Anda di halaman 1dari 19

AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul
(untuk menyeru) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu
mentauhidkan-Nya) dan menjauhi thaghut…” [An-Nahl: 36]

Tauhid menurut bahasa (etimologi) diambil dari kata: æóÍøóÏó¡ íõæóÍöøÏõ¡


ÊóæúÍöíúÏðÇ artinya menjadikan sesuatu itu satu. Sedangkan menurut
ilmu syar’i (terminologi), tauhid berarti mengesakan Allah Azza wa Jalla
terhdap sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam Uluhiyyah,
Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya.

Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.

1. Macam-Macam Tauhid
A. Tauhid Rububiyyah

Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah


Subhanahu wa Ta'ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan. Allah adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala
sesuatu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“... Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah.


Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]

Allah Azza wa Jalla berfirman.

“...Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, kepunyaanNya-lah


segala kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah,
tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” [Faathir: 13]

Kaum musyrikin pun mengakui sifat Rububiyyah Allah. Sebagaimana


firman Allah Azza wa Jalla. “Katakanlah (Muhammad): ‘Siapakah yang
memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang
mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka,
mereka menjawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak
bertakwa (kepada-Nya)?’ Maka, (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb
kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan. Maka, mengapa kamu masih berpaling (dari
kebenaran)?” [Yunus: 31-32]
Firman Allah Azza wa Jalla.

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan


langit dan bumi?’ Pastilah mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan
oleh Yang Maha Perkasa lagi Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf: 9] [1]

Kaum musyrikin pun mengakui bahwasanya hanya Allah semata Pencipta


segala sesuatu, Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi, dan Pengatur alam
semesta. Namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka
anggap sebagai penolong, mereka bertawassul dengannya (berhala
tersebut) dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at, sebagai-
mana yang disebutkan dalam beberapa ayat.[2]

Dengan perbuatan tersebut, mereka tetap dalam keadaan musyrik,


sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan


dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-
sesembahan lain).” [Yusuf: 106]

Sebagian ulama Salaf berkata, “Jika kalian bertanya kepada mereka,


‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’ Mereka pasti menjawab,
‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain-
Nya.” [3]

B. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui
segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-
Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh
(penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta pertolongan), istighatsah
(minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan
segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla
dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah
ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas
karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain
Allah.

Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa
pun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka
pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak
diampuni dosanya (apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat
kepada Allah atas perbuatan syiriknya). (An-Nisaa: 48, 116)[4]

Al-ilaah artinya al-ma’luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh


kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H)
rahimahullah berkata, “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-
Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik
dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama
dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak
ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam
semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-
satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allah tidak boleh disekutukan
dengan seorang pun dari makhluk-Nya.” [5]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Allah menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Dia, (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (yang menegakkan keadilan). Tidak ada yang berhak diibadahi
dengan benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali
‘Imran: 18]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengenai Laata, ‘Uzza dan Manaat


yang disebut sebagai ilah (sesembahan), namun tidak diberi hak
Uluhiyyah.

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk
(menyembah)-nya...” [An-Najm: 23]

Setiap sesuatu yang disembah selain Allah l adalah bathil, dalilnya adalah
firman Allah Azza wa Jalla.

“Demikianlah (kebesaran Allah) karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang


Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah
yang bathil, dan sesung-guhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi,
Mahabesar.” [Al-Hajj: 62]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'Alaihis sallam, yang
berkata kepada kedua temannya di penjara:

“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang


bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan
nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu
keterangan pun tentang (nama-nama) itu...” [Yusuf: 39-40]

Oleh karena itu, para Rasul Alaihimus sallam menyeru kepada kaumnya
agar beribadah hanya kepada Allah saja. [6]
”... Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada ilah yang
haq selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” [Al-
Mukminuun: 32]

Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja


mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka
menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada sesembahan-
sesembahan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pengambilan sesembahan-sesembahan yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan dua
bukti:

