Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang berkembang, Indonesia secara terus menerus berusaha meningkatkan pembangunan di segala bidang sesuai dengan arah pembangunan nasional menuju negara maju. Hal ini senada dengan rencana pembangunan nasional yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang menyatakan bahwa:

Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.1 Pembangunan dalam berbagai bidang tentunya harus didukung dengan infrasturktur yang memadai, salah satu yang terpenting ialah sarana dan prasarana perhubungan, seperti membangun jalan penghubung antara daerah satu dengan daerah yang lainya, serta memperbaiki dan memelihara jalan di kota sampai pada jalan di pelosok desa atau daerah terpencil. Maraknya pembangunan jalan penghubung tersebut berbanding lurus dengan semakin banyaknya jumlah pengguna jalan. Hal ini dapat dilihat secara kasat mata di mana jumlah kendaraan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini jelas memerlukan perhatian dari pemerintah sebagai penyelenggara
http//www.beritaindonesia.com//rencana pembangunan Indonesia kedepan, diakses tanggal 19 Nopember 2013
1

negara, untuk itu dalam rangka mengatasi permasalahan yang diperkirakan akan timbul sehubungan dengan segala aspek mengenai lalu lintas ini, pemerintah sejak lama telah memikirkan dan melakukan upaya guna mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas. Maka dari itu, dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dengan kehadiran regulasi yang secara umum mengatur tentang sistem transportasi nasional, dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan,2 maka penegak hukum khususnya polisi lalu lintas harus dapat berfungsi untuk menegakkan keadilan di jalan raya demi keselamatan bersama sesama para pengguna jalan. Dalam penggunaan jalan sebagai sebuah sarana transpotasi, setiap pengguna jalan dituntut untuk dapat berprilaku tertib dan mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan,3 sehingga seluruh pengguna jalan atau dalam hal ini pengemudi kendaraan bermotor wajib untuk memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan, yang diperoleh dengan memenuhi persyaratan usia, administrasi, kesehatan, dan lulus ujian.

Lihat konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahu 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 3 Lihat pasal 105 huruf (a) dan huruf (b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Persyaratan yang terdapat dalam regulasi ini bertujuan untuk dapat memenuhi standar kriteria keselamatan pengguna jalan, namun fenomena yang kemudian muncul di masyarakat (das sein) justru cenderung bertentangan dengan apa yang terdapat dalam regulasi yang mengatur, yakni terkait dengan persyaratan usia bagi pengemudi kendaraan bermotor, di mana masih sering kita jumpai para pengemudi kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM dan tidak sedikit juga para pengemudi tersebut masih berada dibawah umur, yang notabanenya belum memenuhi kriteria umur untuk memperoleh SIM.4 Hampir di setiap jalan besar maupun jalan kecil, pada saat sedang mengemudikan kendaraan bermotor, sering ditemui anak di bawah umur yang mengemudikan kendaraan bermotor, anak yang mengendarai kendaraan bermotor ini, tak jarang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Salah satu contoh yang masih segar dalam ingatan kita, ialah kecelakaan yang terjadi di Jalan Tol Jagorawi yang mengakibatkan meninggalnya 6 orang dan belasan lainnya mengalami luka berat, yang di sebabkan mobil Mitsubishi Lancer yang dikendarai oleh anak di bawah umur yang melaju dari arah Bogor ke Jakarta kehilangan kendali, dan kemudian menabrak pembatas tol hingga mobil yang dekendarainya menyeberang ke jalur yang berlawanan.5 Hal ini disebabkan karena kondisi pengemudi yang masih labil dan secara psikologis masih belum mampu untuk menguasai emosi, yang akhirnya dapat membahayakan keselamatan pengemudi lain ketika anak
Persyaratan usia yang ditentukan di dalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ialah: 17 Tahun untuk SIM C, 20 Tahun untuk SIM B I, dan 21 Tahun untuk SIM B II 5 http//www.detik.com//Anak Ahmad Dhani terlibat kecelakaan Mmaut di Tol Jagorawi, diakses tanggal 18 Nopember 2013
4

