Anda di halaman 1dari 3

Soekarno dan Mohammad Hatta tidak hanya dikenal sebagai proklamator negara ini.

Mereka berdua juga dikenal sebagai intelektual yang kritis, penulis buku yang hebat, dan tentu saja pembaca yang tekun. Begitu juga dengan para tokoh kemerdekaan Indonesia lainnya. Syahril, Tan Malaka, H. Agus Salim, Supomo, Soemitro Djojohadikusumo, dan Muhammad Yamin adalah beberapa contoh dari negarawan yang tidak hanya memperjuangkan nasib bangsa ini, tetapi juga mampu berpikir secara logis, dan mampu menuliskan pemikirannya lewat buku. Para pendiri bangsa ini ternyata selain pintar, juga mempunyai kepedulian terjadap nasib rakyat dan bangsanya. Kondisi di awal kemerdekaan ini ternyata sangat berbeda jauh dengan kondisi sekarang. Sekarang ini kita dengan mudah menemukan para petinggi negara, baik itu para politisi atau pejabat negara terlibat dalam tindak pidana korupsi. Para petinggi negara itu seolah-olah tidak peduli pada nasib rakyat dan bangsanya. Nilai-nilai luhur merosot dalam dekade terakhir ini. Keimanan, kejujuran, ketertiban, kesopanan, pengorbanan, tanggungjawab, pengendalian diri, kebersamaan, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib penghargaan pada nyawa manusia, dan nilai-nilai positif lain seakan tidak muncul di bangsa ini. Pertanyaannya: apa yang salah dalam bangsa ini? Mengapa pemimpin-pemimpin generasi awal kemerdekaan sangat berbeda dengan pemimpin generasi sekarang? Apakah kemerosotan ini sangat berhubungan dengan proses pendidikan di bangku sekolah? Sastrawan Taufik Ismail memberikan ilustrasi yang komprehensif tentang hubungan itu. Sejarah peradaban manusia membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang hebat ternyata memiliki kemampuan membaca yang kuat. Masyarakatnya sejak dini sudah terlatih dan terbiasa membaca. Dengan meneliti kemampuan membaca siswa SMA di 13 negara, kita jadi mahfum mengapa bangsa ini tertinggal oleh bangsa-bangsa lain. Kita juga jadi paham perbedaan pendidikan di SMA Indonesia sekarang dengan eranya pendidikan AMS (setingkat SMA) di zaman Hindia Belanda Siswa SMA di Amerika Serikat ternyata diwajibkan membaca 32 judul karya sastra dalam setahun. Siswa SMA di Belanda dan Perancis 30 judul karya sastra per tahun. Siswa SMA di Jerman 22 judul karya sastra per tahun. SMA di Swiss dan Jepang membaca 15 judul karya sastra per tahun. Siswa SMA di Rusia membaca 12 karya sastra dalam setahun. Bahkan, kita tertingga oleh negara-

negara tetanggal kita. Siswa SMA di Brunei Darissalam membaca 7 judul karya sastra dalam setahun. Siswa SMA di Singapura dan Malaysia rata-rata membaca 6 judul karya sastra dalam setahun. Siswa SMA di Thaliand diwajibkan membaca 5 judul per tahun. Pertanyaaannya: berapakah siswa SMA di Indonesia diwajibkan membaca karya sastra dalam setahun? Ternyata jawabannnya adalah nol buku per tahun. Kondisi ini sangat berbeda dengan siswa AMS di zaman Hindia Belanda. Siswa AMS-B diwajibkan membaca 15 judul karya sastra dalam setahun. Bahkan, Siswa AMS-A diwajibkan membaca 25 karya sastra dalam setahun. Ini bisa jadi salah satu sebab mengapa pemimpin bangsa Indonesia di era kemerdekaan memiliki intergritas hebat pada bangsanya. Lebih jauh Taufik Islamil membandingkan kewajiban mengarang antara siswa AMS Hindia Belanda dengan siswa SMA Indonesia sekarang ini. Siswa AMS diwajibkan membuat 1 karangan per minggu, 18 karangan per semester, 36 karangan per tahun, dan ini berarti siswa AMS diwajibkan membuat 108 karangan selama 3 tahun menjadi siswa AMS. Kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi siswa SMA Indonesia sekarang ini. Siswa SMA hanya diwajibkan membuat 3-15 karangan per 3 tahun. Artinya, tugas mengarang sama dengan kewajiban melaksanakan shalat Idul fitri: sekali setahun. Coba perhatikan kewajiban mengarang siswa Malaysia dan Amerika Serikat. Siswa SMA Malaysia ternyata diwajibkan membuat karangan setebal 14 halaman ketik per minggu atau setara dengan 504 halaman ketik per tahun. Artinya, selama menempuh pendidikan SMA, siswa Malaysia diwajibkan membuat 2.016 halaman ketik. Bandingkan juga dengan kewajiban membuat karangan siswa SMA Amerika Serikat. Siswa SMA di Amerika Serikat diwajibkan membuat karaangan 44 halaman ketik per minggu atau setara 1.585 halaman ketik per tahun. Ini berarti siswa SMA di Amerika Serikat diwajibkan membuat 6.336 halaman karangan selama menempuh pendidikan SMA-nya. Dengan melihat kewajiban membaca karya sastra dan kewajiban membuat karangan yang terjadi pada siswa SMA negara-negara luar, juga dengan siswa AMS di zaman Hindia Belanda, kita menjadi tersadarkan betapa sekarang ini kita jauh tertinggal dalam meningkatkan budaya baca dan budaya literasi. Padahal, kita semua maklum bahwa membaca karya-karya sastra dapat meningkatkan kepekaan nurani pembacanya. Bagaimanapun pengajaran sastra mampu mendidik karakter, membangun perilaku, menyelami nilai-nilai luhur, dan

meningkatkan akhlah mulia pada bathin siswa. Membaca karya sastra mampu membekali siswa untuk menghadapi kenyataan kehidupan sekarang ini yang keras dan berubah dengan cepat (hikmat kurnia)

Anda mungkin juga menyukai