, saraf, neuromuscular junction, medulla spinalis dan kornu anterior. Istilah flaccid menunjukkan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN).

Mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada gangguan susunan saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hiperreflek, klonus atau respon ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan adanya karakteristik gejala klinis kelemahan yang timbul dengan cepat termasuk kelemahan otot-otot pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih cepat dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.2 Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis secara fokal yang onsetnya akut tanpa penyebab lain yang nyata seperti trauma. Yang ditandai dengan flaccid dan mengenai anak kelompok < 15 tahun termasuk didalamnya Poliomielitis,Sindrom Guillain-Barre, Mielitis Transverse, Neuritis Traumatika. AFP disebabkan oleh beberapa agen termasuk enterovirus, echovirus, atau adenovirus.1,2,3,4 Setiap pasien AFP adalah keadaan darurat klinis yang membutuhkan penanganan segera. Dalam setiap kasus, penjelasan rinci tentang gejala klinis harus diperoleh. Gejala tersebut termasuk kelupuhan, gangguan gaya berjalan, kelemahan atau gangguan koordinasi dari satu atau beberapa anggota gerak tubuh. Berbagai macam lesi yang dapat timbul pada susunan lower motor neuron, berarti lesi tersebut merusak motor neuron, akson, motor end plate dan otot skeletal sehingga tidak terdapat gerakan atau rangsang motorik yang disampaikan ke motor neuron. Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower motor neuron yaitu: 2 1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek tendon hilang dan reflek patologik tidak muncul. 2. Tonus otot hilang

3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik hilang dan terjadi atrofi otot. Tanda-tanda AFP harus dievaluasi klinis secara lengkap dengan pemeriksanan neurologis lengkap, termasuk penilaian kekuatan dan tonus otot, refleks tendon, fungsi saraf kranial dan fungsi sensoris. Perlu diperhatikan adanya tanda-tanda meningismus, gangguan saraf pusat (ataxia) atau sistem saraf otonom (fungsi usus dan kandung kemih, sfingter dan fungsi berkemih neurogenik). Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk melihat laju sedimen sel darah merah. Pemeriksaan elektrofisiologi diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan prognosis dari penyakit motorneuron.2,13 Pemeriksaan fungsi lumbal dan cairan serebrospinal diindikasikan untuk menyingkirkan adanya infeksi bakteri pada sistem saraf, infeksi bakteri ditunjukkan dengan adanya netrofil, tingkat glukosa yang rendah dan kandungan protein yang tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi adanya mikroorganisme spesifik. Pencitraan tulang belakang seperti radiografi, CT-Scan atau magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menyingkirkan adanya kompresi tulang belakang, mielopati, atau neoplasma poliradikulopati spondilosis. Pemeriksaan elektrocardiogram dapat mengidentifikasi adanya gangguan metabolisme elektrolit seperti kelumpuhan periodik yang diakibatkan oleh keadaan hipovolemi.2,13 Polio adalah virus gastrointestinal yang menyebabkan demam, muntah dan kekejangan otot, serta dapat merusak sistem saaraf dan menyebabkan kelumpuhan permanen. Polio juga dapat menyebabkan kelumpuhan pada sistem pernapasan dan otot-otot untuk menelan, sehingga dapat berakhir pada kematian. 1,8 Populasi beresiko polio terutama menyerang kelompok umur anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita). Di banyak negara dengan tingkat polio yang tinggi, 70%-80% penderita di bawah usia 3 tahun dan 80% - 90% dari kasus terjadi pada balita. Setelah pemberian vaksin polio telah terjadi penurunan infeksi polio yang drastis. Meskipun program eradikasi polio secara global telah dilaksanakan sungguh-sungguh, polio masih sangat endemik di beberapa negara seperti India, Afrika Subsahara dan Asia, di mana kasus-kasusnya masih terus

ditemukan. Di Indonesia masih ditemukan kasus polio baru, hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus polio liar di Indonesia belum berhenti. World Health Organization memperkirakan sampai saat ini total

kasus virus polio liar secara kumulatif berjumlah 304 kasus, tersebar di 10 provinsi diantaranya Jawa Barat, Banten, Lampung dan Jawa Tengah.4,5,6,7 Sindrom Guillain Barre sering disebut juga acute inflamating demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan kelainan pada saraf perifer yang bersifat peradangan di luar otak dan medulla spinalis. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan

wajah.Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landrys Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengangagal napas.16 Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensikasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP).16 Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom initermasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa

muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara maju atau berkembang sepertiIndonesia.16 Mielitis transversalis (MT) merupakan proses inflamasi akut yang mengenai suatu area di medulla spinalis. Penyakit ini secara klinis mempunyai karakteristik tanda dan gejala disfungsi neurologis pada sistem motorik, sensorik, otonom, dan traktus saraf di medulla spinalis yang berkembang secara akut atau subakut. Gejala dapat berkembang secara cepat dalam beberapa menit sampai beberapa jam pada beberapa pasien, atau dapat berkembang dalam beberapa hari sampai minggu. Ketika level maksimal dari deficit neurologis telah tercapai, sekitar 50% pasien kehilangan pergerakan pada kedua tungkai, disfungsi kandung kemih, dan 80-94% pasien mengalami kebas-kebas, parestesia atau band-like disestesia. Gejala otonom terdiri dari inkontinensia urin, inkontinensia alvi, kesulitan untuk miksi, dan konstipasi17. MT merupakan penyakit yang jarang dengan insidensi 1-4 kasus baru per 1 juta penduduk per tahun. MT dapat mengenai individu pada semua umur (6 bulan88 tahun) dengan insidensi tertinggi antara umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Tidak ada faktor jenis kelamin atau keluarga sebagai faktor predisposisi MT17. Sekitar 1/3 pasien MT sembuh dengan sedikit sampai tidak ada sekuele setelah serangan pertama, 1/3 pasien sembuh dengan disabilitas permanen derajat sedang, dan 1/3 lainnya tidak mengalami penyembuhan dan mengalami disabilitas berat17. Beberapa tampilan klinis seperti progresi cepat dari gejala klinis, adanya nyeri punggung bawah, dan adanya syok spinal menjadi indikator prognosis yang buruk untuk kesembuhan. Hilangnya konduksi sentral pada evoked potential testing dan terdapatnya protein 14-3-3 di dalam CCS selama fase akut juga diprediksikan memiliki prognosis yang buruk17.

Anda mungkin juga menyukai