Pertama.
Sesembahan-sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai
keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk,
tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat
menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Namun mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah),


padahal mereka itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri
diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) bahaya terhadap dirinya dan
tidak dapat memberi manfaat serta tidak kuasa mematikan dan
menghidupkan juga tidak (pula) dapat membangkitkan.” [Al-Furqaan: 3]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Katakanlah (Muhammad), ‘Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai


sesembahan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat
dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak
mempunyai suatu saham (peran) pun dalam (penciptaan) langit dan bumi
dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan
tidaklah berguna syafa’at di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah
diizinkan oleh-Nya (memperoleh syafa’at)...” [Saba': 22-23]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala)


yang tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun? Padahal berhala itu
sendiri diciptakan dan (berhala itu) tidak mampu memberi pertolongan
kepada penyembah-penyembahnya bahkan berhala itu tidak dapat
memberi pertolongan kepada dirinya sendiri.” [Al-A’raaf: 191-192]

Apabila demikian keadaan berhala-berhala itu, maka sungguh sangat


bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadi-kan mereka sebagai ilah
(sesembahan) dan tempat meminta pertolongan.
Kedua.
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah l adalah satu-
satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala
sesuatu. Mereka pun mengakui bahwa hanya Allah yang dapat melindungi
dan tidak ada yang dapat memberi-Nya perlindungan. Hal ini
mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka
mengesakan Rububiyyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyyah
mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyyah
(beribadah hanya kepada Allah saja).

“Wahai manusia, beribadahlah hanya kepada Rabb-mu yang telah


menciptakan dirimu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa. (Dia-lah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui.” [Al-Baqarah: 21-22]

C. Tauhid Asma’ wa Shifat Allah


Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanhu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik
itu berupa Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal
tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat-Sifat Allah, baik
yang terdapat di dalam Al-Qur'an maupun dalam As-Sunnah, dan tidak
boleh ditakwil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-
Auza’i, al-Laits bin Sa’d dan Sufyan ats-Tsauri Radhiyallahu 'anhum
tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua
menjawab:

ÃóãöÑøõæú åóÇ ßóãóÇ ÌóÇÁóÊú ÈöáÇó ßóíúÝó.

“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat-Sifat Allah) seperti datangnya dan


janganlah engkau persoalkan (jangan engkau tanya tentang bagaimana
sifat itu).” [7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata

ÂãóäúÊõ ÈöÇááåö¡ æóÈöãóÇ ÌóÇÁó Úóäö Çááåö Úóáóì ãõÑóÇÏö Çááåö¡


æóÂãóäúÊõ ÈöÑóÓõæúáö Çááåö æóÈöãóÇ ÌóÇÁó Úóäú ÑóÓõæúáö Çááåö
Úóáóì ãõÑóÇÏö ÑóÓõæúáö Çááåö.

“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah
sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah, dan aku beriman kepada
Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan
apa yang dimaksud oleh Rasulullah.” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manhaj Salaf dan
para Imam Ahlus Sunnah adalah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat
dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan
apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk diri-Nya, tanpa tahrif [9] dan ta’thil [10] serta tanpa
takyif [11] dan tamtsil [12]. Menetap-kan tanpa tamtsil, menyucikan
tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan
persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuuraa: 11]

Lafazh ayat: áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóìúÁñ “Tidak ada yang sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan terhadap golongan yang
menyamakan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat makhluk-
Nya.

Sedangkan lafazh ayat: æóåõæó ÇáÓøóãöíÚõ ÇáúÈóÕöí “Dan Dia Maha


Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan terhadap orang-orang
yang menafikan atau mengingkari Sifat-Sifat Allah.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
1. Lihat juga QS. Al-Mu'-minuun: 84-89, lihat juga ayat-ayat lain.

2. Lihat QS. Yunus: 18, Az-Zumar: 3, 43-44.

3. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha', Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan
lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40), tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin
Muhammad al-Furaiyan.

4. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan ‘Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr.
Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan
Utama).

5. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 60), cet. Mu-assasah ar-Risalah,
1417 H.

6. Lihat Al-Qur-an pada surat al-A’raaf ayat 65, 73 dan 85.

7. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930).
Sanadnya shahih, lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, th. 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, tahqiq: Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyil Ghaffar (hal. 142
no. 134).

8. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad
Shalih bin al-‘Utsaimin (hal. 36).

9. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau
menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.

10.Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau
sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang
sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur-an atau hadits Nabi j, sedangkan tahrif ialah,
merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.

11. Takyiif adalah menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana
Sifat Allah itu?” Atau menentukan hakikat dari Sifat Allah, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah
bersemayam?” Dan yang sepertinya adalah tidak boleh bertanya tentang kaifiyat Sifat Allah karena
berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa
Jallamempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah yang mengetahui dan
kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.

12. Tamtsiil sama dengan tasybiih, yaitu mempersamakan atau menyeru-pakan Sifat Allah Azza wa
Jalla dengan sifat makhluk-Nya. Lihat Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-100) oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh Syaikh
Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihaat al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil
‘Aqiidah al-Waasi-thiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’anil Wasithiyah (hal. 86-94) oleh Syaikh ‘Abdul
‘Aziz as-Salman.
Kedudukan Tauhid dalam Islam dan
Urgensinya

Sesungguhnya kaidah Islam yang paling agung dan hakikat


Islam yang paling besar; satu-satunya yang diterima dan
diridloi Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk hamba-hamba Nya,
yang merupakan satu-satunya jalan menuju kepada Nya, kunci
kebahagiaan dan jalan hidayah, tanda kesuksesan dan
pemelihara dari berbagai perselisihan, sumber semua kebaikan
dan nikmat, kewajiban pertama bagi seluruh hamba, serta
kabar gembira yang dibawa oleh para Rasul dan para Nabi
adalah ibadah hanya kepada ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala
semata dan tidak menyekutukannya, bertauhid dalam semua
keinginannya terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala, bertauhid
dalam urusan penciptaan, perintah-Nya dan seluruh asma
(nama-nama) dan sifat-sifat Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala
berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu"
(QS An Nahl: 36)

" Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu,


melainkan Kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS Al Anbiya' : 25)

"Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha


Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS At Taubah: 31)

"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-


Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik)."
(QS Az Zumar: 2-3)
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama dengan lurus"
(QS Al Bayyinah: 5)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:


"Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan
mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi ini
adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala serta taat kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebaliknya semua
kejelekan di muka bumi ini; fitnah, musibah, paceklik,
dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah
menyelisihi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhanahu
Wa Ta'ala. Orang yang merenungi hal ini dengan
sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini
baik dalam dirinya maupun di luar dirinya." ( Majmu' Fatawa
15/25)

Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya


yang terpuji ini, maka syetan adalah makhluk yang paling
cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan
merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan
membahayakan tauhid itu. Syetan lakukan hal ini siang malam
dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil. Jika
syetan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar,
syetan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam
syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan
manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan
menjerumuskan ke dalam berbagai bid'ah dan khurafat. (Al
Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat
Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman
bin Muhammad Ali Furayyaan, hal 4)

Setiap dakwah Islam yang baru muncul tidak dibangun di atas


tauhid yang murni kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dan
tidak menempuh jalan yang telah dilalui oleh para salaful
ummah yang shalih, maka akan tersesat hina dan gagal, meski
dikira berhasil, tidak sabar ketika berhadapan dengan musuh,
tidak kokoh dalam al haqq dan tidak kuat berhadapan (dengan
berbagai rintangan).
Kita saksikan banyak contoh-contoh dakwah yang dicatat
dalam sejarah berbicara kenyataan yang menyedihkan ini dan
akhir yang buruk. Dakwah-dakwah yang berlangsung bertahun-
tahun, yang telah mengorbankan nyawa dan harta kemudian
berakhir dengan kebinasaan.