tersebut mengendarai kendaraaan bermotor seorang diri tanpa pengawasan dari orang tua. Fenomena anak di bawah umur yang mengendarai kendaraan bermotor ini tidaklah munculnya dengan sendirinya, namun hal ini diakibatkan adanya sebuah kebiasaan orang tua yang membelikan anaknya sebuah kendaraan bermotor sebagai sebuah wujud kasih sayang, dan sebagian orang tua lainnya beralasan untuk mempermudah pergi ke sekolah atau supaya sang anak lebih patuh kepada orang tuanya.6 Dalam kaca mata hukum seorang anak yang masih berada di bawah umur merupakan tanggung jawab orang tua untuk memberikan perlindungan sebagai pemenuhan terhadap hak anak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak,7 dan ketika seorang anak melakukan tindak pidana maka terdapat perlindungan khusus dalam sistem peradilan, hal ini dilakukan guna mempertimbangkan kepentingan anak dan masa depannya yang masih sangat panjang,8 namun ketika kita melihat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di mana seseorang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraaan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dan mengakibatkan kematian, dapat dikenakan pidana penjara,9 dengan demikian maka dalam

http//www.kajianhukum.com.//Analisis Kasus Abdul Qodir Jaelani, diakses tanggal 18 Nopember 2013 7 Dalam pasal ini menyebutkan bahwa: Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga Dan Orang Tua Berkewajiban Dan Bertanggung Jawab Terhadap Penyelenggaraan Perlindungan Anak 8 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta, 2010), hlm. 94 9 Lihat Pasal 311 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

regulasi ini akan menimbulkan sebuah pertentangan di mana di satu sisi seorang anak mendapatkan sebuah keistimewaan, namun disisi lain akibat perbuatan seorang anak yang berkendara tanpa memperhatikan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan menimbulkan kematian bagi pengendara lain, tentunya hal ini akan mempengaruhi rasa keadilan bagi korban. Fenomena kecelakaan lalu lintas yang terjadi diakibatkan oleh seorang anak bawah umur, hal ini tentunya akan menimbulkan sebuah bentuk pertanggungjawaban hukum yang berbeda, dengan kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh orang dewasa, namun jika kita mencoba melihat persoalan ini dalam prespektif kriminologi, yang oleh Bonger,10 didefinisikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya, maka akan memunculkan faktor kriminogen yang salah satunya dapat diakibatkan oleh orang tua sang anak, di mana dalam hal ini orang tua sangat berpotensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak di bawah umur walaupun secara tidak langsung, terlebih jika kita meninjau Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di mana dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya yang kecanduan narkotika, dan apabila orang tua tersebut dengan sengaja tidak melaporkan, maka dapat dikenakan pidana kurungan paling lama 6 bulan,11 maka dengan hal ini dalam upaya menghindari terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak
10 11

Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Kriminologi (Jakarta, 2001), hlm. 9 Lihat Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

yang menyebabkan kematian, sangatlah dibutuhkan peran serta dari orang tua dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap anak. Beranjak dari pemaparan mengenai fenomena tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak di bawah umur tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan sebuah kajian mengenai pertanggungjawaban pidana oleh orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang mengakibatkan kematian, dengan menggunakan perspektif kriminologi, hal ini dilakukan guna mampu menekan tingginya jumlah tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak, sehingga mampu memberikan jaminan perlindungan bagi seorang anak. Hal inilah yang kemudian mendasari penulis untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Pertanggung jawaban Orang Tua Dalam Kejahatan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak (Suatu Kajian Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas Yang Menyebabkan Kematian) B. Perumusan Masalah Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang kemudian dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah formulasi kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Indonesia ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui secara mendalam dan komprehensif mengenai formulasi kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Indonesia. b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana oleh orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan menyebabkan kematian. 2. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan nilai dan guna kepada semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut : a. Kegunaan Teoritis 1) Diharapkan dari penelitian dapat bermanfaat untuk memberikan sebuah kontribusi pemikiran dan sumbangsih secara ilmiah dalam upaya mencegah terjadinya tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak. 2) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah formulasi pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana yang dilakuka oleh anak, kepada orang tua.

