Anda di halaman 1dari 20

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia
1. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing
(Ngastiyah, 2005). Menurut Muttaqin (2008) pneumonia adalah proses
inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian
alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan bendabenda
asing.
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah
yang mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak
dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
(bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi
dan radiasi. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama
disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan
Staphylococcus aureus (Said, 2010).


9

10

2. Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalm spektrum
etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spektrum
mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil (< 20 hari)
meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Coli,
Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar (3 minggu
3 bulan) dan anak balita (4 bulan 5 tahun), pneumonia sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenza type B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab
kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki tempat ke-3 sebagai
penyebab kematian pada neonatus. pneumoniae (Said, 2010).
3. Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi ISPA dalam program P2 ISPA juga dibedakan untuk
golongan umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur balita 2 bulan 5
tahun (Said, 2010) :
a. Golongan umur kurang dari 2 bulan ada 2 klasifikasi yaitu:
1) Pneumonia Berat.
Anak dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau
nafas cepat (60X per menit atau lebih). Tarikan dinding dada
kedalam terjadi bila paru-paru menjadi kaku dan mengakibatkan
perlunya tenaga untuk menarik nafas. Anak dengan tarikan dinding
11

dada ke dalam, mempunyai resiko meninggal yang lebih besar


dibanding dengan anak yang hanya menderita pernafasan cepat.
Penderita pneumonia berat juga mungkin disertai tanda-tanda
lain seperti :
a). Napas cuping hidung, hidung kembang kempis waktu bernafas.
b). Suara rintihan
c). Sianosis (Kulit kebiru-biruan karena kekurangan oksigen).
d). Wheezing yang baru pertama dialami.
2) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan adanya tarikan kuat ke dalam dinding dada
bagian bawah atau nafas cepat yaitu <60 kali per menit (batuk,
pilek, biasa). Tanda bahaya untuk golongan umur kurang dari 2
bulan ini adalah : kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, wheezing, gizi buruk, demam/dingin.
b. Golongan umur 2 bulan 5 tahun ada 3 klasifikasi, yaitu :
1) Pneumonia Berat, bila disertai nafas sesak dengan adanya tarikan
dada bagian bawah ke dalam waktu anak menarik nafas, dengan
catatan anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis dan
meronta.
2) Pneumonia, bila hanya disertai nafas cepat dengan batasan :
(a) Untuk usia 2 bulan kurang 12 bulan =50 kali per menit.
(b) Untuk usia 1 tahun 5 tahun =40 kali per menit atau lebih.
12

3) Bukan Pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada


bagian bawah kedalam atau nafas cepat (batuk pilek biasa). Tanda
bahaya untuk golongan umur 2 bulan 5 tahun adalah : tidak
dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing dan
gizi buruk.
4. Manifestasi klinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia
pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme
penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama
pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
non infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis (Said, 2010).
Menurut Said (2010) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak
bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah
sebagai berikut:
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan Gastro Intestinal Tarcktus (GIT)
seperti mual, muntah atau diare: kadang-kadang ditemukan gejala
infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi
kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas
13

terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan


kelainan.
5. Pencegahan
Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau
mengurangi faktor resiko dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
yaitu dengan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan
petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan
pengobatan pneumonia, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif,
dan waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus yang
pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan
asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi
udara didalam ruangan dapat pula mengurangi faktor resiko.(Kartasamita,
2010).
Menurut Kartasamita (2010), usaha untuk mencegah pneumonia ada
2 yaitu:
a. Pencegahan Non spesifik, yaitu:
1) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi.
2) Menurunkan kemiskinan.
3) Meningkatkan tingkat pendidikan.
4) Menurunkan angka balita kurang gizi.
5) Meningkatkan derajat kesehatan.
6) Menurunkan morbiditas dan mortalitas.
7) Lingkungan yang bersih, bebas polusi
14

b. Pencegahan Spesifik
1) Cegah berat bayi lahir ringan (BBLR).
2) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang.
3) Berikan imunisasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia
adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (haemophilus
influenzae type b) dan pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya,
yaitu pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi
nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan
pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua
vaksin ini dapat mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun,
karena harganya mahal belum banyak negara yang memasukkan kedua
vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.

