“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul
(untuk menyeru) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu
mentauhidkan-Nya) dan menjauhi thaghut…” [An-Nahl: 36]
1. Macam-Macam Tauhid
A. Tauhid Rububiyyah
B. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui
segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-
Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh
(penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta pertolongan), istighatsah
(minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan
segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla
dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah
ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas
karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain
Allah.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa
pun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka
pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak
diampuni dosanya (apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat
kepada Allah atas perbuatan syiriknya). (An-Nisaa: 48, 116)[4]
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H)
rahimahullah berkata, “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-
Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik
dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama
dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak
ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam
semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-
satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allah tidak boleh disekutukan
dengan seorang pun dari makhluk-Nya.” [5]
“Allah menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar selain Dia, (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang
berilmu (yang menegakkan keadilan). Tidak ada yang berhak diibadahi
dengan benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali
‘Imran: 18]
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk
(menyembah)-nya...” [An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah l adalah bathil, dalilnya adalah
firman Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'Alaihis sallam, yang
berkata kepada kedua temannya di penjara:
Oleh karena itu, para Rasul Alaihimus sallam menyeru kepada kaumnya
agar beribadah hanya kepada Allah saja. [6]
”... Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada ilah yang
haq selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” [Al-
Mukminuun: 32]
Pertama.
Sesembahan-sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai
keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk,
tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat
menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-
Auza’i, al-Laits bin Sa’d dan Sufyan ats-Tsauri Radhiyallahu 'anhum
tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua
menjawab:
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah
sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah, dan aku beriman kepada
Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan
apa yang dimaksud oleh Rasulullah.” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manhaj Salaf dan
para Imam Ahlus Sunnah adalah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat
dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan
apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk diri-Nya, tanpa tahrif [9] dan ta’thil [10] serta tanpa
takyif [11] dan tamtsil [12]. Menetap-kan tanpa tamtsil, menyucikan
tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan
persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuuraa: 11]
Lafazh ayat: áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóìúÁñ “Tidak ada yang sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan terhadap golongan yang
menyamakan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat makhluk-
Nya.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
1. Lihat juga QS. Al-Mu'-minuun: 84-89, lihat juga ayat-ayat lain.
3. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha', Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan
lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40), tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin
Muhammad al-Furaiyan.
4. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan ‘Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr.
Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan
Utama).
5. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 60), cet. Mu-assasah ar-Risalah,
1417 H.
7. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930).
Sanadnya shahih, lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, th. 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, tahqiq: Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyil Ghaffar (hal. 142
no. 134).
8. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad
Shalih bin al-‘Utsaimin (hal. 36).
9. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau
menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
10.Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau
sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang
sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur-an atau hadits Nabi j, sedangkan tahrif ialah,
merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
11. Takyiif adalah menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana
Sifat Allah itu?” Atau menentukan hakikat dari Sifat Allah, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah
bersemayam?” Dan yang sepertinya adalah tidak boleh bertanya tentang kaifiyat Sifat Allah karena
berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa
Jallamempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah yang mengetahui dan
kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
12. Tamtsiil sama dengan tasybiih, yaitu mempersamakan atau menyeru-pakan Sifat Allah Azza wa
Jalla dengan sifat makhluk-Nya. Lihat Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-100) oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh Syaikh
Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihaat al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil
‘Aqiidah al-Waasi-thiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’anil Wasithiyah (hal. 86-94) oleh Syaikh ‘Abdul
‘Aziz as-Salman.
Kedudukan Tauhid dalam Islam dan
Urgensinya
Sudah ada teladan dan contoh yang paling bagus pada diri
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman:
Urgensi Tauhid
" Jadikanlah awal yang kamu seru adalah syahadat Laa ilaaha
illallah, pada riwayat yang lain agar mereka mentauhidkan Allah"
( Muttafaq Alaih)
Sumber Bacaan:
1. Al Qur’an