Namun seorang mu'min yang yakin dengan janji Allah yang


pasti benar, tidak akan putus asa dan menjadi kendor, tidak
akan gentar menghadapi berbagai cobaan dan tidak akan
menerima jika sekian banyak percobaan-percobaan itu
berlangsung silih berganti tanpa ada manfaat yang diambil
atau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
(Sebagaimana hadits dari sahabat Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no 6133) dan Imam Muslim
(no 2998) serta Imam Ahmad dalam Musnadnya (2/379)

Sudah ada teladan dan contoh yang paling bagus pada diri
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan


yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat." ( QS Al Ahzab: 21)

Inilah manhaj pertama dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam


dalam berdakwah kepada tauhid, memulai dengan tauhid dan
mendahulukan tauhid dan semua urusan yang dianggap
penting.

Urgensi Tauhid

Untuk memperkokoh pemahaman kita tentang pentingnya


aqidah tauhid dalam kehidupan, maka pada kesempatan ini Al
Madina mencoba mengangkat tulisan syaikh jamil zainu
seorang ulama besar di jazirah Saudi Arabia, yang disusun
dalam poin-poin dengan maksud memudahkan pemahaman
kita.

Allah telah menciptakan alam semesta untuk sebuah tujuan


yaitu ibadah(tauhid), dan Allah mengutus para rasul untuk
menyeru manusia kepada tauhid ini. Bahkan Al Quran
mengkedepankan pembahasan tauhid ini dalam kebanyakan
surat-suratnya.al quran pun memaparkan kejelekan
syirik(lawan dari tauhid) yang berlaku pada individu dan
masyarakat.

Syirik pula merupakan sebab kehancuran kehidupan manusia di


dunia dan akhirat. Sesungguhnya para Rasul memulai dakwah
mereka untuk mengajak manusia kepada Tauhid. Firman ALLAH
yg artinya :
"Tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu kecuali Kami
wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
diibadahi selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku" (QS Surat Al
Anbiya')

Rasul pun mentarbiyah(memberikan pendidikan) kepada


sahabatnya tentang tauhid ini semenjak mereka kecil,
sebagaimana perkataan beliau terhadap ibnu Abbas

"Apabila Engkau memohon maka mohonlah kepada Allah dan


apabila engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan
kepada Allah ." ( HR. Tirmidzi )

Tauhid inilah hakikat dari agama Islam yang dibangun


diatasnya bangunan Islam yang lain.

Rasul mengajarkan para sahabat agar memulai dakwahnya


dengan tauhid, beliau bersabda kepada Muadz bin Jabal yang
diutus ke Yaman :

" Jadikanlah awal yang kamu seru adalah syahadat Laa ilaaha
illallah, pada riwayat yang lain agar mereka mentauhidkan Allah"
( Muttafaq Alaih)

Tauhid adalah perwujudan dari syahadat Laa ilaaha illallah dan


Muhammad Rasulullah yang maknanya tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali Allah dan tidak beribadah kecuali dengan
syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Syahadat inilah yang
memasukkan seseorang kepada Islam, ia juga kunci Surga,
yang seorang akan masuk surga bila mengucapkannya selama
tidak beraktivitas yang membatalkan Syahadat tersebut.
Kafir Qurays menawari Rasulullah dengan kekuasaan, harta,
wanita dan materi dunia yang lain agar rasul meninggalkan
dakwah Tauhid ini. Rasul menolak tawaran tersebut dan terus
menggencarkan aktivitas dakwahnya walau menanggung
beragam ujian dan cobaan. Hingga berlalu 13 tahun dan
setelah itu mekah ditakhlukkan, dihancurkan berhala yang
disembah oleh orang kafir Quraisy. Firman ALLAH yang artinya :
"Telah datang kebenaran dan hancur kebatilan sesungguhnya
kebatilan itu pasti akan hancur " (QS Al Isra').