B. Balita
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun
atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris,
2009). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), Balita adalah istilah umum
bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia
batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan
kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara
dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
15

manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu


keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.
Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat
dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa
keemasan.
Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bagi usia di
bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun faal (kerja alat
tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di
atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak termasuk ke dalam
golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan
mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah. Sesuai dengan
pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya juga
mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun
harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan karakteristiknya balita usia
1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun
yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia
prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Muaris, 2009).
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam
proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara
pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan
perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan
gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Depkes RI, 2011).
16

C. Faktor Resiko Kejadian Pneumonia


1. Faktor resiko yang selalu ada
a. Berat Badan Lahir Rendah
Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) merupakan salah
satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan
neonatal (Dinkes, 2009). Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir
rendah akan mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan.
Hal ini dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia
dan sakit saluran pernapasan lainnya (Prabu, 2009).
b. Status gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk
variabel-variabel tertentu. Status gizi juga merupakan akibat dari
keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan
penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik akibat dari
tersedianya zat gizi dalam seluruh tubuh (Supariasa, 2002).
Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Balita dengan gizi
yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita
dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.
Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai
nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi
kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya
17

lebih lama (Prabu, 2009). Salah satu cara penilaian status gizi balita
adalah dengan pengukuran antropometri, pengukuran tersebut sudah
ditetapkan melalui SK Menkes RI nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002
tanggal 1 Agustus 2002.
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.
Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah
dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Dalam
antropometri gizi digunakan indeks antropometri sebagai dasar
penilaian status gizi, salah satu indeks antropometri yaitu berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk
menilai status gizi saat kini. (Supariasa, 2002).
Menginterprestasikan hasil pengukuran diperlukan baku rujukan.
Di Indonesia baku rujukan dan telah direkomendasikan pemakaiannya
salah satunya, yaitu baku rujukan WHO NCHS yang
direkomendasikan pada semiloka Antropometri 1991. Data rujukan
WHO-NCHS sebagai batas ambang untuk status gizi baik yang
disarankan WHO adalah Standar deviasi unit disebut juga Z-skor.
WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk
memantau pertumbuhan. Rumus perhitungan Z skor adalah :

Ntlat tndtvtdu sub|eh - ntlat medtan bahu ru|uhan
Ntlat stmpangan bahu ru|uhan



18

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Z Skor



Indeks Status Gizi Ambang Batas
Berat Badan
menurut Umur
(BB/U)
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih

<-3 SD
- 3 s/d <-2 SD
- 2 s/d +2 SD
>+2 SD
Tinggi Badan
menurut TB/U
Sangat Pendek
Pendek
Normal
Tinggi
<-3 SD
- 3 s/d <-2 SD
- 2 s/d +2 SD
>+2 SD
BB/TB Sangat Kurus
Kurus
Normal
Gemuk
<-3 SD
- 3 s/d <-2 SD
- 2 s/d +2 SD
>+2 SD

Penelitian Gozali (2010) menyatakan ada hubungan yang
signifikan antara status gizi dengan klasifikasi pneumonia di Puskesmas
Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta, dengan prosentase sebesar
36,67% anak balita dengan status gizi kurang yang terkena Pneumonia
dari jumlah responden 30 anak balita.
c. ASI Ekslusif
ASI (air susu ibu) adalah makanan terbaik bagi bayi karena
mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi, karena itu untuk mencapai pertumbuhan dan
perkembangan bayi yang optimal ASI perlu diberikan secara eksklusif
(Nelson, 2000). Bayi dianjurkan untuk disusui secara ekslusif selama 6
bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI dilanjutkan dengan
didampingi makanan pendamping ASI, idealnya selama dua tahun
19

