Anda di halaman 1dari 6

Cara rehabilitasi (Sjamsuhidajat, R; Wim, de Jong. 1998. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.) 1.

Perawatan Perawat memegang peran yang dinamik dalam upaya rehabilitasi penderita di rumah sakit atau pusat rehabilitasi. Perawatan yang dapat diberikan meliputi bantuan pada kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan sanitasi dan kebersihan diri, misalnya dalam bentuk program latihan kandung kemih dan latihan defekasi. Perawatan juga diperlukan untuk kegiatan istirahat sehingga dapat dicegah komplikasi akibat berbaring lama.

2. Fisioterapi Fisioterapi adalah cara terapi yang menggunakan unsur fisik atau yang memanfaatkan sifat fisik suatu benda. Latihan gerak dapat dilakukan secara aktif, pasif, atau aktif dengan bantuan. Pada latihan aktif penderita bergerak sendiri atau dibantu oleh terapis, sedangkan pada latihan pasif, gerakan latihan dilakukan oleh terapis. Tujuan latihan gerak adalah mempertahankan atau memperbaiki lingkup gerak sendi dengan melakukan regangan pada otot, tendo, ligamen, dan simpai sendi. Tujuan berikutnya adalah memberikan kekuatan pada ototuntuk mengembalikan stabilitas sendi. Latihan napas dimaksudkan untuk melatih kekuatan otot-otot pernapasan. Pijat menyebabkan relaksasi dan memperbaiki sirkulasi sehingga dapat menghilangkan nyeri maupun rasa lelah. Gerakan pijat dilakukan dengan mengusap, menekan, atau mengetuk. Hidroterapi Hidroterapi adalah cara rehabilitasi menggunakan air atau cairan. Fungsi air atau cairan dalam rehabilitasi ini macam-macam. Di dalam air, tubuh menjadi lebih ringan karena hilangnya gaya berat sehingga otot yang lemah terasa berfungsi lebih kuat. Keadaan demikian menyebabkan seseorang merasa lebih baik dan bergairah melakukan latihanlatihan. Air yang disemprotkan dapat menghasilkan keadaan seperti setelah dipijat sehingga dapat digunakan untuk pijat air. Selain itu, air yang panas dapat digunakan untuk membersihkan luka pada penderita luka bakar. Suhu dapat dinaikkan dan diturunkan secara bergantian (400C selama empat menit dan 150C selama satu menit) untuk merangsang permukaan kulit. Cara ini disebut mandi kontras. Kadang dipakai lumpur panas sehingga

disebut terapi lumpur. Untuk cara ini kelainan kulit tentu merupakan kontraindikasi. Kebanyakan cara terapi ini dipakai untuk kaku sendi. Termoterapi Efek pemanasan atau pendinginan pada dasarnya sama yaitu memperbaiki sirkulasi. Pendinginan atau pemanasan ini dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bergantian sehingga pembuluh darah dilatih untuk vasokonstriksi dan vasodilatasi. Selain memperbaiki keadaan karena diperbaikinya sirkulasi, panas dapt menghilangkan rasa sakit akibat spasme otot, dengan demikian terjadi kelenturan untuk melakukan gerak pada sendi. Sifat panas dan dingin dapat diberikan melalui getaran gelombang sehingga dapat dicapai penetrasi jaringan yang lebih dalam. Vasokontraksi yang segera terjadi setelah pendinginan dapat menghilangkan rasa sakit. Cara ini digunakan pada cedera olahraga sehingga reaksi radang berkurang, metabolisme jaringan menurun, dan udem berkurang. Elektroterapi Arus listrik galvanik (searah) dan faradik (bolak balik) dipakai untuk merangsang otot dan saraf. Perangsangan selektif pada serabut sensorik kulit dapat menghalangi persepsi nyeri dan ini dapat dilakukan dengan rangsangan saraf elktrik transkutan (Transcutaneus Elektric Nerve Stimulation = TENS). Cara TENS dapat memberikan hasil baik pada nyeri lokal. Pada keadaan kronik, TENS hanya mengurangi keluhan, simtomatik karena itu pada keadaan ini harus digunakan cara lain seperti latihan atau obat-obatan. Stimulasi galvanik dipakai untuk memperbaiki fungsi saraf setelah cedera, sedangkan stimulasi faradik digunakan untuk mencegah hipotrofi otot yang hilang persarafannya.

3. Terapi Kerja Tindak rehabilitasi ditujukan untuk membantu agar penderita dapat mandiri baik dalam kegiatam dasar (misalnya makan, berbusana, mandi) maupun dalam kegiatan lain sehariharinya. Karena keterbatasannya, penyandang cacat ini perlu bantuan, baik dari orang lain maupun dengan peralatan khusus. Terapi kerja diberikan oleh seorang ahlinya baik pada stadium cacat, ilat, maupun tuna dengan sarana adaptif. Tugas seorang dokter adalah mengadakan penilaian pada keterbatasan penderita, kemudian mendelegasikan tugas pelaksanaannya kepada terapis yang terkait.