Tauhid adalah kewajiban tugas seorang muslim, dengannya


dimulai dan diakhiri kehidupannya. Dan tugas dalam
kehidupannya adalah menegakkan Tauhid, berdakwah kepada
tauhid. Tauhid pula lah yang menyatukan hati-hati orang-orang
yang beriman , dan kita mohon kepada Allah agar menjadikan
kalimat Tauhid sebagai akhir kehidupan kita.
KEDUDUKAN TAUHID DALAM ISLAM
DAN URGENSINYA|

Penulis: Al-Ustadz Abdurrahman Abu Usamah bin Rawiyah an Nawawi

Dakwah merupakan ibadah yang agung. Sayangnya, dakwah


telah banyak disalahgunakan untuk membungkus kampanye
politik dalam rangka mencari pengikut, merekrut simpatisan
dan kader partai, atau sekedar mencari dunia. Di sisi lain, ada
da’i yang mengkhususkan pada persoalan-persoalan politik
hingga melupakan hal-hal mendasar dalam Islam. Lalu
bagaimanakah sesungguhnya dakwah Rasulullah itu?
Terlalu banyak seruan atau ‘dakwah’ ilallah (menuju Allah)
yang kita jumpai di sekeliling kita. Masyarakat pun dengan
mudahnya mengatakan bahwa ‘dakwah itu semuanya sama’.
Benarkah? Lalu manakah seruan yang benar yang akan
mendekatkan kepada Allah?
Beragamnya seruan itu sendiri telah menjadi sunnatullah.
Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari shahabat Abdullah
bin Mas’ud, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bercerita di
mana Rasulullah membuat satu garis lurus dan mengatakan:
“Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Lalu beliau membuat
garis-garis yang banyak dari arah kanan dan arah kiri dan
beliau mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan dan tidak ada
satupun dari jalan tersebut melainkan syaitan menyeru di
atasnya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah: “Dan
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka tempuhlah ia dan jangan
kalian menempuh jalan yang banyak tersebut yang pada
akhirnya akan memecah diri-diri kalian dari jalan-Nya.”
As Sa’dy menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan yang
lurus tersebut di dalam kitab tafsirnya: “Adalah jalan yang
sangat jelas yang akan menyampaikan kita kepada Allah dan
kepada surga-Nya. Jalan yang lurus itu adalah mengenal yang
hak dan mengamalkannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam juga telah
menjelaskan akan munculnya para da’i yang menyeru di atas
jurang neraka. Dalam hadits Hudzaifah bin Yaman yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Hudzaifah mengatakan:
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan
dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan yang
khawatir akan menimpaku. Lalu aku berkata: “Ya Rasulullah,
tatkala kami berada dalam kehidupan jahiliyah Allah
mendatangkan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan
ini ada kejelekan? Rasulullah menjawab: “Ya.” Aku berkata
lagi: “Apakah setelah kejelekan ini ada kebaikan?” Rasulullah
menjawab: “ Ya, akan tetapi ada asapnya.” Aku mengatakan:
“Apakah asapnya wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab:
“Kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku kamu
kenal dan kamu ingkari.” Aku berkata: “Apakah setelah
kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu
para da’i yang berada di pintu neraka dan barangsiapa yang
memenuhi seruannya, maka akan mencampakkannya ke
jurang neraka tersebut.”
Kedua hadits di atas menjelaskan tentang adanya sunnatullah
munculnya berbagai seruan yang semuanya mengangkat
panji Islam dan mengatasnamakan Islam. Akan tetapi seruan
yang benar adalah satu dan jalan yang benar adalah satu dan
tidak berbilang. Allah berfirman:
“Tidaklah setelah kebenaran itu melainkan
kesesatan.” (Yunus: 32)
Hadits tadi juga menjelaskan bahwa jalan yang tidak benar
itu lebih banyak daripada jalan yang benar. Demikian juga
dengan da’i yang menyeru kepada kesesatan, lebih banyak
dibanding dengan para penyeru kebenaran.
Kedudukan Tauhid

