Anda di halaman 1dari 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hepatitis B 2.1.1. Pengertian Hepatitis B didefinisikan sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan ditandai dengan suatu peradangan yang terjadi pada organ tubuh seperti hati (Liver). Penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit kuning, padahal penguningan (kuku, mata, kulit) hanya salah satu gejala dari penyakit Hepatitis itu (Misnadiarly, 2007). 2.1.2. Etiologi Terjadinya Hepatitis B disebabkan oleh VHB yang terbungkus serta mengandung genoma DNA (Deoxyribonucleic acid) melingkar. Virus ini merusak fungsi liver dan terus berkembang biak dalam sel-sel hati (Hepatocytes). Akibat serangan ini sistem kekebalan tubuh kemudian memberi reaksi dan melawan. Kalau berhasil maka virus dapat terbasmi habis. Tetapi jika gagal virus akan tetap tinggal dan menyebabkan Hepatitis B kronis (si pasien sendiri menjadi carrier atau pembawa virus seumur hidupnya). Dalam seluruh proses ini liver mengalami peradangan (Misnadiarly, 2007).

2.1.3. Sumber Penularan VHB mudah ditularkan kepada semua orang. Penularannya dapat melalui darah atau bahan yang berasal dari darah, cairan semen (sperma), lendir kemaluan wanita (Sekret Vagina), darah menstruasi. Dalam jumlah kecil HBsAg dapat juga

Universitas Sumatera Utara

ditemukan pada Air Susu Ibu (ASI), air liur, air seni, keringat, tinja, cairan amnion dan cairan lambung (Dalimartha, 2004). 2.1.4. Cara Penularan Ada dua macam cara penularan Hepatitis B, yaitu transmisi vertikal dan transmisi horisontal. a. Transmisi vertikal Penularan terjadi pada masa persalinan (Perinatal). VHB ditularkan dari ibu kepada bayinya yang disebut juga penularan Maternal Neonatal. Penularan cara ini terjadi akibat ibu yang sedang hamil terserang penyakit Hepatitis B akut atau ibu memang pengidap kronis Hepatitis B (Dalimartha, 2004). b. Transmisi horisontal Adalah penularan atau penyebaran VHB dalam masyarakat. Penularan terjadi akibat kontak erat dengan pengidap Hepatitis B atau penderita Hepatitis B akut. Misalnya pada orang yang tinggal serumah atau melakukan hubungan seksual dengan penderita Hepatitis B (Dalimartha, 2004). Cara penularan paling utama di dunia ialah dari ibu kepada bayinya saat proses melahirkan. Kalau bayinya tidak divaksinasi saat lahir bayi akan menjadi carrier seumur hidup bahkan nantinya bisa menderita gagal hati dan kanker hati. Selain itu penularan juga dapat terjadi lewat darah ketika terjadi kontak dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Masa Inkubasi Masa inkubasi (saat terinfeksi sampai timbul gejala) sekitar 24-96 minggu (Misnadiarly, 2007). Menurut Sudoyo (2006), masa inkubasi VHB berkisar dari 15 180 hari (rata-rata 60-90 hari).

2.1.6. Gejala dan Tanda Munculnya gejala ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia pasien saat terinfeksi, kondisi kekebalan tubuh dan pada tingkatan mana penyakit diketahui. Gejala dan tanda antara lain: a. Mual-mual (Nausea) b. Muntah muntah (Vomiting) disebabkan oleh tekanan hebat pada liver sehingga membuat keseimbangan tubuh tidak terjaga c. Diare d. Anorexia yaitu hilangnya nafsu makan yang ekstrem dikarenakan adanya rasa mual e. Sakit kepala yang berhubungan dengan demam, peningkatan suhu tubuh f. Penyakit kuning (Jaundice) yaitu terjadi perubahan warna kuku, mata, dan kulit (Misnadiarly, 2007).