b. Kegunaan Praktis 1) Bagi Masyarakat a) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai parameter dalam melakukan pengawasan terhadap anak agar tidak

menggunakan kendaraan bermotor sebelum memenuhi persyaratan dalam undang-undang. b) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi pihak yang tertarik meneliti pada persoalan yang sama dalam tahap selanjutnya. 2) Bagi Pemerintah a) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan referensi untuk melakukan evaluasi terhadap tingginya pelanggaran lalu lintas, serta sebagai sebuah upaya preventif untuk mencegah terjadina tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak. 3) Bagi Universitas a) Hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangsih dalam bidang akademik guna pengembangan kajian keilmuan terkait dengan pertanggungjawaban pidana kejahatan lalu lintas yang di lakukan oleh anak.

D. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Tentang Anak Secara umum telah berkembang mengenai definisi tentang anak secara variatif, seperti dalam kamus besar bahasa Indonesia yang memberikan definisi anak sebagai manusia yang masih kecil.12 Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita, dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali. Menurut Romli Atmasasmita, anak adalah seseorang yang masih ada di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin,13 apabila mengacu pada aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase

perkembangan kejiwaan, yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk menentukan criteria seorang anak selain dapat dilihat dari pertumbuhannya, hal ini juga dapat dilihat dari perkembangan jiwa yang dialaminya.14 Menurut Soedjono Dirdjosisworo di dalam hukum adat, anak diartikan sebagai seseorang yang belum terdapat tanda-tanda fisik yang konkret bahwa mereka telah dewasa.15 Kemudian dalam sisi regulasi juga telah memberikan pengertian tentang anak, di mana Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009

W.J.S Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 1985), hlm. 735 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak Yuridis, Sosiologis, Kriminologis (Bandung, 1983), hlm. 25 14 Zakiah Daradjad, Faktor-Faktor Yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan Generasi Muda (Bandung, 1985), hlm. 38-39 15 Kartono, Kartini, Gangguan-Gangguan Psikis, (Bandung, 1981), hlm. 187
13

12

10

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, anak diartikan sebagai seseorang yang masih berusia di bawah 17 tahun,16 kemudian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.17 Kedua pengertian sebelumnya pun hampir sama dengan pengertian anak yang terkandung dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, di mana yang dimaksud dengan anak ialah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan.18 Dengan demikian, nampak jelas bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak tidaklah hanya dapat dilihat dari usia, namun dapat juga dipandang dari sisi yang lain, seperti kedewasaan, perkembangan kejiawaan. Melihat banyaknya definisi terkait anak tersebut, maka untuk dapat memberikan batasan dalam pengertian anak, dan dapat digunakan sebagai pijakan teori dalam skripsi ini, yang dimaksud dengan anak ialah seseorang yang belum berumur 18 tahun dan belum menikah. 2. Sekilas Tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan
Lihat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 17 Lihat Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 18 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
16

11

dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri, namun biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut: Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana.19 Kemudian Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, memberikan definisi terkait dengan tindak pidana ialah sebagai berikut : Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.20 Berdasarkan rumusan yang ada maka tindak pidana (strafbaarfeit) memuat beberapa syarat pokok yakni, suatu perbuatan manusia, perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.21 b. Unsur-Unsur Tindak Pidana setelah kita mengetahui mengenai definisi tentang tindak pidana, maka terkait dengan unsur-unsur tindak pidana, ialah sebagai berikut: 1) Ada Perbuatan Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, perbuatan manusia (actus reus) terdiri atas, commision/act yang dapat diartikan sebagai melakukan
19 20

Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima (Jakarta, 2007), hlm 92 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung, 1997), hlm. 182 21 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm 48