Tidak ada keraguan lagi bahwa tauhid memiliki kedudukan


yang tinggi bahkan yang paling tinggi di dalam agama. Tauhid
merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-
Nya, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal radiyallahu
‘anhu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam berkata
kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas
hamba-Nya dan hak hamba atas Allah? Ia menjawab: “Allah
dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau mengatakan:
“Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
( HR. Bukhari dan Muslim)
1. Tauhid merupakan dasar dibangunnya segala amalan yang
ada di dalam agama ini. Rasulullah bersabda:
“Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berhaji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (Shahih, HR.
Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar)
2. Tauhid merupakan perintah pertama kali yang kita
temukan di dalam Al Qur’an sebagaimana lawannya (yaitu
syirik) yang merupakan larangan paling besar dan pertama
kali kita temukan di dalam Al Qur’an, sebagaimana firman
Allah:

“Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah


menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar
kalian menjadi orang-orang yang bertakwa. Yang telah
menjadikan bumi terhampar dan langit sebagai bangunan
dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan
dengannya buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka
janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi
Allah”. (Al-Baqarah: 21-22)
Dalil yang menunjukkan hal tadi dalam ayat ini adalah
perintah Allah “sembahlah Rabb kalian” dan “janganlah kalian
menjadikan tandingan bagi Allah”.
3. Tauhid merupakan poros dakwah seluruh para Rasul, sejak
Rasul yang pertama hingga penutup para Rasul yaitu
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam. Allah berfirman:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat
seorang Rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah
dan menjauhi thagut.” (An-Nahl: 36)
4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari
semua perintah. Sementara lawannya, yaitu syirik,
merupakan larangan paling besar dari semua larangan.
Allah berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan
menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada
kedua orang tua.” (Al-Isra: 23)
“Dan sembahlah oleh kalian Allah dan janganlah kalian
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. ” (An-Nisa: 36)
5. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam
surga dan terlindungi dari neraka Allah, sebagaimana syirik
merupakan sebab utama yang akan menjerumuskan
seseorang ke dalam neraka dan diharamkan dari surga Allah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka
Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat
kembalinya adalah neraka dan tidak ada bagi orang-orang
dzalim seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya
tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke
dalam surga.”(Shahih, HR Muslim No.26 dari Utsman bin
Affan)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Barangsiapa yang kamu jumpai di belakang tembok ini
bersaksi terhadap Lailaha illallah dan dalam keadaan yakin
hatinya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga.”
(Shahih, HR Muslim No.31 dari Abu Hurairah)
6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang dan
akan bernilai di hadapan Allah. Allah berfirman:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka
menyembah Allah dan mengikhlaskan bagi-Nya agama. ” (Al-
Bayinah: 5)
Tauhid Poros Dakwah Para Rasul

Menggali dakwah seluruh para rasul dan sepak terjang


mereka dalam memikul amanat dakwah ini, niscaya akan kita
temukan keanehan di atas keanehan yang seandainya kita
yang memikulnya, sunggguh kita tidak akan sanggup.

Dakwah membutuhkan keikhlasan agar bisa bernilai di sisi


Allah dan untuk mengikat diri kita dengan pemilik dakwah itu,
yaitu Allah, serta mendapatkan segala apa yang dipersiapkan
di negeri akhirat. Dakwah membutuhkan keberanian untuk
tidak gentar, takut, dan lari ketika menghadapi segala
tantangan. Dakwah membutuhkan kesabaran terhadap
segala ujian dan tantangan di atasnya. Dakwah
membutuhkan istiqamah untuk selalu bersemangat di atas
dakwah meskipun kebanyakan orang tidak menerimanya.
Dakwah membutuhkan iman yang kuat dan yakin terhadap
pertolongan pemilik dakwah ini yaitu Allah. Dakwah
membutuhkan tawakal, kelembutan, dan segala bentuk
akhlak yang mulia.

