Anda di halaman 1dari 6

Marius Widjajarta

Obat Mahal, Peluang Maraknya Obat Palsu


Edisi 573 | 05 Mar 2007 | Cetak Artikel Ini Selamat bertemu kembali sahabat Perspektif Baru dimanapun Anda berada dengan saya Jaleswari Pramodhawardani. Kita sekarang akan berbicara dengan Dr. Marius Widjajarta SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengenai hal-hal yang menyangkut kemaslahatan hidup orang banyak yaitu maraknya obat palsu. Marius Widjajarta mengatakan selama ini ada salah kaprah antara obat generik, obat bermerek, dan obat patent. Selama ini obat bermerek selalu dikatakan obat patent, padahal obat patent di Indonesia tidak sampai 7-8%. Obat bermerek adalah obat generik yang dikasih merek dan kemudian mereknya dipatenkan. Adanya salah kaprah tersebut dan juga tidak diaturnya ketentuan harga obat bermerek telah menyebabkan perbedaan margin harga obat generik dan obat bermerek sampai 80%. Ini kemudian membuka peluang untuk terjadinya obat palsu. Karena itu Marius berpendapat, guna meminimalkan obat palsu maka perbandingan harga obat generik dan obat bermerek perlu diatur yaitu hanya dua sampai tiga kali. Itu perlu diatur lewat peraturan menteri kesehatan agar mempunyai kekuatan. Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Marius Widjajarta. Terus terang kita dan masyarakat sangat resah terhadap obat-obat palsu yang banyak beredar seperti dilansir media massa. Apakah fenomena yang terakhir ini menyeruak kembali secara tiba-tiba atau memang masalah lama yang tidak tuntas? Sebelum berbicara obat palsu, saya menjelaskan dulu bahwa obat itu bermacam-macam dan secara garis besar ada tiga golongan. Ada obat generik, obat bermerek, dan obat patent. Obat generik adalah obat yang sesuai dengan zat berkhasiat. Jadi kalau zat khasiatnya itu amoxilin maka di generik dijual dengan nama amoxilin. Kalau bermerek tergantung dari nama yang diberikan oleh produsen. Jadi sebetulnya cuma generik diberikan merek tapi keampuhannya sama. Misalnya, amoxilin buatan pabrik Ibu Tuti maka dijual dengan namanya Tuticilin. Sesuai Surat Keputusan (SK) No.068 tahun 2005 maka di bawahnya harus ditulis nama generiknya, tapi sampai saat ini SK itu mandul. Seharusnya mulai 1 Januari 2007 produsen sudah mencantumkan nama generiknya dengan ukuran satu banding 80%. Bagaimana untuk orang awam supaya mengatahui bahwa ini generik atau bukan? Di label pada kemasan obat harus dituliskan nama generik dan merek dagangnya sesuai SK 068/2005 yang berlaku Januari 2007. Misalnya, pabriknya ibu Tuti dan keluar dengan merek Tuticilin maka di bawahnya harus ada tulisan amoxilin. Tapi sampai sekarang itu belum terlaksana dengan baik. Mengapa belum terlaksana dengan baik padahal itu sangat bermanfaat bagi kita?