4. Bidang Ortotik-Prostetik 5. Logopedi Logopedi atau terapi wicara adalah terapi yang diberikan untuk mengatasi gangguan komunikasi termasuk fungsi bicara dan pendengaran. Gangguan fungsi bicara antara lain dapat disebabkan oleh kelainan mekanik organ artikulasi seperti pada labioskisis dan palatoskisis. Terapi wicara pada penderita demikian telah dimulai sejak masa prabedah untuk melatih artikulasi.

6. Psikologi Sikap mental dan emosional sangat menentukan keberhasilan upaya rehabilitasi pada separuh penderita dewasa. Peran faktor kejiwaan ini lebih besar lagi pada anak.

7. Kedokteran Sosial Penyandang cacat dengan gangguan fungsi sering menghadapi masalah ketika kembali ke pekerjaan semula. Hal ini akan memperberat masalah sosioekonomi yang mungkin telah ada sebelumnya.

8. Pendidikan Terutama bagi pasien anak dan remaja peran seorang pendidik turut menentukan keberhasilan program rehabilitasi. Anak yang mengalami gangguan fungsi menghambat geraknya akan sangat membutuhkan batuan guru. yang

Fase Perawatan Pasca Pembedahan http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/833/BAB%20I%20SKRIPSI.docx? sequence=1 1. Oklusi dan rehabilitasi rahang Rahang kembali berfungsi secara penuh merupakan tujuan penting dan mendapat perhatian lebih sejak munculnya Rigid Internal Fixation (RIF). Tidaklah mengherankan bahwa pasien mungkin mengalami kesulitan mencari posisi oklusal baru setelah operasi karena segmen tulang dan gigi berubah; proprioception diubah dalam alat gigi, tulang, dan otot, dan edema jaringan. Postbedah, pasien merasa lebih mudah untuk fungsi ke dalam posisi oklusal baru ketika dipandu ke dalam sebuah splint oklusal yang tepat dengan training light elastic.

Disarankan bahwa splint oklusal tetap berlaku sampai dokter gigi tersebut siap untuk menghapus stabilizing arch wire, bahkan jika fiksasi maxillomandibular pasien dilepaskan sebelum meninggalkan ruang operasi karena keberhasilan RIF. Hal ini memerlukan beberapa modifikasi splint dari jenis yang digunakan secara rutin dengan fiksasi maxillomandibular tradisional. Tiga langkah penting, yaitu : (i) pengurangan kedalaman indeks plint oklusal, untuk menghilangkan gangguan potensial pada aspek distal dan lingual gigi posterior serta aspek lingual gigi gigi insisivus, pasien harus dapat masuk ke ekskursi lateral serta gigitan ke atas dan ke bawah; (ii) penyediaan splint thickness yang memadai sehingga tidak pecah fungsinya. Meskipun splint tipis adalah ideal, dalam kasus di mana pasien berfungsi pada splint hanya setelah operasi, splint harus minimal tebal 2 mm dan diperkuat dengan kawat jika mungkin; dan (iii) kemampuan pengambilan splint untuk membersihkan (kecuali dalam kasus-kasus tersegmentasi). Hal ini dilakukan paling mudah dengan menambahkan jepit bola pada splint sehingga pasien dapat mengambil keluar splint, membersihkan, dan menaruhnya kembali. Perkembangan rehabilitasi pasca operasi tergantung pada beberapa faktor, termasuk jenis operasi, stabilitas segmen pada saat operasi, dan usia pasien dan motivasi. Secara umum, prosedur bedah mandibula sendiri atau dalam kombinasi dengan hasil pembedahan rahang atas dalam fungsi yang lebih terbatas, dan pasien membutuhkan perhatian lebih dalam rehabilitasi dibandingkan dengan prosedur rahang atas yang terisolasi. Pasien yang memiliki prosedur yang mengakibatkan kontak tulang yang baik dan stabilisasi segmen dapat meningkatkan jangkauan geraknya lebih cepat pada periode pasca operasi segera. Bahkan ketika rehabilitasi yang cepat dan agresif adanya fungsi rahang adalah mungkin, harus diingat bahwa penyembuhan tulang lengkap berlangsung selama beberapa bulan, dan pengerasan berlebihan digunakan untuk membantu fungsi rahang dapat menyebabkan gerakan di lokasi osteotomy dalam 2 bulan pertama setelah operasi.