12

perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang atau sebagain pakar juga menyebutnya sebagai perbuatan (aktif/positif), kemudian ommision, yang dapat diartikan sebagai tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang atau sebagian pakar juga menyebutnya perbuatan (pasif/negatif). Pada dasarnya bukan hanya berbuat (commision/act), orang dapat diancam pidana melainkan (ommision) juga dapat diancam pidana, karena commision/act maupun ommision merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Untuk lebih jelasnya baik commision/act maupun ommision akan penulis perlihatkan perbedaannya, hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang terkait yang terdapat dalam KUHP, anatara lain sebagai berikut: Ommision/act, yang sebagian pakar menyebutnya sebagai perbuatan aktif atau perbuatan positif, contohnya terdapat pada Pasal 362 KUHP yang rumusannya antara lain: Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh rupiah22 Ommision, yang sebagian pakar sebut sebagai perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan yang contohnya terdapat pada Pasal 165 KUHP yang rumusannya antara lain:

22

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Yogyakarta , 2008), hlm 128

13

Barang siapa yang mengetahui ada orang yang bermaksud hendak melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan sepatutnya dan waktunya baik kepada yang terancam, jika kejadian itu benar terjadi dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah 23 2) Ada Sifat Melawan Hukum Penyebutan sifat melawan hukum dalam pasal-pasal tertentu menimbulkan tiga pandapat tentang arti dari melawan hukum ini yaitu diartikan,24 bertentangan dengan hukum (objektif), bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain, Tanpa hak. Lamintang menjelaskan sifat melawan hukum sebagai berikut: Menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat Wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur delik yang terdapat dalam rumusan delik menurut undang-undang. Adapun menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti meteriil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai

Wederrechtelijk atau tidak, masalahnya buka harus ditinjau dari ketentuan hukum yang tertulis melainkan harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.25 Melihat uraian defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam yakni: Sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk) yang merupakan, perbuatan yang
23 24

Ibid, hlm 62 Wirjono Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu Indonesia (Bandung, 2010), hlm. 2 25 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 194

14

memenuhi

rumusan

undang-undang,

kecuali

diadakan

pengecualian-

pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang,26 kemudian yang kedua ialah sifat melawan hukum materill (materiel wedderrchtelijk) yang di mana, hukum itu bukan hanya undangundang saja (hukum yang tertulis), tatapi juga meliputi hukum yang tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku di masyarakat.27 Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijk) baik secara eksplisit maupun emplisit ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang eksplisit maupun emplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak dapat disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau si terdakawa dapat dilakukan penuntututan dan pembuktian didepan pengadilan.28 Adanya sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam ketentuan perundang-undangan, hal ini disebabkan karena perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu dicantumkan secara eksplisit, misalnya pada Pasal 338 KUHP tidak mengandung kata melawan hukum, namun setiap orang normal memandang bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah melawan hukum,

26 27

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana (Yogyakarta, 2012), hlm. 53 Ibid. 28 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 69

15

bertentangan tidak saja dengan hukum, tetapi semua kaidah-kaidah sosial dan agama.29 3) Tidak Ada Alasan Pembenar (a) Daya Paksa Absolute Sathochid Kartanegara mendefinisikan daya paksa Absolutte sebagai berikut: 30 Daya paksa absolute adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia oleh orang lain. Daya paksa (overmacht), telah diatur oleh pembentuk undang-undang di dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:31 Tidaklah dapat dihukum barang siapa telah melakukan suatu perbuatan dibawah pengaruh dari suatu keadaan yang memaksa Daya paksa (Overmacht), dapat terjadi pada peristiwa-peristiwa berikut: (1) Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara fisik; (2) Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara psikis; (3) Peristiwa-peristiwa dimana terdapat suatu keadaan yang biasanya disebut Nothstand, Noodtoestand atau sebagai etat de necessite, yaitu suatu keadaan di mana terdapat:32 a) Suatu pertentangan antara kewajiban hukum yang satu dengan kewajiban hukum yang lain.