pertama kehidupan. Menyusui secara eksklusif terbukti memberikan


resiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan penyakit
menular lainnya di kemudian hari (Mexitalia, 2011).
Penelitian Wibowo (2011) menunjukan bahwa pemberian ASI
Eksklusif sebagian besar mengalami kejadian ISPA yaitu 35 balita
(77,8%) sedangkan pada kelompok balita dengan pemberian Asi
Eksklusif lebih rendah tidak mengalami kejadian ISPA yaitu 21
(46,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Sumbang II.
d. Polusi udara dalam ruangan
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya
disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu
merupakan faktor resiko terhadap kejadian pneumonia pada balita.
Penelitian Yuwono (2008) menunjukan anak balita yang tinggal di
rumah dengan jenis bahan bakar yang digunakan adalah kayu memiliki
resiko terkena pneumonia sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan
anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis bahan bakar yang
digunakan minyak/gas. Polusi udara di dalam rumah juga dapat
disebabkan oleh asap rokok, alat pemanas ruangan dan juga akibat
pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor.


20

e. Kepadatan hunian rumah


Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian Febriana (2011)
menunjukkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian
padat memiliki resiko terkena pneumonia sebesar 3,8 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian
tidak padat.
Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan
karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang
menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota
keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah
tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bahteri maupun
virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu
ke penghuni rumah lainnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
289/Menkes/s\SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan,
kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang
per 8m) dan kepadatan tinggi yaitu lebih dari 2 orang per 8m).
2. Faktor Resiko Yang Masih Sangat Mungkin
a. Ibu hamil yang merokok
Ibu hamil yang merokok akan sangat merugikan dirinya dan
bayinya, karena bayi akan kekurangan oksigen dan racun dapat
ditransfer lewat plasenta kedalam tubuh bayi. Ibu hamil yang merokok
21

mempunyai resiko keguguran, kelahiran prematur, berat bayi lahir


rendah (BBLR), bahkan kematian janin (Sulistyawati, 2011). Rokok
juga merupakan polusi udara yang dapat meningkatakan resiko
terjadinya penyakit pneumonia bagi balita dirumah.
b. Balita kekurangan zinc
Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem
biologi, yang diperlukan untuk pembelahan, diferensiasi dan
pertumbuhan sel. Organ yang fungsinya tergantung pada pembelahan
sel, seperti sistem kekebalan tubuh dan usus, sangat sensitife terhadap
defesiensi seng. Anak-anak di negara sedang berkembang mengalami
asupan seng yang tidak adekuat, yang mengakibatkan penurunan
regenerasi sel, fungsi barrier epitel dan pertumbuahan linier serta
penurunan sistem imun; sehingga meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi (Hidayati, 2011).
Suplementasi Zinc (Zn) perlu diberikan untuk anak dengan diet
kurang Zinc di negara berkembang. Penelitian di beberapa negara Asia
Selatan menunjukkan bahwa suplementasi Zinc pada diet sedikitnya 3
bulan dapat mencegah infeksi saluran pernapasan bawah. Di Indonesia,
Zinc dianjurkan diberikan pada anak yang menderita diare
(Kartasamita, 2010). Zinc banyak terdapat dalam daging, tiram, ikan
kering, hati dan susu juga merupakan sumber makanan yang kaya akan
zinc. Selain itu makanan yang mengandung fitat dan makanan berserat
menghalangi absorbsi Zinc (Eschleman, 1996 dalam Nasution, 2004).
22

Beberapa bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan


zinc dan besi adalah asam askorbat dan sitrat (pepaya, jambu biji,
pisang, mangga, semangka, pir, jeruk, lemon, apel, jus nenas, kembang
kol, dan limau), asam malak dan tartrat (wortel, kentang, tomat, labu,
kol, dan lobak cina), asam amino sistein (daging, kambing, daging babi,
hati, ayam, dan ikan), dan produk-produk fermentasi (kecap kacang
kedele, acar/asinan kubis) (Nasution, 2004).
Beberapa makanan yang dapat menghambat penyerapan zinc dan
besi adalah fitat (beras, terigu, gandum, kacang kedele, susu coklat,
kacang dan tumbuhan polong), polifenol (teh, kopi, bayam, kacang,
tumbuhan polong, rempah-rempah), kalsium dan fosfat (susu dan keju)
(Gillespie, 1998 dalam Nasution, 2004).
c. Pengalaman ibu
Menurut Notoadmojo (2003) salah satu cara memperoleh
pengetahuan adalah berdasarkan pengalaman pribadi. Pengalaman
pribadi dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan
dengan cara menanggulangi kembali pengalaman yang diperoleh dalam
pemecahan masalah yang lain.
d. Bersamaan penyakit (diare, jantung, asma)
Infeksi pneumonia pada anak juga dapat mempengaruhi saluran
pencernaan berupa diare, dan juga dapat mempengaruhi organ lain.
Lebih dari 50% anak yang menderita pneumonia yang didapat dari
23