2.1.7. Kelompok yang Rentan Adapun kelompok yang rentan terkena Hepatitis B adalah : a. Anak yang baru lahir dari ibu yang terkena Hepatitis B b. Tinggal serumah atau berhubungan seksual dengan penderita Hepatitis B

Universitas Sumatera Utara

c. Mereka yang tinggal atau sering bepergian ke daerah endemis Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.1.8. Prognosa Bila seseorang terinfeksi VHB maka proses perjalanan penyakitnya tergantung pada aktivitas sistem pertahanan tubuhnya. Jika sistem pertahanan tubuhnya baik maka infeksi VHB akan diakhiri dengan proses penyembuhan. Namun, bila sistem pertahanan tubuhnya terganggu maka penyakitnya akan menjadi kronik. Penderita Hepatitis B Kronik dapat berakhir menjadi sirosis hati atau kanker hati (Karsinoma Hepatoseluler). Sirosis dan kanker hati sering menimbulkan komplikasi berat berupa pendarahan saluran cerna hingga Koma Hepatik (Dalimartha, 2004).

2.1.9. Diagnosa Diagnosa yang dapat dilakukan yaitu serologi (test darah) dan biopsi liver (pengambilan sampel jaringan liver). Bila HBsAg positif maka orang tersebut telah terinfeksi oleh VHB (Misnadiarly, 2007).

2.1.10. Pencegahan Hepatitis B Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui program imunisasi. Imunisasi adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh yang diharapkan dapat menghasilkan zat antibodi yang pada saatnya nanti digunakan untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (Hadinegoro, 2008). Program imunisasi di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Imunisasi Wajib Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG (Bacille Calmette Guerin), Polio, Hepatitis B, DTP (Difteria, Tetanus, Pertusis) dan campak. 2. Imunisasi yang Dianjurkan Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat beban penyakit (burden of disease) namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas. Imunisasi dianjurkan adalah Hib (Haemophillus Influenza Tipe b), pneumokokus, influenza, MMR (Measles, Mumps, Rubella), tifoid, Hepatitis A, varisela, rotavirus, dan HPV (Human Papilloma Virus) (Hadinegoro, 2008).

2.2.

Imunisasi Hepatitis B Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi

Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu (1) vaksin yang berasal dari plasma, dan (2) vaksin rekombinan. Kedua vaksin ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir karena antibodi anti HBsAg ibu tidak mengganggu respons terhadap vaksin (Wahab, 2002). Imunisasi Hepatitis B pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. HBIg tidak selalu tersedia di kebanyakan negara berkembang, di samping itu harganya yang relatif mahal. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi Hepatitis B. Dalam beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita Hepatitis B perlu

Universitas Sumatera Utara

diberikan HBIg mendahului atau bersama-sama dengan vaksinasi Hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi terhadap VHB diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya 24 jam setelah persalinan (Dalimartha, 2004). Vaksin Hepatitis B (hepB) diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan. Untuk mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin Hepatitis B diberikan segera setelah persalinan (Dalimartha, 2004).

2.3.

Program Imunisasi Hepatitis B Pedoman nasional di Indonesia merekomendasikan agar seluruh bayi

diberikan imunisasi Hepatitis B dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada bulan berikutnya. Program Imunisasi Hepatitis B 0-7 hari dimulai sejak tahun 2005 dengan memberikan vaksin hepB-O monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, pada Tahun 2006 dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan (Hadinegoro, 2008). Tujuan vaksin hepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP (Difteria, Tetanus, Pertusis Whole cell) untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah (Hadinegoro, 2008). Pada umumnya bayi mendapatkan imunisasi Hepatitis B melalui puskesmas, rumah sakit, praktik dokter dan klinik (Dalimartha, 2004).

2.3.1. Tujuan Program Imunisasi Hepatitis B Tujuan program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

Universitas Sumatera Utara

1. Tujuan umum Adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B 2. Tujuan khusus 1. Pemberian dosis pertama dari vaksin hepB kepada bayi sedini mungkin sebelum berumur 7 hari 2. Memberikan imunisasi Hepatitis B sampai 3 dosis pada bayi (Dalimartha, 2004).