Allah telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa yang


menjadi poros dakwah para rasul adalah seruan untuk
mentauhidkan Allah sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat itu
seorang rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah
dan menjauhi thagut. ” (An-Nahl: 36)
Dari ayat ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengambil
beberapa faidah di dalam kitabnya At Tauhid, di antaranya:
Hikmah dari diutusnya seluruh para rasul, bahwa risalah itu
mencakup seluruh umat, dan agama para nabi itu adalah
satu.
Dari semua faidah ini, sangat jelas bahwa risalah para Rasul
adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka
adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini
menyembah hanya kepada-Nya. Atau dengan kata lain,
memerdekakan manusia dari penyembahan kepada manusia
menuju penyembahan kepada Rabbnya manusia.
Tauhid, Wahai Para Da’i!

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany mengatakan dalam


risalahnya Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam: “Melihat
jeleknya situasi yang menimpa saudara kita se-Islam, maka
kita mengatakan situasi yang jelek ini tidak lebih jelek
dibanding dengan kejahatan situasi jahiliah dulu ketika Allah
mengutus Rasulullah…”
Berdasarkan hal itu, maka obatnya adalah obat yang
disebarkan oleh Rasulullah di masa jahiliah. Maka dari itu,
bagi setiap da’i agar tampil mengobati jeleknya pemahaman
umat terhadap kalimat La ilaha illallah dan mengobati
keadaan itu dengan obat tersebut. Yang demikian itu sangat
jelas jika kita mencoba untuk merenungi apa yang
difirmankan oleh Allah:
“Sungguh telah nampak bagi kalian pada diri Rasulullah suri
teladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan Allah dan
hari akhir, dan bagi orang yang mengingat Allah. ” (Al-
Ahdzab: 21)
Kemudian beliau (Syaikh Albany) mengatakan: “Maka Rasul
kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam adalah suri
teladan yang baik dalam mengobati segala problem yang
menimpa kaum muslimin di masa kita sekarang ini, bahkan
dalam setiap waktu dan keadaan. Yang demikian itu
menuntut kita agar seharusnya memulai sebagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam memulai yaitu
pertama kali memperbaiki akidah kaum muslimin yang sudah
rusak, yang kedua ibadah mereka, dan yang ketiga akhlak.
Saya bukan berarti ingin memisahkan antara yang pertama
dari yang paling penting menuju yang penting kemudian yang
di bawahnya lagi. Akan tetapi yang saya maksudkan adalah
agar setiap orang Islam terlebih khusus da’inya untuk
memberikan perhatian yang besar (terhadap akidah, red).”
Kenyataan yang menimpa umat secara menyeluruh dan kaum
muslimin secara khusus adalah kerusakan hubungan mereka
dengan Allah. Bahkan sampai kepada puncak menyekutukan
Allah dalam peribadatan dan mengangkat tandingan-
tandingan bagi Allah, baik itu dalam wujud manusia atau
benda-benda yang tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.
Penyakit ini telah mendarah daging seperti pohon yang telah
menancap akarnya. Bahkan telah menjadi penyakit kanker
yang setiap saat merenggut nyawa manusia. Oleh karena itu,
sungguh sangat dibutuhkan obat yang tepat dan dokter yang
telaten untuk mengawali perombakan akar-akar pohon
tersebut dan mengobati penyakit-penyakit kanker tersebut.
Ketahuilah, dokter umat ini adalah mereka-mereka yang
mengikuti langkah Rasulullah dalam berdakwah yang
memulai dari tauhid yang merupakan dasar bangunan Islam
ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim. Dan memberikan obat yang sesuai
dengan kebutuhan mereka yaitu Tauhidullah.
Wahai para da’i, mulailah darimana Allah dan Rasul-Nya
memulai dan persiapkan dirimu untuk menghadapi segala
kemungkinan gangguan dan cobaan yang dahsyat yang
terkadang harus mengalami kegagalan di tengah jalan.
Mulailah wahai para da’i dari tauhidullah!

Sumber Bacaan:

1. Al Qur’an

2. Kitab Tauhid-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab

3. Qaulul Mufid-Muhammad Al Wushabi

4. Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam Syaikh Al Albany

Anda mungkin juga menyukai