masyarakat (community-acquired pneumonia) dengan etiologi


legionella, akan mengalami diare (Nurjanah dkk, 2011).
Penelitian Putra (2005) mengungkapkan pneumonia dengan diare
bersama-sama mempunyai peran penting sebagai penyakit yang
menyebabkan anak menjalani rawat inap di rumah sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo J akarta dengan prosentase 7,3 % balita mengalami
pneumonia dan diare antara bulan 1 J uni-31 Agustus 2005.
3. Resiko Yang Masih Mungkin (possible risk factors)
a. Pendidikan ibu
Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor resiko
yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama Pneumonia.
Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan
oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA. J ika pengetahuan ibu untuk
mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita menderita
pneumonia, akan mempunyai resiko meninggal karena pneumonia
sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mempunyai
pengetahuan yang tepat (Kartasasmita, 2010).
b. Lama menjalani perawatan
Penentuan lama rawatan pada pasien rawat jalan, termasuk bagi
penderita pneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis
penyebab penyakit, tindakan medis dan perilaku orang tua.
Berdasarakan penelitian Sabuna (2011) tatalaksana pneumonia balita di
puskesmas Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 53,5% perawat
24

melaksanakan tatalaksana pneumonia namun sebanyak, 46,5% tidak


melakasanakan tatalaksana pneumonia. Hasil penelitian ini menunjukan
mayoritas perawat memiliki motivasi yang tinggi untuk melaksanakan
tatalaksana pneumonia pada balita. Banyaknya perawat yang memiliki
motivasi tinggi untuk melaksanakan tatalaksana pneumonia balita akan
mempengaruhi menurunya lama rawat jalan pada balita yang menderita
pneumonia.
c. Curah hujan (kelembaban)
Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Pada umumnya mikroorganisme berjenis bakteri membutuhkan
kelembaban yang tinggi. Udara yang sangat kering dapat memusnakan
bakteri (Setyaningsih, 1998). Pada musim penghujan kelembaban udara
akan semakin tinggi sehingga dapat mempersubur pertumbuhan bakteri
mikroorganisme patogen penyebab Pneumonia. Penelitian Febriana
(2011) menunjukan ada hubungan bermakna kelembaban udara dalam
rumah dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pedan Kabupaten
Klaten. Penelitian dilaksanakan antara bulan Oktober sampai dengan
bulan Desember 2010, dimana pada bulan Oktober sampai dengan
Desember menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) di J awa
Tengah curah hujan masih sangat tinggi.
d. Ketinggian tempat tinggal
Hukum Gradien Geothermis, menyebutkan semakin tinggi (tiap
kenaikan 1.000 meter) suatu tempat di permukaan bumi, temperatur
25

udaranya akan turun rata-rata sekitar 6C di daerah sekitar khatulistiwa


(Hendri, 2011).
Suhu udara naik, maka jumlah uap air yang dapat dikandung juga
meningkat sehingga kelembapan relatifnya turun. Dan sebaliknya, bila
suhu udara turun, kelembapan relatifnya naik, karena kapasitas udara
menyimpan uap air berkurang. Kelembaban sangat penting untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme
berjenis bakteri membutuhkan kelembaban yang tinggi. Udara yang
sangat kering dapat memusnakan bakteri (Setyaningsih, 1998).
e. Kekurangan vitamin A
Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita telah
dilaksanakan di Indonesia. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan
imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Hasil
penelitian Kartasasmita (1993) menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna insidens dan beratnya pneumonia antara balita yang
mendapatkan vitamin A dan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih
lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A.
f. Urutan kelahiran
Urutan anak dan jumlah anak dalam keluarga yang besar akan
mempengaruhi kepadatan hunian rumah, semakin padat penghuni
rumah resiko polusi akan menjadi semakin tinggi. Hasil penelitian
Nascimento (2004) di negara Brasil menyatakan bahwa semakin tinggi
26