2. Orthodontik Pasca Bedah Perawatan ortodontik pasca-bedah dapat dimulai apabila ahli bedah beranggapan bahwa proses penyembuhan dan stabilitas klinis telah tercapai dengan memuaskan. Dengan kawat osteo synthesis dan fiksasi maksilo-mandibula, biasanya penyembuhan akan terjadi sekitar 68 minggu pada kasus yang mengalami osteotomi mandibula, dan sedikit lebih singkat pada kasus osteotomi maksila. Apabila ragu-ragu tentang proses penyembuhan, tindakan perawatan ortodontik pascabedah dapat ditunda 1-2 minggu.

Tahap pertama dalam perawatan ortodontik pascabedah adalah melepas splint dan stabilizing arch, kemudian menggantinya dengan kawat yang sesuai untuk perawatannya dengan tujuan untuk memperoleh oklusi penuh. Kawat ini dipakai kira-kira 6 bulan. Apabila kita melepas splint tanpa stabilizing wire-nya maka ada kemungkinan akan terjadi diskrepansi antara relasi sentrik dan oklusi sentrik yang akan merepotkan tindakan perawatan ortodontik pasca bedah. Tahap terakhir pada perjanjian/konsultasi pertama ialah pasien diminta untuk memakai elastic yang ringan pada daerah posterior atau juga pada daerah anterior bila terlihat adanya gigitan terbuka. Biasanya digunakan 3/8 inci box elastic dengan tarikan/gaya 6 oz atau lebih kecil. Elastik ini harus dipakai terus termasuk pada waktu makan. Tompach dan kawan-kawan menyatakan tujuan untuk menggunakan elastic segera sesudah tindakan bedah adalah untuk menunjang kedudukan yang baru setelah operasi dan agar tidak terjadi lepas dan menuntun agar diperoleh pola fungsional yang baru. Pengaruh positif dari tekanan/gaya fungsional pada perkembangan oklusi yang baru merupakan kunci untuk memperoleh hasil perawatan yang stabil. Jangan memakai kawat berpenampang bulat setelah memasuki tahap pascabedah, karena penggunaan kawat bulat yang dikombinasi dengan pemakaian elastik akan berpengaruh terhadap inklinasi aksial gigi-gigi posterior, mengakibatkan gigitan terbalik (dental crossbite) openbite dan distorsi bentuk lengkung gigi. Tujuan orthodontik pasca bedah adalah penutupan ruang yang tersisa, pensejajaran akar pada daerah operasi, interdigitasi maksimum, susunan gigi yang lebih baik, retensi dari otototot oral yang telah diorientasi ulang untuk mencegah relaps, overjet dan overbite yang ideal dan untuk menstabilkan hasil yang diperoleh melalui pembedahan.

3. Bedah Model Bedah model adalah prediksi sefalometrik hasil pembedahan dalam versi cetakan dental. Jika gigi-gigi betul-betul tidak teratur atau ketika bentuk lengkung maksila dan mandibula tidak sesuai, bedah model tidak mungkin dilakukan tanpa mensimulasi perawatan orthodontik prabedah. Dalam kasus ini, set-up diagnostik terlebih dahulu diselesaikan, dan kemudian model set up digerakkan sebagaimana mestinya pada saat operasi. Dalam bentuk yang paling sederhana, bedah model hanya perlu mengartikulasikan model pra perawatan dengan tangan dalam posisi pasca bedah. Pergerakan kedepan mandibula dapat disimulasikan, dengan menggerakkan cetakan RB ke depan relative terhadap cetakan rahang bawah. Lebih mudah untuk mempelajari hubungan gigi jika cetakan gigi ditanam sementara

pada articulator yang tidak tetap sehingga model tersebut dapat dipasang pada posisi yang dikehendaki. Tujuannya yaitu untuk menentukan besar dan arah pergerakan skeletal, untuk menentukan ukuran dan bentuk osteotomi khususnya yang interdental, memberikan splint bagi koreksi splint bedah, dan memberikan acuan komparatif terhadap hasil oklusal yang saat ini dicapai sebagaimana terlihat pada fiksasi intermaksila.

4. Splint Bedah Digunakan dalam ruang operasi untuk memposisikan gigi dan menambah stabilisasi. Splint digunakan selama dan setelah pembedahan. Keuntungan prosedur ini adalah memberikan tujuan yang jelas bagi ahli bedah di meja operasi, membantu dalam memposisikan fragmen tulang secara tepat untuk membantu penyembuhan dan mampu menempatkan gigi dalam suatu posisi yang telah direncanakan, bahkan jika gigi-gigi tersebut tidak berinterdigitasi dengan sempurna tanpa splint. Splint bedah digunakan dalam prosedur bedah maksila bedah ramus mandibula, bedah rahang segmental, maupun bedah rahang ganda.

Anda mungkin juga menyukai