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Jakarta, 2007), hlm.240 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh (Jakarta, 2012), hlm. 55 31 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 23 32 P.A.F Lamintang, Op.Cit., hlm. 428
30

29

16

b) Suatu pertentangan antara suatu kewajiban hukum dengan suatu kepentingan hukum. c) Suatu pertentangan antara kepentingan hukum yang satu dengan kepentingan hukum yang lain. (b) Pembelaan Terpaksa Pembelaan terpaksa (noodwear) dirumuskan di dalam KUHP Pasal 49 Ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:33 Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya, untuk mempertahankan dirinya atau orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hak atau mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. (c) Menjalankan Ketentuan Undang-Undang Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa:34 Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Perundang-undangan, tidak dipidana. (d) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:35 Tiada boleh dihukum barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah, yang diberikan oleh pembesar (penguasa), yang berhak untuk itu
33 34

Moeljatno, Loc.Cit. Ibid., hlm. 24 35 Ibid.

17

c.

Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang mejurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang diuraikan sebagai berikut: 1) Mampu Bertanggung jawab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP antara lain berbunyi sebagai berikut: 36 Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 2) Kesalahan Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam hukum positif indonesia yang menyatakan tiada pidana tanpa kesalahan, yang artinya, untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat diminta pertanggungjawaban atasnya.37

36 37

Ibid., hlm. 21 Teguh Prasetyo, Op.Cit., 226 & 227

18

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas sebagai berikut: a) Kesengajaan (Opzet) Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja (Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.38 Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa kesengajaan terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni:
39

Kesengajaan Sebagai Maksud (oogmerk) yang

merupakan perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau yang dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan melakukan berbuat,40 selanjutnya kesengajaan dengan Insaf Pasti (opzet als

zekerheidsbewustzijn) yang di mana apabila si pelaku dengan perbuatnnya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu.41 selanjutnya yang terakhir ialah kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis) jika seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa

38 39

Zainal Abidin Farid, Op.Cit., hlm. 226 Laden Marpaung, Op.Cit., hlm. 9 40 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 98 41 Amir Ilyas, Op.Cit., hlm. 80

19

mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.42 b) Kealpaan (Culpa) Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap hati-hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang lebih ringan daripada kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk, yakni:43 Kealpaan Dengan Kesadaran (bewuste schuld/culpa lata) yang dalam hal ini si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga akibat tersebut, kemudian kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa levis), di mana si pelaku tidak membayang atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

3) Tidak Ada Alasan Pemaaf Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini manyangkut

pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responbility, alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan ini dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan, daya paksa relatif, pembelaaan terpaksa melampaui batas, perintah jabatan yang tidak sah.
42 43

Laden Marpaung, Op.Cit., hlm. 18 Ibid.

20

3.

Pengertian Tindak Pidana Anak Suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan

tersebut melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh pidana dan pelakunya diancam oleh pidana. Dalam KUHP di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsurunsur yakni antara lain, adanya perbuatan manusia, perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum, adanya kesalahan, orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan.44 Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu Status Offence yang merupakan perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah, kemudian Juvenile Deliquency yang merupakan perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. 45 Namun terlalu extrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak

mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak (Bandung, 2006), hal.12 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia (Indonesia, 2003), hal. 2
45

44

21

psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya. Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya kejahatan anak, yaitu faktor lingkungan, faktor ekonomi/sosial, faktor psikologis.46 Sementara dalam KUHP ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anakanak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum dalam KUHP dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut. 4. Sekilas Tentang Kejahatan Lalu Lintas Yang di Lakukan Oleh Anak dan Pertanggung Jawaban Oleh Orang Tuan Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa disamping delik commissionis yang merupakan pelanggaran terhadap suatu undang-undang, sedangkan delik omissionis merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusankeharusan menurut undang-undang,47 juga terdapat sebuah delik lain yakni, delik Commissionis Per Omissionem Commisa yang merupakan pelanggaran terhadap larangan, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Dalam tindak pidana lalu lintas terdapat sebuah persyaratan yang diatur dalam
A.Syamsudin Meliala & E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum (Yogyakarta, 1985), hlm. 31 47 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 213
46