peringkat di urutan kelahiran, semakin besar kesempatan untuk rawat


inap karena pneumonia.
g. Polusi udara luar ruangan
Kondisi udara diruangan tertutup mengandung lebih sedikit
mikroorganisme dari jenis yang sama dibandingkan yang ditemukan
diudara terbuka. Mikroorganisme tersebut sebagian besar adalah
saprofit dan bersifat nonpatogenik. Akan tetapi dengan bertambahnya
mikroorganisme non patogrnik dalam jumlah yang relatif besar dapat
membuatnya mempunyai potensi yang sama seperti mikroorganisme
patogenik.
Pada mulanya udara jarang mengandung mikroorganisme
patogenik, tetapi dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran
penularan sejumlah spesies utama yang menyebabkan infeksi pada
saluran pernafasan (Setyaningsih dkk, 1998).

D. Kerangka Teori Penelitian
Faktor resiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang
mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu
(Notoatmodjo, 2010). Menurut Rudan, dkk (2008). Faktor resiko terjadinya
pneumonia dibagi menjadi 3 yaitu faktor resiko yang selalu ada (definite risk
factors), meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan ASI
eksklusif, polusi udara dalam ruang dan kepadatan hunian. Faktor resiko yang
sangat mungkin (likely risk factors) meliputi ibu hamil yang merokok, balita
27

kekurangan zinc, pengalaman ibu sebagai pengasuh, bersamaan penyakit


(misalnya diare, penyakit jantung, asma), dan faktor resiko yang masih
mungkin (possible risk factors) meliputi pendidikan Ibu, lama menjalani
perawatan, curah hujan (kelembaban), ketinggian tempat tinggal (udara
dingin), kekurangan vitamin A, urutan kelahiran, polusi udara luar ruangan.
Faktor resiko tersebut memungkinkan adanya mekanisme hubungan antara
agen penyakit dengan induk semang (host) dan pejamu yaitu manusia,
sehingga terjadi efek sakit. Semua yang tersebut di atas dapat tergambarkan
dalam bagan berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Teori
(Sumber : Modifikasi teori Notoadmojo (2010) dan Rudan, dkk (2008)
Agen
Fisik, Biologis
Kimia
Definite risk factors

1. Status gizi
2. BBLR
3. ASI Eksklusif
4. Polusi udara dalam ruang
5. Kepadatan hunian
Possible risk factors

1. Pendidikan Ibu
2. Lama menjalani
perawatan
3. Curah hujan
(kelembaban)
4. Ketinggian tempat
tinggal (udara dingin)
5. Kekurangan vitamin A
6. Urutan kelahiran
7. Polusi udara luar
ruangan
Status Pneumonia
Likely risk factors

1. Ibu hamil yang
merokok
2. Balita kekurangan
zinc
3. Pengalaman ibu
4. Bersamaan
penyakit (misalnya
diare penyakit
jantung, asma)
28

E. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebagai kerangka
konsepnya sebagai berikut. Sebagai variabel bebas adalah status gizi, BBLR,
status pemberian ASI Eksklusif, polusi udara dalam ruang dan kepadatan
hunian. Variabel bebas yang dimaksud oleh peneliti akan di teliti apakah ada
hubungannya dengan dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan
Kabupaten Purbalingga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut
ini:
Variabel Bebas

Variabel Terikat






Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

F. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara faktor resiko (status gizi, BBLR, pemberian ASI
Eksklusif, polusi udara dalam ruangan dan kepadatan hunian rumah) dengan
kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan Kabupaten Purbalingga.

Faktor Utama
1. Status gizi
2. Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR)
3. Status pemberian ASI
eksklusif
4. Polusi udara dalam
ruangan
5. Pemukiman padat


Kejadian Pneumonia
Pada balita

Anda mungkin juga menyukai