2.3.2. Jadwal Imunisasi Hepatitis B Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat : 1. Minimal diberikan sebanyak 3 kali 2. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir 3. Jadwal imunisasi dianjurkan adalah 0, 1, 6 bulan karena respons antibodi paling optimal (Hadinegoro, 2008). Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu : 1. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir 2. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut: Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B Umur Bayi Imunisasi Kemasan Saat lahir Hep B-0 Uniject (hepB-monovalen) 2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1 3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2 4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3 Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008 Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HBsAg ibu pada saat melahirkan adalah : 1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg-nya mendapatkan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 mL) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HBsAg positif maka segera berikan 0,5 mL HBIg (sebelum anak berusia satu minggu) 2. Bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif mendapatkan 0,5 mL HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan. Bila digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan 10 mcg (0,5 mL) intramuskular dan disuntikkan pada sisi yang berlainan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan 3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 mL) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 mL) intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18 bulan

Universitas Sumatera Utara

4. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 tahun ( Wahab, 2002).

2.3.3. Kontraindikasi dan Efek Samping Vaksin hepB diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil, bayi baru lahir, pasien dengan immunocompromised, yaitu pasien dengan kelainan sistem imunitas seperti penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

(Dalimartha, 2004). Efek samping yang mungkin timbul dapat berupa reaksi lokal ringan seperti rasa sakit pada bekas suntikan dan reaksi peradangan. Reaksi sistemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada saluran cerna. Gejala di atas akan hilang spontan dalam beberapa hari (Dalimartha, 2004).

2.4.

Perilaku Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

atau makhluk hidup yang bersangkutan. Skinner dalam Notoatmodjo (2005), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama yakni : stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut (faktor eksternal), dan respons merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2005), merumuskan bahwa bentuk respons terhadap stimulus dalam perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Perilaku tertutup (Covert Behavior) Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk Unobservable Behavior atau Covert Behavior yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap. 2. Perilaku terbuka (Overt Behavior) Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau Observable Behavior.

2.4.1. Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu : 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance) adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek:

Universitas Sumatera Utara

a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin. c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut (Notoatmodjo, 2003). 2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Health Seeking Behavior) menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (Self Treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri (Notoatmodjo, 2003). 3. Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya. Misalnya,

Universitas Sumatera Utara

bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Becker dalam Notoatmodjo (2005) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan yaitu: a. Perilaku hidup sehat (Healthy Behavior) Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. b. Perilaku sakit (Ilness Behavior) Adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan/atau terkena masalah kesehatan pada dirinya atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan, atau untuk mengatasi masalah kesehatan yang lainnya. c. Perilaku peran sakit (The Sick Role Behavior) Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (Right) dan kewajiban sebagai orang sakit (Obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (The Sick Role).

2.4.2. Domain Perilaku Menurut Notoatmodjo (2005), meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi

Universitas Sumatera Utara

beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) (Notoatmodjo, 2003) yaitu: 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

2.4.3. Determinan Perilaku Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal ataupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terperinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Beberapa teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green dan WHO (World Health Organization).

Universitas Sumatera Utara

1. Teori Lawrence Green Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor, yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 (tiga) faktor. a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing Factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pendukung (Enabling Factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya. c. Faktor-faktor pendorong (Reinforcing Factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya (Predisposing Factors). Selain itu, rumah masyarakat yang jauh dengan posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (Enabling Factors). Petugas kesehatan atau tokoh

Universitas Sumatera Utara

masyarakat lain disekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (Reinforcing Factors) (Notoatmodjo, 2003). 2. Teori WHO Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok yaitu, pemikiran dan perasaan seseorang, adanya orang lain yang dijadikan referensi, dan sumber-sumber atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku, dan kebudayaan masyarakat. Pemikiran dan perasaan, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek (kesehatan) (Notoatmodjo, 2003).

2.4.4. Perubahan Perilaku Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Bentuk-bentuk perubahan perilaku: 1. Perubahan Alamiah (Natural Change) Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat didalamnya juga mengalami perubahan. 2. Perubahan Terencana (Planned Change) Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya, pak Anwar adalah perokok berat. Akibatnya pak Anwar sering

Universitas Sumatera Utara

mengalami batuk-batuk yang sangat menggangu, maka ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit, dan akhirnya ia berhenti merokok. 3. Kesediaan untuk berubah Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi tersebut (berubah perilakunya), dan sebagian orang lain sangat lama untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah (Readiness to Change) yang berbedabeda (Notoatmodjo, 2003).