Kemungkinan ada permainan oknum di Departemen Kesehatan karena terus diundur. Padahal ini sudah melanggar UU konsumen No.8 tahun 1999 dimana antar lain dinyatakan konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar dan jelas. Dengan tidak dicantumkan maka hak kita dipotong oleh mereka. Di luar negeri ini sudah biasa tapi di Indonesia masih tabu. Kita akan menggugat pemerintah kalau tetap tidak melaksanakan SK itu. Pemahaman kita sebagai orang awam tentang obat generik berkaitan dengan harga. Obat generik itu lebih murah dari obat patent. Tapi soal khasiat seperti Anda katakan adalah sama saja. Apa yang perlu kita ketahui sebagai orang awam tentang obat generik itu sendiri sehingga kita bisa memilih? Jadi sebelumnya kita harus melihat khasiatnya bukan hanya harga. Selama ini dalam istilah generik dan patent ada salah kaprah. Kalau obat patent adalah obat yang diberikan namanya berdasarkan penemunya. Misal, obat untuk kanker, HIV, flu burung itu berdasarkan riset dan hasil laboraturium pemasaran sendiri dan internasional selama 20 tahun sehingga mereka mendapatkan hak patent. Jadi selama ini konsumen dibodohi. Oknum dokter mengatakan ini yang patent. Padahal itu cuma generik dikasih merek dan perbedaan harganya 40 80 kali. Kejadian seperti itu maka yang masuk di tubuh manusia adalah generiknya, sedangkan mereknya masuk kantong produsen. Kondisi ini saya ingin bongkar habis-habisan karena di Indonesia obat patent tidak sampai 7- 8%. Kalau kita melihat perbedaan harga antara obat generik dan bermerek sampai 70-80% maka itu tidak adil. Kalau soal mutu, jika sesama generik maka mutunya sama, hanya saja yang satu tidak bermerek. Jadi berarti pandangan orang awam itu salah yach. Jadi jangan mengatakan obat bermerek adalah obat yang patent. Patent adalah mereknya. Misalnya, Tuticilin yang dipatentkan adalah Tuticilinnya sedangkan isinya adalah generik. Jadi memang sudah salah kaprah. Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab untuk meluruskannya? Mengapa salah kaprah ini dibiarkan? Ini tanggung jawab Departemen Kesehatan. Kita tahu obat generik ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan obat bermerek dibiarkan lepas bebas. Harganya ada yang 10 kali lipat, 20 kali, 40 kali, ada juga yang sampai 80 kali. Siapa seharusnya yang mengatur itu? Yang mengatur adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan Apakah itu sudah ada? Belum ada dan terus terang gabungan pengusaha farmasi pernah membuat SK harga obat antara generik dan bermerek maksimal tiga kali. Kalau di luar negeri 1,2 kali sampai maksimal dua kali. Kalau surat SK gabungan pengusaha farmasi tidak kuat maka seharusnya dengan SK menteri kesehatan. Secara formal sudah kita kasih ke Depkes dan kalau tidak salah perbedaan harganya tiga sampai empat kali. Tapi SK itu tidak keluar-keluar dan ini kendalanya. Kalau ini sudah diatur maka yang namanya obat palsu mungkin jumlahnya minimal. Jadi untuk apa membuat obat palsu kalau untungnya minimal.

Dengan banyak obat palsu, dimana kita sebagai orang awam sebaiknya membeli obat? Apakah kita tidak boleh lagi membeli di toko obat, dan hanya boleh di apotek saja? Ada jenis obat bebas, bebas terbatas, obat daftar G dengan resep dokter, satu lagi obat golongan narkotik fisiotropik, dan obat wajib apotek. Kalau toko obat hanya boleh menjual obat bebas dan bebas terbatas. Apakah itu artinya bukan dari resep dokter? Bukan. Jadi ada tandanya. Jika ada lingkaran hitam dan dasarnya hijau maka itu berarti obat bebas. Kalau obat bebas terbatas memiliki lingkaran hitam dengan dasarnya biru. Kalau sudah daftar G dengan resep dokter maka harus membeli di apotek. Kalau sudah di apotek maka memiliki tanda lingkaran hitam dengan dasar merah dan tengahnya ada huruf K artinya keras. Jadi kalau begitu seluruh resep dari dokter harus beli di apotek. Di apotek, tidak boleh di toko obat. Kalau Anda beli di toko obat, resiko tanggung sendiri. Kalau ditanya, apa mungkin apotek tidak membeli obatnya di toko obat? Itu mungkinmungkin saja. Kalau sampai terjadi apotek membelinya di toko obat, secara hukum itu bisa kita gugat karena menyalahi aturan permainan atau prosedur. Tapi kalau di toko obat, nasib ditanggung sendiri. Kalau kita membeli di apotek, apakah itu sudah jaminan bahwa obat itu tidak palsu? Secara hukum itu sudah ada jaminannya karena kita membeli di saluran resmi. Tapi kalau beli di toko obat maka resiko tanggung sendiri. Apakah selama ini obat-obat palsu yang beredar itu lebih banyak di toko obat atau apotek? Bukan hanya toko obat, kios rokok juga ada. Antibiotik dijual di kios penjual rokok. Nah ini suatu yang salah kaprah. Apakah tindakan pemerintah selama ini cukup kuat untuk menghentikan peredaran obat palsu? Tadi Anda mengatakan bahwa kasus ini lagu lama saja, tapi tidak pernah mendapatkan perhatian serius, padahal ini berkaitan dengan nyawa kita semua. Kalau sekarang saya tahu obat ini palsu atau tidak walau mirip sekali, dan saya juga tahu cara pemalsuannya karena saya bergaulnya sudah cukup lama. Tapi kalau masyarakat awam tidak mengetahuinya. Dari pemerintah seharusnya yang mengawasi itu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Pejabat Badan POM sekarang yang baru agak bagus. Kalau yang dulu agak susah, selalu mengatakan kasus obat palsu terjadi karena hukumannya ringan. Padahal yang utama adalah pengaturan perbedaan harga obat generik dengan bermerek , kuncinya di situ. Kalau cuma hukuman maka ibaratnya itu baru sampingannya, sedangkan sumber malapetaka ada di harga. Kalau pemerintah sekarang ingin obat palsu minimal maka seharusnya segera tentukan patokan harga obat generik dan bermerek. Kalau dari konsumen memang kadang-kadang mendapat informasi dari dokter bahwa obat generik itu lama sembuhnya sedangkan bermerek