22

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mengenai persyaratan umur untuk memperoleh surat izin mengemudi (SIM), yakni sebagai berikut :48 Tabel I : Persyaratan Usia Untuk Memperoleh SIM No Usia minimal SIM yang dapat digunakan - SIM A - SIM C - SIM D - SIM B1 - SIM B2

17 tahun

2 3

20 tahun 21 tahun

Dalam fakta yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, kita semua sering menyaksikan bahwa seorang anak yang notabanenya berada di bawah umur sebagaimana yang ditentukan oleh dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hal ini tentulah merupakan sebuah sisi gelap dalam penggunaan sarana lalu lintas di Indonesia, di mana masih segar dalam ingatan mengenai kasus kecelakaan maut yang diakibatkan oleh putra Ahmad Dhani, yakni Abdul Qodir Jaelani di Jalan Tol Jagorawi, di sinilah kita perlu melihat sebuah upaya preventif dari orang tua yang secara limitatif diberikan oleh undang-undang untuk mengawasi seorang anak, dengan adanya pembiaran yang di lakukan oleh orang tua, maka di sini jika kita lihat dalam perspektif kriminologi, maka

Lihat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

48

23

hal ini merupakan salah satu faktor kriminogen dari terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh anak, apa lagi dalam hukum pidana berlaku asas fiktif, di mana semua orang dianggap mengetahui hukum. Dengan demikian maka terbukalah sebuah peluang dalam tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak, dapat dipertanggung jawabkan oleh orang tua karena kelalaiannya dalam menjaga dan melindungi anak, hal ini sejalan dengan prinsip yang terdapat di dalam Pasal 128 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di mana dalam regulasi tersebut memuat sebuah ketentuan tentang pertanggung jawabn oleh orang tua yang dengan sengaja tidak melaporkan anaknya yang kecanduan narkotika, dengan demikian demi sebuah perlindungan terhadap anak, dan juga mengedepankan faktor-faktor kriminogen yang ada, maka pertanggungjawaban oleh orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbendung.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten, Kemudian metodologi berasal dari dari kata metode yang artinya tepat melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu pengetahuan, dengan demikian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

24

mempelajari satu atau beberapa menganalisanya.49

gejala

hukum

tertentu dengan jalan

Dalam skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif, Penelitian yuridis normatif ini dimaksud untuk

menginventarisasi hukum dengan pengunaan konsepsi legisme yang positivistis yang berpendapat bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat Negara yang berwenang,50 selain itu penelitian yuridis normatif ini dimaksudkan agar dapat mengetahui mengenai formulasi tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Indonesia dan untuk mengetahui bentuk

pertanggungjawaban orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan menimbulkan kematian. Penelitian hukum normatif merupakan sebuah penelitian yang

mendasarkan pada bahan hukum baik primer maupun sekunder.51 Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah statute approach (pendekatan undang-undang), yaitu suatu metode pendekatan dengan menelaah semua undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti, sehingga akan kelihatan konsistensi antara undang-undang yang satu dengan undang-undang lainnya,52 dan pendekatan consep approach yang didasarkan pada beberapa konsep yang telah ada dan dibangun oleh para ahli hukum
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Normatif (Jakarta; 1985), hal .42-43 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta; 1990), hlm.13-14. 51 Ibid, Hlm 15 52 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, edisi 1 Cet. Ke- 1, (Jakarta; 2006), hlm. 93
50 49

25

serta pendekatan historical approach dan comaparative approach dalam rangka melakukan pengkajian terhadap hukum-hukum yang pernah digunakan. 2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diambil dalam melakukan penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dan juga Penulis menggunakan bahan kajian pustaka antara lain: a. Bahan hukum primer yaitu, sumber bahan yang berupa peraturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dianut berupa: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Ham, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari buku, makalah, artikel, jurnal ilmiah, dan laporan penelitian yang berkaitan dengan masalah. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

26

primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Bahasa inggris, Kamus Bahasa Indonesia, kamus Hukum, dan lain-lain.53 3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Untuk mengunakan bahan-bahan hukum di maksud di atas, maka di

gunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan mencari mencatat, menginventarisasi dan mempelajari bahan-bahan hukum berupa bahan-bahan pustaka. 4. Metode Analisis Bahan Hukum Setelah terkumpulnya bahan yakni, bahan primer dan sekunder, kemudian dianalisis, sehingga bisa ditemukan dasar yang kuat dan tepat untuk membahas permasalahan yang diangkat oleh peneliti, kemudian dilanjutkan dengan memberikan gambaran permasalahan yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang terkait, serta memperhatikan teori-teori hukum yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.

53

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; 1997), hlm. 20

27

F. Jadwal dan Sistematika Penulisan 1. Jadwal Penelitian Penulisan hukum ini direncanakan akan berlangsung selama 3 (tiga) bulan, dengan jadwal sebagai berikut : Waktu Pelaksanaan (Bulan ke) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kegiatan Persiapan Pengajuan Usulan Seminar Proposal Revisi Usulan Pengurusan Izin Pengumpulan Data Analisis Data Penyusunan Laporan Ujian Revisi Laporan (jika ada revisi) x xx xx xx xx x x xx xx x I II III Dst

2.

Sistematika Penulisan Dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini, agar dapat disajikan

secara sistematis, maka terdapat suatu sistematika guna mencapai tujuan tersebut, adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab ini akan Menguraikan mengenai Latar belakang, Perumusan masalah, Tujuan dan kegunaan penulisan, Tinjauan pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.

28

BAB II :

HASIL PENELITIAN Dalam Bab ini akan Menguraikan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari bahan hukum tentang, formulasi tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan bahan hukum tentang, pertanggungjawaban orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan menimbulkan kematian.

BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN Dalam bab ini yang pertama akan dibahas adalah mengenai analisis hasil terhadap, formulasi tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan analisis terhadap, pertanggungjawaban orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan menimbulkan kematian. BAB IV : PENUTUP Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan saran yang relevan.

29

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU: Atmasasmita, Romli. 1983. Problem Kenakalan Anak Yuridis, Sosiologis, Kriminologis, Bandung; Armico Daradjad, Zakiah. 1985. Faktor-Faktor Yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan Generasi Muda. Bandung; Bina Cipta Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua. Jakarta; Sinar Grafika Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta; Rangkang Education dan Pukap Indonesia Kartono, Kartini. 1981. Gangguan-Gangguan Psikis. Bandung; Sinar Baru Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung; PT. Citra Aditya Bakti Marpaung, Leden. 2012. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh. Jakarta; Sinar Grafika Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Predana Media Group Meliala, A.Syamsudin dan Sumaryono E. 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum. Yogyakarta; Liberty Moeljatno. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta; Bumi Aksara Poerwadarminto, W.J.S. 1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Refika Aditama Tindak Pidana Tertentu Indonesia. Bandung;

Purnianti, Supatmi, Mamik Sri, dan Tinduk, Ni Made Martini. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, Indonesia; UNICEF

30

Santoso, Topo & Zulfa, Eva Achjani. 2001. Kriminologi. Jakarta; Rajawali Pers Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Penelitian Normatif, Jakarta: UI Press Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung; Refika Aditama Sudarsono. 2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima. Jakarta; Rineka Cipta Sunggono, Bambang. 2012. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press

WEBSITE: http//www.beritaindonesia.com//rencana pembangunan Indonesia kedepan, diakses tanggal 19 Nopember 2013 http//www.detik.com//Anak Ahmad Dhani terlibat kecelakaan Mmaut di Tol Jagorawi, diakses tanggal 18 Nopember 2013 http//www.kajianhukum.com.//Analisis Kasus Abdul Qodir Jaelani, diakses tanggal 18 Nopember 2013 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Anda mungkin juga menyukai