2.5.

Peran Karakteristik Ibu Manusia mempunyai berbagai pola perilaku, berbagai keyakinan, dan dapat

dipengaruhi oleh tradisi, budaya, dan harapan sosial sampai ke suatu tingkat yang dapat menyebabkan kondisi dan kegiatan yang tidak sehat dalam keluarga, kelompok dan populasi. Penyebaran masalah kesehatan berbeda untuk tiap individu, kelompok, dan masyarakat dibedakan atas ciri-ciri manusia/karakteristik, tempat dan waktu (Timmreck, 2004). Salah satu faktor yang menentukan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat adalah ciri manusia atau karakteristik manusia. Yang termasuk dalam unsur karakteristik manusia antara lain : pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status sosial ekonomi, ras/etnik, agama dan sosial budaya. Begitu juga halnya dalam masalah status imunisasi Hepatitis B juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan lingkungan sosial budaya (Azwar, 1999).

Universitas Sumatera Utara

2.5.1. Pendidikan Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk memengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur unsur pendidikan yakni: a) input adalah sasaran pendidikan, b) proses (upaya yang direncanakan untuk memengaruhi orang lain), c) output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Anonim, 2008). Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Pemahaman tentang program ini amat diperlukan. Pemahaman ibu atau pengetahuan ibu terhadap imunisasi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai pengertian dan kesadaran lebih baik tentang pencegahan penyakit, yang sedikit banyak telah diajarkan di sekolah (Ali, 2002).

2.5.2. Pekerjaan Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu biasanya bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya dan orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan

Universitas Sumatera Utara

membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya (Anoraga, 2006). Pekerjaan adalah sumber penghasilan, sebab itu setiap orang yang ingin memperoleh penghasilan yang lebih besar dan tingkat penghidupan yang lebih baik, haruslah siap dan bersedia bekerja keras (Anoraga, 2006).

2.5.3. Pendapatan Pendapatan adalah suatu tingkat penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan dari orang tua dan anggota keluarga lainnya.

Pendapatan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi seseorang untuk memelihara kesehatan dan pencegahan penyakit misalnya pemberian imunisasi. Hal ini dapat memengaruhi status kesehatan masyarakat (Loedin, 1985).

2.5.4. Jumlah Anak Jumlah anak adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita. Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan kesehatan si ibu maupun si anak (Notoatmodjo, 2003).

2.5.5. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoamodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Overt Behavior). Tingkat pengetahuan di dalam Domain Kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu: 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain sebagainya. 2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi juga dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang lain. menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyebutkan, dan

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis menujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat (Notoamodjo, 2003).

2.6.

Lingkungan Sosial Budaya Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling bergantung

kehidupannya satu sama lain, karena manusia tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Di samping itu, manusia juga adalah makhluk berbudaya karena dikaruniai akal oleh Tuhan untuk memecahkan masalah kesehatan

Universitas Sumatera Utara

yang dihadapinya. Menurut Blum dalam Notoatmodjo (2005) salah satu faktor yang memengaruhi status kesehatan yaitu lingkungan sosial budaya. Lingkungan sosial budaya adalah lingkungan yang terdiri atas sesama manusia baik masyarakat maupun keluarga. Di mana faktor yang memegang peran adalah budaya, agama, kepercayaan dan sebagainya. Di dalam lingkungan ini hidup manusia dengan akal, pendidikan dan pengalaman yang mengatur hidupnya menurut suatu sistem nilai budaya tradisional, sistem adat istiadat, falsafah hidup tertentu, religi dan keyakinan-keyakinan yang terjaring erat di dalam sistem sosial dari masyarakat yang bersangkutan (Loedin, 1985). Misalnya adanya adat istiadat di dalam masyarakat melakukan pantangan atau pembatasan bagi ibu yang setelah melahirkan untuk tidak boleh keluar rumah sebelum melewati 40 hari. Adat istiadat ini harus diikuti oleh semua masyarakat dan bila dilanggar ia akan dijauhi oleh masyarakat dan ia akan menerima kesialan/malapetaka (Syafrudin, 2009). Selain itu, di dalam masyarakat juga dijumpai bayi baru lahir diberikan makanan selain ASI seperti madu dan belum boleh untuk dibawa ke luar rumah termasuk ke rumah sakit apalagi untuk disuntik karena merasa takut karena bila disuntik bayi akan demam dan dapat mengakibatkan munculnya penyakit lain yang berbahaya (Syafrudin, 2009).