dikatakan lebih paten. Dokter ada yang terpelajar dan ada yang kurang ajar, meskipun duaduanya belajar. Itu adalah bohong. Untuk menangkal itu, kuncinya minta obat generik kalau Anda ke dokter. Kalau dokter mengatakan lama sembuhnya, katakan saja itu sudah resiko saya. Konsumen berhak memilih. Kalau dokter mengatakan obat generiknya tidak ada karena sakit yang diderita kanker maka boleh didengarkan. Selebihnya hampir semua obat ada generiknya. Ini tip yang sangat berguna buat kita karena selama ini kita dalam kondisi yang rentan. Dokter itu bukan dewa, kadang-kadang oknum dokter menerima komisi. Saya sudah mengatakan di beberapa media bagaimana menghadapi kerjasama dokter dengan produsen, kalau ketahuan tuntut pidana yang bersangkutan karena mereka menerima komisi. Apakah ada kejadian salah obat kaitannya dengan obat palsu? Kalau salah obat biasanya apotek menelepon dokter, kok obatnya aneh. Tapi masalah oknum dokter dengan produsen obat harus dipidanakan, masukkan undang-undang korupsi, penerima dan pemberi harus dipidanakan sebagai shock terapi. Kalau dokter melakukan itu artinya sudah melakukan kejahatan kemanusiaan yang hukumannya berat. Orang sakit ingin berobat tapi dikomersilkan, itu tidak boleh. Kalau menurut dokter, dimana pusat jaringan pemalsu obat ini? Kalau kemarin yang ditangkap di Jakarta Pusat oleh polisi itu obat sampah. Itu kecil sekali. Sekarang pemalsu tidak mau repot jadi obat generik dibeli lalu dikasih kemasan dengan merek-merek tertentu dengan dibungkus alumunium foil. Sekarang mudus operasinya seperti itu. Bagaimana awal Yayasan Pemberdayaan Kosumen Indonesia ini berdiri ? Saya sebenarnya berurusan dengan konsumen karena diceburkan oleh ibu saya. Ibu saya adalah salah satu pendiri lembaga konsumen. Siapa namanya? Ibu Suhartono. Dia adalah salah satu pendiri lembaga konsumen. Jadi ketika saya masuk tidak mengerti apa-apa. Begitu saya menjadi dokter, teman-teman ibu saya meminta saya membantu lembaga tersebut karena saya seorang dokter. Menurut teman-teman ibu saya, seorang dokter juga harus tahu kalau konsumen itu penting. Pertama kali masuk, saya masih melongo, dan lama kelamaan saya berpikir bahwa itu benar juga karena selama ini orang menganggap dokter itu orang paling hebat, padahal tidak. Kita tahu juga kalau dokter mengatakan sesuatu pasien menurut saja. Kita memang harus menghargai dokter, tapi bukan berarti kita tidak boleh bertanya. Itu sangat boleh. Kadang kita keluar kamar praktek dokter tidak mengetahui diagnosa penyakitnya. Memberi obat juga kita nggak tahu bagaimana cara minumnya, atau dokternya diam saja kalau kita tanya. Itu seharusnya tidak boleh. Sistem kesehatan di Indonesia itu out of pocket. Apa sistem out of pocket itu?

Sistem sakit dan bayar. Kalau di luar negeri sistem asuransi. Artinya, semua ditanggung asuransi. Di Indonesia tidak ada standar pelayanan medis, standar pelayanan rumah sakit, ataupun profesi. Kalau begitu yang ada hanya pelayanan hati nurani. Selain itu penduduk Indonesia sangat beragam ada yang mengenyam pendidik ada juga yang tidak, ada yang mampu dan tidak mampu. Kalau yang mampu mungkin bisa menganggap uang sial saja. Tapi bagaimana bagi yang tidak mempunyai uang? Bahkan saya pernah disidang majelis etika kedokteran sebanyak empat kali karena dianggap menjelekkan profesi dokter. Apa kasus terakhir Anda? Yang terakhir saya membela seorang yang pasca operasi amandel, kehilangan syaraf pengecap. Dia seorang direktur pabrik minuman. Akhirnya saya mengatakan tadinya saya menghargai majelis ini, tapi ternyata majelis ini dijadikan pesakitan, ini majelis yang lama. Dia pukul meja, saya juga pukul meja. Lalu saya mengatakan, "Kita sama-sama LSM. Anda LSM profesi dan saya LSM konsumen. Saya sebagai dokter bukan untuk menjelek-jelekan profesi dokter, hanya memang dokter ada yang terpelajar dan ada juga yang kurang ajar. Jangan sampai yang kurang ajar merusak yang terpelajar." Apakah posisi Anda tersebut sangat menyulitkan Anda diantara teman-teman? Itu dulu, sekarang tidak. Dulu saya dikucilkan. Anda dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) lalu ke Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, benarkah? Saya dibesarkan oleh YLKI. Hanya satu hal yang tidak cocok dengan YLKI yaitu saya tidak setuju dengan bantuan asing. Jika ada bantuan asing, pemerintah akan mencap kita mengkritik karena adalah antek asing. Saya membuat LSM ini tanpa bantuan asing. Jika mau tentu kita cepat besar. Pikiran saya, kita harus mulai dari awal manusiapun mulai dari dikandung, ada proses anak sampai dewasa dan tua, kalau langsung besar cepat mati. Lalu darimana dananya? Kita tanpa bantuan asing. Kadang datang dari perorangan menyumbang. Di yayasan ini ada bagian pengaduan, penelitian, informasi ada juga pendidikan. Dari seluruh kasus yang masuk, apa kasus terbesar? Kalau dari pengaduan selama sembilan tahun ini ada 420 kasus dugaan malpraktek. Jadi dokter dan rumah sakitnya ngawur. Apakah di Yayasan Anda ada dokter lainnya? Sistem kami adalah konsultan. Konsultan kita ada 32, ada profesor di bidang hukum dan bidang medis juga. Kami tidak memungut bayaran, hanya biaya Rp 6.000 untuk materai. Selama 26 tahun anda berkecimpung dengan penyimpangan yang berhubungan dengan dunia medik. Apakah temuan yang anda dapatkan di lapangan sudah pernah dibicarakan dengan pemerintah khususnya Departemen Kesehatan, lalu apa respon mereka?

Menurut saya, menteri kesehatan sekarang agak lumayan. Bahkan ketika baru dilantik saya dipanggil dan ditanya apa kira-kira program yang harus dilaksanakan. Sekarang kita lihat cukup lumayan, misalnya, masyarakat miskin sudah ditanggung pemerintah walaupun itu masih kacau balau. Lalu masalah obat. Obat itu terlalu mahal. Kebetulan saya masuk tim, kita menghitung selam dua tahun dan kemarin kami berhasil menurunkan harga obat generik 780%. Apakah ini ada subsidi dari pemerintah? Tidak, karena obat generik itu terlalu mahal karena mereka bisa memberi diskon obat generik sampai 90%. Apa itu tidak gila obat generik bisa diskon 90%. Akhirnya selama dua tahun kita menghitung dan menteri menyetujui obat generik turun. Menurut dokter, apakah harga obat generik sekarang ini tidak terlalu mahal? Artinya produsen bisa hidup, distributor hidup, apotek hidup, dan konsumen juga hidup. Sekarang harga obat cukup lumayan. Menurut dokter, bagaimana persoalan obat dari seluruh persoalan kesehatan sekarang ini? Sekarang ini agak lumayan. Dulu Badan POM agak budi (budek dikit). Kalau kita kasih tahu selalu mengatakan tidak benar. Sekarang ketua Badan POM-nya juga baik. Apa yang perlu kita desakkan pada pemerintah agar obat palsu ini tidak meresahkan? Saya hanya menekankan agar draft yang kita serahkan segera ditanda-tangani oleh Menkes. Kalau itu sudah ditandatangani, kita berharap peredaran obat palsu akan berkurang. Mungkin obat palsu tidak bisa hilang sama sekali. Tapi dengan keuntungan sedikit dan resiko yang besar pelaku juga akan segan melakukannya. Mengapa banyak penggrebekan terhadap obat palsu tapi tidak menyentuh pokoknya? Kalau saya sebagai dokter, itu hanya menghilangkan gejala penyakit, sumber malapetakanya tetap ketentuan harga. Marginnya terlalu tinggi, mana ada orang berbisnis obat bermerek dengan keuntungannya sampai 80 kali kecuali di Indonesia. Jadi mungkin kita perlu menghimbau agar peraturan itu cepat ditandatangani. Ya, gabungan pengusaha farmasi saja sudah membuat aturan tiga kali saja. Jika itu tidak dikuatkan oleh peraturan Menkes maka mau jadi apa Indonesia dengan masalah obat ini.

Anda mungkin juga menyukai