2.6.1. Penolong Persalinan Dengan latar belakang budaya yang beraneka ragam maka petugas kesehatan perlu sekali mengetahui budaya dan masyarakat yang dilayaninya, agar pelayanan

Universitas Sumatera Utara

kesehatan yang diberikan kepada masyarakat akan memberikan hasil yang optimal yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat. Misalnya pertolongan persalinan dibantu oleh dukun tidak terlatih (Syafrudin, 2009).

2.6.2.

Tempat persalinan Faktor tempat juga berpengaruh terhadap status imunisasi. Misalnya jarak

rumah masyarakat dengan tempat pelayanan imunisasi, tersedia atau tidak sarana pelayanan imunisasi di masyarakat (Azwar, 1999).

2.6.3. Kepercayaan Kepercayaan adalah bagian dari cara hidup manusia yang menentukan apa yang dapat diterima atau apa yang tidak diterima oleh manusia. Kepercayaan umumnya diajarkan oleh orang tua, kakek, nenek dan orang lain yang dihormati. Kepercayaan itu dapat bersifat merugikan, menguntungkan dan netral. Kepercayaan yang bersifat merugikan sangat sulit untuk diubah di tengah masyarakat. Misalnya kepercayaan tentang boleh atau tidak boleh untuk mengimunisasi bayi yang masih berumur 0-7 hari (Tjitarsa, 1992). Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio-psikologis. Kepercayaan di sini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib, tetapi hanyalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kepercayaan sering dapat bersifat rasional atau irasional. Kepercayaan yang rasional apabila kepercayaan orang terhadap sesuatu tersebut masuk diakal. Orang percaya bahwa dokter pasti dapat menyembuhkan penyakitnya. Hal ini adalah rasional karena memang dokter tersebut telah bertahun-tahun belajar ilmu kedokteran atau penyembuhan penyakit. Sebaliknya

Universitas Sumatera Utara

seorang mempunyai kepercayaan irasional bila ia mempercayakan air putih yang diberi mantera oleh seorang dukun bisa menyembuhkan penyakitnya (Notoatmodjo, 2010). Kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan, dan kepentingan. Kepercayaan yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar dan lengkap, akan menyebabkan kesalahan bertindak (Notoatmodjo, 2010).

2.7.

Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori yang mendukung penelitian ini, maka dapat

digambarkan secara skematis kerangka konsep penelitian sebagai berikut: Variabel Independen Karakteristik Ibu : - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan - Jumlah Anak - Pengetahuan Variabel Dependen

Pemberian Imunisasi HB 0-7 hari

Lingkungan Sosial Budaya - Penolong Persalinan - Tempat Persalinan Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian - Kepercayaan

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan kerangka konsep, dapat dirumuskan definisi konsep variabel penelitian sebagai berikut: 1. Karakteristik ibu adalah ciri yang melekat pada diri seseorang untuk memberikan imunisasi kepada anaknya. Karakteristik dalam penelitian ini adalah pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak dan pengetahuan 2. Lingkungan sosial budaya adalah keseluruhan yang kompleks yang didapat oleh masyarakat misalnya kepercayaan, norma, kebiasaan-kebiasaan. Lingkungan sosial budaya dalam penelitian ini adalah penolong persalinan, tempat persalinan dan kepercayaan 3. Pemberian imunisasi adalah pelaksanaan atau mempraktikkan apa yang diketahui ataupun yang disikapinya

2.8. Hipotesis Penelitian Dari gambar kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat pengaruh karakteristik ibu (meliputi: pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan) dan lingkungan sosial budaya (meliputi penolong persalinan, tempat persalinan, kepercayaan) terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada Bayi 0-7 hari di Kelurahan Aek Muara Pinang Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga Tahun 2010.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai